Perang Tondano (1661-1809)

Perang Tondano

Perang Tondano – Perang Tondano adalah bentuk perlawanan rakyat Minahasa terhadap kepentingan praktik monopoli dan kolonialisme bangsa asing. Kepentingan kolonialisme Belanda yang diwakili oleh kongsi dagang VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) untuk melakukan monopoli di wilayah Kepulauan Nusantara juga merambah ke daerah Sulawesi Utara. Daerah Minahasa juga tidak terlepas dari upaya VOC untuk menyebarkan pengaruh dari kolonialismenya, inilah yang kelak akan menyebabkan terjadinya Perang Tondano (1808-1809). Sebelum kedatangan VOC, para pemimpin dari etnis Minahasa telah menjalin hubungan dengan bangsa barat lainnya yaitu Spanyol. Perlu diketahui bahwa Spanyol terlibat persaingan dalam penguasaan jalur pelayaran dan perdagangan laut dengan Portugis dan juga Belanda.

Spanyol yang telah mengalami konflik dengan Portugis di daerah Maluku Utara yang pada saat itu berada di tengah-tengah persaingan antara kerajaan lokal yaitu Ternate dan Tidore secara terpaksa harus meninggalkan kepulauan Maluku setelah adanya Perjanjian Saragosa (1529). Perjanjian Saragosa ini telah menyebabkan Spanyol harus angkat kaki dari kepulauan Maluku dan merelakannya kepada Portugis.

Namun, bukan berarti bahwa dengan Spanyol meninggalkan kepulauan Maluku maka telah selesai pula usaha-usaha yang dilakukan oleh Spanyol untuk menguasai perdagangan yang ada di Kepulauan Nusantara. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Spanyol mulai menjalin hubungan perdagangan dengan daerah Minahasa yang sangat dekat dengan daerah kolonialnya di kepulauan Filipina.

Setelah Belanda berhasil mengalahkan Portugis untuk mendapatkan hegemoni perdagangan di Maluku, maka spanyol harus berhadapan dengan Belanda. Setelah Belanda berhasil mengantarkan pengaruhnya dengan cukup besar di Pulau Jawa dengan mendirikan pusat pemerintahan VOC di Batavia serta berhasil menaklukkan dan melemahkan kekuatan politik yang ada di Pulau Jawa, VOC mulai melakukan penetrasi politiknya ke berbagai wilayah di Kepulauan Nusantara, salah satunya Minahasa.

Perlu diketahui, hal yang menarik dari Minahasa bagi VOC adalah Minahasa sebagai salah satu penghasil beras utama yang terbesar di kawasan timur Kepulauan Nusantara. Sehingga VOC mulai melakukan penetrasi politiknya dengan cara menjalin hubungan dagang dengan para walak (walak ini adalah suatu organisasi sosial yang ada di Minahasa semacam subetnik) di daerah Tondano. Sebagai tindak lanjut dari hasil hubungan antara VOC dengan para walak, VOC berhasil membangun permukiman di Sulawesi Utara yang dilengkapi dengan sebuah benteng yang mana benteng itu diberi nama dengan Fort Amsterdam.

Akan tetapi, meskipun VOC telah berhasil membangun sebuah benteng mereka belum mampu mengendalikan keadaan di kawasan itu seutuhnya. Hal ini disebabkan oleh karena VOC selain menghadapi persaingan dengan kerajaan Bolaang, yang terletak di daerah Bolaang Mongondow, para walak Minahasa tidak seluruhnya menunjukkan sikap hendak menjalin hubungan dagang ataupun hubungan politik dengan VOC. Melihat situasi ini, gubernur VOC yang berada di kepulauan Maluku, Robertus Padtbrugge, melakukan perjalanan ke Minahasa dan sejumlah daerah lainnya dengan maksud tujuan untuk membuat atau memperbarui perjanjian.

