Bagaimana peran etnis Tionghoa dalam pergerakan nasional Indonesia?. Peran Etnis Tionghoa dalam pergerakan nasional Indonesia perlu diperhitungkan. Etnis Tionghoa yang selama ini di Indonesia dan lama menetap ternyata memiliki sejarah panjang sejak kedatangannya di Nusantara yang diperkirakan sudah dari zaman Dinasti Han (206SM – 220M), Faktor Ekonomi lah yang menuntun bangsa Cina untuk melakukan perjalanan ke Nusantara, etnis Cina yang awalnya ke nusantara untuk berdagang ternyata menetap dan turut mewarnai perjalanan masyarakat nusantara bahkan sampai saat ini. Di bawah ini akan dijelaskan peran tionghoa dalam pergerakan nasional Indonesia.
Etnis Cina yang terkenal “Oportunis” dan “Pragmatis” terkadang membuat mereka harus menjadi korban. Tercatat beberapa kali Etnis Cina menjadi korban pembantaian seperti pada tahun 1740 pembantaian Etnis Cina di Batavia, lalu tahun 1965, dan 1998. Tapi terlepas dari itu tidak bisa dipungkiri juga bahwa Etnis Cina turut menuntun zaman pergerakan Indonesia. Walaupun di dalam perjalanannya terdapat berbagai kepentingan ekonomi dan sosial didalamnya.
Nasionalisme di Indonesia yang tumbuh karena kesamaan nasib yang ketika itu sama-sama dijajah oleh Belanda akhirnya menumbuhkan kesamaan nasib dan yang akhirnya memiliki kesamaan rasa kebangsaan dan ingin hidup tenang dan bersama, termasuk pula etnis Cina yang di diskriminasikan oleh Belanda. Akhirnya hal ini menimbulkan gerakan Nasionalisme Tionghoa yang nantinya mengalami 3 fase yaitu : Fase Tionghoa, Fase Pro Belanda, dan Fase Indonesia.
Fase Tionghoa bisa dikatakan adalah tonggak awal munculnya organisasi modern di nusantara yang bernama Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) tahun 1900. Namun karena sifatnya yang ekslusif maka pergerakannya pun jarang diketahui dan gerakan mereka memang tidak ada hubungannya dengan anti kapitalisme namun sangat menentang pemerintahan kolonial, namun ternyata pergerakan yang dilakukan oleh etnis Cina tersebut sudah jauh melampaui zamannya.
Karena pendidikan yang dipakai diimpor langsung dari singapura dan Tiongkok, namun karena tidak sesuai dengan keadaan di Nusantara maka murid sekolah itu merasa asing dengan lingkungannya. Untuk menguatkan sektor ekonomi mereka mencari bantuan ke Cina yang saat itu dipimpin oleh Dinasti Qing (Ch’ing) yang melihat kesempatan memperoleh kemakmuran orang Tionghoa di Indonesia memberikan tanggapan positif.
Sejak tahun 1906 pejabat tinggi dari Dinasti Ch’ing berkunjung ke Indonesia setiap tahun. Selanjutnya didirikan Siang Hwee (kamar dagang Tionghoa) di pusat-pusat perdagangan. Siang Hwee memboikot perusahaan Eropa untuk melindungi kepentingan dagang Tionghoa. 15 Seiring dengan berkembangnya sekolah-sekolah THHK, kaum revolusioner yang mendukung Sun Yat Sen datang ke Hindia dan menjadi guru di sekolah-sekolah THHK.
Sejak tahun 1909 mereka mendirikan Soe Po Sia, perkumpulan membaca yang menyebarkan informasi dan propaganda politik bagi orang Tionghoa. Di perkumpulan ini diberikan pelajaran, buku, dan terbitan berkala untuk publik Tionghoa.
