Perang Teluk (1990-1991)

Perang Teluk yang terjadi pada tahun 1990-1991 adalah peperangan antara Irak dengan koalisi internasional yang diorganisir oleh PBB dan dipimpin oleh Amerika Serikat sebagai tindakan tegas untuk menyelesaikan masalah Irak-Kuwait. Perang Teluk bermula dari invasi Irak atas Kuwait pada 2 Agustus 1990.  Invasi Irak atas Kuwait didasari pada hancurnya perekonomian Irak selepas Perang Iran-Irak (1980-1988) di mana Irak sangat membutuhkan dana untuk merekonstruksi perekonomian.

Latar Belakang Perang Teluk (Irak-Kuwait)

Terdapat beberapa penyebab menjadi latar belakang dari invasi Irak atas Kuwait yang membawa daerah Timur-Tengah berada pada posisi Perang Teluk:

Kondisi Ekonomi Irak Yang Hancur Pasca Perang Iran-Irak

Faktor yang melatarbelakangi terjadinya invasi Irak ke Kuwait sangat erat kaitannya dengan permasalahan ekonomi yang dialami oleh Irak pasca Perang Iran-Irak. Kehancuran infrastruktur ekonomi Irak sejak permulaan Perang Teluk 1 Agustus 1980 sampai Juli 1988 mencapai angka US$ 67 miliar. Jumlah tersebut belum termasuk dana yang harus dikeluarkan Irak untuk membeli peralatan militer. 

Berdasarkan data IISS, hutang luar negeri Irak yang sebagian besar digunakan untuk kebutuhan militer sekitar US$ 75-80 miliar. Jika ditotal nilai kerusakan infrastruktur ekonomi, hutang luar negeri dan kerugian akibat perang serta merosotnya GNP dan pendapatan dari ekspor minyak. Berdasarkan kenyataan ini maka seluruh biaya ekonomiPerang Iran-Irak yang ditanggung dapat mencapai US$ 452,6 miliar. 

Padahal pendapatan tertinggi Irak yang dapat dicapai dari hasil produksi minyaknya tidak lebih dari 12 miliar dolar Amerika Serikat pertahun. Hal ini berarti Irak membutuhkan waktu sekitar 40 tahun hanya untuk dapat merekonstruksi negaranya yang hancur akibat Perang Iran-Irak dan melunasi hutang luar negerinya.

Oleh karena itu dengan menyerbu Kuwait, salah satu negara kaya minyak, Saddam Hussein berharap dapat menempuh jalan pintas untuk segera dapat memulihkan keadaan ekonomi Irak yang buruk pasca Perang Teluk I. Apalagi setelah Kuwait dalam perundingan di Arab Saudi pada 31 Juli 1990, secara tegas menolak tuntutan Saddam Hussein agar membayar ganti rugi pada Irak sebesar US$ 16,4 miliar  serta menghapuskan semua utang Irak pada Kuwait sekitar US$ 10-15 miliar dan memberikan daerah Rumailah serta Pulau Babiyan yang kaya sumber minyak kepada Irak.

Di dalam upaya menekan Kuwait, Saddam Hussein kemudian menuduh Kuwait telah mencuri minyak Irak di ladang Rumailah yang dipersengketakan antara Irak dan Kuwait senilai US$ 2,4 miliar dan bahwa Kuwait dan Uni Emirat Arab telah membanjiri pasaran minyak dunia sehingga menimbulkan kerugian di pihak Irak senilai US$ 14 miliar . Akibat pelanggaran kuota OPEC yang dilakukan oleh Kuwait dan Uni Emirat Arab, harga minyak sempat anjlok sampai sekitar 15 dolar Amerika Serikat perbarel. 

Irak yang mengandalkan minyak sebagai komoditi utama sangat terpukul dengan anjloknya harga minyak di pasaran Internasional. Apalagi pendapatan dari sektor minyak sangat dibutuhkan Irak untuk merekonstruksi kembali kerusakan akibat perang dengan Iran selama Perang Iran-Irak.

Melemahnya Pengaruh Kekuatan Saddam Hussein

Sejak menjabat sebagai Presiden Irak, Saddam Hussein mendapat stereotip negatif sebagai seorang diktaktor. Stereotip negatif yang melekat pada sosok Saddam Hussein tidak bisa terlepas dari tindakan dan kebijaksanaan represif yang selama ini dilakukan terutama untuk membendung pihak oposisi. Di dalam kebijakannya yang represif itu, Saddam Hussein tidak segan-segan melakukan segala cara untuk memperkuat posisi kekuasaannya.

Tindakan represif Saddam Hussein juga ditunjukkan dengan menghukum mati puluhan anggota dan pimpinan Partai Bath yang dicurigai akan melakukan kudeta dan tidak menyetujui kebijakan Saddam Hussein. 