Robertus Padtbrugge menemui sejumlah pemimpin Minahasa dan pada tanggal 10 Januari tahun 1679 VOC dan para walak Minahasa telah mencapai kesepakatan untuk membuat sebuah perjanjian yang mana perjanjian tersebut disebut dengan perjanjian tahun 1679. Perjanjian tahun 1679 mengatur berbagai hal di sekitar hubungan dan kepentingan Minahasa dan pihak VOC . Khusus mengenai status hubungan kedua belah pihak terdapat penafsiran yang berbeda.

Berdasarkan salinan dokumen perjanjian tahun 1679 yang disusun oleh VOC, minahasa dinyatakan adalah sebuah daerah bawahan (orderdaan) VOC. Namun, menurut pandangan dari pihak Minahasa yang diwariskan secara turun-temurun, perjanjian itu mengatur hubungan yang setara antara Minahasa dan pihak VOC dalam bentuk persahabatan (vriendschap) yang berarti bahwa Minahasa adalah sekutu VOC (bondgenoot), bukan sebagai bawahan VOC.

Pada masa-masa perbedaan akan penafsiran mengenai status hubungan antara Minahasa dan VOC kerap tampil ke permukaan sebagai sumber dan inspirasi perlawanan terhadap tatanan kolonial Belanda. Munculnya berbagai pergerakan Keresidenan Manado pada abad ke-19 berkaitan dengan persoalan penafsiran dari perjanjian tahun 1679.

Selain permasalahan mengenai penafsiran dari perjanjian, ketentuan lainnya adalah bahwa Minahasa akan memberikan bantuan kepada VOC dengan menyalurkan sejumlah kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan yang sangat diperlukan oleh VOC adalah beras dan kayu yang akan digunakan oleh VOC Selain sebagai komoditas Niaga juga digunakan sebagai bahan bangunan untuk pembangunan pemukiman di Minahasa. Perjanjian itu diperbarui kembali pada tahun 1699 dan tahun 1790

Hubungan Rakyat Minahasa Dengan VOC

Di dalam upaya untuk memperluas kan pengaruhnya, sebagaimana yang telah terjadi di daerah-daerah seperti di Jawa dan juga Maluku, VOC mulai mencampuri berbagai urusan dalam kehidupan para walak di Minahasa. Kehadiran VOC di wilayah Minahasa telah berkembang menjadi semacam kekuatan pengimbang dan perimbangan kekuatan antar walak.

Maksud dari pernyataan di atas adalah bahwa di Minahasa sendiri sering terjadi persaingan antar-walak, sehingga kehadiran VOC dinilai penting, sebab VOC dapat dijadikan sebagai sekutu mereka untuk menjadi yang paling berpengaruh di antara para walak di Minahasa. Seringkali terjadi persaingan yang berkembang menjadi sebuah pertempuran antar walak di Minahasa yang mana VOC selalu melibatkan diri dengan cara memihak kepada salah satu walak yang sedang bertikai.

Jadi tidaklah mengherankan apabila keterlibatan itu semakin memperuncing konflik yang terjadi di sehingga jalan musyawarah yang biasanya ditempuh oleh para pemimpin walak Minahasa dalam mencari jalan keluar sebuah persoalan yang timbul di antara mereka sangat sulit untuk dilakukan. Namun di pihak VOC mereka memperoleh keuntungan sebab VOC telah mendapatkan sekutu-sekutu yang dapat diandalkan kesetiaannya, di samping memperoleh hasil bumi dan hutan untuk kebutuhan mereka.

perang tondano

VOC sebagaimana yang telah mereka lakukan terhadap Kerajaan Mataram Islam di Jawa, di Minahasa VOC juga melakukan intervensi di dalam proses pemilihan pemuka walak atau yang biasa disebut dengan ukung, yang mana semestinya menurut adat istiadat Minahasa proses pemilihan ukung ini dilakukan secara bersama-sama melalui musyawarah. Sehingga seringkali terjadi kekisruhan di dalam proses pemilihan ukung itu akibat intervensi yang dilakukan oleh pihak VOC dan tentu saja ukung yang dipilih adalah orang yang disenangi atau dianggap dapat bekerjasama dengan VOC.

