Perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda dipengaruhi oleh situasi yang terjadi di internal politik Kerajaan Mataram. Memasuki abad ke-19, kondisi di Pulau Jawa khususnya wilayah bekas Kerajaan Mataram, yakni Surakarta dan Yogyakarta semakin memprihatinkan. Intervensi pemerintah kolonial terhadap pemerintahan lokal tidak jarang mempertajam konflik yang sudah ada dan berpotensi melahirkan konflik baru di lingkungan kerajaan. Intervensi kolonial yang telah masuk sejak pemerintahan Amangkurat I yang berkuasa di Kerajaan Mataram sejak 1646-1677 telah membawa pergeseran adat dan budaya keraton. Secara bertahap telah terjadi pergeseran kebudayaan menuju kebudayaan Barat.
Dominasi Pemerintah Kolonial Belanda
Dominasi pemerintah kolonial juga telah menempatkan rakyat di Pulau Jawa sebagai objek pemerasan, sehingga kondisi rakyat di Jawa sangat memprihatinkan. Di sisi lain, selain di bawah tekanan pemerintah kolonial, pihak kerajaan juga mengizinkan perusahaan asing menyewa tanah untuk kepentingan perkebunan-perkebunan. Pada umumnya tanah itu disewa dengan penduduknya sekaligus. Akibatnya, penduduk yang sebagian besar adalah para petani tidak dapat lagi mengelola lahan pertaniannya, tetapi justru menjadi tenaga kerja paksa.
Masa Pemerintahan Daendels Dan Raffles
Sejak Daendels berkuasa (1808-1811), maka wilayah kekuasaan raja-raja Jawa, terutama Yogyakarta dan Surakarta, semakin dipersempit. Hal ini disebabkan karena banyak daerah yang diberikan kepada Belanda sebagai imbalan atas bantuannya. Adapun daerah yang diinginkan Belanda adalah daerah pantai utara Jawa, yang berada dalam rute perdagangan dan pengangkutan berbagai macam barang. Karena itu daerah-daerah di pantai utara Pulau Jawa itu secara bertahap berhasil dikuasai oleh Belanda. Daerah Kerawang dan Semarang dikuasai oleh Belanda pada tahun 1677, dan pada tahun 1743 daerah Cirebon, Rembang, Jepara, Surabaya, Pasuruan dan Madura juga berhasil dikuasai oleh Belanda.
Dengan hilangnya daerah-daerah pesisir yang kemudian menjadi wilayah kekuasaan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda, Kerajaan Mataram mulai meninggalkan kegiatan pelayaran dan perdagangannya, dan memusatkan kegiatannya pada bidang pertanian. Hal ini tentu saja berdampak bagi Kerajaan Mataram dalam segi ekonomi. Ditinggalkannya aktivitas kemaritiman dan hanya bergantung pada pertanian, bukan hanya sekedar berdampak pada berkurangnya penghasilan Kerajaan Mataram, melainkan juga menyebabkan Kerajaan Mataram “terisolasi” di mana akses menuju “dunia luar” harus melalui perantara Belanda yang telah menguasai daerah peisisr utara Pulau Jawa.
Situasi itu bertambah runyam ketika terjadi perpecahan di kalangan keluarga Kerajaan Mataram. Perpecahan ini tidak saja melemahkan kerajaan secara politik, tetapi juga membuka pintu selebar-lebarnya bagi infiltrasi politik Belanda di dalam internal Kerajaan. Hal ini terlihat dari setiap adanya pertentangan antar keluarga bangsawan di kraton tentu akan mengundang campur tangan pihak Belanda. Campur tangan Belanda dalam urusan internal Kerajaan Mataram pada akhirnya merugikan kerajaan itu sendiri sebagai keseluruhan.
Pada masa Gubernur Jenderal H. W. Daendels (1808-1811), Daendels pun bahkan sempat berupaya untuk mencampuri urusan tatacara di istana. Misalnya, Daendels menghendaki persamaan derajat dengan Sultan pada waktu upacara kunjungan resmi diadakan di keraton. Dalam upacara tersebut pembesar Belanda supaya diijinkan duduk sejajar dengan raja, dan sajian sirih supaya dihapuskan. Ketika memasuki masa pemerintahan Inggris, Raffles (1811-1816) nyatanya juga meneruskan usaha yang sama dengan mencampuri urusan kehidupan keraton. Kondisi seperti itu menimbulkan rasa kekecewaan dan ketidaksenangan di antara beberapa golongan bangsawan.
Masa Komisaris Jenderal van der Capellen
Setelah berakhirnya pemerintahan Inggris pada 1816, yang diangkat sebagai Residen Yogyakarta adalah Nahuijs, seorang sahabat Komisaris Jenderal van der Capellen. Residen Nahuijs yang beraliran liberal, melihat tanah-tanah apanage yang begitu luas namun menganggur haruslah dapat dijadikan sebagai sumber pemasukan apabila disewakan kepada pemilik modal dan juga dapat menguntungkan petani karena para penyewa dapat memberikan upah yang tetap kepada petani. Berdasarkan pada pemikiran itu, para petani terbebas dari pemerasan penguasa pribumi dan bangsawan pemilik tanah. Nahuijs mencatat terdapat 34 jenis pajak yang dipungut oleh penguasa pribumi dari masyarakat. Bahkan diantaranya ada pajak yang dianggap tidak masuk akal, seperti pajak gubuk di sawah dan pajak make up penari.
Gagasan Residen Nahuijs tentu saja disambut dengan gegap gempita oleh para pemilik modal. Pada tahun 1817 Nahuijs memelopori penyewaan tanah milik Sultan di Bedoyo, Bengkong, Rembang, Penting, Gatak dan Rangkah. Pada tahun 1818-1820 para pejabat dan pengusaha penyewa tanah meningkat dengan pesat. Terhitung hingga tahun 1820 hampir seluruh tanah milik para bangsawan disewakan dan dijadikan sebagai perkebunan kopi.
Penyewaan tanah oleh Residen Nahuijs tentu memiliki dampak besar bagi para bangsawan. Di mana para bangsawan memperoleh kekayaan secara mendadak, namun sebaliknya banyak petani penggarap yang diusir maupun yang dijadikan sebagai pekerja paksa oleh penyewa tanah. Pada bulan Mei 1823, Komisaris Jenderal van der Capellen, yang melihat para petani penggarap dirugikan oleh sistem sewa tanah ini, kemudian mengeluarkan peraturan tentang pembatalan keputusan persewaan tanah Kerajaan. Pembatalan ini menimbulkan persoalan baru bagi para bangsawan pemilik apanage.
Permasalahan yang muncul antara lain terutama adalah para bangsawan diharuskan mengembalikan uang sewa kepada pemilik modal. Celakanya, banyak diantara para bangsawan yang tidak mampu mengembalikan uang sewa yang pernah mereka terima. Sebagian dari para bangsawan kemudian mau tidak mau harus mengembalikan uang itu dengan berbagai cara, seperti mengangsur, meminjam kepada rentenir dengan jaminan barang-barang berharganya. Permasalah itu pada akhirnya telah menyebabkan banyak bangsawan Jawa yang jatuh miskin dan terutama sakit hati atas kebijakan yang diberlakukan oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda.
Para penyewa lahan yang terdiri atas para bangsawan itu pun melakukan protes kepada van der Capellen. Namun, protes itu tidak dilayani oleh van der Capellen, sebab sistem ekonomi liberal belum saatnya diterapkan di tanah kerajaan, yang berarti pengusiran terhadap penduduk yang tidak mampu melawan pemilik modal tidak boleh sampai terjadi. Masalah persewaan tanah kemudian diambil alih oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda. Bahkan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda berusaha untuk menguasai tanah-tanah mili kerajaan yang dinilai subur dan strategis seperti di Jabarangkah dan Karangkobar.
Latar Belakang Perlawanan Pangeran Diponegoro Terhadap Belanda
Pangeran Diponegoro, Putra dari Sultan Hamengkubuwono III melihat situasi yang sangat memprihatinkan di kalangan istana dan rakyat akibat campur tangan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda. Selama masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono III, Pangeran Diponegoro menganggap masyarakat Mataram identik dengan masyarakat Arab Pra-Islam, yang disebutnya dengan masyarakat jahiliah. Pangeran Diponegoro berkeinginan untuk merubah masyarakat jahiliah menjadi masyarakat yang berdasarkan pada ajaran agama Islam dan tuntutan Rasul (Nabi Muhammad SAW). Untuk dapat menyusun dan menciptakan masyarakat baru itu, hanya dapat dicapai dengan perang sabil (perang suci) terhadap kafir.
Pangeran Diponegoro yang tidak menyukai kondisi kehidupan di keraton mulai menyingkir dari kehidupan politik kerajaan. Pangeran Diponegoro kemudian memilih tinggal di Tegalrejo, sebuah tanah yang diwarisi dari buyutnya, janda Sultan Hamengkubuwono I. Di tempat ini, Pangeran Diponegoro memperdalam ajaran agama Islam, melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain dengan menyamar sebagai santri dan bertemu dengan para ulama. Pangeran Diponegoro juga sering melakukan pengembaraan spiritual mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW dengan menyepi di dalam gua-gua tertentu. Pangeran Diponegoro pun kemudian mengubah namanya menjadi Ngabdul Kamid, melepas pakaian kebesarannya dan menggantinya dengan pakaian yang serba putih sebagaimana itulah pakaian Rasul..
Pergaualan Pangeran Diponegoro yang sangat luas dengan komunitas santri dan petani, memudahkan Pangeran Diponegoro memperoleh simpati, dukungan serta pengakuan legitimasi kepemimpinannya oleh masyarakat sebagai pemimpin yang sah. Selain itu, Pangeran Diponegoro juga berhubungan dengan para Kiai dan ulama seperti Kiai Mojo, Kiai Mlangi, Kiai Kwaron, Kiai Taptoyani, Syekh Ahmad, Mudo Wiriodikromo dan Jo Muhammad yang mana semua ulama itu tinggal di daerah Pajang. Mereka mengakui Pangeran Diponegoro sebagai pemimpin mereka, dan memperkuat karakter Pangeran Diponegoro untuk membangun masyarakat baru dalam balad (negeri) Islam.
Setelah Sultan Hamengkubuwono III meninggal pada tahun 1814, akhirnya R. M. Ambyah menggantikan ayah Pangeran Diponegoro itu dengan gelar Sultan Hamengkubuwono IV. R. M. Ambyah adalah adik dari Pangeran Diponegoro sendiri. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono IV banyak bangsawan yang mendadak menjadi kaya dari tanah apanage.
Menurut Pangeran Diponegoro, kekayaan itu didapatkan dengan banyak meninggalkan nilai-nilai kehidupan Jawa dan Islam yang sangat disakralkan. Ditinggalkannya nilai-nilai Jawa dan Islam disebabkan oleh tunduknya mereka (bangsawan) kepada peraturan yang dibuat oleh kafir, yang telah merampas tanah-tanah milik kerajaan melalui persewaan tanah. Tanah Jawa yang telah jatuh ke tangan kafir harus direbut kembali dengan sabil yang berlandaskan Al-Qur’an.
Permasalahan lain yang muncul adalah mengenai pemungutan pajak dan bea yang dilakukan secara besar-besaran. Untuk menambah pemasukan keuangan kerajaan, Sultan Hamengkubuwono IV yang baru berusia 18 tahun dikendalikan oleh mertuanya, Patih Danurejo IV. Patih Danurejo IV atas nama Sultan Hamengkubuwono IV menambah jumlah gerbang-gerbang pungutan (tolpoorten) yang disewakan kepada orang-orang Cina melalui sistem perolehan (setoran). Gerbang-gerbang pungutan ini sangatlah merugikan rakyat. Sebenarnya, Patih Danurejo IV tidak dapat mengeluarkan keputusan yang menentukan jalannya pemerintahan. Mengenai masalah pajak ini, Pangeran Diponegoro seringkali memberikan masukkan dan nasehat kepada adiknya, tetapi adiknya menolak.
Pada 6 Desember 1822, Sultan Hamengkubuwono IV secara mendadak meninggal seusai makan. Dalam peristiwa ini, terjadi saling tuduh antar keluarga bangsawan, bahkan Pangeran Diponegoro sempat dituduh sebagai dalang pembunuhan. Peristiwa meninggalnya Sultan Hamengkubuwono IV secara mendadak tidak pernah diketahui siapa pembunuh yang sebenarnya. Kondisi ini menyebabkan permasalahan mengenai pengganti Sultan Hamengkubuwono IV sebab persaingan antar-bangsawan sangatlah ketat. Beberapa calon kuat diantaranya adalah Paku Alam I dan Pangeran Diponegoro.
Paku Alam I tidak dipilih karena ketika menjadi wali sultan, ia dianggap banyak berbuat kesalahan. Sedangkan Pangeran Diponegoro menolak untuk menerima takhta itu. Pangeran Diponegoro pun juga menolak apabila R.M. Menol karena masih kanak-kanak, dirinya belum memenuhi syarat sebagai sultan. Menurut Pangeran Diponegoro, seorang sultan haruslah juga seorang Senopati (pemimpin tertinggi angkatan perang) dan juga seorang Sayidin panatagama. Selain itu, R. M. Menol adalah Ratu Kencono anak dari Sumodiningrat (Danurejo IV). Danurejo sendiri adalah keturunan Untung Surapati seorang budak yang berasal dari Bali dan pernah diangkat sebagai seorang lieutnant oleh VOC.
Di dalam sejarah Kerajaan Mataram, Untung Surapati pernah melakukan pemberontakan terhadap Kerajaan Mataram pada Februari 1686. Bagi kalangan bangsawan Yogyakarta asal-usul keturunan dan pengkhianatan terhadap sultan merupakan faktor yang penting dalam menentukan seseorang sebagai raja. Terlebih perkawinan seorang sultan dengan keturunan budak dianggap sebagai perkawinan pinggir. Ratu Kencono di mata para bangsawan Yogyakarta berstatus perempuan pinggir. Nilai-nilai seperti inilah yang tidak pernah diperhatikan oleh Inggris maupun Belanda.
Pada 19 Desember 1822 R. M. Menol yang baru berusia dua tahun dinobatkan sebagai sultan oleh Residen Yogyakarta, Baron de Salis. Pengangkatan itu, merupakan keputusan politis yang menyingkirkan aspek-aspek kultural. Kemudian Belanda mengangkat Mangkubumi dan pangeran Diponegoro sebagai wali sultan. Meskipun Pangeran Diponegoro awalnya menolak, namun ia akhirnya menerima penunjukkan itu.
Pada saat penobatan R. M. Menol, Pangeran Diponegoro yang dijadikan sebagai wali sultan, atas nama sultan wajib membaca kontrak dan sekaligus menandatanganinya dihadapan para bangsawan yang hadir. Pangeran Diponegoro mengaku bahwa ia tidak dapat membaca dan menulis, dan hal itu membuat Paku Alam I memandangnya dengan sinis. Sedangkan para bangsawan saling memandang dan tersenyum seraya meledek Pangeran Diponegoro. Selain dipermalukan dalam hal itu, selanjutnya Pangeran Diponegoro berdasarkan tata krama keraton merasa dipermalukan karena harus memberikan sembah kepada seorang bocah yang lahir dari perkawinan pinggir. Kedua hal itu tentu membuat Pangeran Diponegoro merasa amat malu dibuatnya.
Setelah penobatan itu, Pangeran Diponegoro jarang hadir dalam upacara resmi keraton, dan lebih memilih menyepi di dalam gua. Letnan Jenderal de Kock pun terpengaruh oleh pendapat umum yang menyatakan bahwa Pangeran Diponegoro yang sering tidak hadir dikarenakan malu dan sakit hati. Pendapat ini justru menguntungkan Pangeran Diponegoro untuk menutupi aktivitas sesungguhnya di Tegalrejo dan ditempat-tempat lainnya yang justru Pangeran Diponegoro membangun kekuatan bersenjata dan memilih pemimpin-pemimpinnya, membagi wilayah perang, membangun pertahanan dan menentukan pos-pos strategis untuk komando serta membangun pabrik-pabrik mesiu ditempat-tempat yang dirahasiakan di sekitar wilayah Kesultanan Ngayogyakarta.
Pada tahun 1823, Residen Baron van Salis digantikan oleh Smissaert yang tanpa diketahui sebabnya, residen baru itu sangat membenci Pangeran Diponegeoro. Namun, di sisi lain, Smissaert sangat menguntungkan Pangeran Diponegoro. Sebab, residen itu sangat senang hidup mewah dan berfoya-foya serta lebih sering berada di vilanya di tengah-tengah perkebunan Bedoyo. Sehingga dirinya amat jarang dan tidak mengetahui sama sekali apa saja yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro.
Kurangnya kewibawaan di kesultanan, membuat pejabat-pejabat Belanda berbuat seenaknya dan tidak lagi menghormati adat Jawa. Bahkan, di dalam rapat resmi, residen duduk di kursi yang disediakan untuk sultan, yang mana hal ini dianggap oleh bangsawan sebagai pencemaran atas kekuatan gaibnya. Tingkah laku pejabat Belanda yang mudah masuk keraton dan mengadakan hubungan gelap dengan putri keraton membuat Pangeran Diponegoro semakin prihatin.
Berdasarkan hal itu, selain permasalahan moral, konflik pribadi antara Pangeran Diponegoro dengan Residen Smissaert semakin panas, sesudah terjadi peristiwa saling mempermalukan di depan umum dalam suatu pesta di kediaman dinas residen. Saat itulah Pangeran Diponegoro secara terang-terangan menentang Residen Smissaert.
Pertentangan antara Pangeran Diponegoro dan Residen Smissaert makin menjadi ketika Residen Smissaert dan Patih Danurejo IV memerintahkan untuk memasang anjir (pancang) sebagai tanda akan dibuatnya jalan baru dan dengan sengaja pembuatan anjir itu melintasi tanah milik Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Melihat hal itu, Pangeran Diponegoro memerintahkan anak buahnya untuk membongkar pancang-pancang tersebut. Setelah pencabutan tiang pancang diketahui oleh Residen Smisaert. Patih Danurejo IV kemudian memerintahkan kembali untuk memasang tiang-tiang itu dengan dikawal oleh pasukan Macanan, pasukan pengawal kepatihan. Sebaliknya Pangeran Diponegoro memerintahkan untuk membalas mencabuti pancang-pancang yang baru ditanam itu.
Jalannya Perang Diponegoro
Insiden tiang pancang ini merupakan konflik terbuka antara Smissaert-Danuerjo IV dengan Pangeran Diponegoro yang melibatkan kekuatan bersenjata. Para demang dan pasukannya dari berbagai daerah di Kesultanan Yogyakarta mulai berdatangan ke Yogyakarta untuk membantu Pangeran Diponegoro. Memasuki pertengahan bulan Juli 1825 telah berkumpul lebih dari 1500 orang. Pangeran Diponegoro kemudian mengungkapkan niatnya kepada Kiai Taptoyani dan Kiai Nitiprojo untuk mengusir orang-orang Belanda dan Cina dengan menggelar perang sabil. Reaksi Pangeran Diponegoro telah meluas ke berbagai tempat, namun, Residen Smissaert sendiri baru menyadari aktivitas Pangeran Diponegoro setelah disurati oleh Residen Surakarta, Mac Gillavrij yang menyatakan bahwa di Yogyakarta akan terjadi kekacauan,
Residen Smissaert menganggap berkumpulnya pengikut Pangeran Diponegoro di Tegalrejo dapat diselesaikan dengan mudah. Pada 20 Juli 1825, Residen Smissaert mengirim dua orang utusan untuk memanggil Pangeran Diponegoro mempertanggungjawabkan banyaknya orang yang berkumpul di Kedu dan pembelian padi secara besar-besaran. Pangeran Diponegoro menolak panggilan dari Residen Smissaert untuk mempertanggungjawabkan permasalahan itu, sebab ia merasa bukanlah penyebab dari kejadian itu.
Panggilan kedua untuk Pangeran Diponegoro selanjutnya melalui Pangeran mangkubumi. Namun, Pangeran Mangkubumi menyarankan Pangeran Diponegoro untuk tidak memenuhi panggilan itu, sebab Residen Smissaert telah mempersiapkan pasukan Paku Alam untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Residen Smissaert yang tidak terima atas penolakan Pangeran Diponegoro kemudian mengirimkan pasukan pada 21 Juli 1825 yang dipimpin oleh Asisten Residen Chevallier ke Tegalrejo.
Pasukan yang dipimpin oleh Chevallier itu berjumlah 50 orang yang terdiri atas pasukan infantri, hussar dan diperkuat dengan dua buah meriam untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Dalam waktu singkat, Tegalrejo dikepung dan dibakar, namun pengikut Pangeran Diponegoro menyambut serangan itu dengan perlawanan. Pangeran Diponegoro yang mengetahu penyerangan itu segera menyingkir ke Desa Selarong.
Di Selarong, Pangeran Diponegoro yang telah mempersiapkan daerah ini sebagai markas komandonya, memudahkan dirinya untuk menyusun strategi. Sungai Bedog, anak Sungai Progo yang membelah Desa Selarong menjadi dua memudahkan pertahanan Pangeran Diponegoro dan mempersulit pasukan musuh yang hendak menyerang. Di Selarong telah berkumpul beberapa bangsawan dan pemuka agama antara lain; Pangeran Mangkubumi, Pangeran Adinegoro, Pangeran Ronggo, Ngabehi Mangunharjo, Pangeran Panular, Pangeran Adiwinoto, Suryodiputro, Blitar, Kiai Mojo dan Pangeran Surenglogo.
Pangeran Diponegoro kemudian memerintahkan Joyomenggolo, Bahuyuda, Hanggowikromo untuk memobilisasi orang-orang disekitar Desa Selarong untuk bersiap melakukan perang. Pangeran Diponegoro selanjutnya membuat rencana untuk menguasai seluruh wilayah Kesultanan Yogyakarta, mengusir orang-orang Belanda dan Cina. Berikut ini adalah rencana yang telah dipersiapkan oleh Pangeran Diponegoro;
- Melakukan serangan terhadap keraton, kemudian mengisolasi Yogyakarta untuk mencegah datangnya pasukan dari luar Yogyakarta;
- Mengirimkan surat melalui caraka kepada para pemimpin pasukan di luar wilayah kesultanan seperti di Bagelen, Kedu, Banyumas Serang dan wilayah Monconegor0 Timur (Magetan, Madiun, Rajegwesi, Kertosono, Berbek dan Ngrowo) serta para demang yang berada di perbatasan wilayah Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta. Surat itu berisi perintah untuk memerangi orang Eropa dan Cina;
- Menyusun daftar nama para bangsawan yang dinilai sebagai lawan dan yang membantu Pangeran Diponegoro;
- Membagi wilayah Kesultanan Yogyakarta atas beberapa daerah perang dan mengangkat para komandan daerah dan pasukan. Beberapa pembantu utama yang dilantik sebagai komandan pasukan diantaranya;
- Pangeran Suryologo, saudara Pangeran Diponegoro;
- Tumenggung Mangkudirejo (Pangeran Mangkudiningrat);
- Pangeran Notoprodjo;
- Pangeran Mertoyudo (Pangeran Wiryonegoro);
- Demang Kertopengalasan (Tumenggung Wiryodiredjo);
Para pemimpin daerah perang antara lain;
- Daerah Bagelen, Pangeran Suryokusumo dan Tumenggung Reksoprodjo;
- Lowano (Bagelen Timur), Pangeran Abu Bakar dan Muhammad.
- Ledok, Tumenggung Handangtoro;
- Gowong, Tumenggung Gajah Pernada;
- Langon, Pangeran Notoprodjo;
- Kedu, Tumenggung Hadiwinoto dan Tumenggung Martodipuro;
- Parakan, Tumenggung Sumodilogo;
- Yogyakarta Barat, Tumenggung Joyomustopo, Tumenggung Hadisuryo, dan Tumenggung Simonegoro;
- Kedu, Kiai Muhammad Arfah dan Mulyosentiko (Tumenggung Seconegoro);
- Gamplong, Tumenggung Cokronegoro dan Tumenggung Sumodiwiryo;
- Yogyakarta Utara, Pangeran Surodilogo dan Pangeran Sumodiwiryo;
- Sambiroto, Pangeran Mangkudiningrat, Pangeran Notoprojo dan Tumenggung Ranupati;
- Yogyakarta Timur, Pangeran Suryonegoro dan Suranegoro;
- Gunung Kidul, Pangeran Sudironegoro, Jonegoro, dan Sumodiningrat;
- Pajang, Warsokusumo, Mertoloyo, Wiryokusumo, dan Dipodirdjo;
- Sukowati/ Sragen, Tumenggung Kertodirdjo dan Mengunnegoro.