Selama memegang kekuasaan, Saddam Hussein selalu dilanda penyakit paranoid, terutama ketakutan untuk tidak dicintai oleh rakyatnya. Saddam Hussein justru cemas jika situasi negeri Irak dalam keadaan normal karena tidak ada ‘musuh bersama’. Mencari musuh bersama merupakan salah satu cara bagi seorang penguasa yang tidak cukup kuat basis kekuasaannya. Dengan menciptakan musuh bersama, Saddam Hussein berharap dapat mempertahankan loyalitas dan meraih dukungan seluruh rakyat Irak, terutama bisa meredam gejolak munculnya pemberontakan yang muncul dari pihak oposisi.

Ambisi Saddam Hussein Untuk Menjadi Pemimpin Dunia Arab

Faktor lain yang melatarbelakangi Perang Teluk yang berhubungan dengan pribadi Saddam Hussein adalah ambisinya untuk menjadi pemimpin di Timur Tengah. Saddam Hussein selalu ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah sebagai pemimpin terkuat dan terbesar di Timur Tengah. Hal ini mulai tampak ketika Saddam Hussein memutuskan untuk berperang dengan Iran dalam Perang Iran-Irak. 

Keputusan Saddam Hussein untuk membatalkan Perjanjian Algiers tahun 1975 secara sepihak jelas dilatarbelakangi oleh keinginan Saddam Hussein untuk diakui sebagai Polisi di Teluk Persia, sebuah jabatan yang tadinya dipegang oleh Syah Iran. Dalam Perang Iran-Irak, Saddam Hussein ingin membuktikan dirinya sebagai tokoh pembela bangsa-bangsa Arab yang berada disekitarnya.

Jalannya Perang Teluk (Irak-Kuwait)

Berbagai cara untuk mengakhiri Perang Teluk dilakukan baik melalui jalur diplomasi maupun militer. Pada 1 Agustus 1990 di Kota Jeddah, Arab Saudi, delegasi Irak dibawah pimpinan Wakil Presiden yang juga Wakil Komandan Dewan Revolusi Irak, Jenderal Izzat Ibrahim mengadakan pertemuan di Meja perundingan dengan perdana Menteri/putra mahkota Kuwait, Sheikh Saad Al-Abdullah A-Sabah. 

Di dalam pertemuan itu dibicarakan adalah bagaimana mengatasi konflik Irak-Kuwait yang timbul beberapa minggu sebelumnya. Raja Arab Saudi, Fahd bin Abdul Aziz atas kerja sama dengan Presiden Husni Mubarak, Mesir dan dibantu beberapa pemimpin Negara Arab lainnya mengadakan kontak-kontak dengan pemimpin Arab meminta pendapat mengenai penyelesaian damai Irak-Kuwait.

Presiden Husni Mubarak sebelumnya optimis dengan misi diplomasinya antara Kairo, Baghdad, Kuwait dan Jeddah. Upaya yang dilakukan oleh Husni Mubarak ini semula mendapat tanggapan serius dari Presiden Irak, Saddam Hussein bahwa insiden bersenjata tetap dijauhi. Atas prakarsa Raja Fahd bin Abdul Aziz, kota Jeddah dipilih sebagai tempat perundingan. Disaksikan Raja Fadh, Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Abdullah dan Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Saud Al-Faisal serta petinggi kedua Negara. Di dalam pertemuan itu tidak nampak adanya pertentangan dan ini nampaknya menutup-nutupi apa yang terjadi sebenarnya. Akibat tidak ada keterbukaan dalam perundingan tersebut, tidak banyak yang dapat diketahui apa yang sebenarnya yang terjadi dalam pertemuan antara kedua pemimpin Irak dan Kuwait di Jeddah.

Di dalam pertemuan itu nampaknya memang disengaja oleh Irak sebagai pengalihan terhadap apa yang terjadi sebenarnya di lapangan. Persiapan perang sengaja dialihkan ke meja perundingan untuk mengintimidasi Kuwait. Saddam Hussein diluar perundingan itu nyatanya telah memerintahkan 300.000 prajurit Irak mendekati perbatasan Kuwait, mereka semua diperintahkan untuk mengadakan latihan perang, maneuver di Basra, Irak Selatan, 10 km dari perbatasan Kuwait. Perundingan di Jeddah tidak membawa hasil yang memuaskan Saddam Husein. Kuwait menolak permintaan Irak untuk membebaskan hutang Irak yang bertumpuk semenjak Perang Iran-Irak. 

Semula Irak mengisukan bahwa sejumlah pasukannya di perbatasan Kuwait telah ditarik mundur secara bertahap dan Kuwait pun cepat mengambil tindakan dengan menarik pula pasukannya dari perbatasan dengan Irak. Membaca situasi demikian, Saddam kembali mengusulkan supaya Kuwait mengakui mencuri minyak Irak di lepas pantai Pulau Warba dan Pulau Babiyan yang sudah lama menjadi ajang sengketa dengan Irak.

