Perang Iran-Irak adalah konflik yang terjadi di daerah Timur-Tengah setelah Perang Dunia II yang dimulai pada 22 September 1980 dan berakhir 20 Agustus 1988. Perang Iran-Irak ini bermula ketika pasukan Irak melakukan penerobosan terhadap daerah perbatasan Iran pada 22 September 1980. Hal ini dilakukan oleh adanya permasalahan yang berlarut-larut antara kedua negara dan juga kekhawatiran Saddam Husein atas perlawanan syiah yang dibawa oleh Ayatollah Ruhollah Khomeini dalam Revolusi Iran (1978-1979).
Di dalam penyerangan yang dilakukan pada 22 September 1980 Irak tidak mengeluarkan pernyataan perang sebelumnya. Namun, tentara Irak gagal dalam misinya dan berhasil dipukul mundur. Setelah peristiwa penyerangan 22 September 1980 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah meminta adanya genjatan senjata antara kedua belah pihak, namun pertempuran tetap berlanjut sampai tanggal 20 Agustus 1988.
Latar Belakang Perang Iran-Irak
Sebagaimana diketahui bahwa daerah Timur Tengah yang sejak dahulu merupakan daerah yang kaya akan hasil sumber daya energy terutama sumber daya minyak bumi yang merupakan sumber utama energi dunia. Ketika terjadi fluktuasi harga minyak dunia sejak akhir tahun 1970-an kondisi ini sangat mempengaruhi perkembangan ekonomi global. Hal ini juga sejalan dengan kertergantungan dunia atas minyak bumi sebagai sumber energi masih sangat besar. Fluktuasi harga minyak terjadi diakibatkan oleh faktor fundamental yang meliputi permintaan, pasokan, stok minyak, kapasitas produksi, cadangan dunia, dan kemampuan kilang minyak dunia. Di sisi lain fluktuasi ini juga dipengaruhi oleh faktor non-fundamental seperti geopoltik, kebijakan pemerintah, cuaca, bencana alam, pemogokan, kerusakan instalasi rantai produksi, pelemahan nilai dollar, dan spekulasi.
Fluktuasi harga minyak ini secara langsung juga telah menyebabkan krisis di Timur Tengah. Ketidakstabilan politik kawasan Timur Tengah pasca Perang Dunia 2 juga berimplikasi pada perdangangan dan mempengaruhi presentase kenaikan harga minyak dunia. Ketidakstabilan itu dimulai dari Krisis Suez 1956-1957, embargo minyak pada saat Perang Arab – Israel tahun 1973- 1974 dan Revolusi Iran 1978 -1979. Revolusi Iran (1978-1979) menjadikannya sebagai peristiwa terpenting bagi Iran di mana Dinasti Pahlevi yang dianggap sebagai rezim boneka Amerika Serikat berhasil ditumbangkan dan digantikan oleh sistem Republik Islam. Pasca revolusi tersebut, muncul kekhawatiran di kalangan nasionalis Arab dan muslim Sunni bahwa revolusi itu akan menyebar ke negara-negara Arab di sekitarnya. Kekhawatiran terbesar terutama datang dari Irak yang wilayahnya berbatasan langsung dengan Iran dan memiliki penganut syi’ah berjumlah besar di wilayahnya.
Ayatollah Ruhollah Khomeini, pemimpin Revolusi Iran memiliki keinginan untuk menyebarkan pengaruh Revolusi Iran ke negara-negara Arab lainnya. Pada pertengahan tahun 1980, Ayatollah Ruhollah Khomeini menyebut bahwa pemerintahan sekuler Irak adalah pemerintahan “boneka setan” dan masyarakat muslim di Irak sebaiknya bersatu untuk mewujudkan revolusi Islam seperti yang terjadi di Iran.
Pernyataan yang dilontarkan oleh Ayatullah Ruhollah Khomeini tersebut sekaligus sebagai respon dari pernyataan yang dikeluarkan oleh Saddam Husein pasca Revolusi Iran yang menyatakan bahwa Bangsa Persia (Iran) tidak akan pernah berhasil membalas dendam kepada Bangsa Arab sejak Pertempuran al-Qadisiyyah, yaitu pertempuran yang terjadi pada abad ke-7 dan dimenangkan oleh Bangsa Arab. Kemenangan ini juga sekaligus menumbangkan Kerajaan Persia Kuno.
Perlu diketahui ketika Irak berada di bawah kendali Saddam Hussein dan Partai Baath juga memiliki ambisi untuk menjadi kekuatan dominan di wilayah Arab di bawah bendera pan-Arabisme sejak meninggalnya Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasser. Revolusi Islam yang terjadi di Iran tersebut dianggap sebagai penghalang bagi ambisi Saddam Husein. Sebab Revolusi Islam di Iran bertentangan dengan prinsip nasionalisme sekuler Arab yang dianut oleh Irak.