Baca Juga  Prasasti Muara Cianten 536 M: Kemenangan Raja Sunda Atau Tarumanegara?

Selain itu VOC juga menuntut adanya kewajiban dari penduduk Minahasa yaitu mengenai penyaluran beras atau leverantie yang semakin lama tuntutan itu semakin berat. Perlu diketahui bahwa Minahasa telah dijadikan lumbung beras bagi pasokan kebutuhan pangan VOC yang ada di kepulauan Maluku.

Di dalam menjalankan tugas untuk melancarkan pasokan kebutuhan beras itu, maka dibentuklah sebuah kelompok yang mana di dalam melaksanakan tugasnya kelompok tersebut seringkali melampaui kewenangan mereka dengan cara melakukan intimidasi dan melakukan teror terhadap petani Minahasa. Selain itu kelompok ini juga menimbun kekayaan untuk diri mereka sendiri dengan cara menyita perabot rumah tangga karena perhiasan budak dan hasil pertanian lainnya yang mana hal itu sangatlah melampaui batas.

Memasuki akhir abad ke-18, Residen Minahasa, G. F. Durr memberlakukan hukuman denda yang penentuan kesalahan dan besar jumlahnya diputuskan oleh dirinya sendiri. Keadaan yang seperti itu terus berlangsung dan memperlihatkan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan belanda yang mendahulukan kepentingannya sendiri. Menanggapi keadaan yang sedemikian menekan itu, para pemimpin Minahasa terpecah menjadi beberapa kelompok dalam hal ini bisa dikatakan secara umumnya terpecah menjadi dua, yang memihak VOC dan menentang VOC.

Dikalangan para pemimpin Minahasa setelah muncul rasa ketidakpercayaan terhadap VOC yang dipandang banyak melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan yang ada. Tindakan VOC dipandang telah melanggar ketentuan perjanjian yang menyatakan bahwa Minahasa adalah sekutu, bukan bawahan sebagaimana penanfsiran para walak terhadap perjanjian tahun 1679. Jangan begitu telah memunculkan solidaritas di antara para walak Minahasa yang resah terhadap ketidakadilan itu.

Situasi Abad ke-19

Memasuki abad ke-19 kekuasaan VOC mulai runtuh yang dikarenakan oleh kebangkrutan dimana seluruh aset-aset VOC diambil alih oleh kerajaan Belanda. Akan tetapi, tindakan dan pengaruh VOC di Minahasa tidak hilang begitu saja. Pada tahun 1802, Residen Durr digantikan oleh Carel Christoph Prediger Jr. Prediger. Sebagai residen yang baru.

Prediger memperlihatkan harapan-harapan bahwa ia akan melakukan perubahan terhadap keadaan masyarakat yang timpang di Minahasa. Hal ini nampak terlihat dari tindakannya yang melaporkan segala penyelewengan dan kebobrokan yang dilakukan oleh residen sebelumnya kepada atasannya. Selanjutnya Prediger melakukan pendekatan kepada ukung-ukung Minahasa dengan melakukan pembaharuan di dalam perjanjian-perjanjian yang sebelumnya.

Akan tetapi di dalam perjanjian itu prediger menuntut agar rakyat Minahasa menyalurkan beras secara sukarela kepada VOC, yang mana hal ini mendapatkan tantangan keras dari para ukung. Meskipun prediger menyatakan tidak akan mencampuri dalam urusan para walak Minahasa. Para hukum wala menuntut kepada Prediger agar memecat Urbanus Matheos, seorang anggota kelompok pengumpul hasil bumi Minahasa di masa Residen Durr.

Matheos ini dikenal di kalangan masyarakat Minahasa sebagai seorang pemeras dan juga penindas. Keresahan yang sering terjadi di kalangan walak Minahasa sering bersumber pada ulah yang dilakukan oleh Matheos. Akan tetapi Prediger tidak mengabulkan permintaan para ukung itu, sehingga hubungan di antara para ukung dan Prediger mulai tidak harmonis.