Peran pers yang dibuat oleh kalangan masyarakat etnis Cina pun sangat berpengaruh pada pergerakan Indonesia. Awal pergerakan pers Tionghoa ditunjukan untuk menentang kapaitalisme dan penjajahan yang saat itu dialami kebanyakan negeri di Asia. Namun semangat inilah yang memberikan inspirasi bagi perkembangan pergerakan nasional di Indonesia. Bahkan Kongres pemuda yang nantinya akan menghasilkan sumpah pemuda pun, etnis Cina turut serta dalam kongres tersebut. Ini membuktikan bahwa etnis Cina juga turut berperan dalam pergerakan nasional Indonesia.
Kedatangan Etnis Tionghoa Di Indonesia
Masyarakat Tionghoa di Jawa sudah datang jauh sebelum Belanda datang ke Nusantara. Kedua bangsa tersebut (Cina dan Belanda) sebenarnya datang ke Nusantara sama-sama untuk berdagang. Karena berbagai hal dan insiden, sejak permulaan, orang-orang Tionghoa ini menjadi mitra dagang Belanda, khususnya di bidang distribusi, tidak di bidang perdagangan perantara.
Dari kegiatannya mendistribusikan barang-barang dari kota ke penduduk-penduduk pribumi di desa, orang Tionghoa mendapatkan uang tembaga dari orang-orang di desa, yaitu uang kecil yang biasa untuk membeli barang-barang di desa. Mereka kemudian menjualnya ke VOC di kota. Inilah yang mempererat hubungan orang-orang Tionghoa dengan orang-orang Belanda.
Orang Tionghoa di Nusantara bukan suatu golongan yang homogen atau sama semuanya. Ada berbagai pengaruh dari pola imigrasi. Seperti orang Tionghoa yang berimigrasi ke Pulau Jawa, orang Tionghoa datang secara perorangan atau dalam kelompok-kelompok kecil. Oleh karena itu, interaksi dengan penduduk yang padat sekali, sedikit banyak terintegrasi di dalam masyarakat.
Di Sumatera Utara, etnis Tionghoa di datangkan per-komunitas seperti bedol desa dari Cina, dari kelompok-kelompok yang besar. Interaksi mereka dengan penduduk setempat juga sangat baik, karena penduduk setempat tidak begitu padat.
Di Kalimantan Barat, boleh dikatakan, bahwa orang-orang Tionghoa itu yang pribumi. Disana, pertama-tama Belanda berperang dengan Tionghoa. Ketika meluaskan daerah kolonialnya, Belanda tidak berperang dengan sultan-sultan atau suku-suku setempat, tetapi justru dengan orang Tionghoa. Di Indonesia Timur, kecuali di Sulawesi Selatan, pada umumnya boleh dikatakan tidak ada masalah Tionghoa. Di Manado, misalnya, antara penduduk setempat dan keturunan Tionghoa tidak ada perbedaan.
Hal lain yang juga mencolok adalah heterogenitas masyarakat Tionghoa itu sendiri: ada yang kaya, ada yang miskin, ada yang Islam, ada yang Katolik, ada yang Protestan, ada yang Budhis, dan sebagainya. Jadi, dapat dikatakan bahwa masyarakat Tionghoa ini hampir semajemuk masyarakat Indonesia. Mereka, sebenarnya juga berasal dari berbagai macam keturunan dan ras.
Peran Etnis Tionghoa Dalam Pergerakan Nasional Indonesia
Memang sebagai entitas masyarakat, masyarakat Tionghoa adalah masyarakat yang hidup di wilayah yang dapat dikatakan sebagai perantauan. Mereka ingin memaknai keberadaan mereka dengan sebagai perantauan. Mereka ingin memaknai keberadaan mereka dengan perkembangan zaman yang terus berubah.
Tampak betapa heterogennya mereka dalam merespon perkembangan di wilayah yang dijajah belanda, sementara di asal-usul tanah air nenek moyangnya (tiongkok) telah pula terjadi perkembangan politik yang pesat. Heterogenitas pemaknaan itu dapat dilihat dari munculnya ekspresi yang berbeda pada ranah sosial, dengan munculnya organisasi-organisasi, seperti Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) sejak 1900, Siang Hwee (1908), dan Soe Po Sia (1908).

