Perlawanan Bali 1848-1849 atau Perang Jagaraga adalah perlawanan rakyat Bali terhadap upaya penguasaan politik yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Di pulau Bali, memasuki abad ke-19 terdapat sejumlah kerajaan diantaranya Buleleng, Karangasem, Mengwi, Klungkung, Gianyar, Tabanan, Badung, Bangli dan Jembrana. Kerajaan-kerajaan ini memiliki pemerintahannya sendiri dan merupakan negara merdeka. Hubungan antara kerajaan-kerajaan di Bali dengan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda sepanjang tahun 1827-1831 berkaitan dengan penyewaan orang untuk dijadikan sebagai tentara Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda. Di bawah ini akan diuraikan tentang Perlawanan Bali Terhadap Belanda 1848-1849.
Latar Belakang Perlawanan Raja-Raja Bali Terhadap Belanda
Hubungan yang bersifat politik antara Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda dengan kerajaan-kerajaan Bali baru dimulai ketika Kerajaan Karangasem meminta bantuan kepada Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda untuk memulihkan kekuasaannya di Lombok. Hal ini merupakan kesempatan bagi pemerintah Kolonial Hindia-Belanda untuk mengikat sebuah perjanjian dan membuka hubungan politik dengan kerajaan-kerajaan lainnya di Pulau Bali. Pada tahun 1841 selain melakukan perjanjian dengan Kerajaan Karangasem yang meminta bantuan, Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda juga berhasil melakukan perjanjian dengan Kerajaan Klungkung, Badung dan Buleleng.
Berdasarkan perjanjian-perjanjian yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan itu, Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda berupaya untuk meluaskan wilayah kekuasaannya. Di dalam perjanjian dinyatakan;
- Raja-raja Bali mengakui bahwa Kerajaan-Kerajaan Bali berada di bawah kekuasaan negara Belanda;
- Raja Bali tidak akan menyerahkan kerajaannya kepada bangsa Eropa lainnya;
- Raja memberi izin pengibaran bendera Belanda di daerahnya.
Hubungan antara kerajaan-kerajaan Bali dengan Belanda menjadi rumit adalah adanya hukum tawan karang, hukum tawan karang adalah hak dari Bali untuk merampas perahu yang terdampar di pantai wilayah kekuasaannya. Hukum tawan karang ini telah dialami oleh kapal-kapal Belanda yang terjadi pada tahun 1841 di pantai wilayah Badung.
Meskipun pada tahun 1843, Buleleng, Karangasem dan beberapa raja-raja di Bali telah menyepakati perjanjian penghapusan tawan karang, namun kenyataannya mereka tidak pernah melakukannya dengan sungguh-sungguh. Pada tahun 1844 di Pantai Prancak dan Sangsit terjadi perampasan kapal-kapal Belanda yang terdampar. Kemudian terjadi perselisihan di antara Belanda dan raja-raja Bali untuk menghapuskan tawan karang.
Pada tahun 1845 Raja Buleleng menolak pengesahan perjanjian penghapusan tawan karang yang diajukan oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda. Sementara itu, Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda menuntut agar Raja Buleleng melaksanakan isi perjanjian yang telah mereka buat pada 1841 dan 1843 dan mengganti kerugian dari kapal-kapal Belanda yang dirampas serta menerima kekuasaan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda.
Patih Kerajaan Buleleng, Gusti Ketut Jelantik yang sangat menentang Belanda tidak mau menerima tuntutan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda. Gusti Ketut Jelantik mengetahui apa yang akan terjadi apabila ia tidak menerima tuntutan itu. Sehingga Gusti Ketut Jelantik segera menghimpun pasukannya dan menggiatkan latihan berperang serta menambah perlengkapan persenjataan untuk menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan.
Sikap menentang Kerajaan Buleleng telah memaksa Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda untuk mengeluarkan ultimatum kepada Raja Buleleng pada 24 Juni 1846 yang berakhir pada 27 Juni 1846. Isi ultimatum Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda kepada Raja Buleleng adalah;
- Raja Buleleng mengakui kekuasaan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda;
- Raja Buleleng harus menghapus tawan karang;
- Raja Buleleng harus memberi perlindungan terhadap perdagangan Hindia-Belanda.