Susunan kekuatan di setiap daerah militer adalah 1.000 orang prajurit dan terbagi atas tujuh kelompok yang masing-masing berkekuatan tiap kelompok 150 orang dan sebagian besar bersenjata api.
Dalam perkembangan selanjutnya Pangeran Diponegoro merubah susunan daerah perang dan memperbaiki struktur organisasi militernya berbentuk korps yang meniru organisasi tentara Kekaisaran Turki Utsmani pada abad ke-16 sampai dengan abad ke-18. Pasukan infantrinya yaitu Boluck, Cemaat, dan Segmen. Pasukan infantri Turki disebut dengan Bashiboloek. Nama-nama Turki itu kemudian diadopsi oleh Pangeran Diponegoro dengan lafal Jawa; Boluck menjadi Bulkiyo, Bashiboloek menjadi Borjumuah.
Di dalam pangkat kemiliteran yang baru itu, pangkat tertinggi dijabat oleh Alibashah. Hanya beberapa orang saja dengan pangkat Alibashah, antara lain Sentot Prawirodirdjo, Mohammad Ngusman dan Kerto Pengalasan (Tumenggung Wiryodiredjo). Berikut adalah susunan kemiliteran yang baru dalam pasukan Pangeran Diponegoro yang diadopsi dari sistem kemiliteran Kekaisaran Turki Utsmani;
- Alibashah, Sentot Prawirodirjo dan Tumenggung Wiryodiredjo;
- Basah, Gondokusumo, Mertonegoro dan Ngabdul Latip;
- Agadulah, Reksosentono.
Pasukan Pangeran Diponegoro kemudian dibagi menjadi 13 korps yang diadopsi dari nama-nama Turki dan struktur militer Jawa antara lain;
- Bukiyo;
- Borjomuah;
- Turkiyo;
Ketiga pasukan ini menggunakan ikat kepala putih dan baju berwarna biru
- Harkio, menggunakan ikat kepala hijau dan baju berwarna biru;
- Pinilih, ikat kepala hitam bergaris putih dan baju berwarna merah;
- Larban;
- Naseran;
Kedua pasukan ini menggunakan ikat kepala hitam dan baju dengan warna beragam;
- Sipuding;
- Yagir;
Kedua pasukan ini menggunakan ikat kepala putih dan baju dengan warna beragam;
- Surotandang;
- Jayengan;
Kedua pasukan ini menggunakan ikat kepala merah dengan baju berwarna putih;
- Suragama;
- Wanangprang;
Kedua pasukan ini menggunakan ikat kepala putih dengan baju berwarna hitam.
Pada 2 Agustus 1825 pasukan Pangeran Diponegoro melakukan serangan terhadap Kota Yogyakarta dengan kekuatan 6.000 orang yang dibagi ke dalam tiga sektor;
- Pangeran Abu Bakar, saudara Pangeran Diponegoro, Putra Sultan Hamengkubuwono III melakukan penyerangan ke Dalem Pakualaman, menghancurkan jembatan Kali Code, membakar perkampungan orang Eropa dan Cina serta menghancurkan gerbang-gerbang pungutan;
- Pangeran Adinegoro, menguasai jalan penghubung Magelang-Yogyakarta-Surakarta.
- Pangeran Blitar menguasai jalan raya Bantul dan berupaya merebut Keraton Yogyakarta.
Di dalam penyerangan ini, rumah-rumah bangsawan yang dianggap sebagai lawan, dirusak, dijarah dan dibakar. beberapa orang bupati berhasil ditangkap antara lain;
- Tumenggung Mertoloyo;
- Tumenggung Wiryokusumo;
- Tumenggung Notoyudo;
- Tumenggung Sumerejo;
- Tumenggung Danusumo;
- Tumenggung Sindunegoro; dan
- Ronodiningrat.
Penyerangan yang dilakukan oleh pasukan Pangeran Diponegoro tentu saja mengejutkan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda. Para pembesar Kesultanan Yogyakarta dan Pemerintah Hindia-Belanda yang terdapat di Yogyakarta kemudian mengungsi ke Benteng Vredeburg. Garnisun Kesultanan Yogyakarta yang hanya berjumlah 200 orang tidak mungkin dapat menghadapi pasukan Pangeran Diponegoro yang jumlahnya lebih besar. Sultan Hamengkubuwono V pun akhirnya mengungsi ke Benteng Vredeburg dengan pengawalan yang sangat ketat.
Residen Yogyakarta, Smissaert melaporkan penyerangan pasukan Pangeran Diponegoro kepada Jenderal de Kock dan meminta dikirmkan pasukan untuk memperkuat pertahanan di Yogyakarta. Sebagian pasukan Belanda yang mundur ke arah Surakarta dihadang di daerah Prambanan. Legiun Mangkunegara yang dipimpin Kapten R.M. Suwongso berhasil dihancurkan di Randugunting (Kalasan). Sedangkan keraton masih tetap dapat dipertahankan oleh pasukan pengawal keraton yang dipimpin oleh Mayor Wironegoro.
Serangan awal pasukan Pangeran Diponegoro ini, kota Yogyakarta berhasil diisolasi. Pasukan Pangeran Diponegoro kemudian melakukan blokade terhadap jalan-jalan yang menuju ke Yogyakarta, sehingga Yogyakarta menjadi kota yang kekurangan pangan. Tawanan dan barang rampasan dibawa ke Selarong. Kota Yogyakarta ini dikuasai selama tujuh hari hingga 9 Agustus 1825.
Setelah serangan terhadap Kota Yogyakarta, Pangeran Diponegoro kemudian mengirimkan surat kepada Pangeran Serang, Pangeran Notoprojo dan Bupati Gagatan (ketiganya berasal dari Kasunanan Surakarta) untuk melakukan perlawanan di daerah pantai utara Pulau Jawa. Pada 9 Agustus 1825 di wilayah Banyumas, tepatnya di Karang Kobar, Kalibeber, dan batur sejumlah kantor pemerintah dibakar. Di Desa Sembong (Weleri) perlawanan dipimpin oleh R. Ng. Tersono melakukan pembakaran pos-pos Belanda disepanjang jalan raya. Di Selomanik Gowong, Selomerto (Wonosobo) Brengkelan (Purworejo), Lengis, Yana dan Kadilangu juga terjadi perlawanan di mana rumah orang-orang Cina di bakar.
Pangeran Serang yang mendapat surat dari Pangeran Diponegoro segera melakukan penyerangan. Pasukan Pangeran Serang bergerak dari Serang menyerang daerah Purwodadi kemudian ke Demak dan berhasil menghancurkan jembatan-jembatan penghubung. Pangeran Serang dibantu oleh Raden Sukur, putra Bupati Semarang, Surioadi Menggolo. Pada 11 September 1825, pasukan Pangeran Serang yang telah berjumlah 8.000 orang melakukan konsolidasi dan membangun pertahanan di Desa Praya, Demak. Sedangkan Di daerah Monconegoro Timur juga terjadi perlawanan yang dipimpin oleh Tumenggung Mangkunegoro, Tumenggung Kartodirdjo dan Tumenggun Alap-alap.
Pada 23 Juli 1825 di Pisangan, Mulyosentiko dengan 400-500 pasukan bersenjata api berhasil melakukan penyergapan terhadap pasukan Belanda yang bergerak dari Magelang menuju Yogyakarta. Beberapa tentara Belanda berhasil dibunuh dan merampas uang sejumlah 30.000 gulden yang akhirnya rampasan itu dibawa ke Selarong. Di wilayah Probolinggo, telah berkumpul sebanyak 55.000 orang sukarelawan yang ingin membantu perjuangan Pangeran Diponegoro. Orang-orang ini kemudian menyerbu ke Kota Magelang, yang hanya dijaga oleh 50 orang tentara. Sedangkan di Menoreh, rumah-rumah pejabat Belanda menjadi sasaran perusakan dan pembakaran.
Bupati Wedana yang berada di barat Gunung Sumbing, Ronggo Surodilogo yang juga menerima surat dari Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi setelah penyerangan ke Yogyakarta pada 2 Agustus 1825 memerintahkan kepada semua demang, penatus, peneket, panglawe dan seluruh masyarakatnya untuk berperang melawan kafir. Setelah keberhasilan Mulyosentiko pada 23 Juli 1825 dalam menyergap tentara Belanda yang menuju Yogyakarta, Pangeran Diponegoro menyerikan kepada masyarakat Kedu untuk siap berperang.
Setelah beberapa serangan mendadak yang menuai keberhasilan bagi pasukan Pangeran Diponegoro, Komisaris Jenderal van der Capellen segera memerintahkan kepada Letnan Jenderal H. M. de Kock, Panglima Tertinggi Tentara Hindia-Timur sebagai komisaris untuk Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta dan diberikan kekuasaan penuh untuk menggunakan kekuatan militer dan sipil untuk menumpas perlawanan Pangeran Diponegoro. Letjen. de Kock pun kemudian menuju Surakarta pada 24 Juli 1825 dan langsung bertemu dengan Sunan Surakarta, Pakubuwana VI yang baru berusia 17 tahun. Melihat Pakubuwana VI yang bersikap acuh terhadap pergerakan Pangeran Diponegoro dan tidak menunjukkan sikap memihak kepada Pangeran Diponegoro, membuat Letjen. de Kock merasa sedikit lega.
Letjen. de Kock menyadari bahwa dirinya berada dalam situasi yang cukup rumit untuk berhadapan dengan Pangeran Diponegoro. Letjen. de Kock hanya memiliki tiga resimen yang terdiri dari infantri, hussar dan artileri serta bantuan Legiun Mangkunegara yang jumlah seluruh pasukan itu berjumlah 1.800 orang. Namun, sebagian dari mereka terkepung di Yogyakarta. Sedangkan perlawanan sudah meluas diseluruh wilayah Kesultanan Yogyakarta.
Di sisi lain, untuk mengetahui lokasi pasukan-pasukan Pangeran Diponegoro sangat sulit oleh karena tidak ada peta yang cukup baik untuk menentukan titik lokasi itu. Sedangkan wilayah Kesultanan Yogyakarta sebagian besar adalah berupa bukit dengan cuaca yang tidak menentu. Ditambah lagi, pasukan-pasukan Pangeran Diponegoro dikenal sebagai pasukan yang pemberani dan fanatik, serta sangat membenci orang Eropa dan Cina.
Letjen. de Kock kemudian menyusun rencana untuk kembali merebut Kota Yogyakarta dan membebaskan wilayah yang berhasil direbut oleh pasukan Pangeran Diponegoro antara lain; Demak, Rembang, Jabarangkah, Karangkobar, Kedu, Bagelen, dan wilayah milik Kesultanan Yogyakarta seperti Serang, Ngawi dan Madiun. Adapun langkah-langkah yang dilakukan oleh Letjen. de Kock untuk merebut kembali wilayah-wilayah itu antara lain:
- Memanggil pasukan-pasukan yang bertugas di luar Jawa untuk berangkat ke Pulau Jawa.
- Merekrut orang-orang lokal yang bersedia untuk memata-matai gerak-gerik pasukan dan pendukung Pangeran Diponegoro.
- Mengarahkan lawan ke daerah yang ditetapkan sebagai killing area, yang terletak antara Sungai Progo dan Bogowonto.
Pada September 1825, pasukan Belanda yang bertugas di luar Pulau Jawa mulai berdatangan di kota-kota pelabuhan di pantai utara Pulau Jawa. Pasukan-pasukan Belanda itu antara lain;
- Pasukan yang berasal dari Supa (Sulawesi Selatan) berjumlah 561 orang di bawah pimpinan Mayjen. De Geen mendarat di Semarang. Pasukan ini langsung bergerak ke daerah pedalaman Karesidenan Semarang;
- Pasukan yang berasal dari Kalimantan Selatan berjumlah 211 orang di bawah pimpinan Kapten Roest mendarat di Rembang dan langsung bergerak menuju Madiun;
- Pasukan yang berasal dari Sumatera Barat berjumlah 510 orang di bawah pimpinan Kapten Michiels mendarat di Tegal dan diperintahkan untuk memperkuat pasukan Letkol. Cleerens
Pasukan Belanda di Jawa mulai mendapatkan bantuan dari luar Pulau Jawa untuk memusatkan perhatiannya pada perlawanan Pangeran Diponegoro. Di Bagelen, pasukan yang datang dari luar Pulau Jawa berjumlah 1.466 orang telah bersiap berhadapan dengan pasukan Pangeran Diponegoro.
Setelah persiapan matang, Letjen. de Kock memerintahkan kepada Letkol. Cochius, komandan garnisun Surakarta untuk bergerak ke Kota Yogyakarta dengan kekuatan dua kompi infantri hulptroepen dan satu pleton hussar dan satu kompi dragonder. Dengan bersusah payah pasukan ini berhasil masuk ke Kota Yogyakarta. Setelah pasukan ini berhasil masuk ke dalam Kota Yogyakarta, Letjen. de Kock selanjutnya merencanakan operasi besar-besaran merebut kembali Kota Yogyakarta dan dilanjutkan hingga ke Selarong.
Pasukan Belanda yang melakukan penyerangan besar-besaran terhadap Kota Yogyakarta terdiri dari tiga kolone atau sekitar 7.500 tentara. Pada 22 September 1825 Jenderal de Kock tiba di Klaten untuk memastikan persiapan pasukan yang akan menyerbu Kota Yogyakarta. Pada 24 September 1825 pasukan Belanda bergerak menyerbu Kota Yogyakarta. Pasukan kolone I Belanda berhasil memukul mundur pasukan Pangeran Diponegoro dan merebut kembali Kota Yogyakarta. Di dalam penyerangan ini, sepuluh orang pangeran pendukung Pangeran Diponegoro berhasil ditangkap.
Setelah berhasil menguasai Kota Yogyakarta, Jenderal de Kock kemudian membuat pengumuman yang berisi dirinya akan memberi pengampunan kepada mereka yang pernah melakukan pemberontakan. Kemudian, Jenderal de Kock membuat surat yang ditujukan kepada Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang bertempat di Selarong. Surat Jenderal de Kock itu berisi ajakan damai yang disampaikan lewat utusan yaitu Pangeran Ronodiningrat. Pangeran Ronodiningrat yang membawa surat Jenderal de Kock itu disambut oleh pangeran Suryenglogo.
Surat Jenderal de Kock itu kemudian diberikan kepada Pangeran Diponegoro yang kemudian dirundingkan bersama dengan Pangeran Mangkubumi dan Kiai Mojo. Setelah dirundingkan oleh ketiganya, surat balasan kepada Jenderal de Kock pun ditulis dan disusun oleh Pangeran Joyokusumo dan Pangeran Suryenglogo yang isinya penolakan Pangeran Diponegoro untuk berdamai.
Setelah surat balasan Pangeran Diponegoro diterima oleh Jenderal de Kock dan dibacanya, Jenderal de Kock kemudian memerintahkan pasukan kolane II untuk menyerbu Selarong. Penyerbuan itu ternyata mendapati Desa Selarong telah kosong disebabkan pasukan Pangeran Diponegoro telah menyebar ke berbagai arah. Pangeran Diponegoro sendiri yang dikawal oleh pasukan Bulkiyo dan Mandung bergerak ke arah barat dengan menyebrangi Sungai Progo dan sampai di Desa Jekso (Dekso). Desa ini terletak di dekat pertemuan antara Sungai Duwet dan Sungai Progo, yang sebenarnya pun desa ini telah dipersiapkan sebagai markas komando cadangan untuk menggantikan Selarong. Dari desa inilah kemudian Pangeran Diponegoro memberikan komandonya.
Sebagian pasukan Pangeran Diponegoro yang berpindah dari Selarong melakukan konsolidasi kekuatan di bekas Keraton Plered yang dipimpin oleh Tumenggun Wirodiredjo dengan mengerahkan pasukan yang berasal dari wilayah Kulon Progo.
Kegagalan dalam menggerebek Pangeran Diponegoro di Desa Selarong, Jenderal de Kock memerintahkan agar Pangeran Diponegoro beserta pasukannya untuk terus dikejar. Informasi tentang keberadaan Pangeran Diponegoro pada saat itu pun tidak jelas, sehingga menyulitkan pengejaran. Pada bulan Oktober 1825, Mayor Sollewijn diperintahkan oleh Jenderal de Kock untuk menyerang Kutagede, namun lagi-lagi penyerangan ini gagal menemukan Pangeran Diponegoro.
Pada 24 Oktober 1825 Jenderal de Kock mendapatkan informasi tentang keberadaan Pangeran Diponegoro yang berada di tepi barat Sungai Bedog. Jenderal de Kock pun langsung melakukan pengejaran yang ia pimpin sendiri dengan berkekuatan 1258 orang yang diawali dari Kota Bantul. Di dalam pengejaran itu terdapat juga Mayor Sollewijn, dan Kapten van de Polder yang membantu Jenderal de Kock. Pasukan pengejar ini kemudian dibagi menjadi tiga regu; pasukan pimpinan Mayor Sollewijn melakukan pengejaran ke Desa Jeblok yang langsung dihadang oleh pasukan Pangeran Diponegoro, sedangkan pasukan yang berada di bawah pimpinan Jenderal de Kock dan Kapten van de Polder menuju ke Kasihan.
Pangeran Diponegoro yang kebetulan menjadikan Kasihan sebagai pusat konsentrasinya diserang oleh dua regu pasukan yang dipimpin oleh Jenderal de Kock dan Kapten van de Polder. Dalam pertempuran ini, 40 orang pasukan Pangeran Diponegoro tewas, namun Pangeran Diponegoro berhasil menyingkir dan bergerak ke Gegulu di tepi Barat Sungai Progo. Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayor Sollewijn di Desa Jeblok pun berhasil memukul mundur pasukan Pangeran Diponegoro, meskipun dengan susah payah. Pasukan Mayor Sollewijn yang mengetahui Pangeran Diponegoro bergerak ke Gegulu pun juga melakukan pengejaran. Namun, sesampainya di Gegulu, desa ini telah kosong dan dibumihanguskan.
Pasukan Mayor Sollewijn selanjutnya melakukan pengejaran ke Desa Kaliwatang dan mendapatkan perlawanan dari pasukan Pangeran Diponegoro. Di Desa Kaliwatang ini, Mayor Sollewijn dan pasukannya berhasil menewaskan 40 orang pasukan Pangeran Diponegoro. Perlu digaris bawahi bahwa penyerangan ini Jenderal de Kock gagal menangkap Pangeran Diponegoro, namun Jenderal de Kock berhasil membersihkan daerah Kota Yogyakarta dari pasukan-pasukan Pangeran Diponegoro.
Setelah kegagalan ini, Jenderal de Kock pun melakukan pengejaran terhadap Pangeran Diponegoro yang diketahui berada di wilayah Yogyakarta utara. Pengejaran terhadap Pangeran Diponegoro ini dipimpin oleh Mayjen. van Geen, sebab Jenderal de Kock dipanggil ke Batavia. Operasi Mayjen. van Geen ini pun juga gagal menangkap Pangeran Diponegoro yang dikawal oleh tentara pimpinan Tumenggung Mertoloyo.
Di sisi lain, Kolonel Cochius memperoleh informasi bahwa pemusatan pasukan Pangeran Diponegoro ada di Benteng Plered dengan berkekuatan 800-1.000 orang yang dipimpin oleh Tumenggung Wirodirejo. Kolonel Cochius pun segera melakukan penyerangan terhadap Benteng Plered pada 9 Juni 1826 dengan kekuatan 7.342 orang. Di dalam penyerbuan ini, Tumenggung Wirodirejo berhasil dikalahkan, namun ia berhasil melarikan diri ke arah Barat menuju Dekso. Operasi pengejaran pun segera dilakukan oleh Kolonel Cochius disertai dengan mata-mata untuk mengamati desa Dekso.
Di Dekso, Pangeran Diponegoro mengetahui jatuhnya Benteng Plered dan dikuasai oleh pasukan Belanda. Sedangkan Kolonel Cochius serta pasukannya sedang menuju ke Dekso. Di dalam perjalanan menuju Dekso, Kolonel Cochius dan pasukkannya dihadang oleh pasukan Pangeran Diponegoro. Meskipun begitu, Kolonel Cochius dan pasukannya berhasil juga tiba di Dekso dan terjadi pertempuran di Dekso pada 8 Juli 1826. Di dalam pertempuran di Dekso, baik pihak Belanda maupun pihak Pangeran Diponegoro tidak sedikit menelan korban.
Setelah pertempuran di Dekso, Pangeran Diponegoro menuju lereng selatan Gunung Merapi. Setelah dirinya tiba di Kejiwan pada 9 Agustus 1826, gerak pasukan Pangeran Diponegoro harus tertahan dan menghadapi pasukan Mayor Sollewijn. Namun, dalam pertempuran di Kejiwan itu, pasukan Pangeran Diponegoro berhasil mengalahkan pasukan Mayor Sollewijn, bahkan Mayor Sollewijn sendiri harus menerima luka tembak di sebelah matanya. Kemenangan ini membuat pasukan Pangeran Diponegoro berhasil merebut beberapa pucuk meriam dan persenjataan lainnya.
Pasukan Diponegoro kemudian bergerak terus dan berhasil menguasai Desa Gading pada 23 Agustus 1826. Penguasaan Desa Gading ini membuat jalur komunikasi antara Surakarta-Klaten menjadi terputus. Sedangkan pada 28 Agustus 1826 pasukan Pangeran Diponegoro yang berjumlah 10.000 orang menyerang Delanggu yang dipertahankan 500 orang tentara Belanda. Di dalam penyerangan di Delanggu itu, pasukan Pangeran Diponegoro berhasil merebut Delanggu dan merampas sejumlah kereta pengangkut uang dan logistik Belanda.
Di medan lainnya, pasukan Pangeran Diponegoro yang berasal dari Mataram bergabung dengan pasukan Kiai Mojo dari Pajang dan bergerak menuju Kota Surakarta. Namun, pasukan gabungan ini berhasil ditahan oleh pasukan Belanda di Desa Gawok. Pada 26 Oktober 1826 meletus pertempuran di Desa Gawok di mana Pangeran Diponegoro terluka dan pasukannya berhasil dikalahkan. Setelah kekalahan di Desa Gawok, strategi menyerang yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro berubah menjadi strategi bertahan dengan menyebarkan pasukannya ke beberapa daerah seperti Prambanan, Kalasan, Pulowatu, Jatinom dan Delanggu.
Kegagalan menangkap Pangeran Diponegoro lebih dari satu tahun dengan operasi-operasi militer membuat Jenderal de Kock dikritik habis-habisan oleh para residen. Para residen terutama mengkritik cara-cara militer dalam melakukan operasi seperti pembakaran desa, pembunuhan para tawanan, perbuatan tercela terhadap perempuan dan penganiayaan anak-anak. Aksi-aksi militer ini tentu sangat merugikan baik secara politis maupun ekonomis. Hilangnya desa-desa akibat pembakaran dan penduduk yang berpindah tempat dapat berdampak pada terhentinya perkonomian. Secara psikologis ini dapat menimbulkan antipati terhadap pemerintah dan militer sendiri.
Operasi militer itu sendiri juga telah menyebabkan korban di pihak militer tidak sedikit. Pada 25 Maret 1826, Komisaris Kesultanan Yogyakarta, J.J. van Sevenhoven menulis surat rahasia kepada Komisaris Jenderal Du Bus mengenai permasalahan di Yogyakarta akibat terjadinya perlawanan yang berlarut-larut. J.J. van Sevenhoven menyarankan agar diadakan pembaharuan ketatanegaraan vortsenlanden sebagai satu-satunya cara mengakhiri perlawanan Diponegoro.
Pada 16 Mei 1826, Residen Surakarta MacGillavrij menulis nota keras kepada Jenderal de Kock. Di dalam notanya itu tertulis bahwa pemberontakan hakikatnya adalah perpanjangan dan kesalahan pembagian Kerajaan Mataram pada 1755 (Perjanjian Giyanti). Pemberontakan akan terjadi terus-menerus sepanjang masih dilakukan pemisahan. MacGillavrij menyarankan penyatuan kembali dua kerajaan itu dan menghapuskan Kesultanan Yogyakarta. Residen Jepara, Juana van Haak juga melayangkan kritiknya kepada Jenderal de Kock yang intinya mendesak pemerintah agar Kesultanan Yogyakarta dianeksasi langsung oleh gubernur jenderal, seperti yang pernah dilakukan Daendels terhadap Kesultanan Cirebon.
Jenderal de Kock membalas kritikan-kritikan itu pada akhir Mei 1826, Jenderal de Kock tidak sependapat akan penghapusan Kesultanan Yogyakarta, karena para pangeran dianggap tidak bersalah. Apabila penghapusan Kesultanan Yogyakarta dilakukan dan menghapus Dinasti Hamengkubuwono ini dianggap tidak adil dan pastinya akan menambah musuh baru, para pangeran akan melakukan perlawanan.
Jenderal de Kock kemudian membentuk sebuah komisi untuk menyelesaikan polemik Kesultanan Yogyakarta. Di dalam komisi itu sebagian besar mengusulkan untuk menghapus status Kesultanan Yogyakarta. Namun, Jenderal de Kock mengusulkan agar Sultan Hamengkubuwono II (Sultan Sepuh) diangkat kembali dan memberi jaminan tidak akan mengancam status hukum Sultan Muda (Sultan Hamengkubuwono V). Diangkatnya Sultan Sepuh diharapkan dapat mengubah situasi sebab Sultan Sepuh masih memiliki pengaruh terhadap putra dan cucu-cucunya. Komisaris Jenderal Du Bus pun menyetujui hal ini sebab biaya perang semakin meningkat.
Operasi-operasi militer Jenderal de Kock selama dua tahun belumlah membuahkan hasil. Jumlah pengikut Pangeran Diponegoro sendiri semakin bertambah hingga mencapai 500.000 orang dan tersebar di berbagai tempat. Sedangkan, hingga bulan April 1827 jumlah tentara Belanda yang tewas mencapai 1603 orang dari jumlah 6.000 orang. Rekrutmen tentara baru sulit dilakukan ditambah dengan politik penghematan Komisaris Jenderal Du Bus. Hal ini menyebabkan kesejahteraan prajurit mengalami kemerosotan.
Faktor penyebab kegagalan operasi militer de Kock adalah sistem berperang orang Jawa yang sangat membingungkan dan karakter perlawanannya sulit diduga. Orang Jawa yang dikenal Belanda sebagai pemalas dan lamban, ternyata gerliyawan yang amat tangguh. Orang-orang Jawa mampu mengoperasikan senjata-senjata rampasan dan mampu membuat mesiunya. Bahkan mereka pun dapat membeli senjata-senjata baru.
Selain itu, siasat perang Pangeran Diponegoro yang mampu mengulur waktu untuk menguras tenaga dan kemampuan perang lawan pun sangat merepotkan. Lawan tidak pernah diberi istirahat meskipun teknologi persenjataan lebih unggul. Permasalahan lainnya bagi Jenderal de Kock adalah merebaknya pemakaian opium dikalangan prajurit dan istri-istri prajurit pribumi (hulptropen) pun ikut menambah beban.
Siasat Benteng Stelsel (Strategi mempersempit pergerakan pasukan Pangeran Diponegoro)
Jenderal de Kock beserta para stafnya pun mengkaji suatu strategi baru untuk mengakhiri perlawanan Diponegoro. Jenderal de Kock kemudian mengeluarkan strategi Benteng Stelsel (Stelsel Benteng). Fungsi dari Benteng Stelsel adalah sebagai pangkalan pasukan dan dibangun sedekat mungkin dengan posisi lawan. Dengan operasi-operasi militer yang berpangkalan di benteng akan mendesak lawan ke killing ground. Beberapa larangan dikeluarkan seperti lumbung pangan, rumah ibadah, menangkap ternak, membakar desa, dan hal-hal lain yang mengundang antipati rakyat.
Agar dapat melaksanakan strategi benteng Stelsel secara efektif, diperlukan reorganisasi dan rekonstruksi pasukan serta pembagian daerah operasi militer secara jelas. Jenderal de Kock kemudian membagi wilayah Kesultanan Yogyakarta menjadi delapan daerah operasi militer yang masing-masing berkekuatan satu kolone mobil. Reorganisasi pasukan mobil dan pembangunan benteng-benteng merupakan suatu kesatuan dalam pelaksanaan strategi benteng stelsel. Daerah operasi militer kemudian disederhanakan menjadi Daerah Operasi Timur (Mataram dan Pajang) yang dipimpin oleh Kolonel Cochius dan Daerah Operasi Barat (Bagelen, Ledok dan Banyumas) yang dipimpin oleh Kolonel Cleerens.
Benteng stelsel merupakan strategi dua kutub (double pooled strategy) yaitu gabungan unsur manuver (pasukan) yang dinamis dengan unsur perlindungan (benteng) yang statis. Unsur manuver sendiri terdiri atas kesatuan tempur terpadu yang terdiri atas pasukan infantri, pasukan berkuda (ruiterij), pasukan bertombak, pasukan artileri dan pionir (zeni). Pasukan infantri sendiri disusun dalam batalion campuran yang terdiri atas kompi pribumi dan kompi Belanda. Pada setiap kolone diperbantukan satu kompi pionir, dinas kesehatan, dan beberapa petugas keagamaan Islam (Mohammedansche priester) yang bertugas memimpin upacara keagamaan. Sedangkan logistik pasukan diangkut oleh kuda beban atau pun kuli.
Stelsel benteng sebagai sistem senjata memiliki fungsi sebagai berikut:
(1) Benteng berfungsi sebagai batas wilayah dalam daerah pertahanan (vak) untuk memutuskan komunikasi daerah-daerah yang dikuasai lawan, mempersingkat jarak penyaluran logistik, evakuasi pasukan, tempat istirahat dan rumah sakit;
(2) Benteng sebagai tempat aktivitas ekonomi, yaitu mengawasi persawahan, pasar-pasar dan tempat penyetoran pajak;
(3) Benteng sebagai tempat melakukan aktivitas politik, seperti perundingan, melakukan pembujukan terhadap pimpinan lawan atau kepala desa dengan memberikan sejumlah hadiah berupa uang, opium atau kain sarung dan beberapa benda lainnya yang dinilai berharga.
Benteng stelsel sebagai sistem senjata diterapkan untuk sasaran politik, ekonomi, sosial, budaya dan militer. Dari aspek taktis, stelsel benteng diterapkan dengan bentuk patroli-patroli taktis-ofensif secara teratur untuk memaksa lawan ke suatu daerah yang dihendaki oleh strategi. Dari aspek strategi, stelsel benteng dengan operasi tempur, operasi teritorial, psikologi dan budaya yang dilaksanakan oleh kolone-kolone, berhasil memisahkan pergerakan pasukan Diponegoro dengan rakyat, mencegah dan membatasi ruang geraknya.
Berdasarkan siasat stelsel inilah, Jenderal de Kock mulai membangun benteng-benteng untuk membuat mobilitas pasukan Pangeran Diponegoro menjadi tinggi, sehingga konsentrasi pasukan terpecah-belah, kekalahan perang, dan menurunya semangat berperang sampai akhirnya mereka menyerah. Namun, siasat ini tidak mudah diterapkan, sebab dalam praktiknya, Jenderal de Kock ternyata harus membangun sebanyak 258 benteng berbagai ukuran yang tersebar diseluruh medan pertempuran seperti di Pajang, Mataram, Kedu, Bagelen, Ledok dan Monconegoro Timur (Magetan, Madiun, Rajegwesi, Kertosono, Berbek dan Ngrowo) yang menelan biaya sangat besar dengan jangka waktu perang yang cukup panjang. Di mana hal ini tentu sangat menguras kas Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda.
Selain karena harus membangun banyak benteng untuk mempersempit gerak pasukan Pangeran Diponegoro, Jenderal de Kock harus dihadapi oleh permasalahan lain, yakni strategi perang yang diterapkan para panglima Pangeran Diponegoro, seperti Kiai Mojo, Pangeran Bei dan terutama adalah Sentot Prawirodirjo. Jenderal de Kock beberapa kali juga harus mendapati situasi di mana bangunan-bangunan benteng yang sedang dibangun ternyata keliru, banyak benteng-benteng yang akhirnya ditinggalkan sebelum digunakan. Situasi prasarana jalanan dan transportasi logistik pun menjadi kendala yang berarti bagi penerapan strategi stelsel benteng ini.