Baca Juga  Surat Kabar Pembrita Betawi (1884-1916)
perang teluk
Tentara Irak menuju perbatasan Kuwait pada awal Perang Teluk

Irak menuntut ganti rugi sebesar US$ 2,4 miliar kepada Kuwait dengan alasan Kuwait menyedotnya dari wilayah Irak selama perang 8 tahun dengan Iran. Selanjutnya Irak meminta supaya Kuwait menyewakan kedua Pulau Warba dan Pulau Bubyan selama 99 tahun, guna memperoleh fasilitas pelabuhan bebas Irak dan dapat mengendalikan lalu lintas minyak di Teluk Persia dan tuntutan yang lain adalah pembebasan hutang Irak kepada Kuwait sebesar US$ 10 miliar lebih. Tampaknya dengan taktik tarik menarik pasukan di perbatasan, Irak melihat peluang baru untuk dapat memasuki Kuwait tanpa perlawanan.

Jalur diplomasi yang dilakukan antara Irak dengan Kuwait maupun Arab Saudi mengalami kegagalan sehingga Irak mengirimkan pasukannya di perbatasan Irak-Kuwait. Pada 2 Agustus 1990 sekitar 300.000 tentara Irak dengan di dukung 3500 tank, puluhan rudal Scud, Mic-29 dan beberapa pesawat Mirage mulai melakukan penyerbuan terhadap Kuwait. Pasukan Irak hanya membutuhkan waktu sekitar 4 jam untuk menguasai seluruh Kuwait. Keberhasilan ini karena pengalaman tempur pasukan Irak selama Perang Iran-Irak dan perimbangan kekuatan yang mencolok antara Irak dengan Kuwait di mana secara matematis Irak jauh di atas kertas.

Setelah keberhasilan menguasai Kuwait, Saddam Hussein menegaskan bahwa Kuwait yang diduduki sejak 2 Agustus 1990 merupakan propinsi ke-19 dari negara Irak. Status ini tidak dapat diubah oleh pihak manapun. Bahkan Irak tidak akan mundur satu inci pun dari wilayahnya. Saddam Hussein kemudian mengangkat Ali Hassan Al-Majid sebagai Gubernur Kuwait yang selanjutnya mengumpulkan para sukarelawan untuk bertempur melawan sisa-sisa kekuatan Kuwait.

Reaksi Terhadap Invasi Irak Atas Kuwait Dalam Perang Teluk

invasi Irak atas Kuwait yang menyebabkan Perang Teluk telah mengundang reaksi dunia internasional. Di bawah ini adalah reaksi-reaksi dari beberapa negara terhadap Perang Teluk:

Reaksi Negara-Negara Arab

Reaksi negara-negara Arab terhadap terjadinya Perang Teluk bertolak belakang apabila dibandingkan pada waktu Perang Iran-Irak. Jika pada waktu Perang Iran-Irak, Irak mendapatkan dukungan oleh mayoritas negara-negara Arab dan Barat, maka dalam Perang Teluk yang terjadi adalah sebaliknya, Irak dimusuhi sebagian besar negara Arab dan Barat.

DalamPerang Iran-Irak, fundamentalisme Islam Syiah-nya Imam Khomeini dianggap sebagai ancaman yang menakutkan sehingga kekalahan Irak dalam peperangan melawan Iran harus dicegah dengan sekuat tenaga. Bahkan Amerika Serikat dengan mudahnya memaafkan Saddam Hussein ketika kapal perangnya, USS Stark tertembak rudal Exocet yang diluncurkan sebuah Mirage Irak pada Mei 1987 selama periode perang Tanker. 

Di dalam Perang Iran-Irak, Irak mendapatkan dukungan dari Mesir, Yordania, negara-negara GCC (Gulf Cooperation Council), Yaman Utara, Maroko, Uni Soviet, Perancis, bahkan Inggris dan Amerika Serikat, sementara Iran hanya didukung Suriah, Libya, dan Yaman Selatan. 

Sebaliknya di dalam Perang Teluk, Irak harus berhadapan dengan Amerika Serikat termasuk para sekutu Arabnya dalam Perang Iran-Irak seperti Mesir dan negara-negara GCC (Gulf Cooperation Council) yang terdiri atas Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Dalam hal ini bahkan Arab Saudi mengundang ratusan ribu personil militer Amerika Serikat untuk mempertahankan kedaulatan wilayahnya dan menaggulangi ancaman serangan yang dilancarkan oleh Irak.

Reaksi Iran

Perlu dipahami bahwa terdapat persamaan antara Irak dan Iran setelah berakhirnya Perang Iran-Irak. Persamaan antara Iran dan Irak adalah sama-sama mengalami tantangan berat dengan anjloknya harga minyak di pasaran dunia akibat dari pelanggaran kuota minyak yang dilakukan oleh anggota OPEC terutama Kuwait dan Uni Emirat Arab. Padahal setelah Perang Iran-Irak, Irak dan Iransangat membutuhkan pemasukan dari sektor minyak dalam merekonstruksi kembali negaranya akibat Perang Iran-Irak.

Meskipun terdapat persamaan kepentingan antara Iran dan Irak, hal itu tidak berarti Iran akan memberikan dukungannya kepada Irak dalam Perang Teluk. Hal tersebut karena didasarkan pada beberapa pertimbangan;

  1. Iran belum dapat melupakan trauma dan luka yang diderita akibat perang dengan Irak selama Perang Iran-Irak, apalagi penggunaan senjata kimia oleh Irak;
  2. Iran tidak ingin terperosok kembali kedalam perang yang telah mengakibatkan kerusakan yang sangat parah di semua sektor kehidupan sehingga menghambat cita-cita revolusi Islam; 
  3. Iran tidak menghendaki terhambatnya upaya untuk keluar dari isolasi dunia internasional pasca Revolusi Islam Iran.