Di dalam perkembangannya pada tahun 1918, gerakan pan-cina (pan-chinese movement), terbagi menjadi dua kelompok; golongan atau kelompok yang tetap berorientasi ke cina dan golongan yang berorientasi ke Hindia-Belanda.
Di zaman pergerakan yang mulai tumbuh sejak awal abad ke-20, orang-orang Tionghoa sebenarnya dapat dikatakan telah memberikan peranannya. Mereka mempengaruhi kebangkitan nasional, menjadi sahabat-sahabat tokoh-tokoh pergerakan, hingga membantu secara material pertemuan-pertemuan dan perkumpulan-perkumpulan yang diadakan oleh tokoh-tokoh organisasi yang sedang tumbuh.
Wahidin Sudirohusodo, salah satu pendiri Boedi Oetomo yang konon merupakan organisasi modern pertama yang didirikan oleh kaum pribumi, ternyata menjalin persahabatan yang hangat dengan orang-orang Tionghoa di Yogyakarta. Tempat praktiknya terletak ditengah-tengah daerah ketandan/pecinan Yogyakarta dr. Wahidin Sudirohusodo juga dikenal sebagai seorang mediator urusan rumah tangga yang baik.
Tak heran pada saat terjadi kerusuhan akibat aksi anti-Tionghoa di Solo pada 1913 yang dilakukan SI di Yogyakarta, keadaan tetap tenang. Bahkan, sarekat islam cabang Yogyakarta mementaskan suatu pertunjukan amal dengan perkumpulan drama Tionghoa, bok sie hwee, yang separuh hasilnya akan disumbangkan pada pengajaran netral pribumi dan organisasi pribumi lainnya.
Di Batavia, deklarasi Sarekat Islam setempat malah dilakukan di gedung THHK, dalam acara yang diorganisasi oleh organisasi Tionghoa. Dalam acara tersebut, masing-masing memberikan pidato dan harapannya akan hubungan yang lebih baik antara Indonesia-Tionghoa dimasa depan.
Hubungan Muhammadiyah dengan komunitas Tionghoa di Yogyakarta pada masa kolonial juga cukup baik. Organisasi Muhammadiyah sering mendapatkan bantuan dana dari Tionghoa di ngabean, daerah tempat muhammadiyah bermarkas sesudah terjadinya huru-hara di Kudus (1918).
Pada tahun selanjutnya, Muhammadiyah merangkul organisasi Tionghoa di Yogyakarta dan Insulinde (perkumpulan multi-ras dibawah pimpinan dr. Tjipto Mangunkusumo) unutk membentuk suatu front bersama untuk memajukan hubungan baik di antara ras yang berbeda. Pendiri perguruan taman siswa, Ki Hadjar Dewantara, adalah sahabat dekat dr. Yap Hong Tjoen (yang kemudian terkenal dengan RS mata yap di Yogyakarta).
Sewaktu tinggal di negeri Belanda, keduanya pernah bekerja sama dalam saatu majalah Het Indonesische Verbond van Studeeren (Perhimpunan Pelajar Indonesia) di tahun 1970-an, putra dr. Yap menyerahkan dokumentasi mengenai Ki Hadjar Dewantara kepada museum Taman Siswa di Yogyakarta sebagai tanda persahabatan orangtuanya.
Jadi, tidaklah benar apabila dikatakan bahwa orang Tionghoa adalah kalangan oportunis yang tak pernah punya rasa nasionalisme etnis Tionghoa di Indonesia dipengaruhi oleh munculnya pemikiran modern di tiongkok, tang dikenal dengan gerakan nasionalis di bawah pimpinan Sun Yat Sen. Pengaruhnya dari modernisasi cina tampak sekali pada organisasi THHK atau perkumpulan Tionghoa di Batavia oleh orang-orang Tionghoa berpendidikan barat.
Garis Nasionalis Tionghoa dapat dilihat dari terbitan Tionghoa, Sin Po, yang secara jelas mendukung nasionalisme politik Tionghoa. Mereka mendesak mesyarakat masyarakat Tionghoa di hindia belanda meninggalkan kekawulaan belanda dan menarik diri dari institusi-institusi politik lokal, tetapi secara aktif terlibat dalam politik tiongkok.