Gusti Ketut Jelantik dari Buleleng dan Dewa Agung dari Klungkung menyatakan pada pendirian mereka menolak tuntutan Belanda. Selain itu, Kerajaan Karangasem juga menolak tuntutan yang diberikan oleh Belanda tersebut.
Jalannya Perang Jagaraga
Situasi di Pulau Bali kini menjadi memanas karena sikap yang ditunjukkan oleh Kerajaan Buleleng, Kerajaan Karangasem dan Kerajaan Klungkung yang menolak tuntutan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda. Gusti Ketut Jelantik kemudian mempersiapkan prajurit Kerajaan Buleleng dan mulai memperkuat kubu-kubu pertahanan untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan apabila tentara Belanda melakukan penyerangan.
Pada 27 Juli 1846 telah tiba di Pantai Buleleng pasukan ekspedisi Belanda yang berkekuatan 1700 orang yang terdiri dari 400 orang Eropa, 700 orang tentara pribumi, 100 orang Afrika dan bantuan 500 orang dari Madura. Disamping itu juga dikirimkan kapal-kapal perang yang mengangkut serta tentara angkatan laut di dalamnya.
Setelah Raja Buleleng tidak menjawab ultimatum, pasukan Belanda mulai melakukan pendaratan. Prajurit Bali telah bersiap untuk menyambut serangan tentara Belanda yang sedang melakukan pendaratan. Tembakan-tembakan meriam kapal Belanda dari laut-lah yang dapat menyebabkan pasukan Bali mundur dari daerah pantai. Pertempuran mulai meluas ke daerah-daerah perkampungan dan persawahan.
Pertahanan prajurit Bali yang berada di kampung-kampung dekat dengan pantai, satu persatu mulai jatuh ke tangan Belanda. Demikian pula Benteng prajurit Bali di Buleleng yang dipertahankan dengan susah payah terpaksa ditinggalkan dan direbut oleh Belanda. Kekalahan tersebut telah membuka kesempatan pasukan Belanda untuk melakukan penyerangan ke Singaraja, ibu kota Kerajaan Buleleng. Pasukan Bali di Singaraja berupaya untuk menghadapi serangan Belanda untuk mempertahankan ibukota Kerajaan Buleleng itu. Pertempuran di istana terjadi dengan sengit antara kedua belah pihak, namun pasukan Bali tidak berhasil mempertahankan istana Raja Buleleng, sehingga pada 29 Juni 1846 istana Raja Buleleng berhasil dikuasai oleh Belanda.
Raja Buleleng dan patihnya, Gusti Ketut Jelantik serta pasukannya terpaksa mundur ke Jagaraga dan berdamai dengan Belanda. Dalam perjanjian perdamaian yang disepakati pada 9 Juli 1846 itu, Belanda mengajukan syarat bahwa dalam tiga bulan yang harus diikuti;
- Raja Buleleng harus sudah menghapuskan benteng-bentengnya yang pernah dipakai untuk melawan Belanda. Di samping itu, Raja Buleleng tidak diperbolehkan mendirikan benteng baru;
- Raja Buleleng diharuskan mengganti ¾ biaya perang yang telah dikeluarkan oleh Belanda;
- Belanda diperbolehkan menempatkan tentaranya di dalam wilayah Kerajaan Buleleng yang akan segera dibuat sebuah benteng.
Sedangkan Kerajaan Karangasem diharuskan membayar ¼ biaya perang yang telah dikeluarkan oleh Belanda.
Meskipun telah diadakan perjanjian, tidak berarti membuat Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Karangasem menjadi tunduk. Adanya perjanjian itu oleh raja-raja Bali ternyata hanya dijadikan sebagai siasat untuk mengulur waktu memperkuat diri. Pembayaran pengganti biaya perang yang termuat di dalam perjanjian, tidak pernah dilakukan.Ketika Belanda, menarik pasukannya dari Bali menuju Jawa, persiapan militer semakin ditingkatkan. Raja Klungkung juga menunjukkan sikap menentang terhadap Belanda. Belanda sendiri pernah menuduh Raja Klungkung sebagai orang yang mempersulit usaha Belanda dan telah memberi perlindungan pada anggota pasukan Belanda yang melakukan desersi.