Memasuki masa kekuasaan Prancis di Hindia-Belanda, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang baru, H. W. Daendels, mengeluarkan keputusan untuk membangun garis pertahanan untuk koloni Hindia-Belanda terhadap berbagai kemungkinan dari serbuan Inggris. Pertikaian Belanda dan Inggris bersumber sejak negeri Belanda dikuasai oleh Prancis.

Sejak meletusnya Revolusi Prancis tahun 1789, Napoleon Bonaparte mulai memperluas revolusinya ke seantero Eropa dan mendapatkan perlawanan dari kalangan monarki terutama Inggris. Napoleon Bonaparte melakukan berbagai ekspansi untuk memperluas wilayah kekuasaannya termasuk ke negeri Belanda dan berhasil menguasai negeri itu pada tahun 1806. Maka dengan penaklukan Prancis terhadap Belanda, seluruh wilayah kekuasaan Kolonial Belanda jatuh ke tangan Prancis, termasuk di Hindia-Belanda.

Di Hindia-Belanda, Prancis mulai menanamkan pengaruhnya melalui penunjukan kan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, H. W. Daendels yang ditunjuk sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda yang baru diberikan tugas utama untuk mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris. Oleh karena itu Daendels membutuhkan tentara dalam jumlah yang cukup untuk membangun sebuah pasukan tempur yang tangguh untuk menahan gempuran Inggris.

Salah satu upaya yang ditempuh adalah dengan mengerahkan penduduk dari sejumlah daerah jajahan di Hindia-Belanda. Minahasa pun juga menjadi salah satu rencana dalam pengarahan tentara itu sebab Minahasa dianggap sebagai daerah jajahan Belanda yang kini diambil alih oleh Prancis.

Gubernur Jenderal Daendels, mengirim Kapten Hartingh ke Manado untuk mendaftar pemuda-pemuda di Minahasa sebagai tentara Prancis. Prediger yang pada saat itu masih menjabat sebagai residen di Minahasa mendapatkan tugas untuk mendata pemuda-pemuda minahasa yang akan direkrut sebagai tentara dan dengan segera mengadakan pertemuan dengan para ukung walak Minahasa di Air Madidi pada tanggal 10 Mei 1808. Namun, ketika itu tidak semua pemimpin walak dapat hadir sehingga pertemuan mengalami penundaan sampai tanggal 19 dan 20 Mei 1808.

Di dalam pertemuan tanggal 19 sampai 20 mei itu Prediger menyampaikan jumlah yang dibutuhkan yakni sekitar 2.000 pemuda minahasa yang perimbangan jumlahnya untuk setiap walak disesuaikan dengan kepadatan penduduk. Para pemuda itu akan dikirim ke Pulau Jawa untuk dilatih menjadi tentara dan akan kembali ke kampung halaman selama 5 tahun. Sebagai imbalannya pemerintah kolonial memberikan kain dan sejumlah uang kepada pihak ukung yang ditetapkan juga sebagai pemasok pengerahan tenaga pemuda itu.

Pernyataan Prediger mengenai lamanya para pemuda itu dikirim ke pulau Jawa tidak begitu dipercayai oleh para ukung. Sebab prediger tidak dapat memberikan jaminan kepastian bahwa pemuda itu benar-benar dikirimkan hanya selama lima tahun karena bisa jadi pengiriman itu adalah untuk selamanya.

Sehingga yang terjadi adalah para ukhung menolak keinginan yang disampaikan oleh Prediger itu tentang pengerahan pemuda Minahasa. Meskipun mendapat tantangan dari para ukung, Prediger tetap memaksakan kehendaknya agar tercapai kesepakatan mengenai pengiriman pemuda itu dengan memberikan pernyataan bahwa pertemuan tanggal 19 sampai 20 Mei itu akan dibahas kembali dalam musyawarah atau pertemuan walak.