Sikap RRC (Republik Rakyat Cina)

Dalam Perang Teluk ini RRC dihadapkan pada posisi yang dilematis, yang menyebabkan sikap RRC tampak menunjukkan sikap yang ambivalen. RRC juga berseberangan pendapat dengan anggota tetap Dewan Keamanan PBB (Amerika Serikat, Inggris, Prancis) yaitu dengan tidak menyetujui pemecahan masalah Irak-Kuwait secara militer. Sikap ambivalen dan posisi dilematis RRC tersebut dilatarbelakangi oleh faktor-faktor sebagai berikut;

Kepentingan Ekonomi RRC Dalam Perang Teluk

Timur Tengah merupakan pasar industri persenjataan RRC yang menggiurkan. Lebih dari itu, RRC mampu memproduksi berbagai macam senjata yang cukup canggih dengan harga yang relatif murah. Oleh karena itu tidak mengherankan jika peralatan militer dari RRC banyak diminati oleh negara-negara kawasan Timur Tengah yang sering dilanda konflik. Arab Saudi, Iran, Suriah merupakan negara Timur Tengah yang menjadi pelanggan berbagai jenis rudal jenis Silkworm yang bernilai 30 miliar dollar AS ke Iran.

Mengatasi Isolasi Internasional

Tragedi Tiananmen yang terjadi pada 1989 telah menimbulkan amarah dan kekecewaan negara-negara Barat yang kemudian menjatuhkan sanksi ekonomi dan politik kepada RRC. Akibatnya RRC terkucil dari lingkungan internasional secara politik dan ekonomi. 

Berbeda dengan sikap negara-negara Barat yang mengancam keras terjadinya tragedi Tienanmen dan bersikap isolatif terhadap RRC, justru negara-negara Timur Tengah sebagian besar bersikap netral. Bahkan Iran menuduh bahwa aksi pro demokrasi di Tienanmen didalangi oleh agen-agen Barat. Melihat sikap netralis negara-negara Timur Tengah, RRC memanfaatkannya untuk mengurangi beban akan sanksi ekonomi yang dilakukan blok Barat kepada RRC.

Berdasarkan pertimbangan politik dan ekonomi tersebut, RRC sangat berkepentingan terhadap perdamaian yang terjadi di kawasan Timur Tengah. Invasi Irak ke Kuwait dan dilanjutkan dengan hadirnya pasukan multinasional menimbulkan dilema bagi RRC. Disisi lain RRC tidak ingin merusak hubungan baik dengan negara-negara di Timur Tengah. 

Oleh karena itu RRC memilih berada dipihak mayoritas negara-negara Timur Tengah dengan mendukung semua resolusi DK-PBB yang mengecam invasi Irak ke Kuwait. Kecaman RRC juga mengandung maksud lain, yaitu sebagai salah satu jalan untuk diterima kembali di pergaulan internasional pasca tragedi Tiananmen 1989.

Ambisi RRC Sebagai Pemimpin Dunia Ketiga 

Sikap RRC dalam Perang Teluk juga mencerminkan ambisinya untuk diakui sebagai pemimpin dunia ketiga yang tidak bersedia didikte dengan mudahnya oleh Amerika Serikat dan sekutunya, Blok Barat. Oleh karena itu ketika Amerika Serikat dan sekutunya memutuskan untuk membentuk pasukan multinasional, RRC justru menawarkan cara damai bagi penyelesaian Perang Teluk. Sikap RRC secara nyata juga ditunjukkan dalam PBB. Pada saat Dewan Keamanan PBB memperdebatkan resolusi yang mengesahkan penggunaan kekuatan militer untuk penyelesaian Perang Teluk, RRC bersikap abstain.

Sikap Amerika Serikat

Invasi Irak ke Kuwait merupakan pukulan keras bagi George Bush sebab merepresentasikan ancaman serius bagi kepentingan Amerika Serikat yang ada di wilayah Teluk Persia. Terutama adalah untuk menjamin agar minyak terus mengalir dan mencegah munculnya hegemoni musuh di kawasan Teluk. 

Sebab jika Saddam berhasil menguasai Kuwait, ia akan menguasai 9% dari produksi minyak global. Sebagai tambahan, penempatan kekuatan militer Saddam Hussein di Kuwait dapat mengancam Arab Saudi untuk untuk mengikuti harga minyak luar negeri yang dikendalikan oleh Irak. Dengan kata lain apabila menguasai Kuwait, maka Saddam Hussein memiliki kapabilitas untuk mengatur harga minyak global.

Baca Juga  Filsafat Zaman Dinasti Zhou

Sebagai jawaban atas tantangan Saddam Hussein untuk melakukan invasi ke Kuwait, maka pada 2 Agustus 1990, Amerika Serikat mulai menempatkan 210.000 tentaranya di perbatasan Arab Saudi dan Kuwait. Jumlah ini merupakan yang terbesar sejak keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam. 

