Perdagangan zaman Kerajaan Islam di Indonesia sangat berkaitan dengan perkembangan dan bentuk dari pola pelayaran yang terjadi sejak periode kuno. Pola pelayaran dan perdagangan di Kepulauan Nusantara abad ke-16 merupakan fenomena yang unik. Hal itu tidak hanya seputar tentang jalur-jalur dan barang-barang yang diperdagangkan, dikomoditaskan. Akan tetapi aktivitas perdagangan itu tidak terlepas dari pelaku perdagangan yang terlibat di dalamnya. Pola-pola umum yang terjadi di belahan dunia lain tidaklah dapat direpresentasikan memiliki kesamaan yang mencolok dengan apa yang terjadi di Kepulauan Nusantara.
Pemilik Modal Pelayaran dan Perdagangan Zaman Kerajaan Islam
Sultan Agung dari Mataram (1613-1645) ketika menerima utusan dari VOC, Rijckloff van Goens, mengatakan bahwa ia bukan seorang pedagang seperti Sultan Banten. Berdasarkan pernyataan ini dapat jelas terlihat terdapat perbedaan antara kerajaan agraris yang penghasilannya didasarkan atas hasil sumber daya pertanian dan hutan dengan kerajaan pesisir yang sebagian besar penghasilannya didasarkan atas perdagangan dan pelayaran.
Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Tome Pires dalam Suma Oriental, raja-raja Pahang, Kampar dan Inderagiri mempunyai kantor dagangnya di Malaka, sekalipun pada umumnya peranan mereka pasif. Raja-raja ini tidak memiliki kapal, tetapi melalui perwakilannya di Malaka, mereka memiliki saham dalam kapal dan perahu yang berlayar dari Malaka.
Sistem partnership yang diterapkan oleh raja-raja Pahang, Kampar dan Inderagiri yang juga dikenal di Eropa pada periode yang sama, dan disebut dengan istilah commenda, berlaku dalam sebagian besar perdagangan di sini. Kecuali sang raja, pembesar-pembesar negeri lainnya pun turut mengadu untung dalam berbagai usaha perdagangan dan pelayaran.
Untuk membuat kapal besar dan mengisi ruangan penuh dengan barang dagangan sudah tentu diperlukan modal yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, peran raja dan pembesar negeri untuk menginvestasi sebagian dari hartanya dalam perdagangan dan pelayaran ini sangat penting. Mereka inilah yang menghimpun modal untuk melengkapi kebutuhan kapal dan muatannya.
Di samping itu, ada kapal-kapal di Pelabuhan Malaka yang menjadi sepenuhnya milik sultan, dan dalam hal ini perdagangan dijalankan oleh seorang saudagar yang bertindak atas nama sultan. Terkadang tugas ini diserahkan kepada nahkoda. Berdasarkan keterangan Tome Pires, pada setiap jung yang berangkat dari Malaka ada sebagian barang dagangan milik sultan dan jumlahnya relatif tergantung dari kesepakatan antara sultan dan saudagar.
Sultan Muzaffar Syah (1446-1459) dari Kerajaan Malaka memerintahkan kepada petugas pelabuhan supaya dibuatkan kapal baginya, kemudian diperintahkannya kapal itu untuk berlayar dengan dagangannya yang dititipkan kepada para pedagang. Pada waktu kota Malaka baru saja jatuh ke tangan Portugis (1511), orang-orang Portugis berhasil menangkap kapal milik sultan yang membawa barang dagangan, antara lain terdiri dari kain Koromandel yang ditaksir seharga 12.000-15.000 cruzados. Selain itu, juga terdapat muatan kain kepunyaan para pedagang Koromandel yang berdiam di Malaka
Dari usaha perdagangan ini sultan dapat mengumpulkan harta yang besar. Dengan penghasilan bea cukai yang dipungut dari barang impor ditambah dengan pajak lainnya, kekayaan sultan bertambah dengan semakin ramainya kapal-kapal dan saudagar-saudagar yang mengunjungi bandar. Sultan Alauddin Syah dikatakan mempunyai harta yang ditaksir kira-kira 8824 kg emas. Berdasarkan keterangan yang diberikan di dalam Hikayat Hang Tuah, bahwa raja-raja itu memilki beragam barang yang berwarna emas, selain itu keris raja disalut intan dengan sarungnya emas.