Baca Juga  Alat Tulang Di Indonesia

Di dalam pertemuan para walak dirumah Matulandi di Tondano touliang tanggal 2 Juni 1808 usulan Prediger tentang pengerahan pemuda itu kembali tidak mendapatkan persetujuan. Pembicaraan tentang pengerahan itu menjadi pokok utama dan menjadi bersifat sesegera mungkin karena sebagaimana yang terjadi di Tomabariri telah terjadi pemanggilan pemuda secara sepihak tanpa persetujuan ukung-nya.

Di dalam pertemuan itu justru diungkapkan ketidakpuasan para ukung terhadap kebijakan dan tindakan pihak Belanda selama ini. Bukan hanya masalah pemuda yang menjadi pokok pembahasan tetapi juga mengarah pada pemasokan beras secara sukarela dan kehadiran tentara dari luar Minahasa, yang mana berdasarkan ketentuan adat-istiadat keadaan itu tidak dapat dibenarkan atau dibiarkan hingga berlarut-larut.

Beberapa walak yang menghadiri pertemuan itu diantaranya adalah Kakas, Remboken, Sonder, Tounsarongsong, Tompaso, Kawangkoan, Tombasian, Tonsea, Klabat, Tondano, Tomohon-Sorongsong, dan lainnya.

Puncak pertemuan itu menghasilkan kesepakatan yang di antaranya adalah menghentikan pasokan beras secara sukarela kepada Belanda, mendesak penarikan armada kora-kora serta tentaranya, menolak rekrutmen pemuda menjadi tentara Belanda dan akan melakukan perlawanan bersenjata apabila Belanda memaksakan kehendaknya juga. Keputusan itu diperkuat secara adat-istiadat dengan pernyataan ikrar atau sumpah bersama di antara para ukung walak.

Pada tanggal 6 Juni 1808 para peserta yang hadir di dalam pertemuan setuju untuk menolak tuntutan itu dan mereka mengangkat sumpah untuk kesepakatan yang dicapai yaitu;

  1. Bahwa pemerintah hindia-belanda menuntut daripada apa yang disepakati di dalam kontrak seperti membagikan uang kepada pemuda-pemuda agar mau diajak menjadi tentara hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya.
  2. Bawa harga kain sebagai alat pembayaran ketika itu sudah meningkat dibandingkan kesepakatan semula.
  3. Bahwa mereka tidak ingin lagi membayar setengah ganteng padi Setiap keluarga untuk membiayai kora-kora yang menjaga keamanan pantai terhadap ancaman lanun (bajak laut) Mindanao karena bajak laut tetap merajalela.
  4. Tidak mau lagi melaksanakan kerja wajib seperti pemeliharaan benteng di Manado.
  5. Apabila pemerintah Hindia Belanda tidak mau mengubah apa yang ada mereka akan mengatur urusan mereka sendiri dan itu artinya mereka tidak lagi mengakui kekuasaan Belanda di Minahasa.

Di dalam pengangkatan Sumpah itu ukung Lonto memegang sagu-sagu atau sejenis tombak, Mamait mencekal Parang dan Matulandi mengangkat lelutan atau senapan. Setelah itu keputusan musyawarah diberikan kepada utusan Belanda yang hadir untuk disampaikan kepada Prediger di Benteng Fort Amsterdam.

Jelaslah kiranya bahwa tanggapan yang diberikan melalui ikrar itu telah dengan keras menolak kebijakan-kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda, meskipun tidak sepenuhnya didukung oleh seluruh walak. Pertemuan itu tidak dihadiri oleh walak Tonsawang, Ponosokan, Ratahan, Pasan, Langowan, Tikala, Arus, Bau, dan Mawuning. Hasil kesepakatan itu disampaikan oleh Maramis dari Klabat di Bawah kepada Prediger. Kabar itu juga diperoleh oleh Prediger dari sejumlah kepala walak yang tidak hadir, seperti Korengkeng dan Dotulong.

Ukung Kalito juga memberikan laporan tentang pertemuan itu beserta hasilnya kepada Prediger dengan maksud untuk meyakinkan Prediger agar mau menghargai dan memahami adat istiadat Minahasa yang demokratis. Ukung Kalito menekankan masalah pentingnya para pemuda Minahasa membina pertahanan sendiri di Minahasa yang sesungguhnya sangat dibutuhkan dalam menghadapi ancaman perompak terutama dari Mindanao.