Presiden George Bush dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, James Baker bahkan mengeluarkan pernyataan bahwa tidak ada waktu lagi bagi Saddam Hussein untuk menarik mundur tentaranya tanpa pertumpahan darah. George Bush dan James Baker bahkan secara intensif mengunjungi Arab Saudi dan negara-negara Eropa untuk membicarakan kemungkinan keterlibatan dalam Perang Teluk.

Reaksi Dunia Internasional Terhadap Perang Teluk

Serbuan yang dilakukan oleh Irak ke Kuwait mendapat respon berupa kutukan dari berbagai penjuru dunia termasuk Uni Soviet yang dikenal sebagai Sekutu Irak. Uni Soviet mengecam invasi Irak ke Kuwait dengan cara menangguhkan pasokan senjata ke Irak. Sementara itu, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, James Baker mengadakan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Uni Soviet, Boris Dmitriyevich Pankin dan membuat pernyataan bersama mengecam Irak dan menuntut agar Irak menarik mundur pasukannya dari Kuwait. 

Di samping mengutuk invasi yang dilakukan Irak atas Kuwait, Amerika Serikat juga memiliki langkah-langkah antisipasi militer apabila Irak sewaktu-waktu menyerang Arab Saudi. Tindakan yang dilakukan oleh Amerika Serikat ini adalah dengan mengerahkan beberapa kapal perangnya ke wilayah Teluk.

Dewan Keamanan PBB juga mengutuk invansi yang dilakukan Irak ke Kuwait dan menuntut penarikan pasukan Irak dari Kuwait tanpa syarat. Resolusi dari PBB yang ditandatangani 14 negara dinamai Resolusi Dewan keamanan PBB No. 660, antara lain: 

  1. Mengecam keras invasi irak ke Kuwait; 
  2. Menuntut irak dengan segera dan tanpa syarat menarik mundur pasukannya dari Kuwait pada posisi sebelum tanggal 1 Agustus 1990, 
  3. Menyarankan kepada irak dan Kuwait segera mengadakan perundingan secara intensif untuk menyelesaikan perbedaan pendapat, dan mendukung penyelesaian yang dilakukan oleh Liga Arab. 
  4. Memutuskan bersidang lagi jikalau dipandang perlu untuk menimbang langkah-langkah lanjutan agar sesuai dengan maksud resolusi.

Setelah keluar Resolusi Dewan Keamanan PBB No.660 segera keluar lagi Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 661, 662, 664, 665, 667, 668, 669, 670, 674, dan 677. Karena seluruh resolusi yang dikeluarkan selalu ditolak dan tidak mendapat tanggapan dari Irak, maka dewan keamanan PBB kemudian mengeluarkan Resolusi No. 678, yang pada dasarnya memberikan kewenangan kepada pasukan Multinasional pimpinan Amerika Serikat untuk menggunakan segala cara apabila Irak tidak menarik pasukannya dari Kuwait sampai tanggal 15 Januari 1991. 

Invasi Pasukan Koalisi Terhadap Irak

Pada Januari 1991 waktu Baghdad, operasi pembebasan Kuwait yang diberi nama Operation Desert Storm (Operasi Badai Gurun) dimulai, dengan dilancarkannya serangan udara oleh pesawat-pesawat tempur F-15 dan pesawat gabungan pasukan multinasional. Serangan tersebut juga didukung oleh tembakan rudal Tomhawk dari kapal-kapal perang Multinasional. 

Pada serangan pertama pasukan multinasional mengerahkan serangannya pada sasaran-sasarannya sebuah pabrik yang diperkirakan memproduksi gas syaraf dan gas mostar yang terletak di sekitar 40 km barat daya Kota Samara. Pabrik ini merupakan pabrik kimia terbesar di Irak.

Pada serangan pertama, Irak tidak melakukan pembalasan. Baru pada 18 Januari 1991, Irak melepaskan 8 rudal Scud ke Israel dan Arab Saudi. Serangan balasan Irak ke Israel dimaksudkan untuk memperluas Perang Teluk II dengan melibatkan Israel sehingga diharapkan koalisi pasukan multinasional pimpinan Amerika Serikat akan pecah dan negara-negara Arab akan membantu Irak. Namun karena lobi Amerika Serikat terhadap Israel, maka Israel tidak membalas serangan Irak.

Pada 19 Januari 1991, pasukan multinasional kembali melakukan serangan udara terhadap Kota Baghdad. Serangan tersebut dimaksudkan untuk menghancurkan peluncur-peluncur peluru kendali Scud milik Irak. Serangan rudal Scud ke Tel Aviv dan Dahran telah menewaskan 4 orang sipil dan melukai beberapa warga Israel. Pada waktu yang sama, pasukan multinasional juga berhasil melakukan serangan udara sebanyak 10.000 serangan udara.