Kerajaan Buleleng, Kerajaan Karangasem dan Kerajaan Klungkung menentang terhadap Belanda. Penyerangan pun mulai dilakukan terhadap pasukan kecil Belanda yang ditinggalkan di Bali, dan perampasan senjata-senjata tentara Belanda pun sering dilakukan. Dalam hal ini, Gusti Ketut Jelantik semakin giat untuk memperkuat pasukannya. Pertahanan di Pantai Buleleng makin diperkuat, sedangkan jalan yang menghubungkan pantai dengan ibu kota dijaga prajurit-prajurit Bali.
Apabila berdasarkan pada perjanjian tahun 1846, ketiga kerajaan itu harus mengakui kedaulatan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda. Namun, memasuki tahun 1847 ketiga kerajaan itu merasa masih memiliki kedaulatan dan tetap melaksanakan tawan karang. Hal ini terlihat dari pelaksanaan tawan karang terhadap kapal-kapal asing yang terdampar di Pantai Kusumba di wilayah Klungkung. Selain ketiga kerajaan itu, Kerajaan Mengwi dan Badung juga menunjukkan sikap mereka menentang Belanda.
Situasi di Bali ini kembali meresahkan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda yang berpusat di Batavia. Raja Buleleng, Raja Karangasem dan Raja Klungkung kemudian kembali menerima ultimatum yang berisi agar raja-raja tersebut menyerahkan tentara Belanda dan tahanan yang melarikan diri; agar dalam waktu 14 hari telah mengirimkan utusan yang terdiri atas orang-orang terkemuka untuk meminta maaf. Selain itu, Raja Buleleng dan Raja Klungkung harus mengganti kerugian atas kapal-kapal Belanda yang terkena tawan karang. Selain itu, Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Karangasem diharuskan mematuhi perjanjian 9 Juli 1846.
Raja-raja Bali tidak memperdulikan ultimatum tersebut, sebaliknya yang dilakukan raja-raja Bali adalah memperkuat pasukannya. Pada 6 Juni 1848 di Sangsit mulai mendarat pasukan Belanda. Pada 7-8 Juni 1848 disusul oleh pasukan Belanda yang juga mendarat di tempat yang sama. Pada 8 Juli 1848 ketika pasukan Belanda mendarat di Sangsit, terjadi pertempuran dengan pasukan Bali yang menjaga daerah pantai itu. Pasukan Bali tidak mampu menghadapi tentara Belanda yang kini berjumlah lebih besar dibandingkan dengan yang datang pada tahun 1846. Jumlah tentara yang kini datang sebanyak 2.265 orang; 870 orang Eropa, 119 orang Afrika, dan 1.385 tentara pribumi.
Mundurnya Pasukan Bali dari pantai Sangsit, menyebabkan wilayah timur Sangsit dan Bungkulan berhasil dikuasai oleh Belanda. Pasukan Belanda kemudian menuju ke selatan Bungkulan untuk menyerang benteng Buleleng yang ada di sana. Penyerangan Belanda ini mendapatkan tantangan yang sulit. Selain karena bangunan benteng yang sangat kokoh, empat benteng berangkai di Jagaraga yang membentuk satu garis pertahanan itu juga terletak di daerah yang sulit untuk dicapai oleh musuh.
Di dalam pertempuran di Benteng Jagaraga baru selama tiga jam pertempuran, sebanyak lima opsir dan 74 tentara Belanda tewas. Selain itu, 7 opsir dan 98 tentara Belanda juga mengalami luka-luka. Jenderal van der Wijck yang memimpin pasukan darat tidak berhasil mendesak pasukan Bali untuk meninggalkan garis pertahanannya di Jagaraga. Sehingga, Jenderal van der Wijck terpaksa menarik mundur pasukannya dan kembali ke pantai.