Selain untuk mencegah menyebarnya Revolusi Islam di Iran, Irak juga berusaha mengambil keuntungan dengan memanfaatkan kondisi internal Iran yang tidak stabil pasca-revolusi untuk merebut wilayah yang menjadi sengketa antara Irak dengan Iran. Dengan demikian diharapkan apabila berhasil merebut wilayah yang disengketakan dapat menambah sumber minyak Irak.Ketegangan yang terjadi antara Irak dan Iran telah terjadi sejak lama. Ketegangan antara kedua negara disebabkan oleh pelbagai hal;
- Antara Bangsa Arab dan Bangsa Parsi selalu ada persaingan dan ketegangan di mana Bangsa Arab maupun Bangsa Parsi tidak dapat menerima keunggulan atau dominasi antara satu dengan yang lain.
- Masalah minoritas etnis terutama yang nampak pada zaman Syah Iran di mana Syah Iran mendukung perjuangan otonomi suku Kurdi di Irak, sedangkan Irak mendukung minoritas Arab di Iran yang memperjuangan kebebasan yang lebih besar atau bahkan menuju pada gagasan tentang pemisahan.
- Perbedaan orientasi politik luar negeri. Sebelum terjadinya Revolusi Iran (1978-1979) orientasi politik luar negeri Irak adalah pro-Uni Soviet, sedangkan Iran adalah pro-Barat. Ketegangan itu meruncing sebab disadari bahwa pada saat itu telah terjadi ketegangan pula antara Uni Soviet dan Barat yang terutama diwakili oleh Amerika Serikat. Sehingga tidaklah mengherankan bahwa orientasi politik luar negeri juga semakin memperuncing ketegangan antara Irak dan Iran.
- Masalah sengketa wilayah, yaitu Irak mengklaim kembali beberapa daerah Arab yang direbut dan dikuasai sebelumnya oleh Iran.
Ketegangan antara Irak-Iran sempat mereda ketika disepakatinya Perjanjian Algiers pada tahun 1975. Berdasarkan Perjanjian Algiers dinyatakan bahwa Iran akan menghentikan dukungannya pada pemberontakan suku Kurdi di Irak dan perbatasan Shatt al-Arab digeser ke tepi Timur ke tengah perairan. Irak sebenarnya kurang senang dengan penetapan perbatasan tersebut, tetapi tidak dapat menolaknya karena pada waktu itu Iran merupakan kekuatan yang dominan di kawasan Timur Tengah dan Irak sedang menghadapi pemberontakan suku Kurdi yang didukung oleh Iran.
Di dalam perkembangannya, sengketa antara Irak dan Iran muncul kembali setelah Ayatollah Ruhollah Khomeini berkuasa setelah berhasil menggulingkan Dinasti Pahlevi. Ketegangan yang terjadi antara Irak-Iran setelah berkuasanya Ayatullah Ruhollah Khomeini dilatari oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut:
- Ketika Irak berada di bawah pemerintahan Saddam Husein, Saddam Hussein ingin mengembalikan daerah yang pernah dikuasai oleh Kerajaan Babilonia di masa lampau. Menurut sejarah, Irak merupakan pewaris dari Kerajaan Babylonia. Untuk mencapai cita-cita dan ambisinya serta klaimnya itulah, Irak melancarkan serangan ke Iran sehingga meletuslah Perang antara Irak dengan Iran.
- Perbedaan aliran antara kedua negara yaitu aliran Syi’ah (Iran) dan Sunni (Irak). Orang Syi’ah di Iran mengajak orang-orang Syi’ah di Irak untuk memberontak menumbangkan pemerintahan Saddam Hussein, sebab Saddam Hussen dianggap sebagai pemimpin yang anti-Islam.
- Adanya kekhawatiran Saddam Hussein atas perlawan Syi’ah yang dibawa oleh Ayatollah Ruhollah Khomeini dalam Revolusi Iran (1978-1979).
- Adanya ambisi Sadam Hussein untuk tampil sebagai orang nomor satu dan dihormati didunia Arab.
- Percobaan pembunuhan terhadap pejabat Irak, yaitu Deputi Perdana Menteri Irak Tariq Aziz melalui serangan granat yang terjadi pada 1 April 1980.
- Menanggapi kejadian 1 April 1980 Irak segera bertindak dan menangkap sejumlah orang yang dianggap telah terlibat dalam peristiwa ini. Irak beranggapan bahwa agen Iran-lah yang terlibat. Saddam Hussein juga mendeportasi ribuan warga Syi’ah berdarah Iran keluar dari Irak.
- Saddam Hussein menuntut pengembalian tiga pulau kecil di Selat Hormuz yang dikuasai Iran sejak tahun 1971. Sedangkan pada 9-10 April 1980, Menteri Luar Negeri Iran Sadegh Ghotbzadeh menanggapi tuntutan dan tindakan Saddam Hussein itu dengan berjanji akan menjatuhkan rezim Saddam Hussein dan Baath di Baghdad. Tanggapan Sadegh Ghotbzadeh diiringi dengan pemutusan hubungan diplomatik dengan Irak. Menanggapi pemutusan hubungan diplomatic oleh Iran, Irak secara sepihak membatalkan Perjanjian Algiers (1975) yang telah disepakati dengan Iran. Pembatalan Perjanjian Algiers ini terjadi pada tanggal 22 September 1980 yang bertepatan dengan penyerbuan Irak terhadap daerah perbatasan Iran.