Selama Perang Teluk, pihak pasukan multinasional pimpinan Amerika Serikat lebih banyak mengandalkan serangan udara daripada darat. Hal ini didasarkan pada pengalaman pahit Amerika Serikat selama Perang Vietnam. Serangan udara juga dimaksudkan agar mampu menghancurkan industri vital Irak serta ekonomi militer yang menghubungkan Irak dengan Kuwait. 

Dengan demikian, diharapkan pasukan Irak akan keluar dari bunker-bunker perlindungan dan mental pasukan Irak akan merosot sehingga akan menyerah dan tertekan. Dengan hancurnya infrastruktur Irak juga diharapkan akan menimbulkan pemberontakan dalam negeri Irak.

Pada 29 Januari 1991, tanpa diduga sebelumnya, tank-tank Irak berhasil memasuki Kota Khafji di Arab Saudi dan menduudkinya selama dua hari. Serangan tersebut mengakibatkan pasukan multinasional semakin gencar dalam membalas serangan dari pasukan Irak. Pada 13 Februari, bom-bom Amerika Serikat menghantam bunker-bunker sipil Irak yang menewaskan 300 orang penduduk sipil Irak.

Memasuki 23 Februari 1991, pasukan multinasional pimpinan Amerika Serikat melancarkan ultimatum terhadap Irak, yaitu jika pasukan Irak tidak segera ditarik mundur dari Kuwait, maka perang darat akan pecah. Sebaliknya justru Irak menyikapi ultimatum tersebut dengan menyatakan bahwa pasukannya siap berperang. 

Pada 24 Februari 1991, menanggapi sikap Irak yang bersiap untuk perang, pasukan multinasional mengerahkan pasukannya menggempur Irak. Pada hari berikutnya, 25 Februari 1991 pasukan multinasional berhasil menawan 20.000 tentara Irak serta menghancurkan ratusan tank Irak. Pada 26 Februari 1991, Irak mengumumkan pasukannya siap mundur dari wilayah Kuwait. 

Pada 27 Februari 1991, panglima tentara pasukan multinasional, Jenderal Norman Schwarzkopf mengatakan paling tidak 29 Divisi Irak dan lebih dari 300.000 tentara Irak berhasil dilumpuhkan. Pada 28 Februari 1991 pukul 05.00 GMT, George Bush memerintahkan penghentian serangan yang menandai berakhirnya Perang Teluk.

Kondisi Pasca Perang Teluk

Perang Teluk berlangsung relatif singkat karena konflik bersenjata dalam perang tersebut hanya berlangsung kurang dari 60 hari. Namun perang tersebut membawa kerusakan yang amat serius bagi infrastruktur Kuwait. Bagi Irak, Perang Teluk merupakan bencana karena mereka harus kehilangan puluhan ribu tentara dan ribuan kendaraan tempur daratnya. Di pihak pasukan koalisi, keunggulan pengalaman dan teknologi persenjataan militer membuat jumlah korban tewas hanya mencapai 392 jiwa. Jumlah ini tidak termasuk pasukan Kuwait yang gugur saat Irak pertama kali menginvasi Kuwait.

Sebagai hukuman lebih lanjut atas tindakan Irak menginvasi Kuwait dan penggunaan senjata kimia, PBB menjatuhkan embargo perdagangan total kepada Irak, kecuali untuk komoditas vital seperti makanan & obat-obatan. PBB juga mengutus tim khusus untuk melakukan pelucutan dan penghancuran stok persenjataan kimia milik Irak. 

Melemahnya kekuatan militer Irak seusai Perang Teluk sempat dimanfaatkan oleh rakyat Irak untuk memberontak. Di Irak utara, pemberontakan dilakukan oleh etnis minoritas Kurdi. Sementara di selatan, pemberontakan dilakukan oleh ekstrimis Muslim Syiah. Kedua pemberontakan tersebut sama-sama berakhir dengan kegagalan akibat minimnya persenjataan yang mereka miliki dan respon keras yang ditunjukkan oleh militer Irak. Pasca pemberontakan, jutaan etnis Kurdi mengungsi meninggalkan Irak utara & pemerintah Irak merelokasi paksa penduduk Irak selatan.

Perang Teluk juga membawa dampak yang sangat serius bagi lingkungan. Tindakan militer Irak menumpahkan minyak mentah dalam jumlah sangat banyak ke laut membawa dampak negatif jangka panjang bagi ekosistem setempat. 

Saat pasukan Irak meninggalkan Kuwait, pasukan Irak juga membakar kilang-kilang minyak yang ada di Kuwait sehingga jutaan barel minyak hilang terbakar sia-sia dan menimbulkan polusi udara bagi kawasan setempat. Pemadaman tidak bisa dilakukan secepatnya karena daerah sekitar kilang minyak dipenuhi oleh ranjau darat.

Baca Juga  Perjanjian Galuh 739 M

Dampak Perang Teluk

Perang Teluk telah memberikan dampak tidak hanya bagi Irak, melainkan pada kondisi internasional. Di bawah ini adalah beberapa dampak dari Perang Teluk:

Memanasnya Suhu Politik Di Timur Tengah

Invasi Irak ke Kuwait telah menyebabkan suhu politik di Timur Tengah semakin meningkat. Memanasnya suhu politik dapat dilihat dengan adannya pembantaian 22 warga Palestina oleh Israel di Yerussalem Timur pada 8 Oktober 1990. Tragedi Yerussalem sangat berkaitan erat dengan situasi di kawasan Teluk Persia. 