Meskipun dalam pertempuran itu, tentara Belanda berhasil merebut satu dari empat benteng di Jagaraga, namun itu tidak banyak berarti. Kesulitan pengangkutan akibat adanya blokade dari pasukan Bali, ditambah sulitnya pasokan air tawar membuat kondisi tentara Belanda semakin sulit. Sementara peperangan dihentikan, pasukan bali sebagian berada di pertahanannya masing-masing, sedangkan sebagian lainnya melakukan pengawasan terhadap pantai dan jalan-jalan yang akan dilalui oleh pasukan Belanda menuju Jagaraga.
Di sisi lain, Jenderal van der Wijck juga tidak melakukan pergerakan apapun sambil menunggu instruksi dari Batavia. Van der Wijck meminta bantuan agar dikirimkan 1000 tenaga kasar dan dua batalion tentara, namun permintaannya tidak dituruti oleh Batavia, sebab di Jawa masih membutuhkan tenaga militer yang cukup besar. Karena tidak mendapatkan bantuan, pada 20 Juni 1848 tentara Belanda pimpinan Jenderal van der Wijck ini ditarik kembali ke Jawa.
Kegagalan ekspedisi Belanda ke Bali pada tahun 1848 menambah kepercayaan diri raja-raja Bali akan kekuatan mereka. Pengaruh Gusti Ketut Jelantik sangat besar terhadap kerajaan-kerajaan di Bali. Raja-raja Buleleng, Karangasem, Klungkung dan Mengwi sepakat untuk melawan Belanda apabila Belanda kembali menyerang. Sedangkan sikap dari Kerajaan Badung, Gianyar, Bangli dan Tabanan belum secara terang-terangan menunjukkan sikap perlawanan terhadap Belanda, walaupun mereka telah didekati oleh Belanda.
Benteng-benteng pertahanan kembali dibangun oleh raja-raja Bali di daerah Kusumba, Klungkung, dan Karangasem. Garis pertahanan di Singaraja pun diperkuat. Gusti Ketut Jelantik menyempurnakan benteng-benteng di Jagaraga serta menambah persenjataan. Sebanyak 20 orang bekas tentara Belanda yang desersi ke Bali diberikan tugas mengurus dan memelihara senjata api serta melatih pasukan Bali dalam mempergunakan senjata api.
Pada akhir Maret sampai dengan awal April 1849 pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Jenderal A.V. Michiels mendarat di Pulau Bali. Kekuatan militer Bali dalam pendaratan ini sebanyak 4.417 infantri, 25 kavaleri, pasukan artileri dengan diperkuat 24 meriam dan 151 orang dari batalion zeni, 122 tenaga kesehatan, intendans sebanyak 9 orang, tenaga kasar pengangkut 3.000 orang. Selain itu ditambah dengan beberapa ribu pasukan yang datang di awal bulan April 1849.
Jumlah kekuatan tentara Belanda yang mendarat di Pulau Bali ini bertambah kekuatannya dengan kedatangan 273 opsir, 4.737 opsir rendah dan bawahan serta 2.000 tenaga kasar pengangkut. Selain itu juga terdapat 29 kapal perang berukuran besar dan kecil yang dilengkapi dengan 286 meriam, 301 tentara angkatan laut, 2012 kelasi orang Eropa dan 701 kelasi pribumi.
Pendaratan tentara Belanda itu dilakukan secara bergelombang dan bertujuan langsung untuk menyerang Jagaraga. Pada 31 Maret 1849 sebagian pasukan Belanda berjumlah 700 orang angkatan darat dan laut mulai mendarat di Pantai Buleleng. Dengan perlindungan dari kapal perang, mereka mulai bergerak menuju Singaraja. Pasukan Bali tidak mampu menghalangi pergerakan pasukan Belanda. Setelah pendaratan 700 orang ini, disusul selanjutnya oleh tentara-tentara Belanda lainnya.
Raja Buleleng kemudian mengirimkan utusan kepada Belanda di Singaraja dan menyatakan dirinya bersedia untuk melakukan perdamaian. Kemudian Raja Buleleng dan Raja Karangasem juga mengirimkan utusannya pada 2 April 1849 bahwa mereka ingin bertemu dengan pemimpin tertinggi militer Belanda di Pantai Sangsit dan akan menyerahkan surat yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal. Karena utusan ini dicurigai oleh tentara Belanda, pesan raja-raja tersebut tidak pernah disampaikan.