“Keadaan di kota-kota pelabuhan lainnya mungkin tidak sama, keadaan tidak semakmur jika dibandingkan dengan keadaan Malaka sebelum jatuh ke tangan Portugis. Akan tetapi, ejekan Sultan Agung bahwa Sultan Banten adalah seorang saudagar, dan keterangan seorang Prancis yang mengunjungi Aceh pada tahun 1620-1621 bahwa Sultan Iskandar muda adalah pedagang, hal ini menunjukkan baik Banten maupun Aceh raja ikut mencari untung dengan usaha dagang.”
Apa yang terjadi di Pelabuhan Banten, bersesuaian dengan keterangan yang diberikan oleh Lodewycksz pada tahun 1596:
“Para pedagang yang kaya pada umumnya tinggal di rumah, bilamana ada kapal ingin berangkat, mereka menyerahkan sejumlah uang kepada orang yang akan berlayar dengan maksud tujuan bahwa uang ini akan dikembalikan nanti dua kali lipat berdasarkan perjanjian yang telah dibuat. Jumlah uangnya kurang lebih sesuai dengan lama dan jauhnya perjalanan. Jika pelayaran ini berhasil baik, pemberian uang dibayar kembali sesuai dengan perjanjiannya. Akan tetapi, jika peminjam uang tidak sanggup membayarnya kembali karena suatu kemalangan, maka ia harus memberikan istri dan anaknya sebagai jaminan sampai utangnya telah lunas, kecuali apabila kapalnya karam, dalam hal ini pemilik modal kehilangan uang yang dipinjamkannya”.
Lodewyckz (1596)
Berdasarkan keterangan ini, bukan berarti dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa aktivitas perdagangan di Banten berjalan demikian. Namun jika memperhatikan sistem perdagangan yang dijalankan di Banten memiliki kemiripan dengan sistem yang terjadi pada umumnya di wilayah Asia Tenggara, bahkan juga yang terjadi Eropa. Kegiatan perdagangan dalam hal ini terkait dengan modal, tidak hanya modal pelayaran dan perdagangan diberikan oleh orang kaya setempat, bahkan adakalanya modal yang digunakan berasal dari pedagang asing.
Kalangan birokrasi kerajaan seperti raja, tumenggung, bendahara maupun adipati dan para orang kaya bukanlah saudagar dalam arti kata yang sebenarnya. Mereka berdagang dalam bentuk commenda, yakni menyerahkan barang dagangan kepada orang lain untuk diperdagangkan, ataupun hanya memberi uang sebagai modal. Seperti tuan tanah yang menyewakan sawah-ladangnya kepada petani atas dasar bagi hasil, demikian pula para hartawan menyerahkan barang dagangannya (rempah-rempah, kain tenunan, dan sebagainya) kepada saudagar dengan perjanjian bagi-laba menurut ketentuan yang berlaku setempat.
Juga dalam hal pelayaran, apabila pemilik kapal adalah raja atau para pembesar, sistem bagi-laba juga dipakai. Sistem commenda di sini diartikan sebagai pemahaman bahwa raja atau elite lokal menyerahkan perahunya untuk dipakai berdagang. Keuntungan dari hasil perdagangan dibagi dua 50% bagi pemilik kapal dan 50% bagi pedagang.
Akan tetapi, biasanya nahkoda juga memiliki kapal, bersama raja, bendahara dan orang kaya lainnya, maka masing-masing pemilik modal dapat menerima keuntungan sesuai dengan saham yang dimiliki, sedangkan nahkoda mendapatkan presentase khusus berdasarkan ketentuan yang berlaku tergantung dari kesepakatan yang dibuat antara nahkoda dengan pelaku perdagangan yang terlibat.
Selain menentukan keuntungan, adakalanya juga berbicara mengenai kerugian, kerugian dipikul bersama dan hanya terbatas pada tiga hal, yaitu apabila barang dagangan rusak di lautan, di lalap api, atau kecurian, sedangkan yang tidak dipikul bersama dan hanya ditanggung oleh pelaksana perdagangan adalah;
- dijudikan
- diperlacurkan
- dipergunakan beristri
- diboroskan
- dipinjamkan
- dimadatkan
- diberikan untuk makan kepada seseorang yang menjadi tanggungannya.
Menyoal tentang kerugian, adapula jenis perjanjian di mana dalam hal ini yang memiliki barang jualan yang menanggungnya. Jadi berdasarkan data secara keseluruhan di atas adalah pola-pola kegiatan para pemilik modal di dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di Kepulauan Nusantara pada abad ke-16 hingga abad ke-17.