- Pasukan Irak melakukan penyerbuan terhadap perbatasan Iran pada tanggal 22 September 1980 dikarenakan masalah sengketa wilayah yang berlarut-larut antara kedua negara.
Persoalan pokok dalam Perang Iran-Irak adalah tujuan dari kedua negara dalam peperangan ini. Seperti apa yang telah dilontarkan oleh Menteri Pertahanan Irak, Adnan Khairallah bahwa Irak memulai peperangan mencapai tiga tuntutan pokok yang tidak dapat dicapainya dengan cara lain. Pertama, Irak menuntut kedaulatan atas seluruh Shatt al-Arab. Menurut Perjanjian Algiers tahun 1975 perbatasan ditetapkan di tengah perairan dan navigasi akan diatur bersama. Kedua, ketiga pulau kecil di Selat Hormuz yang diduduki Iran sejak 1971 harus dikembalikan kepada kedaulatan Arab. Ketiga, Iran harus melindungi hak-hak minoritas Arab di propinsi Khuzestan yang oleh pihak Arab disebut Arabistan, sebab mayoritas penduduknya adalah Bangsa Arab. Secara umum Perang Iran-Irak bagi Irak adalah untuk menjatuhkan rezim Khomeini.
Jalannya Perang Iran-Irak (1980-1988)
Jalannya Perang Iran-Irak ini terbagi dalam beberapa periode antara lain sebagai berikut :
Periode Tahun 1980-1982
Terdapat dua objek yang menjadi sasaran Irak dalam serangannya ke Iran yaitu:
- Menguasai wilayah-wilayah strategis serta kaya minyak di Iran.
- Mencegah tersebarnya revolusi Islam di wilayah tersebut.
Dalam serangannya, Irak menginginkan kemenangan cepat atas Iran dengan memanfaatkan situasi internal Iran yang masih belum stabil pasca-revolusi. Irak berharap bahwa masyarakat di Iran akan menyalahkan pemerintahan baru Iran dan kemudian sebagian dari mereka terutama dari golongan Arab Sunni akan membelot kepada Irak.
Pada tanggal 22 September 1980, jet-jet tempur Irak menyerang 10 pangkalan udara milik Iran dengan tujuan menghancurkan pesawat tempur Iran di darat. Serangan dari pasukan udara Irak berhasil menghancurkan gudang amunisi serta jalur transportasi darat dan amunisi-amunisi Iran. Namun dalam penyerangan itu, sebagian besar pesawat Iran tetap utuh karena terlindung dalam hangar-hanggar yang terproteksi khusus. Kegagalan Irak menghancurkan pesawat-pesawat tempur Iran dalam serangan kejutan tersebut memberi kesempatan bagi Iran untuk melancarkan serangan udara balasan ke Irak.
Pada tanggal 23 september 1980, Irak melakukan serangan darat ke wilayah Iran dari 3 front sekaligus. Inti dari serangan tersebut adalah untuk menguasai Khuzestan dan Shatt al-Arab dimana 4 dari 6 divisi pasukan Irak dalam penyerbuan dikirim untuk menguasai kedua wilayah tersebut. Sisanya dipecah menjadi 2 untuk menguasai front utara (Qasr-e Shirin) dan front tengah (Mehran) untuk mengantisipasi serangan balik yang mungkin dilakukan oleh Iran. Hasilnya, usai serangan mendadak itu Irak berhasil menguasai wilayah Iran seluas 1.000 km persegi.

Pada awal bulan November 1980, pasukan Irak melancarkan serangan ke dua kota penting yang strategis di daerah Iran selatan, Shabadan dan Khorramshahr. Di dalam penyerbuannya, pasukan Irak mendapat perlawanan sengit dari pasukan Islamic Revolution Guard Corps (IRGC) atau pasukan garda Revolusi Iran. Kedua kota tersebut akhirnya berhasil dikuasai Irak pada tanggal 10 November 1980.
Kemenangan-kemenangan pada periode tahun 1980 ini telah menunjukkan kesiapan yang dilakukan Irak dalam proses penyerangannya terhadap Iran. Kemenangan-kemenangan ini pun secara tidak langsung juga membangkitkan semangat tentara Irak.
Iran yang tertekan selama pertempuran yang terjadi pada tahun 1980, di awal tahun 1981 berusaha melakukan serangan balasan kepada Irak, namun serangan ini menemui kegagalan karena presiden Iran, Bani Sadr dengan nekat memimpin langsung pasukan reguler Iran meskipun dirinya hanya memiliki pengetahuan militer yang sangat minim. Bani Sadr mengirimkan 3 resimen pasukan reguler tanpa didukung oleh IRGC. Akibatnya, pasukan Iran dikepung pasukan Irak dan banyak dari kendaraan lapis baja Iran yang hancur.