Pada 3 April 1849 Raja Karangasem mengutus seorang bangsawan untuk memberitahukan pimpinan pasukan Belanda bahwa dirinya bersama Patih Buleleng, Gusti Ketut Jelantik akan menemui Jenderal Michiels di Singaraja. Disampaikan juga permintaan izin agar kedua raja yang akan bertemu dengan Jenderal Michiels diperbolehkan membawa pengikut sebanyak 1.500 orang. Perimntaan tersebut dipenuhi, namun karena jembatan di jalan menuju Singaraja rusak akibat banjir, pertemuan itu tertunda hingga 7 April 1849.
Pada 7 April 1849, rombongan pasukan Karangasem dan Buleleng yang berjumlah 3.000 orang bersenjata tombak dan senapan tiba di sebuah kampung di Singaraja. Namun, iring-iringan raja Karang Asem dan Patih Buleleng berjumlah 12.000 prajurit bertombak dan 1.500 orang dengan senapan api.
Di dalam pertemuan antara Raja Karangasem, Raja Buleleng dan Jenderal Michiels, Jenderal Michiels mengajukan pokok-pokok perjanjian antara lain;
- Raja Buleleng dan Raja Karangasem harus mengakui kekuasaan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda;
- Raja Buleleng dan Raja Karangasem harus mengosongkan dan menyerahkan Benteng Jagaraga kepada Belanda;
- Benteng Jagaraga harus diruntuhkan dalam waktu singkat;
- Menyerahkan tentara Belanda yang melarikan diri;
- Menyerahkan senjata-senjata yang dirampas dari Belanda;
- Memenuhi tuntutan Perjanjian 9 Juli 1846; dan
- Mengirimkan utusan ke Batavia untuk menyatakan menyerah.
Raja Karangasem dan Patih Gusti Ketut Jelantik menyetujui persyaratan itu dan meminta agar markas Belanda dipindahkan dari Singaraja ke Sangsit dan Jenderal Michiels harus bersedia bertemu dengan Raja Buleleng di Sangsit.
Pada 11 April 1849, raja-raja Bali tidak juga membongkar benteng sehingga suasana perdamaian kembali berubah menjadi pertempuran. Pada 15 April 1849 Pasukan Belanda sebanyak 2.400 orang yang dipersenjatai lengkap mulai bergerak menuju Jagaraga. Sedangkan prajurit Bali yang bertahan di Jagaraga berjumlah 15.000 orang. Di dalam pertempuran 11 April 1849 ini pasukan Bali berhasil memukul mundur tentara Belanda.
Pada 16 April 1849 Benteng Jagaraga kembali diserang oleh Belanda secara mendadak. Pada penyerangan kali ini tentara Belanda berhasil memukul mundur pasukan Bali yang bertahan di Benteng Jagaraga sehingga Benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda. Banyak pasukan Bali yang tewas dan hampir seluruh pasukan yang berada di bawah komando Gusti Ketut Jelantik tewas. Sedangkan pihak Belanda mengalami korban 33 orang tewas dan 148 orang luka-luka.
Sisa pasukan Kerajaan Buleleng bersama Raja Buleleng dan Gusti Ketut Jelantik menyingkir ke perbatasan Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Karangasem. Dengan mundurnya pasukan Buleleng dari Jagaraga, menyebabkan banyak kepala-kepala daerah di Buleleng menyerah kepada Belanda. Salah satunya adalah Gusti Nyoman Lebak yang memihak Belanda.
Akhir Perang Jagaraga 1848-1849
Dengan jatuhnya Buleleng ke tangan Belanda, membawa pengaruh bagi kerajaan-kerajaan lain di Pulau Bali. Beberapa kerajaan kemudian bersikap lunak dan bersedia untuk berdamai dengan Belanda. Beberapa kerajaan juga ada yang tetap bersikap menentang seperti Kerajaan Karangasem dan Klungkung. Mereka telah bersiap menghadapi Belanda dengan kekuatan 15.000-16.000 prajurit.