Pelaksana Pelayaran dan Perdagangan
Pada tahun 1527 M Kerajaan Banten berhasil menduduki Sunda Kalapa, kota pelabuhan terpenting dari Kerajaan Pajajaran. Nama Jayakarta yang diberikan kepada Sunda Kalapa setelah penaklukan itu, mengandung arti yang besar bagi Kerajaan Banten.
Di samping faktor agama, kemenangan Kerajaan Banten juga harus dilihat dari segi ekonomi. Kerajaan Banten pada waktu itu telah berkembang sebagai pelabuhan yang ramai, terutama setelah Malaka berhasil dikuasai oleh Portugis pada 1511, akan tetapi masih kalah jika dibandingkan dengan ramainya pelabuhan Sunda Kalapa. Dengan kemenangan dalam merebut pelabuhan Sunda Kelapa ini, maka tidak ada lagi yang menghalangi Banten dalam pertumbuhannya dan pada akhir abad ke-16 kedudukannya sebagai bandar terbesar di sebelah barat Pulau Jawa dan sekitarnya sudah tidak ada tandingannya.
Perubahan agama, politik, dan ekonomi pada waktu itu mengakibatkan pula perubahan-perubahan besar di bidang sosial. Pergeseran golongan atas yang berkuasa yang didampingi kelompok masyarakat yang menunjangnya sudah tentu membawa perubahan-perubahan dalam kedudukan dan penghasilan individu dan kelompok yang bersangkutan. Pada tingkatan bawah pun Islamisasi membawa pengaruh sosial. Agama yang egaliter berhadapan dengan agama yang mengenal kasta lambat laun mengubah susunan masyarakat yang ada.
Di dalam perdagangan maritim tidak ada diferensiasi yang tegas antara pelaksana perdagangan dan orang yang melaksanakan pelayaran, sebagaimana juga tidak ada pembeda yang jelas antara pemilik kapal, nahkoda, dan pedagang. Adakalanya ketiga-tiganya berada dalam satu individu, adakalanya kapal dimiliki bersama oleh pedagang dan nahkoda. Kata “juragan” dapat berarti pemilik maupun pemimpin kapal.
Dapat juga pemilik kapal memberikan kapal besrta barang jualannya kepada nahkoda untuk dijalankan atas dasar bagi-laba. Nahkoda tidak menerima gaji dari pemilik kapal, akan tetapi ia mendapat sebagian dari labanya. Begitu pula awak kapal lainnya tidak digaji. Semuanya menerima bagian tertentu dari hasil penjualan.
Besar kecilnya jumlah awak kapal tergantung pada besar kecilnya kapal. Untuk sebuah paderwakang jumlahnya biasanya antara 10 sampai 20 orang. pemimpinnya disebut nahkoda yang mengepalai semua urusan yang berhubungan dengan kapal dan muatan. Ia harus membuat catatan-catatan tentang barang-barang yang dbeli atau diperdagangkannya, tentang uang masuk dan uang keluar.
Di perahu yang mengadakan perjalanan yang jauh-jauh biasanya ada dua nahkoda, yakni nahkoda laut yang hanya bertugas untuk soal berlayar, dan nahkoda darat yang harus mengurus muatan, mencatat segala pengeluaran dan hasil penjualan, serta lain-lain perkara yang harus dilakukan selama berada di darat.
Juru mudi bertanggung jawab atas kemudi. Tempatnya berada di belakang juru batu (kadang-kadang ada dua orang) dan bertanggung jawab atas jangkar dan menjaga jangan sampai kapal menabrak karang atau menyentuh gosong. Sebab itu tempatnya di haluan.
Mualim adalah pandu perahu yang membawa kapal. Dalam kapal yang berukuran besar ia dibantu oleh seorang mualim kecil, yang bertugas mengurus layar dan tali-temali kapal, ialah yang harus mengetahui tentang arah angin, sebab itu ia dikenal pula dengan sebutan mualim angin.
Petugas-petugas tersebut di atas digolongkan sebagai “perwira” kapal. Di bawahnya lagi terdapat para tukang yang dapat disamakan dengan “bintara” kapal. Para tukang dikepalai oleh tukang agung yang dibantu oleh tukang kiri (untuk bagian lambung kiri), tukang kanan (untuk bagian lambung kanan), tukang petak (yang harus mengurus soal-soal mengenai ruang kapal). Di samping itu, ada tukang gantung layar, tetapi ia berada di bawah komando mualim angin.
Golongan paling bawah adalah awak kapal yang dikepalai oleh seorang “mandor” yang disebut serang. Awak kapal ini terdiri dari orang banyak (orang merdeka), orang abdi (budak), dan orang berutang yang selama utang belum dilunasi berstatus sebagai “budak”. Ada pula yang disebut orang turun penukan, yakni orang berutang yang dipekerjakan oleh nahkoda tetapi masih mempunyai wewenang tertentu di kapal.
Kemudian ada pula kadet kapal yang ikut berlayar untuk mencari pengalaman. Tugas mereka ialah mendampingi nahkoda jika nahkoda turun ke darat, mengawasi budak, dan selama berlayar mereka melayani orang jaga dan orang yang bekerja di anjungan.
Ada pula para kiwi, yakni pedagang yang tidak membantu dalam pelayaran, tetapi hanya ikut untuk kepentingan dagang, sedangkan pemimpin merka disebut maula kiwi; ada orang tumpang atau orang penumpang yang berlayar dari satu tempat ke tempat lain dengan membayar uang tambang, dan ada pula orang senawi, yakni penumpang yang tidak membayar uang tambang, tetapi membantu di kapal sebagai gantinya.
Di dalam pelayaran, maka yang paling berkuasa adalah nahkoda. Nahkoda adalah pengganti raja di lautan. Jadi meskipun ada awak kapal yang berusia lebih tua daripada nahkoda, nahkoda berhak menghukumnya kalau dianggap perlu. Kalau nahkoda disamakan dengan raja, juru mudi diumpamakan sebagai bendahara kerajaan, juru batu sebagai tumenggung dan para tukang disamakan dengan yekh. Yang paling cakap diantara tukang boleh menggantikan juru batu atau juru mudi secara bergilir.
Untuk menjadi nahkoda diperlukan pengalaman berlayar dan kebijaksanaan untuk memimpin masyarakat kapal dengan baik. Sebagai salah satu contoh yang terdapat dalam Kodex Amanna Gappa (Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa Makassar) menyebutkan ada 15 syarat seseorang untuk menjadi nahkoda. Syarat ini bisa dijadikan sebagai contoh bahwa menjadi seorang nahkoda tidak mudah. Adapun syarat-syarat tersebut adalah;
- Harus mampu mempersenjatai perahunya
- Harus mengetahui akan kualitas dan kapasitas perahunya
- Memiliki modal untuk berdagang
- Rajin dan teliti dalam pelayaran
- Dapat mengawasi kelasinya
- Dapat membela kelasinya
- Menerima nasihat-nasihat orang lain
- Jujur terhadap kelasinya, terhadap orang lain dan terhadap Tuhan
- Memandang kelasinya sebagai anak sendiri
- Tidak letih memberikan pelajaran mengenai alat-alat pelayaran
- Penuh dengan kesabaran
- Disegani
- Mau bersusah payah mengurus dagangan kelasinya
- Mau mengongkosi perahunya
- Sedangkan syarat ke-15 adalah;
“… bila dia mengetahui benar-benar jalan pelayaran. Jikalau dia tidak mengetahui jalan pelayaran, dicarinya seorang petunjuk jalan yang mengetahui benar-benar jalan pelayaran itu. Diupahkanyalah si petunjuk jalan, atau menolongkah dia dengan percuma, tergantung dari persetujuan yang mereka sukai, itulah yang menjadikan supaya terlaksana.”
Kodex Amanna Gappa
Dalam Kodex Amanna Gappa dijelaskan bahwa di dalam kapal terdapat empat kelompok orang kapal;
- Kelasi tetap, merupakan awak kapal sebenarnya. Mereka dilarang meninggalkan perahu selama perjalanan.
- Kelasi bebas, mereka adalah orang yang dibebaskan dari kewajiban timba ruang dan tidak perlu memperbaiki kerusakan perahu, yang merupakan tugas dari kelasi tetap. Mereka juga bebas meninggalkan prahu selama perjalanan tanpa membayar dan tidak pula membayar sewa penuh untuk barang-barangnya.
- Kelasi penumpang, memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan mereka yang dimaksud dengan kelasi bebas
- Tomangnumpang, mereka tidak berhak menempatkan barang-barangnya di dalam ruang, mereka tidak berhak mengambil “petak”. Semua barangnya diletakkan di bagian atas saja.
Jika di dalam pelayaran terdapat bahaya (angin ribut dan sebagainya) yang membahayakan kapal, maka barang-barang akan diperiksa. Kalau ternyata penumpang membawa lebih dari yang diberitahukan, yang lebih itu harus dibuang ke laut. Bilamana perahu masih sarat, segala barang yang ada di atas (yang tidak terdapat di dalam petak) dibuang pula.
Berikutnya adalah giliran barang kepunyaan kelasi penumpang (di dalam petak) yang harus dibuang jika kapal masih sarat. Kemudian untuk menyelamatkan perahu lagi barang kelasi bebas yang harus dibuang ke laut.
Demikian seterusnya, urutan giliran hierarki yang berlaku, sampai pada kelasi tetap, dan jika memang diperlukan maka barang kepunyaan nahkoda pun harus dibuang ke laut.
Dalam Hukum Laut Melayu, pengambilan tempat (petak) untuk muatan juga mempunyai peraturan tertentu. Dalam hal ini nahkoda dan pemilik kapal mendapatkan prioritas. Berikut adalah para kiwi yang boleh mengambil petak, tetapi tidak boleh melebihi 7 atau 8 petak. Ada tiga macam cara orang kiwi mengambil petak;
- Membeli hak untuk mengisi sebagian dari ruang kapal
- Menambah modal nahkoda dengan memberi sejumlah uang sehingga hak untuk mengambil petak ini disesuaikan dengan besar kecil jumlahnya dan
- Dengan mengambil 7 atau 8 petak sebagai bagiannya.
Bagi 4 petak mereka tidak perlu membayar, asal mereka membayar “pajak” sebesar 3 ¼ % jika perjalanannya berhasil. Luas petak antara satu perahu dengan perahu yang lain berbeda-beda. Selain itu kiwi harus membantu dalam mengusahakan perlengkapan perahu.
Mualim berhak mengambil ½ petak, tetapi ia boleh juga memberi uang kepada nahkoda sebagai penambah modal berdagang. Kalau mualim meninggalkan perahu sebelum perjanjian ditepati, ia harus membayar kompensasi sedangkan nahkoda tidak perlu memberikan bagian hasil yang diperoleh dari modal yang ditambah mualim. Dengan hukum laut Melayu awak kapal lainnya tidak berhak mengambil petak, tetapi merka berhak menerima sebagian dari muatan: untuk orang banyak dua bagian, untuk budak satu bagian.
Hukum laut Melayu mengatur pula urutan perdagangan. Kalau tiba di pelabuhan, nahkoda mendapatkan prioritas untuk berdagang selama empat hari berikut giliran para kiwi yang diberi kesempatan berdagang selama dua hari, kemudian baru awak kapal diperbolehkan berdagang.
Harga yang diminta tidak boleh melebihi harga yang diminta nahkoda, dan jika jual beli dilakukan tanpa sepengetahuannya, ia berhak menyita barang bersangkutan dan membayar harga penjualannya. Hal ini terutama berlaku dalam hal perdagangan budak dan barang-barang mewah. Kalau budaknya perempuan, sang nahkoda tidak perlu membayarnya tetapi ia boleh mengambilnya begitu saja.
Jenis Barang Ekspor–Impor & Tempat Penghasil Barang Perdagangan
Jarak yang harus ditempuh perahu dan kapal sering sangat jauh dan memakan waktu. Pelayaran harus menunggu angin yang tepat dan terkadang memakan waktu hingga berbulan-bulan. Jika barang yang hendak dikirimkan terlambat akibat angin yang tidak tepat, maka harus menunggu di tahun berikutnya. Selain itu, dalam pelayaran sangat banyak faktor resiko yang dihadapi oleh para pedagang yang berlayar. Hambatan itu antara lain seperti angin ribut dan bajak laut terutama yang harus dihadapi sebelum mereka dapat sampai ke tempat tujuan demi mendapatkan keuntungan.
Muatan kapal yang terbatas juga menjadi kendala bagi para pedagang di dalam membawa muatan dalam jumlah besar. Oleh sebab itu barang-barang yang diperjual-belikan adalah barang-barang yang tidak memakan tempat namun berharga tinggi, salah satunya adalah rempah-rempah.
Barang-barang ekspor dan impor yang diperdagangkan sepanjang abad ke-16 hingga abad ke-17 dapat diketahui yang pertama berdasarkan keterangan dari Kodex Amanna Gappa. Disebutkan bahwa barang dagangan yang membutuhkan ruangan luas, adalah beras, garam, kapas, rotan, tembakau bakala (untuk dipakai makan sirih), gambir, agar-agar dan kayu. Untuk barang demikian dikenakan bayaran sima biring, yakni 1/11 bagian dari jumlah modal. Barang yang tidak mengambil ruang besar tetapi berharga mahal, seperti mata uang, emas, batu permata, kain sutra, dan kemenyan.
Pada awal abad ke-16 Kepulauan Banda mengimpor kain dan tenunan halus dari negeri-negeri Asia di sebelah barat, yang dibawa oleh kapal-kapal Portugis. Pedagang-pedagang kecil dari Jawa dan Melayu memborong kain-kain halus dan sutra yang dimasukkan ke bandarnya dengan maksud untuk mengekspornya lagi ke Banda dan tempat lain di Maluku.
Di sini kain halus tersebut tidak hanya diperlukan sebagai pakaian raja dan keluarganya serta kaum bangsawan lainnya, tetapi disimpan sebagai harga bersama barang lain, seperti gong tembaga, gading, dan tembikar halus. Tenunan kasar sangat laku di Banda karena dapat ditukar kepada pedagang-pedagang yang datang dari daerah sekitarnya, misalnya orang Halmahera dan Irian yang membawa sagu dan rempah-rempah.
Sagu yang juga diimpor dari pulau-pulau Kei dan Aru, tidak hanya dimakan oleh orang-orang Maluku, tetapi sangat penting untuk dibawa sebagai bekal dalam perjalanan laut yang jauh karena dapat disimpan untuk waktu yang lama. Bahkan pada saat Tome Pires mengunjungi Kepulauan Nusantara, sagu dianggap penting sehingga dipakai sebagai alat pembayaran. Selain sagu, terdapat juga lada yang dijadikan standar medium untuk kegiatan jual-beli.
Perahu-perahu yang dibuat di pulau-pulau Kei juga diperdagangkan di Banda. Juga barang-barang mewah didatangkan dari daerah sekitarnya, seprti emas dari Sulawesi Utara dan burung cenderawasih dari Irian. Namun, yang terpenting adalah perdagangan rempah-rempah, khususnya pala dan cengkih, yang didatangkan dari pulau-pulau di sebelah utara, cengkih dari Maluku Utara, sedangkan pala dari Ambon, Seram, dan pulau sekitarnya.
Pala ditanam juga di Banda. Berhubung harga yang diperoleh dari tanaman pala tinggi, petani lebih memusatkan perhatiannya kepada tanaman pala sehingga bahan makanan lain seperti beras harus didatangkan dari luar. Keuntungan dari penjualan pala dan bunga pala sangat tinggi dan keuntungan terbesar terjadi di Banda sekitar tujuh tahun sekali.
Di dalam beberapa kasus di Banda terutama abad ke-16 telah terjadi peningkatan harga pala dan bunga pala akibat persaingan antara Portugis dengan pedagang Asia. Periode selanjutnya harga pala cenderung selalu mengalami penurunan. Namun, berbanding terbalik jika dengan harga bunga pala yang selalu mengalami kenaikan.
Di Ternate dan Tidore, tempat penghasil cengkih. Di Ternate, hanya dua atau tiga kapal yang dapat berlabuh sekaligus, sedangkan pelabuhan Tidore penuh karang sehingga menyulitkan kapal yang berukuran besar untuk merapat. Akan tetapi, karena cengkih hanya terdapat di Maluku Utara telah memaksa kapal-kapal untuk mengunjungi daerah ini. Seperti diketahui, kora-kora Ternate dan Tidore khusus digunakan untuk berperang dan urusan pemerintahan, bukan untuk mengangkut barang.
Di Maluku Utara penanaman rempah-rempah lebih dipentingkan sehingga bahan makanan harus didatangkan dari luar, misalnya beras dari Sulawesi. Pedagang Cina yang sudah mengenal Maluku sejak lama membawa tenunan, perak, gading, manik-manik, dan piring mangkuk buatan Cina yang biasanya berwarna biru.
Di Kalimantan pelabuhan yang terkenal pada waktu itu adalah Brunei. Di sebelah tenggara kota-kota yang terkenal adalah Lawe dan Tanjungpura, sebelum Banjarmasin muncul sebagai pusat kerajaan yang besar. Hubungan dagang diadakan terutama dengan kota-kota di pantai utara Jawa. Emas, intan, bahan makanan dan hasil hutan seperti damar dan kayu-kayuan diekspor dari Lawe dan Tanjungpura.
Selain itu perahu buatan Kalimantan pun laku di Jawa. Sering orang Kalimantan menjual perahu bersama muatannya ketika tiba di Jawa. Begitu penting kota-kota di Kalimantan ini bagi utara Jawa pesisir sehinga beberapa kali dikirim ekspedisi untuk mendudukinya pada abad ke-16 dan ke-17.
Bagi bagian barat Kepulauan Nusantara bahan ekspor yang penting ialah lada. Kapal-kapal asing mengunjungi Pasai, Jambi, Palembang, Lampung, kota-kota pantai barat Sumatra seperti Pariaman, Tiku, Barus kemudian di Pulau Jawa yaitu Banten dan Sunda Kalapa. Pulau Bangka disebut sebagai penghasil bahan makanan, hasil hutan, katun, dan besi. Di pantai barat Sumatra bahan ekspor kecuali lada adalah emas, kelambak, kapur barus, kemenyan, sutra, damar, madu, dan bahan makanan. Ekspor ini ditujukan ke Malaka, tetapi kapal-kapal Gujarat juga datang ke sini untuk membawanya langsung ke negerinya.
Barang dagangan yang paling penting di sekitar abad ke-16 dan abad ke-17 adalah budak. Mereka diperlukan di istana raja dan rumah bangsawan dan hartawan dan juga dipekerjakan sebagai buruh kasar di pelabuhan dan sebagai pendayung kapal, terutama kapal perang. Orang dapat menjadi budak sebagai akibat kekalahan perang, tetapi juga sebagai tebusan utang yang tidak dapat dibayar. Dalam hal ini adat istiadat biasanya mengatur bahwa kedudukan sebagai budak hanya bersifat sementara sampai utangnya dilunasi.
Ada pula yang menjadi budak karena melanggar adat istiadat. Akan tetapi, biasanya budak-budak diperoleh dengan mengadakan ekspedisi khusus ke daerah luar. Menurut Kodex Amanna Gappa, jika orang yang berutang telah habis hartanya karena dijadikan pembayar utang padahal jumlah ini belum lagi cukup untuk melunasinya, ia memperhambakan dirinya untuk menutup kekurangannya. Dengan demikian, utangnya sudah lunas dan tidak boleh dituntut lagi sekalipun ia akan mendapat rezeki di kemudian hari.
Budak-budak yang diekspor dari Palembang ke Malaka banyak berasal dari daerah pedalaman. Dikatakan pula bahwa setiap tahun dua atau tiga jung yang berangkat dari Malaka ke pelabuhan Sunda Kalapa untuk membeli budak, beras dan lada. Budak di Sunda Kalapa ada yang dari pedalaman dan ada yang diambil dari pulau-pula Maladewa. Jadi, Sunda Kalapa sebagai pelabuhan yang salah satu aktivitasnya adalah untuk mengimpor dan mengekspor budak.
Di Jawa bagian timur, Kerajaan Blambangan terkenal pula sebagai penghasil budak. Perdagangan budak terdapat pula di Madura yang mendatangkannya dari Nusa Tenggara ke Malaka. Kuda diekspor oleh Sumbawa dari Timor. Pedagang-pedagang datang ke Nusa Tenggara dari Jawa dan Malaka membawa kain, pisau, pedang, tembikar Cina, timah dan timah htiam, air raksa, dan manik-manik berwarna. Budak-budak yang dijual oleh kapal-kapal Bugis dan Makassar berasal dari pembajakan di laut maupun di daerah pedalaman (Toraja).
Orang Portugis pun ikut serta dalam perdagangan budak di sini. Ada berita tentang ekspor budak dari Panarukan ke Malaka pada abad ke-17 dikuasai oleh Portugis. Pernah kapal Belanda menangkap kapal Portugis yang berlayar dari Makassar dengan membawa pala, bunga pala, cengkih beserta budak laki-laki maupun perempuan. Nahkodanya seorang Portugis dan seorang Melayu yang berdiam di Makassar. Perdagangan Portugis antara Malaka dan Gresik (sebelum diduduki Belanda) dilakukan dengan kapal-kapal yang menggunakan tenaga budak.
Belanda juga memerlukan tenaga budak dalam usahanya, misalnya untuk perkebunan Pala di Banda yang diduduki oleh VOC sejak tahun 1621. Budak-budak ini didatangkan dari seluruh tempat di mana VOC mempunyai perwakilannya, dan orang-orang ini kemudian menetap di Banda. Seperti diketahui bahwa penduduk asli yang sebenarnya sudah diangkut ke Batavia sebagai budak, dan yang dapat lolos melarikan diri ke pulau-pulau sekitarnya di antaranya ada yang mendirikan kampun-kampung Banda di Kepulauan Kei.
Tempat penghasil barang-barang untuk perdagangan amat penting di dalam menunjang keberlangsungan perekonomian sebuah masyarakat maupun kerajaan. Memasuki abad ke-16 hingga abad ke-17 beberapa bahan ekspor lain yang terpenting selain rempah-rempah seperti cengkih, pala maupun lada adalah hasil hutan seperti damar, madu, dan sebagainya. Kayu cendana terutama dihasilkan oleh Nusa Tenggara, kayu gaharu dan kelembak dari Sumatra dan Kalimantan, kayu besi dan kayu hitam dari Sulawesi dan Maluku, dan kayu jati dari Jawa.
Di samping jalan laut dari barat ke timur itu, tumbuh pula cabang-cabang jalan yang dilalui oleh perahu setempat dan terkadang juga dilalui perahu dari luar, untuk mengangkut hasil-hasil hutan ini. Pada waktu suasan politik di Kepulauan Nusantara berubah, sekitar abad ke-16 terutama setelah Malaka berhasil dikuasai oleh Portugis, jalan sekunder ini berkembang pesat, seperti jalan laut melalui pantai barat Sumatra yang sebelumnya telah dipelopori oleh perahu-perahu yang dahulu datang untuk mengambil lada, beragam jenis kayu, kapur barus, emas, budak, dan sebagainya.
Pada tahun 1619 Belanda menguasai Jayakarta dan mengganti namanya menjadi Batavia. Persaingan VOC yang didukung oleh blokade pelabuhan Banten menyebabkan kapal-kapal yang mengunjungi Banten semakin berkurang, dan pada tahun 1634 sebagian besar perdagangan Banten telah berpindah ke Batavia.
Di Jambi, pedagang perantara berada di tangan pedagang Cina. Petani lada di pegunungan tanah Minangkabau membawa hasil kebunnya dengan perahu ke Jambi. Lalu di Jambi para pedagang Cina membelinya atau menukarnya dengan kain tenun yang oleh penanam lada ini dijual lagi dikampungnya.
Hasil pertambangan yang terpenting adalah timah di Bangka dan Belitung, dan emas di pulau-pulau besar. Akan tetapi, pada waktu itu pertambangan timah lebih berkembang di Semenenanjung Tanah Melayu, sedangkan emas dan intan hanya mempunyai arti lokal. Hasilnya tidak seberapa sehingga tidak menyebabkan suatu gold rush ke daerah pertambangannya.
Emas lebih banyak dipakai oleh penguasa setempat, raja-raja Sumatra memakai emas hasil pulau ini, raja-raja Maluku Utara mengambil emas dari Sulawesi Utara dan hanya dalam jumlah yang sedikit emas diekspor oleh kapal Gujarat dan Cina.
Pada pola perdagangan dan pelayaran yang berlaku di sini orang-orang Eropa Barat datang membawa unsur-unsur baru yang kemudian mengubah keadaan politik dan ekonomi Nusantara. Pusat-pusat perdagangan menjadi sasaran kapal-kapal Eropa. Terutama Belanda-lah yang memegang peran penting karena mereka berhasil memaksakan sistem monopoli dagang yang ditunjang oleh modal yang besar, organisasi yang baik, persenjataan serta teknologi perkapalan yang lebih maju.
Akan tetapi, di tempat-tempat dan pelabuhan yang belum dikuasai oleh VOC, dan juga di dalam beberapa sektor perdagangan di daerah VOC yang kurang mengalami campur tangan kompeni, pola perdagangan dan pelayaran masih belum mengalami perubahan.
Daftar Bacaan
- Azra, Azyumardi. 1998. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.
- Muljana, Slamet. 2007. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Buddha dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKiS
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. 2011. Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
- Reid, Anthony. 2011. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680. Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia.
- Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.