Oleh karena itu, seluruh pembayaran dan kain-kain yang telah diberikan kepada para walak Minahasa dikembalikan seutuhnya kepada Prediger. Hal itu berarti bahwa Minahasa tidak lagi terikat dengan kesepakatan pengerahan sejumlah 2000 pemudanya menjadi tentara Belanda.

Setelah mendapatkan keterangan itu, Prediger masih tetap mencoba untuk melakukan pendekatan yang diikuti dengan intimidasi. Akan tetapi, upaya itu telah memperkuat kecurigaan para walak Minahasa. Sejak saat itu, dikalangan walak-walak sendiri telah terjadi pengelompokan diantara mereka yang setuju dan menolak usulan Prediger. Pihak yang mendukung usulan itu juga berusaha memengaruhi para ukung yang menolak, sehingga telah menyebabkan perpecahan diantara mereka sendiri.

Jalannya Pertempuran

Utusan yang kembali melaporkan hasil dari pertemuan di Minawanua itu berusaha untuk meyakinkan Prediger bahwa tidak ada niatan untuk mengadakan gerakan di kalangan ukung Minahasa. Terkecuali apabila Belanda menanggapinya dengan pendekatan kekerasan. Pada mulanya Prediger menggunakan pengaruhnya dikalangan pemimpin walak Minahasa dengan mengundang mereka untuk berkunjung ke Fort Amsterdam.

Akan tetapi, ajakan yang dilakukan oleh Prediger itu ditolak karena pengalaman terhadap jebakan yang dilakukan oleh Belanda yang pernah menangkap sejumlah hukum Minahasa di masa lalu ketika berada di benteng Belanda belum hilang dari ingatan para walak sehingga upaya yang dilakukan oleh Prediger tidak membuahkan hasil.

Prediger masih berusaha melakukan pendekatan dengan sejumlah cara ia mengirim bawahannya, Wendertyd dan Mai Malo, ukung kakaskasen untuk menyelidiki keadaan dan membujuk para ukung agar membatalkan penolakan mereka menemui Lonto dan sejumlah walak di Tondano tetapi hal ini pun juga tidak mendapatkan keberhasilan. Sebab mereka yang diutus oleh Prediger ini dihadang di Koya oleh kelompok Lonto dan Tewu yang memperingatkan agar tidak melanjutkan perjalanan karena keselamatan mereka tidak terjamin.

Kapten Hertingh yang juga mendengar hasil dari pertemuan di Tondano itu kemudian mengirimkan sejumlah tentara dengan pesan bahwa ia yang akan datang sendiri ke Tondano. Akan tetapi tanggapan yang diperoleh adalah bahwa kehadirannya tidaklah dikehendaki di Tondano.

Meskipun mengalami kegagalan ini, prediksi masih mencoba untuk menempuh cara yang persuasif. Prediger mengira bahwa ia telah mengalami kekeliruan karena mengirim Mai Malo, yang menurut prediksi Mai Malo tidak disukai oleh Lonto. Oleh karena itu prediksi mengutus Karundeng dari Kampung Baru Kambey Lasut dari Ares serta Kaunang dan Paat dari Lotta. Ternyata putusan yang dikirim oleh Prediger ini diterima oleh Lonto.

Lonto menceritakan kepada utusan Prediger ini bahwa rakyatnya merasa terancam dan tidak bersedia untuk memenuhi tuntutan Prediger. Lonto juga telah menerima ancaman bahwa Prediger akan membakar rumahnya dan juga mengeluarkan isi perutnya. Kemudian lonto diundang untuk datang ke Manado dan menyampaikan sendiri perihal penolakan itu kepada prediger. Setelah tiba di Manado, Lonto kemudian menyatakan penolakannya karena dia masih mengingat akan peristiwa yang dialami oleh Pangalila dan ukung lainnya yang diundang oleh Residen Schierstein ke Fort Amsterdam tetapi kemudian malah ditangkap.