Pesawat-pesawat F-4 milik Iran melakukan serangan ke wilayah Irak dan efektif berhasil melumpuhkan sejumlah titik penting di wilayah Irak. Keberhasilan tersebut membuat pasukan udara Iran terlihat lebih superior dibanding pasukan udara Irak. Namun, kurangnya amunisi dan suku cadang yang hanya bisa didapatkan dari Amerika Serikat, mantan sekutu Iran yang berbalik memusuhi mereka pasca revolusi Islam membuat Iran lebih banyak memakai helikopter yang dipasangi persenjataan darat sebagai pendukung dari udara.
Periode Tahun 1982-1984
Memasuki tahun 1982-1984 merupakan titik balik bagi kemunduran tentara Irak dan di sisi lain kemenangan bagi tentara Iran. Hal ini terjadi karena Iran tidak tinggal diam dan segera melakukan serangan dengan berbagai Operasi Militer. Pada bulan Maret 1982, dalam operasi militernya di bawah kode sandi Operation Undeniable Victory. Dalam operasi militer ini, pasukan gabungan Iran berhasil menembus garis depan pasukan Irak yang sebelumnya dianggap tidak dapat ditembus dan memecah pasukan Irak di utara dan selatan Khuzestan sehingga pasukan Irak terpaksa harus mundur. Hasil dari operasi ini antara lain sebagai berikut:
- Bulan Mei 1982, Iran berhasil merebut kembali wilayah Khorramshahr. Dalam pertempuran di wilayah tersebut, Irak kehilangan 7.000 tentara, sementara Iran 10.000 sehingga menjadikan pertempuran itu sebagai salah satu pertempuran paling berdarah dalam inisiatif serangan balik Iran.Â
- Sejak kemengangan tersebut, Iran berganti menjadi pihak yang menekan Irak dan pada bulan Juni 1982 berhasil mendapatkan kembali seluruh wilayahnya yang sebelumnya dikuasai oleh Irak.
- Saddam Hussein yang melihat bahwa moral tentara Irak sudah terlanjur runtuh akibat serangkaian kekalahan melawan Iran pun menyatakan akan segera menarik seluruh pasukannya dari Iran dan menawarkan gencatan senjata kepada Iran. Tawaran gencatan senjata itu mencakup pembayaran ganti rugi perang sebesar 70 juta dollar Amerika Serikat oleh negara-negara Arab.
Iran menolak tawaran gencatan senjata tersebut dan menyatakan bahwa mereka akan menyerbu Irak dan tidak akan berhenti sampai rezim yang berkuasa di Irak digantikan oleh rezim pemerintahan republik Islam. Sebab apabila Saddam Hussein tetap menjadi Presiden Irak, maka tujuan perang ini akan menjadi sia-sia sedangkan telah banyak warga sipil yang telah gugur.
Pada bulan Juli 1982, Iran melancarkan serangannya ke kota Basra, Irak, di bawah kode sandi Operation Ramadan. Dalam serangan tersebut, puluhan ribu anggota Basij dan Pasdaran mengorbankan diri mereka dengan berlari melewati ladang ranjau untuk memberi jalan bagi tank-tank di belakangnya di mana selain menghadapi bahaya ranjau, mereka juga dihujani tembakan artileri pasukan Irak.
Irak berhasil mencegah Iran bergerak lebih jauh berkat ketangguhan persenjataannya di garis pertahanan, namun Irak juga harus kehilangan jumlah kecil wilayah yang berhasil dikuasai Iran. Keberhasilan Iran memukul balik Irak dan berbalik menjadi menjadi negara penyerbu membawa kekhawatiran tersendiri bagi Amerika Serikat. Amerika Serikat segera memutuskan untuk membantu Irak sejak tahun 1982.
Presiden Amerika Serikat, Ronald Reagan menyatakan bahwa Amerika Serikat akan berusaha dengan cara apapun untuk mencegah kekalahan Irak. Bantuan Amerika Serikat beserta negara-negara sekutunya ke Irak yang diketahui mencakup bantuan teknologi, alutsista dan intelijen.
Dukungan Irak datang juga dari Uni Soviet dan Liga Arab karena keberpihakan terang-terangan Amerika Serikat ke Irak, maka cukup mengejutkan ketika Amerika Serikat diketahui juga membantu Iran dengan jalan menjual persenjataan ke Iran secara diam-diam. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah dominasi dari pihak pemenang di kawasan tersebut.
Iran melakukan tiga penyerbuan besar yang disusul dua penyerbuan lainnya sepanjang tahun 1983 dengan mengerahkan ratusan ribu personil tentaranya. Iran sempat berhasil menembus garis pertahanan Irak, namun Irak berhasil memukul balik Iran dengan melakukan serangan udara mendadak secara besar-besaran. Hingga akhir tahun 1983, tercatat 120.000 personil Iran dan 60.000 personil Irak tewas dalam peperangan.