Medan Mataram telah menjadi daerah pertempuran yang berat sepanjang tahun 1828-1829. Setelah meninggalkan daerah Pajang, Pangeran Diponegoro mengkonsentrasikan pasukannya di wilayah Mataram terutama di daerah tepi barat Sungai Progo dan tepi timur Sungai Bogowonto, Pegunungan Trayumas dan Pegunungan Kelir. Jenderal de Kock yang mulai melihat beberapa keberhasilan dari strategi stelsel benteng ini menggap daerah konsentrasi pasukan Pangeran Diponegoro di Mataram ini merupakan killing area. Namun, penilaian Jenderal de Kock salah besar.
Daerah Mataram ini merupakan medan tempur yang ideal bagi pasukan Pangeran Diponegoro melakukan pertempuran. Daerah yang subur, bukit-bukit terjal dan berpenduduk padat menjadi sumber pasukan. Selain itu, daerah ini juga merupakan daerah pengikut Pangeran Diponegoro yang paling fanatik. Pertempuran-pertempuran hebat pun terjadi di daerah Mataram, setiap hari tidaklah mengherankan apabila terjadi penghancuran dan pembunuhan tawanan perang karena kedua belah pihak berupaya secepat mungkin mengakhiri peperangan.
Strategi Jenderal de Kock rupa-rupanya dengan menerapkan stelsel benteng ini dinilai berhasil karena dapat mempersempit ruang gerak pasukan Pangeran Diponegoro. Akibatnya, pasukan Pangeran Diponegoro menjadi terjepit, terkuras energinya karena mobilitas harus dilakukan sesering mungkin dan menurunya semangat bereperang serta berhasil direbutnya beberapa posisi strategis oleh pasukan Belanda.
Akhir Perang Diponegoro
Pada September 1829, Pangeran Diponegoro dan Sentot Prawirodirjo melakukan pemusatan konsentrasi pasukan di Desa Siluk (Selo), yang terletak di kaki pegunungan Selarang. Desa Siluk ini kemudian diserang oleh Kolonel Cochius dan terjadi pertempuran. Dalam pertempuran ini pasukan Pangeran Diponegoro berhasil dikalahkan, namun Pangeran Diponegoro dan Sentot Prawirodirjo berhasil melarikan diri. Akibat tekanan dan kejaran terus-menerus yang dilakukan oleh pasukan Belanda, Sentot Prawirodirjo menyerahkan diri pada bulan Oktober 1829. Sedangkan Pangeran Diponegoro berhasil melarikan diri ke arah barat dan melakukan konsolidasi di daerah Bagelen.
Di Bagelen, Ledok, dan Gowong, pasukan Kolonel Cleerens melakukan operasi tempur untuk mengejar Pangeran Diponegoro. Sejak 1828, terutama wialayah Bagelen dikuasai seluruhnya oleh pasukan Pangeran Diponegoro. Masyarakat Bagelen, Ledok, dan Gowong hanya mengakui Pangeran Diponegoro sebagai sultannya. Pasukan Belanda pun mulai membangun benteng di tepi Sungai Bogowonto, namun upaya ini tetap tidak berhasil mencegah mobilitas pasukan Pangeran Diponegoro dari daerah Mataram menuju Bagelen. Namun, dengan operasi teritorial yang intensif dari benteng-benteng, Kolonel Cleerens berhasil melunakkan fanatisme orang-orang Bagelen terhadap Pangeran Diponegoro. Kolonel Cleerens sendiri di daerah operasi militernya berhasil membangun sebanyak 78 benteng di mana sebanyak 51 benteng di Bagelen, 20 benteng di Ledok dan 7 benteng di Kedu.
Pada akhir tahun 1829, Pangeran Diponegoro dan sisa pasukannya telah diketahui dengan jelas posisinya. Jenderal de Kock pun sempat melakukan sayembara bagi siapa pun yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro hidup atau mati akan diberikan hadiah sebesar 20.000 gulden. Namun, tidak ada seorang pun yang merespon pengumuman Jenderal de Kock ini. Jenderal de Kock kemudian memilih untuk memperdaya dan membujuk Pangeran Diponegoro agar ia keluar dari pertahanannya secara damai, kemudian menangkapnya.
Jenderal de Kock ingin mengeksploitasi nilai-nilai budaya karakter ksatria bangsawan Jawa sebagai kelemahan. Nilai-nilai karakter kesatria bangsawan Jawa itu ada pada pribadi Pangeran Diponegoro. Nilai-nilai budaya kesatriaan, yang dianggap luhur, antara lain seorang kesatria pantang ingkar terhadap janji. Dengan demikian, Pangeran Diponegoro harus dibujuk sampai dia mengucapkan janjinya.
Pada 9 Februari 1830, Kolonel Cleerens mengutus bekas orang kepercayaan Pangeran Diponegoro, Penghulu Pake Ibrahim dan Kaji Badaruddin untuk menghubungi Pangeran Diponegoro dan menyampaikan pesan bahwa Kolonel Cleerens ingin bertemu untuk menyampaikan keinginan berdamai dari Jenderal de Kock. Tempat untuk dilakukan perundingan damai itu berada di Desa Remakawal, Magelang. Pangeran Diponegoro akhirnya menyetujui berunding dengan Jenderal de Kock, yang akan diadakan di Magelang.
Pada 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro meninggalkan penginapannya dan menuju ke kediaman residen. Di dalam kediaman residen telah ada Pangeran Diponegoro, Basah Mertonegoro, Kaji Ngisa, Kaji Badaruddin dan dua orang pembantu; Rata dan Bantengwareng, serta dua orang anak Pangeran Diponegoro yang masih kecil. Sedangkan Jenderal de Kock di dampingi oleh Residen Valck, Mayor de Stuers dan Kapten Roeps. Basah Gondokusumo dan Basah Suryowinoto, Basah Imam Musbah dan beberapa adipati duduk di luar. Tidak ada pembicaraan penting, namun pembicaraan berlangsung lama.
Ketika pembicaraan sedang berlangsung, Jenderal de Kock memerintahkan Mayor Michiels untuk melucuti pengawal Pangeran Diponegoro yang berada di luar kediaman Residen Valck. Sebanyak 1.400 pengawal Pangeran Diponegoro yang berada di penginapan pun dilucuti senjatanya dan dilanjutkan dengan pengawal yang berada di halaman depan keresidenan. Jenderal de Kock pun kemudian melarang Pangeran Diponegoro untuk meninggalkan tempat.
Pangeran Diponegoro yang sadar bahwa dirinya dijebak, dan mengatakan bahwa dirinya yang bersalah dan bertanggung jawab atas terjadinya peperangan. Namun, Pangeran Diponegoro menolak untuk menyerah dan lebih baik ia mati. Ia menyampaikan pesan kepada Jenderal de Kock apabila dirinya dihukum mati, ia minta dikuburkan di Jimatan (Imogiri) agar berdampingan dengan istrinya. Dengan ditangkapnya Pangeran Diponegoro, maka berakhirlah perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda. Pangeran Diponegoro yang ditangkap kemudian dibawa ke Batavia, kemudian dipindahkan ke Manado pada 7 Mei 1830 dan kemudian tiba di Ambon pada 12 Juni 1830. Selanjutnya Pangeran Diponegoro di bawah ke Makassar dan meninggal di sana pada 8 Januari 1855.
Dampak Perang Diponegoro menyebabkan Belanda menguasai seluruh Pulau Jawa, meskipun kenyataannya Belanda tidak menguasai Pulau Jawa sesungguhnya. Meskipun Belanda berhasil memengaruhi kondisi internal vortsenlanden, namun secara de facto bekas-bekas Kerajaan Mataram itu. Setelah berakhirnya perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda, Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda dan Kerajaan Belanda harus menanggung beban yang sangat besar hingga menyebabkan kas negara menjadi kosong.
Perang Diponegoro telah menghabiskan dana sebesar 832.000.000 gulden atau kini setara dengan USD 75 miliar. Sebagai upaya untuk mengisi kekosongan kas itu, maka Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru, Johannes van den Bosch menerapkan kebijakan cultuur stelsel. Kebijakan cultuur stelsel ini berlaku sejak 1830-1870 dan telah menandai semakin beratnya beban rakyat. Kebijakan cultuur stelsel juga menjadi awal dari penerapan kolonialisme Belanda terhadap Pulau Jawa.
Daftar Bacaan
- Kartodirjo, Sartono. 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru II: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia IV: Zaman Penjajahan Di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
- Ricklefs, M. C. 2009. Sejarah Indonesia Modern 1200- 2004. Jakarta: Serambi.