Baca Juga  Revolusi Beludru Cekoslowakia 1989

Prediger masih berusaha menarik dukungan dari sejumlah ukung Minahasa dengan cara ia berangkat sendiri ke pedalaman Minahasa beserta pasukan pengawalnya. Di dalam perjalanan itu tidak banyak ukung yang bersedia menemui dirinya. Bahkan di sejumlah walak predikat menemui sikap bermusuhan dari para penduduknya. Sejumlah ukung yang menerima kunjungan Prediger telah mendapatkan ancaman akan diserang oleh Pasukan gabungan beberapa walak. Di Tara Tara, Prediger mendapati jalan-jalan diri jembatan di putus dan ratusan Pemuda bersenjata tombak mulai menghadang dan menyerangnya, namun Prediger berhasil meloloskan diri.

Setelah penyerangan itu Prediger mulai melakukan siasat memecah-belah para ukung Minahasa. Prediger mengundang Korengkeng dan Sarapung yang pernah menyatakan bahwa mereka tidak akan bergabung dengan gerakan penolakan terhadap Prediger itu. Korengkeng dan sarapung mereka menyatakan tidak mampu untuk mempengaruhi sikap keras dari penolakan tersebut sebab pengaruh Tewu dan matulandi tidak dapat mereka tandingi dalam mempengaruhi para Walak yang melawan itu. Sementara itu sekutu mereka lumingkewas dan Sepang diketahui telah berada di pihak walak yang menolak prediger.

Setelah menemui berbagai kegagalan itu akhirnya memutuskan untuk menempuh cara kekerasan. Keputusan prediger itu disampaikan kepada atasannya Gubernur Maluku, Carel Lodewijk Wieling. Beberapa waktu kemudian, Wakil Gubernur Maluku, Erhard Christiaan Lantzuis tiba di Minahasa untuk mencoba menyelesaikan persoalan yang ada. Setelah mendengar langsung penjelasan yang diberikan oleh prediger, Lantzuis menyetujui rencana prediger untuk menggunakan cara kekerasan. Oleh karena itu segera dipersiapkan rencana dan pembentukan pasukan untuk melakukan peperangan.

Sambil menunggu bantuan yang diperlukan dari Ternate lantzuis berusaha untuk tidak memperkeruh keadaan yang ada. ia berusaha melakukan pendekatan kepada para ukung Minahasa sambil meyakinkan mereka bahwa pengarahan pemuda itu bersifat tidak memaksa. ia mengusulkan untuk mengadakan pembicaraan dengan melakukan pertemuan di Kawangkoan dengan para ukung pada tanggal 20 Agustus 1808. Namun, gagasan itu tidak terlaksana karena jalan-jalan tempat itu telah ditutup oleh para wali yang terdiri dari kepala walak Kawangkoan, tuyu yang tidak bersedia menjadi tuan rumah pertemuan itu.

Pada waktu itu pula para walak Minahasa melakukan persiapan untuk menghadapi segala kemungkinan. Cara yang ditempuh adalah melakukan konsolidasi kekuatan dengan mengirimkan pasukan ke Tondano untuk memperkuat pasukan yang ada. Pemimpin pasukan ditetapkan, yakni Tewu dari walak Tondano yang dibantu oleh Wailantukan, Walalangi, Rumaper dan Rumambi.

Mereka mengirimkan utusan ke Filipina melalui Atep untuk memperoleh perlengkapan senjata. Inggris yang saat itu telah berada di Sulu, berusaha untuk menancapkan pengaruhnya. Sehingga utusan itu kembali ke Minawanua disertai dengan senapan, Meriam, dan amunisi yang diperoleh dengan cara barter dengan Inggris.