Pada awal bulan Februari 1984, Iran menggelar Operation Dawn 5 dan 6 yang ditargetkan ke kota Kut al-Amara dengan tujuan memotong jalur perairan yang menghubungkan kota Baghdad dan Basra. Dalam kedua operasi militer itu, Iran mengerahkan 500.000 personil Basij dan Pasdaran. Pertempuran dalam Operation Dawn menunjukkan bahwa Iran memiliki keunggulan dalam jumlah tentara tapi kekurangan alutsista pendukung semacam pasukan udara dan artileri, sementara Irak kalah jauh dalam hal jumlah tentara tapi unggul dalam hal alutsista.
Periode antara tanggal 29 Februari hingga 1 Maret merupakan salah satu episode pertempuran terbesar dalam Perang Iran-Irak di mana dalam pertempuran itu, masing-masing pihak kehilangan 20.000 tentaranya. Memasuki akhir bulan Februari hingga Maret 1984 Iran melakukan serangan di bawah kode Operation Kheibar dengan memakai sejumlah serangan pendobrak ke Kota Basra. Agresi militer tersebut berujung keberhasilan pasukan Iran merebut Pulau Majnun yang kaya minyak. Irak sempat melancarkan serangan balik untuk merebut wilayah tersebut termasuk memakai senjata kimia.
Senjata kimia ini didapatkan oleh Saddam Hussein setelah mendapatkan bantuan dari negara-negara Barat. Negara-negara Barat memberikan bantuan lebih dari 18.000 ton bahan kimia untuk digunakan dalam berbagai jenis bom, rudal dan peluru artileri. Meskipun dengan serangan senjata kimia oleh pasukan Irak, pasukan Iran tetap berhasil mempertahankan pulau tersebut hingga menjelang berakhirnya perang.
Walaupun berada pada posisi tertekan, pada tahun 1985 Irak masih sempat melakukan penyerbuan balik ke Iran dengan menyerang Teheran dan kota-kota penting di Iran lainnya usai mendapatkan bantuan finansial dari negara-negara Arab sekutunya dan bantuan alutsista terbaru dari Uni Soviet, Cina, dan Perancis. Serangan Irak tersebut tidak membawa perubahan yang signifikan dalam arah peperangan dan sekalipun wilayahnya diserang, di tahun itu Iran tetap melakukan penyerbuan ke wilayah Irak dalam Operation Badr.
Periode Tahun 1984-1988
Pada awal tahun 1984, Irak yang baru mendapat bantuan pesawat tempur Super Etentard terbaru dari Prancis segera melakukan operasi militer di laut mulai dari muara Shatt el-Arab hingga pelabuhan Iran di Bushehr. Target dari operasi militer tersebut adalah semua kapal yang bukan berbendera Irak di wilayah operasi militer, baik itu kapal berbendera Iran maupun kapal netral yang dari atau menuju Teheran.
Tujuan dari penyerangan Irak ini adalah untuk memblokade ekpsor minyak Iran dan dapat mempengaruhi ekonomi Iran sehingga Iran mau berunding dengan Irak. Kebijakan militer Irak tersebut lalu mengawali babak baru dalam perang yang dikenal sebagai Perang Tanker.
Pada bulan Maret 1984 Irak menyerang kapal berbendera Yunani di sebelah selatan Kepulauan Khark. Iran lantas membalasnya dengan menyerang kapal-kapal berbendera Kuwait di dekat Bahrain dan di perairan Arab Saudi. Tindakan ini sekaligus memberi peringatan bahwa jika Irak tetap nekat melanjutkan perang tanker, tak akan ada kapal milik negara-negara Teluk yang selamat. Suatu ancaman yang dampaknya tidak ringan karena berpotensi melumpuhkan aktivitas pengangkutan minyak mentah di kawasan tersebut.
Upaya Irak untuk memblokade jalur transportasi minyak Iran gagal melumpuhkan ekonomi Iran karena ketika Irak memblokade kawasan teluk, Iran hanya memindahkan pelabuhannya ke Kepulauan Larakdi dekat Hormuz sehingga aktivitas ekspor minyaknya relatif tidak terganggu. Di lain pihak, justru Irak yang perekonomiannya terancam setelah Suriah, sekutu Iran saat itu, memblokade pipa minyak Irak ke Mediterania sejak tahun 1982. Sebagai antisipasinya, Irak mengalihkan aktivitas ekspor minyaknya lewat Kuwait dan jalur pipa minyak baru dibangun melewati Laut Merah serta Turki.
Pada bulan Februari 1985, Irak mengklaim telah menghancurkan 30 tank minyak milik Iran dalam tempo 3 minggu. Pada akhir 1985, Irak menyerang 22 kapal yang melintas di teluk dan Iran menyerang sebanyak 14 kapal. Mei 1986, terkait serangan udara yang diluncurkan Irak pada kilang minyak di Teheran dan Isfahan, Iran mulai mengimpor produk minyak sulingan. Selama tahun 1986, Irak sudah menyerang 66 kapal di Teluk –dua kali lipatnya total dibandingkan tahun 1985, dan Iran sebanyak 41 kapal –hampir tiga kali lipatnya angka pada tahun sebelumnya.