Ketika Kerajaan Karangasem dan Kerajaan Klungkung tengah bersiap menghadapi Belanda, Kerajaan Badung justru memihak Belanda dan bersedia untuk menyerang Kerajaan Klungkung. Sedangkan Kerajaan Bangli siap menghalang-halangi Kerajaan Karangasem dan Kerajaan Klungkung apabila mereka melarikan diri ke gunung. Sedangkan Kerajaan Jembrana telah mengadakan persetujuan damai dengan Belanda.
Raja Karangasem, Raja Buleleng dan Patih Gusti Ketut Jelantik mengadakan persiapan apabila Belanda menyerang. Sementara itu, Belanda juga mempersiapkan diri untuk melakukan penyerangan terhadap wilayah Karangasem. Pada 9 Mei 1849 Jenderal Michiels dan pasukannya mendarat di Teluk Labuhan Amuk, sebuah pantai yang berada di tenggara Karangasem dan berbatasan juga dengan Kerajaan Klungkung. Di dekat Tulakuta, Pasukan Gusti Nyoman Lebak yang memihak Belanda dengan 1.000 orang pasukan mulai melakukan penyerangan terhadap Kerajaan Karangasem.
Pada 19 Mei 1849 pasukan Mataram Lombok yang berjumlah 4.000 orang, di bawah pimpinan Gusti Gede Rai mendarat di Ujung, pantai selatan Kota Karangasem. Raja Mataram Lombok yang bermusuhan dengan Kerajaan Karangasem bersedia membantu Belanda asal diperbolehkan menguasai daerah Chulik di Karangasem. Sementara itu, Gusti Made Jungutan, Patih Karangasem menggabungkan pasukannya dengan pasukan Mataram Lombok untuk membantu Belanda. Pembelotan ini dilakukan sebab berdasarkan garis keturunan, Gusti Made Jungutan adalah yang berhak atas takhta Kerajaan Karangasem.
Pasukan gabungan Mataram Lombok dan Gusti Made Jungutan langsung melakukan serangan terhadap pasukan Raja Karangasem. Karena sebagian besar rakyat di daerah pantai telah menyerah kepada Belanda, pengikut Raja Karangasem yang sedikit jumlahnya ditambah dengan meninggalnya Raja Karangasem memudahkan penyerbuan pasukan gabungan Mataram Lombok dan Gusti Made Jungutan menguasai Kerajaan Karangasem. Raja Buleleng dan Patih Gusti Ketut Jelantik kemudian melarikan diri ke bukit.
Setelah Kerajaan Karangasem berhasil ditaklukan, target selanjutnya adalah Kerajaan Klungkung. Pertempuran antara Belanda dan pasukan Kerajaan Klungkung pun mulai terjadi di daerah Sunda Lawas. Namun, pasukan Kerajaan Klungkung berhasil dikalahkan begitupula pasukan Kerajaan Klungkung di Kusumba berhasil dikalahkan. Sedangkan Raja Tabanan dan Raja Badung dengan 16.000 pasukan langsung melakukan serangan terhadap pusat ibukota Kerajaan Klungkung yang membuat Raja Klungkung, Dewa Agung Gede Putra menyerah kepada mereka. Penyerangan ini dapat dianggap sebagai keberpihakan Kerajaan Tabanan dan Kerajaan Badung kepada Belanda.
Dengan menyerahnya Kerajaan Klungkung, pada 12 Juni 1849 wakil-wakil dari Bali; Ida Nyoman pedada dan Ida Wayan Bagus dari Kerajaan Klungkung; I Made Rai, Ida Nyoman Mas, Pembekel Tuban dari Kerajaan Badung; Made Yaksa dari Kerajaan Tabanan; dan Nyoman Rai dan Gusti Putu Getasan dari Kerajaan Gianyar menghadap Gubernur Jendral Hindia-Belanda di Batavia menyatakan takluknya Bali ke dalam wilayah Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda.
Daftar Bacaan
- Kartodirjo, Sartono. 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru II: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia IV: Zaman Penjajahan Di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
- Ricklefs, M. C. 2009. Sejarah Indonesia Modern 1200- 2004. Jakarta: Serambi.