Kalangan nasionalis sin po tidak berhasrat bekerja sama dengan belanda. Mereka menginginkan kesetaraan dengan belanda di depan hukum. Bahkan, setelah zaman dinasti tiongkok runtuhan, orang-orang Tionghoa nasionalis semakin yakin bahwa republik adalah sistem pemerintahan terbaik yang harus dijalankan di Indonesia.
Meskipun Sin Po yang mewakili kelompok kedua berhaluan nasionalisme Tionghoa tidak berarti mereka mengabaikan perjuangan nasional Indonesia. Sin Po senantiasa menjalin hubungan yang baik dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia. Nasionalis Indonesia dan nasionalis Tionghoa pada masa itu belum memikirkan adanya peluang pertentangan kedua nasionalisme tersebut setelah Indonesia merdeka. Yang dipikirkan hanyalah bahwa mereka memiliki musuh yang sama, yaitu pemerintah kolonial Belanda.
Hubungan antara pers Cina dan nasionalisme Indonesia dapat dilihat melalui fungsi utama pers, yaitu sebagai media komunikasi massa. Pers Cina memberikan informasi yang jernih dan opini-opini dari tokoh terkemuka sehingga pemikirannya dapat tersebar secara luas dan dapat menjadi pegangan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah sosial yang ada.
Pers dalam hal ini dijadikan sebagai barometer perasaan kolektif dan menjadi wakil dari opini publik. Apa yang dirasakan masyarakat Cina peranakan yang tercermin melalui surat kabar dan terbitan lainnya secara tidak langsung mempengaruhi kesadaran bangsa Indonesia akan identitas bangsanya.
Semua hal yang yang dikatakan dan diperjuangkan oleh tokoh-tokoh Cina terkemuka seperti Tjou Bou San, Kwee Hing Tjiat, Kwee Tek Hoay, Liem Koen Hian, Kwee Kek Beng memberikan manfaat secara tidak langsung bagi bangsa Indonesia dalam memupuk kesadaran dan mendorong penemuan identitas dan martabat masyarakat Indonesia sebagai sebuah bangsa.
Sebenarnya peran Tionghoa nasionalis ini sudah dapat dilihat sejak tahun 1930-an. Tahun 1932 didirikan PTI (Partai Tionghoa Indonesia) yaitu golongan kaum peranakan yang pro-Indonesia. Bersamaan dengan berkembangnya kapitalisme di Eropa yang melahirkan paham liberalisme dan mendorong lahirnya politik etis di hindia belanda maka daratan tiongkok pun timbul kesadaran akan perlunya perubahan.
Pada tahun 1900, sementara kalangan pemerintahan hindia belanda selaras dengan politik etis, tumbuh kesadaran baru dan akhirnya diambil keputusan untuk menghapus pacht candu dan pacht pegadaian. Kemudian, dilakukan sejumlah percobaan mengadakan regie candu dan regie pegadaian yang dikuasai pemerintahan dan menghapus pacht jagal atau rumah pemotongan hewan. Keputusan ini dirasa sangat merugikan kepentingan ekonomi para opsir Tionghoa yang selama ini menikmati banyak keuntungan dari usaha ini.
Sementara itu, di Batavia, Bogor, Sukabumi dan kota-kota lain muncul gerakan yang disebut “kaum muda” atau ”jong chineesche”. Anggota gerakan ini terdiri dari orang-orang Tionghoa muda dan tua yang berpikiran maju, berkenan menumbuhkan dan menanamkan rasa Nasionalisme Tiongkok di kalangan orang Tionghoa di Hindia-Belanda.
Pada saat seperti inilah, beberapa orang tokoh peranakan Tionghoa mempuyai ide untuk mendirikan sebuah organisasi baru yang lain dari pada biasanya. Organisasi tersebut harus terbuka dan legal serta dikelola secara modern.