Pertempuran antara para walak Minahasa dan pihak Belanda pun tidak dapat terelakkan. Pertempuran itu telah menyebabkan korban berjatuhan dalam jumlah besar bagi kedua belah pihak. Belanda yang merasa bahwa pertempuran itu harus segera diakhiri, pada tanggal 24 April 1809 komando pasukan yang dipimpin oleh Prediger digantikan oleh Letnan Herder dan pada tanggal 8 Juni 1809 Martinus Balfour yang dibantu oleh Kapten Weintre mengambilalih kekuasaan dan tugas Prediger sebagai residen di Minahasa.

Belanda selanjutnya melakukan intimidasi kepada walak-walak yang berada di luar wilayah Tondano untuk mengganggu penyaluran kebutuhan para walak yang berjuang di Tondano. Hubungan dagang dengan Inggris yang selama ini memberikan persenjataan kepada para pejuang di Tondano juga terputus setelah Kapten Don Escarilla dari Inggris ditangkap beserta kapalnya di perairan Teluk Manado. Selain itu, daerah timur dan selatan Minahasa yang telah dikuasai oleh Belanda juga menyebabkan bantuan ke Tondano tersendat-sendat.

Martinus Balfour kemudian mempersiapkan pasukannya untuk merebut pertahanan Tondano. Martinus Balfour menunjuk Kapten Weintre yang berpengalaman untuk mengadakan terror dan operasi militer disekitar Danau Tondano. Letnan Herder meningkatkan patrol di Danau Tondano untuk memutusan hubungan pertahanan musuh dengan Minahasa Selatan. Menghadapi strategi Belanda ini, telah berhasil mempersulit gerakan dari pejuang-pejuang di Tondano. Meskipun begitu, mereka tetap melakukan perlawanan.

Akhir Perang Tondano

Martinus Balfour mulai berhasil menutup jalur-jalur logistik yang mengarah ke Tondano dan kembali menyerang Tondano pada 5 Agustus 1809. Penyerangan itu menargetkan Minawanua yang menjadi pusat dari pertahanan di mana terdapat benteng Moraya dan Papal. Selama empat hari Belanda menggempur Minawanua dan berhasil merebut kedua benteng itu. Setelah berhasil merebut kedua benteng, Kapten Weintree memasuki perkampungan dan melakukan pembantaian terhadap penduduk atau apapun juga yang ada di Minawanua. Sisa-sisa pejuang berhasil melarikan diri dan tetap melakukan perlawanan di luar Tondano dalam kelompok-kelompok kecil.

Pemerintah Hindia-Belanda kemudian memberikan pengampunan kepada pihak pemberontak asalakan mereka mau mengakui kedaulatan Belanda. Namun, para pemimpin perlawanan seperti Lumingkewas, Matulandi, Mamait, dan Lonto tidak termasuk ke dalam penganugerahan itu. Selanjutnya Jacop Supit ditunjuk untuk menjadi pemimpin mereka yang bersedia menyerah kepada Belanda.

Martinus Balfour juga mengusulkan kepada atasannya di Maluku untuk mengizinkan mereka membangun pemukiman kembali di dekat Marumbi, Air Madidi, dan pinggiran Sungai Tondano agar dapat dengan mudah diawasi. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi, sebab Inggris mengambil alih kekuasaan Belanda di Minahasa pada tahun 1810.

Pihak Inggris memanggil Matulandi dan Mamait dari persembunyian mereka di hutan. Inggris mengangkat mereka kembali sebagai kepala walak Tondano dan Remboken. Sementara itu, Tewu, Sepang, dan Lonto yang dibuang di Ternate dikembalikan ke Minahasa. Para mantan pejuang Minahasa itu diberi izin untuk membangun permukiman di tempat yang lama di sebelah utara Minawanua. Di sebelah kiri Sungai Tondao adalah untuk orang Touliang dan di sebelah kanan untuk orang Toulimambot.

Daftar Bacaan

  • Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Beri Dukungan

Beri dukungan untuk website ini karena segala bentuk dukungan akan sangat berharga buat website ini untuk semakin berkembang. Bagi Anda yang ingin memberikan dukungan dapat mengklik salah satu logo di bawah ini:

error: Content is protected !!

Eksplorasi konten lain dari Abhiseva.id

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca