Perlawanan Sultan Hasanuddin (1660-1667)

Perlawanan Sultan Hasanuddin dari kerajaan Makassar terhadap VOC merupakan bentuk perlawanan terhadap praktik monopoli VOC yang ingin dipaksakan di wilayah Kerajaan Makassar. Pada tanggal 6 November 1653, Raja Kerajaan Gowa, Sultan Muhammad Said (Sultan Malikussaid) meninggal dunia. Takhta Kerajaan Gowa selanjutnya dipegang oleh putranya, yaitu Sultan Hasanuddin. Dilantiknya Sultan Hasanuddin membawa harapan bagi para pembesar VOC di Batavia yang menginginkan terjadinya perubahan kebijakan politik yang dapat menguntungkan VOC terutama di daerah Maluku. Namun, kenyataan yang terjadi ternyata tidak sesuai dengan harapan VOC.

Sultan Hasanuddin yang menaiki takhta ternyata tidak memberikan harapan yang sesuai dengan keinginan VOC di Batavia, membuat hubungan antara Kerajaan Gowa dan VOC semakin memburuk. Hal ini disebabkan Sultan Hasanuddin tetap melakukan kebijakan menentang monopoli perdagangan VOC. VOC yang hendak memaksakan hak monopoli dagangnya terutama terhadap Kepulauan Maluku seringkali dibuat pusing oleh keberadaan para pedagang Makassar. Para pedagang Makassar ini sering terlibat dengan perdagangan “ilegal” sehingga menimbulkan banyak kerugian bagi VOC.

Kedatangan para pedagang Makassar di perairan Maluku sebenarnya sudah terjadi sejak sebelum Sultan Hasanuddin berkuasa. Sejak tahun 1634, ketika Sultan Alauddin (Kakek Sultan Hasanuddin) berkuasa, sebuah armada Belanda di bawah pimpinan Gijsbert van Lodenstein memblokade Benteng Sombaopu. Oleh sebab itu, Sultan Hasanuddin sejak kecil sudah tahu betul bahwa VOC adalah saingan dan musuh yang berbahaya bagi Kerajaan Gowa. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Said (Ayah Sultan Hasanuddin), Sultan Hasanuddin pernah menjabat sebagai Karaeng Tumakkajannangngang yang memahami soal peperangan dan keamanan negara. Sehingga Sultan Hasanuddin sudah memahami bahwa keberadaan VOC adalah ancaman bagi Kerajaan Gowa.

Latar Belakang Perlawanan Sultan Hasanuddin Terhadap VOC

Sultan Hasanuddin yang baru berkuasa sudah langsung melaksanakan peperangan dengan pihak VOC sepanjang 1654-1655 di berbagai tempat. Sedangkan VOC belum berani untuk mendaratkan kapalnya di depan Sombaopu. Pertempuran antara tentara Kerajaan Gowa dengan VOC terutama terjadi di Buton, Kepulauan Maluku terutama di sekitar Pulau Buru dan Seram Kecil. Pertahanan orang-orang Makassar yang berpusat di Assahudi selalu mendapatkan bantuan dari Kerajaan Gowa maupun dari rakyat Maluku di bawah pimpinan Majira yang menentang VOC.

Pada tanggal 27 Maret 1654 rakyat Maluku di bawah pimpinan Majira menyerang benteng VOC di Luhu (Seram Kecil). Pada bulan Juli 1654 atas permintaan Arnold de Vlaming (Gubernur VOC di Amboina) kepada Sultan Mandar Syah dari Kerajaan Ternate untuk mengirimkan bantuan kepada VOC di Ambon. Pertempuran antara rakyat Maluku di bawah pimpinan Majira dan orang-orang Makassar menghadapi VOC  semakin sengit di Maluku.  

Pada 1 November 1654 Arndold de Vlamingh datang ke Batavia untuk meminta bantuan. Pada tanggal 21 November 1654 Arnold de Vlamingh menuju Maluku beserta bantuan yang didapatkan dari Batavia. Bantuan dari Batavia ini diharapkan dapat memblokade kapal-kapal Makassar yang menuju ke Assahudi. Meskipun telah diblokade dengan ketat, kapal-kapal Makassar tetap berhasil menembus blokade tersebut. Pada Februari 1655 Arnold de Vlamingh mengepung Assahudi di mana orang-orang Makassar dan rakyat Maluku bertempur dengan hebat melawan pengepungan VOC.

Pada bulan April 1655 armada Kerajaan Gowa di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin sendiri menyerang VOC di Buton. Meskipun sempat meminta Sultan Buton untuk mempertahankan negerinya, namun upaya itu tetaplah sia-sia. Tentara Kerajaan Makassar berhasil membunuh seluruh tentara VOC dan menguasai Buton. Memanfaatkan Sultan Hasanuddin yang sedang menyerang Buton, pada bulan Juli 1655 Arnold de Vlamingh memusatkan pasukannya untuk menyerang Assahudi dan berhasil merebutnya. 

Setelah merebut Assahudi, Arnold de Vlamingh menuju Buton untuk bergabung dengan tentara VOC di sana. Namun, ketika tiba di Buton pada September 1655, semuanya hanya tersisa puing-puing pertahanan Belanda. Sehingga, Arnold de Vlamingh kembali menuju Ambon. Pada 23 Oktober 1655, kapal VOC yang memblokade perairan di dekat Bonto-Cowe ditenggelamkan oleh Karaeng Popo dan menewaskan 24 orang termasuk pemimpin kapal, Caspar Buytendijk.

Disadari oleh VOC bahwa peperangan dengan Kerajaan Gowa telah menelan biaya yang sangat besar dan kerugian di bidang perdagangan. Oleh sebab itu, VOC berupaya untuk merubah siasatnya melalui jalur diplomasi dengan membujuk para pembesar yang diiringi dengan hadiah-hadiah dan janji-janji manis kepada para pembesar Kerajaan Gowa. Setelah kejadian 23 Oktober 1655, para pembesar VOC di Batavia mengirimkan Willem van der Beeck yang dibantu oleh seorang Armenia, Khoja Suleiman untuk pergi ke Sombaopu untuk mengadakan perjanjian damai dengan Kerajaan Gowa.

Pada tanggal 28 Desember 1655, Willem van der Beeck berhasil membuat perjanjian dengan Kerajaan Gowa. Perjanjian ini dibuat dan bersifat setara antara kedua belah pihak. Perjanjian itu diresmikan pada 2 Februari 1656. Adapun isi perjanjian antara VOC dengan Kerajaan Gowa yaitu;

1) Orang-orang Makassar yang masih berada di Ambon diperbolehkan kembali ke negerinya;
2) Raja Gowa boleh menagih semua hutang-piutangnya yang ada di Ambon;
3) Orang-orang tawanan di kedua belah pihak akan diserahkan kepada masing-masing pihak (tukar-menukar tawanan);
4) Musuh-musuh VOC tidak perlu menjadi musuh-musuh kerajaan Gowa; 
5) Orang-orang Belanda (VOC) tidak akan mencampuri perselisihan orang-orang Makasar;
6) Belanda (VOC) boleh menangkap semua orang-orang Makasarvyang kedapatan berlayar di kepulauan Maluku; dan 
7) Raja Gowa akan memperoleh ganti kerugian sepenuhnya untuk saham baginda dalam kapal Portugis • yang bernama “St. Joan Bapthista” yang dirampas oleh VOC.

Meskipun pasal-pasal yang tertuang dalam perjanjian itu tidak sepenuhnya menguntungkan Kerajaan Gowa, namun menurut pimpinan VOC, van der Beeck sangat memberikan keuntungan bagi Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa yang berada di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin menyadari bahwa apabila orang-orang VOC berkuasa, maka kesejahteraan dan kemakmuran rakyat akan mengalami kemerosotan yang sangat tajam dan sangat memprihatinkan. Hal ini didasari pada apa yang dialami oleh rakyat Kepulauan Maluku, rakyat diperas, dibunuh mata pencahariannya oleh VOC. Sehingga perjanjian perdamaian antara Kerajaan Gowa dengan VOC tidak dapat bertahan lama. 

Sepanjang tahun 1656 meskipun perjanjian telah dibuat antara Kerajaan Gowa dengan VOC, orang-orang Makassar masih tetap menghalangi praktik monopoli VOC di Kepulauan Maluku. Di sisi lain, Pelabuhan Gowa tetap terbuka bagi orang-orang asing seperti Portugis, Inggris, Spanyol dan Denmark. Akibat peristiwa ini hubungan Kerajaan Gowa dengan VOC semakin memburuk.

Pada 2 Februari 1657 VOC mengutus Dirck Schouten sebagai komisaris ke Sombaopu bahwa VOC tidak dapat memenuhi tuntutan tujuh poin perjanjian yang telah disepakati antara Willem van der Beeck dan Kerajaan Gowa. Selain itu, VOC meminta Kerajaan Gowa untuk menyerahkan Kalamatta, saudara Sultan Mandar Syah dari Kerajaan Ternate. Sebab Kalamatta telah menyerang sebuah kapal VOC diperairan Buton . Namun, permintaan itu ditolak oleh Sultan Hasanuddin. Ketegangan antara Kerajaan Gowa dan Kerajaan Ternate terhadap daerah Manado diikutcampuri oleh VOC yang bersekutu dengan Kerajaan Ternate dan mendirikan benteng. Selain itu, beberapa perahu Kerajaan Gowa dirampas oleh Belanda.

Pada tanggal 1 April 1659 Sultan Hasanuddin menyampaikan ultimatum kepada VOC dengan tuntutan-tuntutan sebagai berikut:

  1. VOC tidak boleh mencampuri persoalan Pulau Buru dan Pulau Seram serta tidak boleh mengganggu penduduk pulau-pulau itu.
    2) Orang-orang Makasar yang ditawan oleh VOC harus diserahkan kembali kepada Kerajaan Gowa.
    3) Raja Gowa harus menerima sisa pembayaran kapal St. Joan Bapthista yang dirampas oleh VOC. sesuai dengan jumlah yang dijanjikan oleh Willem van der Beeck (utusan VOC yang terdahulu).
    4) VOC harus membayar ganti kerugian untuk 400 (empat ratus) orang Bima yang dibinasakan atau dibawa pergi pada waktu VOC menyerang Bima;
    5) Benteng pertahanan VOC di Manado (Minahasa) harus dibongkar;
    6) VOC harus mengembalikan perahu-perahu milik Karaeng Karunrung dan Karaeng Sumana yang dirampas oleh VOC. serta barang-barang milik Francisco Viera dan Francisco Mendes yang ada di dalam perahu-perahu itu;
    (7) Semua perahu yang mengibarkan panji Kerajaan Gowa dan membawa surat-surat keterangan yang dibubuhi cap Kerajaan Gowa tidak boleh diganggu oleh orang-orang (VOC.) di lautan manapun juga dan ke manapun juga perahu-perahu itu menuju. Bahkan pun jikalau perahu-perahu itu menuju ke pelabuhan negeri yang bermusuhan dengan Belanda (VOC).
Baca Juga  Respon India Terhadap Kemerdekaan Indonesia (1945-1949)

Sebaliknya, VOC memberikan basalan dengan mengajukan beberapa tuntutan kepada Kerajaan Gowa antara lain;

1) Pampasan atau ganti kerugian untuk kapal St. Bapthista akan dibayar asal Francisco Viera berani menerangkan di bawah sumpah bahwa muatan kapal yang diajukan pampasannya itu betul-betul ada dan memang sekian jumlahnya;
2) Dengan syarat yang sama, yakni pakai keterangan di bawah sumpah, pampasan untuk perahu-perahu Makasar yang dirampas oleh VOC akan dibayar;
3) Pampasan untuk serangan atas Bima tidak akan dibayar, karena serangan itu tidak dilakukan atas Bima, akan tetapi di daerah yang berbatasan dan daerah itu berada di luar daerah yang menjadi urusan Kerajaan Gowa;
4) VOC minta agar perdamaian dipelihara pula terhadap sekutu-sekutu VOC seperti Ternate, Bacan, Tidore dan daerah-daetah lainnya. Kerajaan Gowa jangan mencampuri atau mengganggu pelabuhan-pelabuhan dan pulau-pulau yang sudah dikuasai oleh VOC;
5) VOC minta agar diberi tanah tempat tinggal yang tetap di ibukota Kerajaan Gowa (Sombaopu);
6) VOC menunutut agar semua orang Belanda dan budak-budak VOC yang melarikan diri diserahkan kepada VOC;
7) VOC menuntut agar supaya Kerajaan Gowa membayar hutang-hutangnya kepada VOC;
8) VOC menuntut agar Kerajaan Gowa melindungi orang-orang Belanda atau para pegawai VOC. terhadap orang-orang Makassar dan orang-orang Portugis yang mengganggu mereka.

Apabila semua tuntutan ini dipenuhi, maka benteng VOC di Manado akan dibongkar.

Pada tanggal 27 Juli 1659, wakil VOC, Willem Bastingh dan wakil Kerajaan Gowa, Karaeng Popo yang bertindak atas nama Raja Gowa melakukan perundingan. Pihak Kerajaan Gowa tidak mau membicarakan soal perdamaian dengan kerajaan-kerajaan lain melalui perantara VOC. Kerajaan Ternate dan kerajaan-kerajaan lainnya itu dapat berhubungan langsung dan berunding sendiri dengan Kerajaan Gowa, tanpa perlu perantara VOC. Tentang larangan berdagang di pulau-pulau dan pelabuhan-pelabuhan di Maluku yang dianggap sebagai wilayah yang “dikuasai VOC” tidak dapat disetujui oleh Kerajaan Gowa. Menurut Kerajaan Gowa Tuhan menciptakan bumi agar semua orang dapat hidup dan menikmati akan manfaatnya. Ataukah orang-orang Belanda (VOC) menyangka bahwa Tuhan menciptakan pulau-pulau yang begitu jauh letaknya dari negeri mereka semata-mata agar orang Belanda (VOC) saja yang boleh berdagang di pulau-pulau itu?

Willem Bastingh gagal dalam tugasnya karena tidak terdapat kesepakatan di kedua belah pihak. Pada tanggal 16 September 1659 Willem Bastingh kembali ke Batavia. Pada bulan November 1659 Kerajaan Gowa mulai memperkuat pertahanan dan melakukan persiapan untuk menghadapi serangan VOC. Sikap yang ditunjukkan oleh Kerajaan Gowa membuat VOC memutuskan untuk menyerang Kerajaan Gowa Tallo.

Jalannya Perlawanan

Sepanjang bulan Januari-Februari 1660 sejumlah besar kapal mulai berangkat ke Ambon. Agar tidak menimbulkan kecurigaan dari pihak Kerajaan Gowa, kapal-kapal itu berangkat secara bertahap. VOC merencanakan sekitar bulan Juni-Juli 1660 kapal-kapal itu semua dapat bertolak dari Ambon menuju Sombaopu. Pemimpin armada VOC ini adalah Johan van Dam dan diwakili oleh Johan Truytman. Armada VOC ini terdiri dari 31-33 buah kapal besar dan kecil serta berkekuatan 2600-2700 orang, diantaranya terdapat 400 orang Ambon.

perlawanan sultan hasanuddin
Selat Sombaopu

Di dalam instruksinya, Johan van Dam terlebih dahulu berlabuh di Tanakeke dan berupaya untuk merebut Benteng Pannakukang, benteng yang terletak di selatan Benteng Sombaopu. Setelah itu yang menjadi target adalah Benteng Ujung Pandang yang terletak di utara Benteng Sombaopu. Johan van Dam juga memerintahkan untuk tidak menembak loji milik orang Inggris.

Pada tanggal 12 Mei 1660 armada VOC yang dipimpin oleh Johan van Dam mulai meninggalkan Ambon. Setelah tiba di Tanakeke, armada itu segera menuju ke Sombaopu. Pada 6 Juni 1660 armada VOC telah sampai di Pelabuhan Sombaopu. Pada 8 Juni 1660 armada VOC yang terdiri dari 22 kapal besar, 3 kapal kecil dan 8 kapal pendarat dengan memuat 1064 tentara Belanda dan 1700 orang-orang pribumi segera menyerang enam kapal Portugis yang sedang berlabuh di Pelabuhan Sombaopu. Dengan mudah armada VOC mengalahkan kapal-kapal Portugis.

Kemenangan armada VOC sama sekali tidak menggentarkan orang-orang Makassar. Mereka telah bersiap untuk menghadapi VOC dengan mengibarkan panji-panji perangnya. Meriam-meriam kemudian menembaki kapal-kapal VOC yang berupaya mendarat di pelabuhan. VOC pun membalas tembakan itu melalui kapal-kapal mereka dilaut. Pada tanggal 12 Juni 1660 sekelompok pasukan VOC dengan diam-diam menaikki sekoci dan sampan-sampan kecil dan bergerak ke utara. Tujuan pergerakan ini adalah untuk mengalihkan perhatian pasukan Kerajaan Gowa di Benteng Pannakukang agar tertuju ke Benteng Sombaopu. Strategi ini berhasil sehingga dengan mudah Benteng Pannakukang dikuasai oleh VOC.