Periode Tahun 1987-1988
Situasi dari perang Tanker antara Irak dan Iran semakin membabi buta karena ikut menargetkan kapal-kapal tanker dari negara-negara yang netral membuat Kuwait meminta bantuan pihak internasional pada tahun 1986. Uni Soviet adalah negara pertama yang merespon dengan mengirimkan kapal-kapal perangnya untuk mengawal kapal tanker Kuwait. Kebijakan Uni Soviet lalu diikuti oleh Amerika Serikat tahun 1987 yang sebenarnya sudah didekati Kuwait terlebih dahulu.
Faktor pendorong utama ikut campurnya Amerika Serikat dalam Perang Teluk 1 (Perang Irak-Iran) sebenarnya disebabkan karena kapal perangnya ditenggelamkan oleh pesawat tempur Irak sehingga 13 awak kapalnya meninggal. Irak meminta maaf kepada Amerika Serikat sambil mengatakan bahwa itu adalah kecelakaan dan permintaan maaf Irak diterima oleh Amerika Serikat. Sesudah insiden itu Amerika Serikat justru menyalahkan Iran dengan alasan Iran-lah yang menyebabkan peperangan semakin berkobar. Tuduhan Amerika Serikat lalu diikuti tindakan Amerika Serikat mengirim armada lautnya untuk mengawal kapal-kapal tanker milik Kuwait yang mengibarkan bendera Amerika Serikat.
Tujuan utama Amerika Serikat dalam penerjunan armada lautnya di sekitar Teluk adalah untuk mengisolasi Iran dan menjaga agar kapal-kapal bebas berlayar di sana. Amerika Serikat baru melancarkan serangan langsung ke Iran dengan menghancurkan kilang minyak Iran di ladang minyak Rostam setelah pasukan Iran menenggelamkan kapal tanker Kuwait berbendera Amerika Serikat, Sea Isle City. Setahun kemudian, tepatnya pada bulan April 1988, Amerika Serikat kembali menyerang kilang minyak dan kapal-kapal perang Iran setelah kapal perangnya, USS Samuel B. Roberts, tenggelam akibat ranjau laut Iran.
Periode Tahun 1988
Pada tahun 1988, arah pertempuran mulai kembali ke arah Irak di mana Irak berhasil meraih beberapa kemenangan penting atas Iran. Dalam pertempuran pada kurun waktu tersebut, Irak juga berhasil merebut sejumlah besar alutsista milik Iran dan menguasai kembali Semenanjung Al-Faw serta Kepulauan Majnun yang kaya minyak. Perang berakhir setelah Iran menerima Resolusi Dewan Keamanan PBB 598 dan secara resmi mengakhiri perang yang sudah terjadi selama 8 tahun pada tanggal 20 Agustus 1988.
Upaya-Upaya Yang Ditempuh Dalam Menghentikan Perang Iran-Irak
Setelah sidang Dewan Keamanan PBB pada tanggal 28 September 1980 di New York telah meminta kepada kedua belah pihak menghentikan peperangan dan permasalahan kedua belah pihak diselesaikan di meja perundingan. Mereka meminta Irak mundur dari tempat-tempat yang diduduki di Iran. Tetapi kedua belah pihak menolak tawaran tersebut.
Penyelesaian Perang Iran-Irak, Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan Resolusi No. 598 pada tanggal 20 Juli 1987. Resolusi ini berisi usulan untuk dilakukannya genjatan senjata antara Irak dan Iran. Namun Irak dan Iran menolak usulan tersebut.
Pada akhir Juli 1988, Iran menyatakan kesediaanya untuk menerima usul genjatan senjata dan diberrlakukannya kembali perjanjian Algier seperti yang tercantum dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 598. Iran mendapat kompensasi dari Irak sebesar 150 juta dolar Amerika Serikat pertahun.
Akhir Perang Iran-Irak
Upaya mengakhiri perang antara Irak dan Iran ini telah berlangsung sejak awal terjadinya pertempuran antara kedua negara. Dewan Keamanan PBB merupakan pihak yang paling gencar mengupayakan perdamaian untuk kedua belah pihak. Pada tanggal 28 September 1980, dikeluarkanlah Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 479. Resolusi tersebut menghendaki kedua belah oihak untuk menghentikan perang dan menyelesaikan permasalahan di meja perundingan.
Meskipun demikian, Iran menolak resolusi tersebut karena Irak enggan menarik pasukannya dari wilayah Iran. Beberapa resolusi kemudian dikeluarkan antara tahun 1982-1983, namun seluruh resolusi tersebut ditolak oleh Iran dengan alasan yang sama.
Dewan Keamanan PBB tidak berhenti dalam upaya mengakhiri Perang Iran-Irak. Perang Iran-Irak telah memberikan kerugian yang besar terutama kepada penduduk sipil. Sejumlah serangan militer yang ditujukan ke berbagai kota membuat banyak rakyat sipil mengalami luka-luka maupun tewas terbunuh. Selain itu isu digunakannya senjata kimia oleh Irak membuat Dewan Keamanan PBB mengupayakan penyelesaian perang. Dewan Keamanan PBB terus berupaya membujuk kedua belah pihak untuk menghentikan pertempuran.