Organisasi yang akan didirikan ini harus berdasarkan peradaban dan kebudayaan Tionghoa dan terutama ajaran-ajaran Konghuchu. Karena selama ini mayarakat Tionghoa dianggap telah melupakan tradisi dan budaya Tionghoa terlebih-lebih ajaran Konghuchu yang selama lebih dari 2000 tahun menjadi pegangan orang Tionghoa. Masyarakat Tionghoa lebih mementingkan menghambur-hamburkan uang dalam melakukan upacara perkawinan dan kematian.
Dimulai dengan Jong Chineesche Beweging kemudian lahir Tionghoa Hwee Koan yang mendirikan sekolah-sekolah modern berbahasa Tionghoa (Tionghoa Hak Tong) di seluruh Hindia-Belanda. Tepatnya Pada tanggal 17 Maret 1900, bangsa Tionghoa di Hindia mendirikan perkumpulan Tiong Hwa Hwee Koan, dengan tujuan sebagai protes terhadap keputusan pemerintah tahun 1899 yang memberikan kedudukan bangsa Jepang sama dengan bangsa Eropa. Organisasi ini maju dengan pesatnya disertai dengan adanya dana yang penuh sehingga berhasil memajukan masyarakat Tionghoa yang ada di Jawa.
Berdirinya ratusan sekolah Tionghoa yang juga mengajakan kembali nilai-nilai budaya Tionghoa dengan cepat membangkitkan semangat nasionalisme Tiongkok dikalangan masyarakat Tionghoa. Ditambah lagi dengan terbitnya berbagai surat kabar melayu Tionghoa dan berkembangnnya pers Tionghoa peranakan yang memainkan peranan yang sangat penting dalam membakar semangat nasionalisme Tiongkok tersebut.
Pada 1907-1908, telah terbentuk Siang Hwee atau kamar dagang Tionghoa di berbagai kota di jawa. Walaupun Siang Hwee dibentuk oleh gabungan golongan peranakan dan totok, tetapi ternyata golongan totok berperan lebih besar dalam organisasi dagang ini. Juga pada 1907, T’ung-Meng Hui (Perhimpunan yang disumpah bersama, Partai Revolusioner dr. Sun Yat Sen) membentuk cabang di pintu kecil, Batavia. Cabang ini lalu mengubah namanya menjadi Chi-nan She (perkumpulan pengembara nanyang) dan mendirikan taman-taman bacaan atau Soe Po Sia dengan ketua pertamanya Wu Wei-kang yang bertujuan untuk menyebarkan doktrin-doktrin dan ajaran-ajaran revolusioner dr. Sun Yat Sen.
Buku-buku yang tersedia kebanyakan juga menggunakan bahasa Hakka atau Hokkian, sehingga hanya sedikit orang peranakan tionghooa yang turut berpartisipasi. Kalau THHK dipimpin oleh orang-orang peranakan Tionghoa maka organisasi lainnya seperti Siang Hwee, Soe Po Sia, Tung-Meng Hui dipimpin oleh orang–orang Tionghoa totok.
Pada tahun 1910 di Semarang, didirikan Hak Boe Tjong Hwee yang mendapatkan dukungan Tionghoa Hwee Koan di Batavia dan Surabaya. Tujuan Hak Boe Tjong Hwee adalah untuk memajukan Pendidikan dikalangan Masyarakat Tionghoa dengan membuat Program pendidikan bagi sekolah-sekolah THHK Dengan adanya sistem pendidikan yang baku dan buku-buku pelajaran yang seragam maka apabila seorang murid pindah dari satu sekolah THHK kesekolah THHK lainnnya tidak mengalami kesulitan. Juga perkumpulan ini bertujuan menyediakan guru-guru bagi sekolah-sekolah yang membutuhkan, yang kalau perlu didatangkan langsung dari tiongkok.
Salah satu latar belakang berdirinya berbagai gerakan pembaruan bagi orang tiongkok adalah timbulnya kesadaran dikalangan masyarakat Tionghoa akan perlunya pendidikan, persatuan, dan adanya organisasi yang dapat mengangkat kehidupan mereka. Selain itu pengaruh nasionalisme tiongkok terutama doktrin Pan-Asia dr. Sun Yat Sen yang sangat berpengaruh bagi masyarakat Tionghoa di perantauan.
Didalam perjalanannya sejak awal abad ke-20, pemerintah kolonial belanda menegaskan kebijakan politik segregasi dan diskriminasi melalui beberapa peraturan, misalnya diberlakukannya Staatsblad No.130 tahun 1917 tentang pencatatan sipil untuk golongan asia timur Tionghoa; kemudian disusul Staatsblad No. 75 tahun 1920 tentang pencatatan sipil untuk golongan pribumi beragama islam. Staatsblad No.75 tahun 1926 tentang pencatatan sipil terhadap golongan pribumi beragama kristen; dan regelment no 75 th 1933 tentang pencatatan sipil untuk golongan eropa.
Pemisahan atau penggolongan terhadap masyarakat hindia-belanda merupakan suatu politik pecah belah, yang memudahkan pemerintah belanda melakukan kontrol terhadap penduduk, mengalihkan isu penjajahan (fakta bahwa rakyat pribumi tertindas oleh kolonialisme), dan menjadi isu rasial pada sewaktu-waktu apabila dibutuhkan.
Terbukti hal ini berhasil banyak orang pribumi sebagai kelas terjajah yang kelak mengarahkan kebencian pada Tionghoa dan lupa pada penjajahan Belanda. Sebagai contoh ketika terjadi kerusuhan dijalanan antara Sarekat Dagang Islam (SDI) yang dulu masih bernama Rekso Rumekso dengan orang-orang Tionghoa. Sentimen anti-Cina ini secara tidak sadar terus dirasakan sampai sekarang ini.
Tionghoa memang merupakan kalangan yang lebih mampu menangkap peluang di bidang perdagangan mengingat jaingan mereka yang luas. Mereka banyak dibangkitkan pula oleh pendidikan untuk meningkatkan keberadaannya. Pemmbentukan THHK pada 1900 dan didirikannya sekolah-sekolah THHK diberbagai kota, menjadikan kekuatan Tionghoa tampak lebih siap untuk bersaing dalam modernisasi Hindia-Belanda.
Pers Cina Peranakan dan Nasionalisme Indonesia
Ide pergerakan nasional muncul sebagai antitesa terhadap politik kolonial Belanda. Keberadaan pers menjadi pendukung laju pergerakan nasional di Indonesia. Kehidupannya terus berkembang meskipun keberadaannya terus menerus diancam kebijakan pembredalan oleh pemerintah kolonial.
Ide pergerakan nasional muncul sebagai kekuatan historis masyarakat pribumi yang juga berpengaruh terhadap pers Cina peranakan. Aspek yang paling mudah dipertimbangkan dalam melihat hubungan pers Cina dengan nasionalisme Indonesia adalah aspek politik. Pers Cina peranakan dipergunakan oleh tokoh pergerakan untuk menyebarkan ide-ide perjuangan pergerakannya. Hal itu dilakukan dengan pertimbangan keamanan dan efektivitas pers Cina.
Pers Cina dianggap relatif aman karena posisinya yang netral, sedangkan pers pribumi lebih mudah terdeteksi dan akhirnya dibredel dan pemimpin atau penyumbang pemikirannya ditangkap dan diasingkan oleh pemerintah Belanda. Pandangan politis yang ditampilkan dalam pers Cina umumnya menunjukan pandangan para pemilik, staf redaksi dan pembaca langganan yang mendukung pers tersebut.
Secara garis besar spektrum politis pers Cina terbagi atas tiga kelompok besar. Kelompok pertama Pers Cina tampil sebagai wakil pers yang menerima penuh ideologi nasionalisme Indonesia. Kelompok ini tidak diragukan lagi peranannya dalam menyebarkan ide nasionalisme Indonesia, terutama dalam masyarakat Cina peranakan. Kelompok pertama ini diwakili oleh Sin Tit Po, yang menjadi corong setengah resmi dari PTI (Partai Tionghoa Indonesia).