Dalam Perang Teluk, Saddam Hussein berhasil tampil sebagai penggerak kubu radikal melawan kubu moderat, yaitu rezim-rezim yang berkuasa di Mesir, Arab Saudi dan Negara-negara teluk lainnya yang masih menganut sistem monarki. Bangsa Palestina yang selama ini merasa kecewa terhadap tingkah laku politik rezim-rezim tersebut seakan menemukan sosok idola pada diri Saddam Husein. Apabila dalam Perang Teluk selanjutnya yang dilihat Palestina bahwa yang dihadapi Irak tidak hanya Kuwait tetapi pasukan multinasional pimpinan Amerika Serikat yang selalu menganakemaskan Israel, musuh utama Palestina.

Dukungan rakyat Palestina terhadap Saddam Hussein tidak terlepas dari sejumlah faktor diantaranya; 

  1. Sekitar 170.000 orang Palestina tinggal di Irak;
  2. Kegagalan proses perdamaian melalui jalur diplomasi; 
  3. Perlakuan tidak simpatik bekas penguasa Kuwait;
  4. Desakan opini publik Palestina di daerah Tepi Barat dan Jalur Gaza untuk mendukung Saddam Hussein. Sebab pada waktu Perang Teluk, Saddam Hussein juga memanfaatkan momentum yaitu dengan menuntut penarikan mundur tentara Israel dari wilayah Palestina sebagai prasyarat mundurnya tentara Irak dari Kuwait. Dengan adanya Perang Teluk semangat perjuangan rakyat Palestina melawan Israel kembali bangkit.

Selain masalah Palestina, pada 12 Oktober 1990, juga terjadi pembunuhan terhadap pemimpin milisi maronit, Jenderal Michel Aoun di Libanon. Di Mesir, Ketua Parlemen Mesir Rifa’at el-Maghoub dan tiga pengawalnya ditembak mati oleh orang-orang yang tak dikenal. Pemerintah Mesir menduga bahwa pembunuhan misterius tersebut didalangi oleh unsur-unsur pendukung Saddam Husein, yaitu bisa terdiri dari para agen Saddam Hussein atau para ekstremis Palestina. 

Dampak Perang Teluk bagi Mesir juga terasa dibidang ekonomi. Perang Teluk telah mengakibatkan meningkatnya jumlah pengangguran karena terusirnya ratusan ribu tenaga kerja Mesir dari Irak dan Kuwait. Pemerintah Mesir menuduh rezim Saddam Hussein telah merampok lebih dari US$ 12 miliar harta benda tenaga kerja Mesir dari Irak dan Kuwait. 

Dengan kembalinya lebih dari satu juta tenaga kerja Mesir dari Irak dan Kuwait tidak hanya berdampak pada berkurangnya anggaran pendapatan Pemerintah Mesir, tetapi juga menimbulkan masalah sosial ekonominya yang lebih serius, terutama yang berkaitan dengan sektor lapangan kerja, perumahan dan pendidikan. 

Perang Teluk juga mengakibatkan merosotnya pendapatan Mesir dari sektor pariwisata. Sebelum terjadinya Perang Teluk, sektor pariwisata telah menyumbangkan sekitar 10% dari total pendapatan luar negeri. Akibat Perang Teluk, pendapatan dari sektor pariwisata menurun US$ 400 juta sampai US$ 1 miliar karena banyak turis yang membatalkan rencana kunjungan ke Mesir.

Dampak Perang Teluk Bagi Irak

Perang Teluk telah membawa dampak yang luar biasa bagi Irak di bidang ekonomi. Dapat dikatakan bahwa Irak merupakan negara yang paling parah dan menderita di sektor ekonomi akibat Perang Teluk. Secara kasar, kerugian yang ditanggung oleh Irak di bidang ekonomi akibat Perang Teluk diperkirakan mencapai sekitar US$ 500 triliun. Disamping itu Irak harus membayar kerugian perang sebesar US$ 14 miliar. Meskipun demikian Kuwait juga harus menerima kenyataan bahwa 300 dari 500 sumur minyaknya banyak yang hancur akibat aksi bumi hangus yang dilakukan oleh pasukan Irak.

Perang Teluk juga mengakibatkkan Saddam Hussein dan Irak semakin terpojok dan terisolasi dari dunia Internasional. Sanksi Ekonomi yang dijatuhkan oleh Dewan Keamanan PBB yang didukung oleh blokade militer Amerika Serikat dan sekutunya sangat menyulitkan posisi Saddam Husein dalam pergaulan Intenasional. Dalam bidang olahragapun, Irak tidak berhak turut serta didalamnya. Irak disingkirkan dari Pesta Olahraga Asia atau Asian Games tahun 1990 di Beijing dan dari Federasi Sepakbola Internasional (FIFA). 