Pada tanggal 24 Februari 1986, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi nomor 582 yang berisi tentang perintah gencatan senjata serta penarikan pasukan dari kedua belah pihak. Iran sekali lagi menolak resolusi tersebut dengan alasan bahwa Irak telah melakukan agresi terhadap wilayah mereka sehingga upaya perdamaian sekali lagi gagal menemui titik temu.
Penolakan Iran untuk menerima resolusi PBB akhirnya membuat Amerika Serikat turun tangan untuk menyelesaikan konflik. Amerika Serikat melakukan cara yang bisa dibilang licik untuk memaksa Iran menerima resolusi Dewan Keamanan PBB. Pada tanggal 3 Juli 1988, kapal Amerika Serikat, USS Vincennes menembak jatuh pesawat sipil Iran yang sedang dalam perjalanan menuju Dubai, Uni Emirat Arab. Peristiwa tersebut menewaskan 290 orang.
Presiden Khoemeni akhirnya dengan terpaksa menerima Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 589 yang berisi tentang perintah gencatan senjata. Saddam Husein kemudian juga menerima resolusi tersebut. Kedua belah pihak akhirnya menyetujui untuk menghentikan pertempuran dan mulai membuka negosiasi damai untuk mengakhiri perang secara keseluruhan.
Dewan Keamanan PBB akhirnya mengeluarkan resolusi nomor 619 untuk mempercepat proses perdamaian kedua belah pihak. Resolusi tersebut berisi tentang pembentukan United Nations Iran-Iraq Military Observer Group (UNIIMOG). Pembentukan UNIIMOG ini bertujuan untuk mengawasi pelaksanaan gencatan senjata yang dilakukan kedua belah pihak. PBB kemudian menyatakan bahwa kedua belah pihak akan segera bertemu untuk mengakhiri perang. Secara prinsipil kedua belah pihak telah melakukan kesepakatan damai pada bulan Agustus 1988. Kesepakatan damai tersebut dapat tercapai setelah kedua belah pihak setuju untuk melakukan pertukaran tawanan perang.
Dampak Perang Iran-Irak
Perang Iran-Irak memberikan dampak yang begitu luas kepada kedua belah pihak. Selain berdampak kepada Iran dan Irak, Perang Iran-Irak juga memberi dampak kepada dunia internasional. Berikut adalah dampak-dampak yang diakibatkan oleh Perang Iran-Irak baik yang dialami oleh Iran dan Irak maupun dunia internasional.
Dampak Sosial-Ekonomi
Perang Iran-Irak telah menelan korban jiwa yang sangat besar dari kedua belah pihak. Jumlah korban tewas selama perang diperkiran mencapai 750.000 hingga 1.000.000 jiwa. Jumlah korban tersebut mayoritas berasal dari laki-laki dewasa berusia 18-30 tahun. Besarnya jumlah korban ini mengakibatkan banyak istri yang kehilangan suaminya serta anak-anak yang menjadi yatim. Kondisi ini jelas menjadi suatu guncangan hebat yang dirasakan oleh sebagian penduduk dari kedua negara. Perang Iran-Irak telah menimbulkan problem sosial baru di Iran maupun Irak.
Perang Iran-Irak juga menghancurkan perekonomian Iran dan Irak. Iran dan Irak melakukan cara yang sama untuk memperkuat militer mereka dengan cara memobilisasi rakyat sipil untuk ikut berperang. Mobilisasi rakyat sipil inilah yang membuat banyak pabrik kehilangan tenaga kerjanya. Selain itu, kehancuran yang ditimbulkan oleh perang juga mencakup berbagai infrastruktur penunjang perekonomian. Akibatnya, perekonomian di kedua negara mengalami stagnasi dan bahkan kemunduran.
Secara finansial, Iran dan Irak juga mengalami kerugian yang sangat besar. Iran misalnya, mengalami penurunan cadangan devisa dari $14.600.000.000 pada tahun 1979 menjadi hanya $1.000.000.000 pada tahun 1981. Selain itu, Iran juga kehilangan potensi pendapatan lebih dari $50.000.000.000 dari bidang pertanian dan minyak.
Irak juga mengalami kerugian yang amat besar akibat Perang Iran-Irak. Irak bahkan menghabiskan biaya lebih dari $100.000.000.000 untuk memperbaiki infrastruktur yang rusak akibat perang. Inflasi juga dialami oleh kedua negara sehingga banyak rakyat yang mengalami kesulitan dalam memebuhi kebutuhan sehari-hari.
Dampak Politik
Dampak Perang Iran-Irak di Iran dan Irak juga terjadi di bidang politik. Secara umum, perang mampu meningkatkan rasa patriotik rakyat Iran dan Irak. Hal tersebut setidaknya dibuktikan dengan keberadaan rakyat sipil yang dimobilisasi untuk ikut perang dari kedua belah pihak. Perang juga memberikan dampak pada konstelasi elit politik dalam negeri dari kedua negara. Selama Perang Iran-Irak, baik Iran maupun Irak mengalami gejolak politik di dalam negeri.
Pada awal Perang Iran-irak, pemimpin spiritual Iran Imam Khomeini dan Presiden Ali Khamenei mampu memanfaatkan isu tersebut untuk menyatukan berbagai golongan politik di Iran. Upaya ini mengalami keberhasilan ketika golongan sejumlah golongan politik baik sayap kanan maupun sayap kiri mampu dimobilisasi untuk mendukung perang. Meskipun demikian, terdapat golongan lain yang menjadi oposisi utama pemerintah dari kelompok Mujahidin. Khomeni menganggap jika kelompok Mujahidin merupakan antek Amerika Serikat yang berusaha menyerang Iran dari dalam. Sebagai balasan, kelompok Mujahidin membentuk National Council Resistance (NCR) untuk menggulingkan Khomeni. Pada akhirnya usaha NCR mengalami kegagalan karena popularitas Khomeni yang begitu luas di kalangan rakyat Iran.
Sementara itu gejolak politik juga terjadi di Irak. Partai Ba’ath yang merupakan partai pemerintah menjadikan perang sebagai alasan untuk melakukan konsolidasi nasional. Perang dijadikan sebagai alasan untuk menciptakan stabilitas politik nasional yang sesungguhnya hanya dimanfaatkan untuk kepentingan Partai Ba’ath. Strategi partai Ba’ath ini mendapat perlawanan keras terutama dari suku Kurdi serta Partai Komunis Irak. Meskipun demikian, perlawanan suku Kurdi serta Partai Komunis Irak tidak mampu menggoyahkan kekuasaan Partai Ba’ath yang tetap mendapatkan dukungan mayoritas dari rakyat Irak.
Perang Iran-Irak juga menimbulkan dampak bagi dunia Internasional. Sejumlah negara di Timur Tengah menyatakan dukungan baik kepada Irak maupun kepada Iran. Negara-negara Arab pada umumnya memilih untuk mendukung Irak. Alasan utama dukungan mereka terhadap Irak adalah kekhawatiran mereka akan menyebarnya semangat Revolusi Islam Iran apabila Iran mampu mengalahkan Irak. Satu-satunya negara Arab yang mendukung Iran adalah Suriah.
Alasan utama Suriah mendukung Iran karena kepentingan bilateral kedua negara begitu dekat terutama dalam bidang ekonomi. Selain itu, Perang Iran-Irak juga mengakibatkan hubungan antar negara muslim dalam OKI (Organisasi Konferensi Islam) sedikit menghangat. Perang Iran-Irak juga memiliki hubungan secara tidak langsung dengan Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Pada saat itu Perang Dingin telah mendekati akhir. Keterkaitan tersebut terutama sekali berhubungan dengan suplai senjata bagi kedua belah pihak. Irak misalnya, pada paruh pertama perang (1981-1985) menghabiskan sekitar $24.000.000.000 untuk biaya impor senjata.
Mayoritas impor senjata yang digunakan berasal dari negara-negara blok Barat seperti AS dan Prancis. Uni Soviet tidak ingin kalah dengan negara-negara blok Barat. Uni Soviet menyediakan pinjaman sebesar $3.000.000.000 kepada Irak dengan syarat Irak membatalkan pembelian pesawat Mirage dari Prancis.
Hingga akhir Perang Iran-Irak, hutang Irak kepada Uni Soviet mencapai $8.000.0000.000. Selain itu, Perang Iran-Irak juga mengganggu distribusi minyak dunia mengingat 40% minyak dunia berada di kawasan Timur Tengah. Meskipun demikian, dampak tersebut tidak separah bila dibandingkan dengan krisis minyak dunia awal tahun 1970-an.
Daftar Bacaan
- Brogan, Patrick. 1989. World Conflicts: A Comprehensive Guide to World Strife Since 1945. London: Bloomsbury.
- Bulloch, John; Morris, Harvey. 1989. The Gulf War: Its Origins, History and Consequences (1st published ed.). London: Methuen.
- Farrokh, Kaveh. 2011. Iran at War: 1500–1988. Oxford: Osprey Publishing.
- Karsh, Efraim. 2002. The Iran–Iraq War: 1980–1988. Osprey Publishing.
- Leopold, Mark. 2005. Inside West Nile. Violence, History & Representation on an African Frontier. Oxford: James Currey.
- Lewental, D. Gershon. November 2014. “”Saddam’s Qadisiyyah”: Religion and history in the service of state ideology in BaÊ¿thi Iraq”. Middle Eastern Studies. Taylor & Francis. 50 (6): 891–910.
- Piazza, James A. October 1994. “The Democratic Islamic Republic of Iran in Exile”. Digest of Middle East Studies. 3 (4): 9–43.
- Pollack, Kenneth M. 2004. “Iraq”. Arabs at War: Military Effectiveness, 1948–1991. Lincoln: University of Nebraska Press.