Kelompok kedua dan ketiga, memilih netral dan tetap pada pendiriannya. Kelompok kedua memilih nasionalisme Cina daratan sebagai orientasi politik. Sementara kelompok ketiga bersikap konservatif mempertahankan identitas etniknya dan memilih berorientasi politik dengan lebih mendukung pemerintah kolonial Belanda. Kelompok kedua diwakili oleh surat kabar Sin Po yang menganut aliran nasionalisme Tionghoa. Kelompok ketiga diwakili oleh kabar Siang Po dan Pelita Tionghoa.
Meskipun Sin Po yang mewakili kelompok kedua berhaluan nasionalisme Tionghoa tidak berarti mereka mengabaikan perjuangan nasional Indonesia. Sin Po senantiasa menjalin hubungan yang baik dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia. Nasionalis Indonesia dan nasionalis Tionghoa pada masa itu belum memikirkan adanya peluang pertentangan kedua nasionalisme tersebut setelah Indonesia merdeka. Yang dipikirkan hanyalah bahwa mereka memiliki musuh yang sama, pemerintah kolonial Belanda.
Soekarno mengatakan pada Tjoe bahwa ia lebih menghargai orang Tionghoa yang menyokong pergerakan Indonesia tanpa menghiraukan bahaya, dibandingkan dengan mereka yang mau menjadi orang Indonesia akan tetapi semata-mata karena ingin mendapat keuntungan.
Hubungan antara pers Cina dan nasionalisme Indonesia dapat dilihat melalui fungsi utama pers, yaitu sebagai media komunikasi massa. Pers Cina memberikan informasi yang jernih dan opini-opini dari tokoh terkemuka sehingga pemikirannya dapat tersebar secara luas dan dapat menjadi pegangan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah sosial yang ada.
Pers dalam hal ini menjadi barometer perasaan kolektif dan menjadi wakil dari opini publik. Apa yang dirasakan masyarakat Cina peranakan yang tercermin melalui surat kabar dan terbitan lainnya secara tidak langsung mempengaruhi kesadaran bangsa Indonesia akan identitas bangsanya.
Semua hal yang yang dikatakan dan diperjuangkan oleh tokoh-tokoh Cina terkemuka seperti Tjou Bou San, Kwee Hing Tjiat, Kwee Tek Hoay, Liem Koen Hian, Kwee Kek Beng memberikan manfaat secara tidak langsung bagi bangsa Indonesia dalam memupuk kesadaran dan mendorong penemuan identitas dan martabat masyarakat Indonesia sebagai sebuah bangsa.
Tulisan-tulisan dalam pers Cina peranakan yang mendapat pengaruh dari gerakan nasioanalisme Tionghoa juga memiliki imbas terhadap bagian-bagian dari reaksi bangsa Indonesia terhadap pemerintah kolonial. Pada masa pergerakan nasional, pers nasional (pers pribumi) sering mengalami kesulitan yang disebabkan oleh pemerintah kolonial. Kehidupan pers terus menerus diancam kebijakan pembredelan dan delik pers.
Seperti yang pernah dialami surat kabar pribumi Doenia Bergerak, tiga buah artikel dalan DB yang bertemakan ketidakbenaran orde kolonial terkena persdelict (delik pers), dan pemimpinnya Mas Marco Kartodikromo harus menjalani hukuman penjara di kota Semarang selama 8 bulan. Dalam keadaan politik yang mengancam, keberadaan surat kabar Cina yang relatif aman menjadi salah satu sumber dan media penting dalam mengetahui dan mendorong laju pergerakan nasional.
Beberapa pers pribumi baik itu surat kabar maupun majalah pada awal perkembangannya menggunakan berbagai fasilitas yang dimiliki orang-orang Cina dalam perusahaan penerbitannya, seperti percetakan, permodalan,dan tenaga ahli editorial. Majalah Darmo Kondo milik Budi Utomo yang terbit di Surakarta pada awalnya dimiliki dan dicetak oleh Tan Tjoe Kwan, sedangkan redaksinya dipimpin oleh Tjhie Siang Ling yang mahir dalam kasustraan Jawa.