Tidak hanya sampai disitu saja, pada 30 Nopember 1990,  Dewan Keamanan PBB atas desakan Amerika Serikat dan sekutunya mengesahkan Resolusi No. 678 yang memberikan legitimasi bagi penggunaan kekuatan militer untuk menggempur pasukan Irak. Akibat Perang Teluk, Irak dikucilkan hampir dari semua sektor kehidupan Internasional, baik politik, ekonomi, militer maupun sosial-budaya.

Selain dikucilkan dalam pergaulan Internasional, kondisi dalam negeri Irak juga cukup memperihatinkan, terutama dalam bidang politik. Akibat Perang Teluk, Saddam Husein harus menghadapi berbagai kelompok politik yang berusaha menggulingkan kekuasaannya. 

Sebaliknya, Amerika Serikat dan negara-negara Barat semakin mencengkram Irak dengan menguasai Irak bagian Selatan dengan dalih menjaga balance of power di kawasan tersebut dan melindungi kaum Syiah yang selama ini ditindas oleh Saddam Husein. Larangan bagi Irak untuk terbang di Irak Selatan yang notabene masih menjadi bagian dari wilayah Irak merupakan tamparan yang menyakitkan bagi kedaulatan Irak sebagai sebuah negara.

Normalisasi Hubungan Antara Irak Dengan Iran

Perang Teluk selain sebagai bencana ternyata juga berdampak positif bagi perbaikan hubungan anatar Irak dengan Iran yang bersitegang selama delapan tahun selama Perang Teluk 1. Salah satu factor yang mendorong usaha normalisasi adalah kekecewaan Saddam Hussein terhadap Negara-negara Arab yang selama Perang Teluk 1 sebagian besar mendukungnya kemudian justru secara mengejutkan berbalik menyerangnya dalam Perang Teluk. 

Dalam posisi yang semakin terjepit, maka tidak ada jalan lain bagi Irak untuk mendekati bekas musuhnya dalam Perang Teluk 1, yaitu Iran. Sikap tersebut dimabil oleh Irak setelah melihat bahwa Iran berusaha bersikap netral dalam Perang Teluk. Meskipun Iran mengencam invasi Irak ke Kuwait, tetapi di sisi lain Iran juga sangat menentang kehadiran pasukan multinasional dan kekuatan militer untuk menyelesaikan masalah Perang Teluk.

Pada Agustus 1990, Saddam Husein membuat kejutan ketika memutuskan untuk menerima seluruh syarat yang diajukan oleh Iran demi tercapainya perdamaian antara Irak dan Iran. Di antara syarat tersebut adalah diberlakukannya kembali Perjanjian Algiers tahun 1975 yang pernah dibatalkan secara sepihak oleh Saddam Hussein serta ditaatinya seluruh pasal Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 598 tahun 1988. 

Pada awal September 1990, Menteri Luar Negeri Irak Tariq Azis berkunjung ke Iran. Pada pertengahan November 1990, Menteri Luar Negeri Iran, Ali Akbar Velayati sebagai balasan kunjungan Tariq Azis mengunjungi Irak. Inilah aktivitas pertama saling kunjunga antara pejabat tinggi kedua negara sejak Revolusi Islam Iran tahun 1979. Kunjungan Tariq Azis ke Iran  dan Ali Akbar Velayati ke Irak menandai era baru dalam hubungan kedua negara yang selama delapan tahun (1980-1988) terlibat perang.

Berbeda dengan upaya normalisasi hubungan Iran-Amerika Serikat yang masih mendapat tantangan keras dari kaum mullah radikal, normalisasi hubungan Irak-Iran justru mendapat dukungan penuh dari hampir seluruh elite politik Iran. “New Day for Iran-Iraq, Old Threat From US”, merupakan salah satu judul tajuk rencana harian Kayhan Internasional yang mencerminkan aspirasi kaum mullah garis keras. Bahkan pada 10 September 1990, Ayatullah Shadeq Khalkhali, anggota Majlis Syura Islami dan para tokoh garis keras secara terbuka mendesak pembentukan aliansi militer Irak-Iran guna menghadapi Israel, Amerika Serikat dan Arab Saudi.

Daftar Bacaan

  • Bourque, Stephen A.; Burdan, John. 2007. The road to Safwan the 1st Squadron, 4th Cavalry in the 1991 Persian Gulf War. Denton, TX: University of North Texas Press.
  • Burton, James G. 1993. The Pentagon Wars: Reformers Challenge the Old Guard, Annapolis. Maryland: Naval Institute Press.
  • Dinackus, Thomas D. 2000. Order of Battle: Allied Ground Forces of Operation Desert Storm. Central Point, Oregon: Hellgate Press.
  • Nordeen, Lon; Isby, David. 2010. M60 vs T-62: Cold War Combatants 1956–92. Dual. Illustrated by Richard Chasemore. Oxford, UK: Osprey Publishing.
  • Sifry, Micah; Cerf, Christopher. 1991. The Gulf War Reader. New York, NY: Random House.
  • Smith, Jean Edward. 1992. George Bush’s War. New York: Henry Holt.
error: Content is protected !!

Eksplorasi konten lain dari Abhiseva.id

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca