Perlawanan Banten Terhadap VOC
Perlawanan Banten Terhadap VOC – Perlawanan Banten terhadap VOC atau juga lebih dikenal dengan perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa terhadap VOC merupakan bentuk perlawanan terhadap praktik monopoli VOC yang terjadi pada 1652-1682. Belanda menggambarkan bahwa Pelabuhan Banten memiliki luas yang hampir sama dengan Amsterdam kuno. Selain itu, Belanda menggambarkan bahwa Pelabuhan Banten terletak pada dataran kosong di kaki perbukitan. Untuk sampai ke Banten, diperlukan jarak tempuh sekitar 25 mil antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatra. Pada kedua sisi kota mengalir sungai, dimana salah satu dari sungai itu mengalir melewati kota. Di bawah ini akan dijelaskan tentang perlawanan Banten terhadap VOC.
Kondisi geografis Banten pada awal abad ke-16 sebagaimana yang dilukiskan oleh Diogo do Couto, menggambarkan Banten terletak di pertengahan teluk yang memiliki lebar sekitar 3 mil dan panjang sekitar 850 depa serta dari tepi laut memiliki panjang sekitar 400 depa. Untuk melindungi kota Banten, terdapat sebuah benteng yang dindingnya setebal tujuh telapak tangan laki-laki dan terbuat dari bata dan pada bagian pertahanannya terbuat dari kayu setinggi dua tingkat dan dilengkapi oleh persenjataan yang baik.
Pusat kota terletak pada lapangan raja (alun-alun) yang disebut paseban dengan masjid dan pasar disekitarnya. Jalan-jalan dibuat secara simetris, membentuk palang silang yang sempurna. Banten memiliki luas sekitar 10.000 km2, wilayah yang tidak lebih luas dari sebuah kabupaten yang besar di Prancis. Wilayah Banten membentang dari Tangerang sampai Tulang Bawang dan dari Pelabuhan ratu sampai Silebar dengan jumlah penduduk sekitar 80.000 sampai 100.000 orang pada penghujung abad ke-16.
Saat itu, Pelabuhan Banten telah berkembang sebagai kota pelabuhan yang ramai, dimana terdapat para pedagang Cina, Arab, Portugis, dan Inggris selain dari pedagang Belanda dan pribumi. Komunikasi yang terjadi antara para pedagang pribumi dan para pedagang asing menggunakan lingua franca, sebab komunikasi yang terjadi menggunakan bahasa pengantar dengan penutur bahasa yang beragam. Dapat dikatakan bahwa Pelabuhan Banten merupakan salah satu pelabuhan besar di Kepulauan Nusantara.
Kerajaan Banten ditunjang oleh potensi alam berupa beras dan komoditi unggulan rempah-rempah berupa lada yang merupakan komoditas utama di pasaran Eropa. Kerajaan Banten dan pelabuhan utamanya, Pelabuhan Banten sangat maju dalam hal ekonomi seperti pada kota-kota dagang pada umumnya. Dalam hal politik, Kerajaan Banten dibawah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa mampu menjaga stabilitas politik dan keamanannya. Hubungan Kerajaan Banten dengan kerajaan lain di Pulau Jawa, seperti Kerajaan Mataram dan Kerajaan Cirebon terjalin dengan cukup baik. Hubungan antara Kerajaan Banten dengan kerajaan lainnya di Pulau Jawa tidak sejalan dengan hubungan antara Kerajaan Banten dengan VOC.
Sultan Ageng Tirtayasa acap kali menentang VOC yang hendak menerapkan monopolinya di Kerajaan Banten. Hubungan antara Kerajaan Banten dengan Kerajaan Mataram yang pada awalnya sering mengalami ketegangan karena Kerajaan Mataram hendak menjadikan Kerajaan Banten sebagai daerah bawahannya, terutama dengan sikap agresif Kerajaan Mataram yang ditunjukkan semasa pemerintahan Sultan Agung. Hubungan antara Kerajaan Banten dan Kerajaan Mataram semakin memburuk ketika Amangkurat II menandatangani perjanjian dengan VOC. Hal tersebut sama seperti ketika Kerajaan Cirebon menjalin kerjasama dengan VOC pada 1681. Pada akhirnya hubungan antara Kerajaan Banten dan kerajaan-kerajaan lain di Pulau Jawa menjadi terganggu dengan kehadiran VOC.
Latar Belakang Perlawanan Banten Terhadap VOC
Kerajaan Banten memiliki potensi geografis dan potensi alam yang membuat para pedagang Eropa berniat untuk menguasai Banten. Secara geografis, posisi Kerajaan Banten terletak di ujung barat pulau Jawa, dimana jalur perdagangan Kepulauan Nusantara yang merupakan bagian dari jalur perdagangan Asia dan Dunia. Selain itu, letak Pelabuhan Banten yang berdekatan dengan Selat Sunda menjadikan Pelabuhan Banten sebagai pelabuhan transit sekaligus pintu masuk ke Kepulauan Nusantara setelah Portugis berhasil menguasai Malaka pada tahun 1511.
Potensi alam yang dimiliki oleh Kerajaan Banten menjadi daya tarik tersendiri, di mana Kerajaan Banten adalah sebagai penghasil lada terbesar di Jawa Barat dan penghasil beras dengan dibukanya lahan pertanian dan sarana irigasi pada masa Sultan Ageng Tirtayasa yang menyebabkan Kerajaan Banten menjadi kerajaan yang makmur di Pulau Jawa, selain Kerajaan Mataram. Selain dari potensi alam dan letak geografis yang dimiliki oleh Banten, VOC memerlukan tempat yang cocok untuk dijadikan sebagai pusat pertemuan bagi pedagang-pedagang Belanda yang beraktivitas di Dunia Timur.
Letak Belanda yang jauh dari wilayah Kepulauan Nusantara menyulitkan bagi Heeren XVII untuk mengatur dan mengawasi kegiatan perdagangan yang terjadi di Dunia Timur, khususnya Kepulauan Nusantara. Berdasarkan pada pertimbangan tersebut, maka Pelabuhan Banten dipilih sebagai rendezvous (pusat pertemuan), dimana pelabuhan, kantor-kantor dapat dibangun, dan fasilitas-fasilitas pengangkutan laut dapat disediakan, keamanan terjamin dan dapat berfungsi dengan baik.

Hal inilah yang membuat VOC yang pada saat itu di bawah pimpinan Gubernur Jendral Joan Maetsuyker hendak menguasai Kerajaan Banten dan terutama sekali adalah Pelabuhan Banten. Pada saat Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kerajaan Banten tahun 1651 hingga 1682, VOC dipimpin oleh Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker yang memimpin VOC dari tahun 1653 hingga 1678. Pada masa pemerintahan Maetsuyker inilah VOC mengalami masa kejayaanya.
Langkah yang digunakan oleh VOC untuk dapat menguasai Kerajaan Banten adalah dengan memblokade akses menuju ke Pelabuhan Banten dengan tujuan memperlemah sektor perekonomian Kerajaan Banten. Kapal-kapal asing yang hendak berdagang di Pelabuhan Banten dicegat oleh VOC. Selain itu, kapal-kapal dagang yang sedang berdagang di Pelabuhan Banten pun dicegat oleh VOC sehingga berakibat pada penurunan aktivitas perdagangan Pelabuhan Banten dan kegiatan perekonomian pun terganggu.
Menyikapi hal tersebut, Kerajaan Banten mengadakan perlawanan dengan menyerbu dan merampas kapal-kapal Belanda yang bernaung dibawah VOC. Mendapatkan respon dari Kerajaan Banten, VOC menggunakan siasat lain, yaitu dengan memberikan hadiah menarik dan berupaya memperbaharui perjanjian pada tahun 1645, akan tetapi hal tersebut ditolak secara mentah-mentah oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
Jalannya Pertempuran Antara Banten Dan VOC
Sepanjang tahun 1651-1682, Kerajaan Banten diperintah oleh Sultan Ageng Tirtayasa yang selama memerintah Kerajaan Banten sangat menentang segala bentuk penjajahan asing atas daerah kekuasaannya, termasuk kehadiran VOC yang hendak memonopoli dan menguasai Kerajaan Banten sangat ditentang oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Oleh sebab itu, VOC yang berusaha menaklukan Kerajaan Banten dengan pertama-tama melakukan blokade terhadap Pelabuhan Banten dengan menyerang kapal-kapal yang hendak berdagang di Pelabuhan Banten mendapatkan perlawanan sengit dari pasukan Kerajaan Banten.
Perlawanan yang dilakukan oleh Kerajaan Banten itu awalnya ditunjukkan dengan perusakan terhadap segala instalasi milik VOC yang ada di wilayah kekuasaan Kerajaan Banten. Dengan tindakan perlawanan ini Sultan Ageng Tirtayasa mengharapkan agar VOC segera meninggalkan Kerajaan Banten. Wilayah Tangerang dan Angke dijadikan sebagai garis terdepan pertahanan Kerajaan Banten dalam menghadapi VOC. Pasukan Kerajaan Banten kemudian menyerang Batavia pada tahun 1652 yang dimulai dari Tangerang dan Angke.
Dalam upaya memadamkan perlawanan yang dilakukan oleh Kerajaan Banten tersebut, VOC mengirimkan utusan sebanyak dua kali pada tahun 1655 dengan menawarkan pembaharuan perjanjian tahun 1645 disertai hadiah-hadiah yang menarik, namun keseluruhannya ditolak mentah-mentah oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Bahkan Sultan Ageng Tirtayasa menanggapinya dengan memerintahkan pasukan Kerajaan Banten pada tahun 1656 untuk melakukan gerilya besar-besaran terhadap VOC.
Tindakan itu dilakukan dengan mengadakan perusakan terhadap kebun-kebun tebu yang dikelola oleh VOC, pencegatan serdadu patroli VOC, pembakaran markas patroli VOC, dan pembunuhan terhadap beberapa orang Belanda yang mana aktivitas itu dilakukan pada malam hari. Selain itu, pasukan Kerajaan Banten juga berhasil merusak kapal-kapal milik VOC yang berada di Pelabuhan Banten, sehingga untuk memasuki Pelabuhan Banten, VOC memerlukan pasukan yang kuat untuk dapat mengawal kapal-kapal tersebut untuk mendarat di Pelabuhan Banten.
Selama menjalankan pertempuran dengan VOC, Sultan Ageng Tirtayasa seringkali mengadakan hubungan kerjasama dengan kekuatan politik lain, seperti Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Mataram serta dengan Turki, Inggris, Prancis, dan Denmark. Hal ini dilakukan agar Kerajaan Banten dapat memperkuat kedudukan dan kekuatannya dalam menghadapi kekuatan VOC. Dari hasil hubungan dengan Turki, Inggris, Prancis, dan Denmark inilah Kerajaan Banten mendapatkan banyak bantuan berupa senjata api. Sultan Ageng Tirtayasa pun melakukan konsolidasi terhadap daerah yang dikuasai oleh Kerajaan Banten, yaitu Lampung, Bangka, Silebar, Indragiri dalam kesatuan pasukan yang terkonsentrasi di Surosowan.
Menghadapi keadaan tersebut, VOC pun melakukan penyatuan kekuatan dengan menyewa serdadu-serdadu dari Kalasi, Ternate, Bandan, Kejawan, Bali, Makasar, dan Bugis sebab serdadu yang terdiri dari orang Belanda jumlahnya sangat sedikit. Pada saat terjadi perlawanan, serdadu-serdadu pribumi inilah yang melawan pasukan Kerajaan Banten, sedangkan serdadu Belanda lebih banyak berada dibelakang serdadu pribumi tersebut.
Semakin kuatnya pasukan Kerajaan Banten ditambah dengan kurangnya persiapan VOC dalam menghadapi Kerajaan Banten karena VOC juga sedang berperang menghadapi Kerajaan Makassar di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin, membuat VOC pada sekitar bulan November dan Desember 1657 mengajukan penawaran gencatan senjata kepada Sultan Ageng Tirtayasa. Sebab pertempuran antara Kerajaan Banten dan VOC ini sangat merugikan bagi kedua belah pihak.
Gencatan senjata pun baru dapat dilakukan setelah utusan VOC dari Batavia mendatangi Sultan Ageng Tirtayasa pada tanggal 29 April 1658 dengan membawa rancangan perjanjian yang berisi sepuluh pasal. Diantara pasal-pasal itu, Sultan Ageng Tirtayasa mengajukan dua pasal perubahan. Namun, hal tersebut ditolak oleh VOC sehingga perlawanan dan peperangan kembali terjadi antara kedua belah pihak.
Penolakan yang dilakukan oleh pihak VOC tersebut semakin memantapkan Sultan Ageng Tirtayasa bahwa tidak akan ada kesesuaian pendapat antara Kerajaan Banten dengan VOC, sehingga jalan satu-satunya adalah dengan kekerasan, yaitu berperang. Oleh sebab itu, Sultan Ageng Tirtayasa mengumumkan perang sabil dengan terlebih dahulu mengirimkan surat kepada VOC pada tanggal 11 Mei 1658. Pertempuran antara VOC dengan pasukan Kerajaan Banten berlangsung secara terus menerus mulai dari bulan Mei 1658 sampai dengan tanggal 10 Juli 1659.
Pada dasarnya, perlawanan Kerajaan Banten yang tetap berlangsung terhadap VOC setelah adanya keinginan untuk melakukan gencatan senjata itu dipicu oleh terbunuhnya Lurah Astrasusila di kapal VOC. Lurah Astrasusila yang saat itu menyamar sebagai pedagang kelapa membunuh beberapa orang Belanda di atas kapal bersama kedua temannya, Demang Narapaksa, dan Demang Wirapaksa. Namun, apa yang dilakukan oleh Astrasusila berhasil diketahui oleh orang-orang Belanda lain diatas kapal tersebut. Akibatnya Lurah Astrasusila bersama kedua temannya dibunuh diatas kapal tersebut. Berita mengenai terbunuhnya Lurah Astrasusila diketahui oleh Sultan Ageng Tirtayasa sehingga memicu aksi balas dendam dan perlawanan dari Kerajaan Banten.
Penyerangan yang dilakukan oleh Kerajaan Banten secara terus menerus terhadap VOC membuat kedudukan VOC semakin terdesak sampai medekati batas kota Batavia. Sehingga menyebabkan VOC kembali untuk mengajukan gencatan senjata. Menyadari bahwa Kerajaan Banten akan menolak perjanjan gencatan senjata, maka VOC membujuk Sultan Jambi untuk mengakomodasi perjanjian tersebut. Maka Sultan Jambi pun mengirimkan utusannya yaitu Kyai Damang Dirade Wangsa dan Kyai Ingali Marta Sidana untuk menghadap Sultan Ageng Tirtayasa. Hasilnya, pada tanggal 10 Juli 1659, ditandatangani perjanjian gencatan senjata antara Kerajaan Banten dan VOC .
Gencatan senjata yang terjadi ini dimanfaatkan dengan sangat baik oleh Sultan Ageng Tirtayasa untuk melakukan konsolidasi kekuatan, diantaranya menjalin hubungan dengan Inggris, Perancis, Turki, dan Denmark, dengan tujuan memperoleh bantuan senjata. Gencatan senjata ini membuat blokade yang dilakukan oleh VOC sebelumnya terhadap Pelabuhan Banten kembali dibuka.
Berbagai cara yang dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa membuat Kerajaan Banten berkembang dengan pesat. Hal tersebut memicu Gubernur Jendral VOC Ryklop van Goens sebagai pengganti Gubernur Jendral Joan Maetsuyker menulis surat yang ditujukan kepada Kerajaan Belanda pada 31 Januari 1679 tentang usaha untuk menghancurkan dan melenyapkan eksistensi Kerajaan Banten.
Akhir Perang
Setelah perjanjian gencatan senjata, VOC menggunakan kesempatan tersebut untuk mempersulit kedudukan Kerajaan Banten. Cara yang dilakukan adalah dengan mengadakan kerjasama dengan Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Mataram. Puncaknya adalah ketika Amangkurat II, Raja Kerajaan Mataram menandatangani perjanjian dengan VOC. Selain itu, Kerajaan Cirebon pun berada di bawah kekuasaan VOC pada tahun 1681. Dengan Kerajaan Mataram dan Kerajaan Cirebon yang berada dibawah kendali VOC, maka posisi Kerajaan Banten semakin terjepit karena Kerajaan Mataram dan Kerajaan Cirebon merupakan kekuatan politik yang selama ini memiliki hubungan cukup baik dengan Kerajaan Banten.
Posisi Kerajaan Banten tersebut semakin sulit dengan terjadinya perpecahan di dalam Kerajaan Banten sendiri di mana putra Sultan Ageng Tirtayasa, yaitu Pangeran Gusti dan Pangeran Arya Purbaya mendapatkan kekuasaan, masing-masing untuk mengurusi kedaulatan ke dalam kerajaan. Sementara kedaulatan keluar kerajaan masih dikendalikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Pemisahan kekuasaan ini berhasil diketahui oleh wakil VOC di Kerajaan Banten, yaitu W. Caeff yang kemudian mendekati dan berhasil menghasut Pangeran Gusti untuk mencurigai ayah dan saudaranya sendiri.