Beberapa surat kabar lain yang juga bekerja sama dengan modal Cina antara lain surat kabar Kebangoenan yang diterbitkan di Jakarta dicetak dipercetakan Siang Po dan memuat artikel-artikel bersamaan dengan Siang Po sekurang-kurangnya pada periode awal.
Bentuk kerja sama lainnya adalah dipekerjakannya wartawan-wartawan Indonesia dibeberapa surat kabar Cina peranakan.Orang-orang seperti Saeroen, W.R Soepratman, D. Koesoemaningrat, Bintarti, Sudarjo Tjokrosisworo, dan J.D Syaranamual merupakan wartawan-wartawan Indonesia yang bekerja diberbagai surat kabar Cina peranakan. Disamping memperoleh imbalan ekonomis dari pekerjaannya, mereka juga mempelajari teknik pengelolaan surat kabar Cina yang kemudian mereka terapkan pada pers nasional atau pers pribumi.
Kemampuan finansial tinggi pers Cina mampu membayar koresponden dan staf ahli yang tinggal di luar negeri. Perolehan berita-berita luar negeri baik menyangkut informasi mancanegara maupun tentang Indonesia sendiri kemudian dikutip kembali oleh surat kabar pribumi. Kerja sama seperti itu merupakan hal yang luar biasa pada masa itu mengingat biaya penggunaan jasa telekomunikasi sangat tinggi sehingga hanya surat kabar tertentu yang mampu menggunakan jasa informasi tersebut.
Kesimpulannya Pers Cina dengan didukung oleh kelengkapan produksi yang memadai muncul sebagai kekuatan penting dalam panggung kehidupan jurnalistik di Indonesia. Pers Cina memiliki perusahaan percetakan sendiri,modal dan dukungan finansial yang kuat. Dengan berbagai kelebihan yang dimiliki tersebut, pers Cina mampu memberikan warna tersendiri bagi dinamika perekembangan jurnalisme di Indonesia.
Keberadaan pers Cina tidak dapat dipisahkan dari dinamika kehidupan masyarakat dan sejarah pers Indonesia. Pertumbuhan pers Cina yang bersamaan dengan bangkitnya semangat nasionalisme Indonesia memiliki titik persinggungan dalam beberapa tempat. Keberadaan pers Cina memberikan nilai positif bagi perkembangan nasionalisme di Indonesia. Pers Cina banyak berperan sebagai partner bagi tokoh pergerakan dalam menyebarkan ide-ide, pemikiran serta informasi.
Hubungan pers Cina dan gerakan nasionalisme Indonesia setidaknya dapat dilacak dalam tiga aspek, yakni relasi sosial-politik, relasi psiko kultural dan relasi ekonomis. Relasi sosial-politik terutama dilihat dari peran Pers Cina dalam hubungannya dengan tokoh pergerakan. Pers Cina berperan sebagai mitra perjuangan, yakni sebagai media alternatif bagi pergerakan nasional.
Hubungan psiko-kultural diperlihatkan dengan fungsi pers sebagai media komunikasi massa. Pers Cina melalui pemberitaannya tentang berbagai peristiwa di Indonesia secara tidak langsung menyadarkan masyarakat Indonesia akan identitas sebagai bangsa Dari segi ekonomi, pers Cina dengan dukungan permodalan yang memadai membantu terpeliharanya eksistensi beberapa pers pribumi. Selain itu organisasi-organisasi nasionalis Tionghoa merupakan organisasi yang secara tidak langsung membantu dalam pergerakan nasional Indonesia dalam melawan kekuatan belanda.
Daftar Bacaan
- Carey, Peter. 2008. Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa: Perubahan Persepsi tentang Cina 1755-1825. Depok: Komunitas Bambu.
- Rustopo. 2008. Jawa Sejati: Otobiografi Go Tik Swan. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
- Muljana, Slamet. 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKiS.
- Suryadinata, Leo. 2010. Etnis Tionghoa dan Nasionalisme di Indonesia. Jakarta: Kompas.