Pada saat itu, Pangeran Gusti pergi ke Mekkah dan meninggalkan kekuasaannya untuk sementara waktu sehingga kekuasaan tersebut oleh Sultan Ageng Tirtayasa diberikan kepada adiknya, yaitu Pangeran Arya Purbaya. Sekembalinya Pangeran Gusti dari Mekkah yang bergelar Sultan Abu Nasr Abdul Kahar atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Haji, kekuasaan yang dimiliki oleh Pangeran Arya Purbaya semakin meluas sehingga membuat Sultan Haji mencurigai hal ini. Hal itulah yang dimanfaatkan oleh VOC untuk mengadu-domba antara Sultan Haji dengan ayahnya sendiri, Sultan Ageng Tirtayasa dan adiknya, Pangeran Arya Purbaya. VOC menghasut Sultan Haji bahwa tahta Kerajaan Banten akan jatuh kepada Pangeran Arya Purbaya, bukan kepada dirinya. Konflik inilah yang akan dimanfaatkan oleh VOC untuk memadamkan dan memperlemah kekuatan Kerajaan Banten.
Rasa kekhawatiran Sultan Haji akan kekuasaannya yang akan diambil oleh Pangeran Arya Purbaya telah melahirkan persekongkolan antara Sultan Haji dengan VOC untuk merebut tahta Kerajaan Banten. Di dalam persekongkolan itu, VOC bersedia membantu Sultan Haji dengan mengajukan empat syarat, antara lain;
- Menyerahkan Kerajaan Cirebon kepada VOC;
- Monopoli perdagangan lada dikendalikan oleh VOC;
- Membayar 600.000 ringgit apabila ingkar janji; dan
- Menarik pasukan Kerajaan Banten yang berada di daerah pesisir pantai dan pedalaman Priangan.
Keempat syarat yang diajukan oleh VOC tersebut dipenuhi oleh Sultan Haji. Pada tanggal 27 Februari 1682, terjadilah perang antara Sultan Ageng Tirtayasa melawan Sultan Haji yang dibantu oleh VOC. Pertempuran inilah yang menjadi awal dari akhir kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa di Kerajaan Banten.
Dalam pertempuran itu pasukan yang dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa masih terlalu kuat sehingga berhasil mengepung VOC bersama dengan Sultan Haji. VOC segera memberikan perlindungan kepada Sultan Haji dibawah pimpinan Jacob de Roy. Sultan Haji yang dibantu oleh Kapten Sloot dan W. Caeff, berupaya untuk mepertahankan loji tempatnya berlindung. Sultan Ageng Tirtayasa membuat bantuan dari Batavia tidak dapat mendarat di Pelabuhan Banten.
Hal tersebut memaksa Sultan Haji untuk mengadakan perjanjian baru dengan VOC dengan memberikan hak monopoli VOC di Kerajaan Banten. Setelah perjanjian tersebut disetujui, pada tanggal 7 April 1682, datanglah bantuan VOC dari Batavia yang dipimpin oleh Francois Tack, De Sant Martin dan Jonker, tokoh yang memadamkan pemberontakan Trunojoyo. Pasukan bantuan yang datang dari Batavia ini berhasil membebaskan loji dari kepungan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa.
Setelah itu, pertempuran terus terjadi meskipun VOC telah beberapa kali meminta Sultan Ageng Tirtayasa untuk menyerah. Untuk menyelesaikan perlawanan tersebut, Sultan Haji kemudian mengutus 52 orang keluarganya untuk membujuk Sultan Ageng Tirtayasa. Setelah berhasil dibujuk, pada tanggal 14 Maret 1683, Sultan Haji dan VOC menggunakan tipu muslihatnya dengan mengepung iring-iringan Sultan Ageng Tirtayasa menuju ke Istana Surosowan. Dengan tipu muslihat itu, Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap, namun Pangeran Arya Purbaya berhasil meloloskan diri.
Setelah penangkapan itu, Sultan Ageng Tirtayasa dipenjarakan di Batavia sampai meninggal pada tahun 1692. Sultan Haji sendiri akhirnya naik takhta sebagai raja Banten atas restu VOC, Sultan Haji memerintah dari tahun 1682 sampai dengan 1687. Pada tanggal 17 April 1684, ditandatanganilah perjanjian antara VOC dan Kerajaan Banten dalam bahasa Belanda, Jawa, dan Melayu yang berisi 10 pasal. Perjanjian inilah yang menandai berakhirnya kekuasaan Kerajaan Banten, dan dimulainya monopoli VOC atas Kerajaan Banten. Kerajaan Banten sendiri belum lenyap, melainkan tidak memiliki lagi kekuatan untuk menegakkan eksistensinya layaknya seperti yang telah dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
Daftar Bacaan
- Kartodirjo, Sartono. 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru II: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. 2011. Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan Dan Perkembangan Kerajaan Islam. Jakarta: Balai Pustaka.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan Di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
- Ricklefs, M. C. 2009. Sejarah Indonesia Modern 1200- 2004. Jakarta: Serambi.