Setelah merebut Benteng Pannakukang, VOC segera memperkuat diri menghadapi serangan balasan Kerajaan Gowa. Berkat persenjataan yang lebih unggul, pasukan VOC dapat bertahan dari serangan balasan yang dilakukan oleh Kerajaan Gowa. VOC kemudian berusaha untuk mengadakan gencatan senjata di Kota Garassi pada 10 Agustus 1660. Pada hari yang sama, 10 Agustus 1660 Karaeng Popo, wakil dari Kerajaan Gowa kemudian berangkat ke Batavia untuk menyelesaikan persoalan damai. Perjanjian gencatan senjata antara Kerajaan Gowa dengan VOC pada 10 Agustus 1660 berisi antara lain:

  1. Perhentian permusuhan dan perletakan senjata atau penghentian tembak-menembak berlangsung selama utusan Kerajaan Gowa, Karaeng Popo, berada di Batavial
  2. Kedua belah pihak tetap memiliki kepunyaannya, seperti halnya sebelum Benteng Pannakukang direbut oleh Belanda (VOC);
  3. Orang-orang Makasar (kerajaan Gowa) tidak akan menjalankan tindakan yang bermusuhan terhadap orang-orang Belanda (VOC);
  4. Selain dari pada untuk menjual dan menyerahkan bahan-bahan makanan orang-orang Makasar tidak boleh mendekati atau menghampiri kedudukan Belanda (VOC.) di Benteng Pannakukang;
  5. Orang-orang Portugis yang berada di Sombaopu (ibukota kerajaan Gowa) harus tetap tinggal di dalam kota dan tidak boleh keluar pelabuhan atau berlayar;
  6. Bangsa-bangsa dan saudagar-saudagar lainnya yang sebelum pecah peperangan bergaul sebagai sahabat orang-orang Makasar (Kerajaan Gowa) harus menjauhkan diri dari Pelabuhan Sombaopu.

Perjanjian 10 Agustus 1660 atau yang dikenal dengan Perjanjian Garassi ini sebenarnya adalah perjanjian gencatan senjata yang kemudian nanti akan disusul dengan perjanjian perdamaian yang sedang diurus dan dirundingkan oleh Karaeng Popo dan pemimpin VOC di Batavia.

Gencatan senjata ini rupa-rupanya dimanfaatkan oleh VOC untuk berhubungan dengan musuh-musuh Kerajaan Gowa, terutama orang-orang Bugis dari Bone dan menghasut mereka untuk berperang melawan Kerajaan Gowa. Aru Palaka, raja Bone menyambut seruan VOC dan kemudian memperisapkan diri untuk bersama-sama menghadapi Kerajaan Gowa. Pada tanggal 29 Juli 1660 pihak Belanda menunjuk anggota Dewan Hindia (Raad van Indie) Arnold de Vlamingh van Outshoorn dan Johan van Dam sebagai wakil VOC untuk mengadakan perundingan dengan Karaeng Popo, sebagai wakil Kerajaan Gowa. Berikut ini adalah perjanjian damai antara Kerajaan Gowa dengan VOC;

  1. Orang-orang Makasar untuk selanjutnya tidak akan mencampuri lagi segala urusan yang mengenai Buton, Menado dan Ambon;
  2. Orang-orang Makasar tidak boleh lagi mengadakan pelayaran ke Banda dan ke Ambon;
  3. Orang-orang Portugis harus meninggalkan Sombaopu (Gowa) untuk selama-lamanya, sedang Belanda (VOC.) diberi kebebasan untuk berdagang di sana;
  4. Raja Gowa harus membayar segala biaya perang dan menyerahkan Pangeran Kalamatta (saudara Sultan Temate) kepada Belanda (VOC.);
  5. Selama Raja Gowa belum menandatangani perjanjian ini dan melaksanakan apa yang tercantum di dalam perjanjian itu, maka pasukan-pasukan Belanda (VOC) akan tetap menduduki Benteng Pannakukang yang telah direbutnya pada tanggal 12 Juni 1660.

Karena terdapat perbedaan pendapat, maka VOC mengutus Zacharis Wagenaer dan Jacob Cau yang tiba di Sombaopu pada 13 Oktober 1660. Akan tetapi, Sultan Hasandudin menolak mengadakan pembicaran dengan utusan VOC itu. Pada tanggal 24 November 1660 Karaeng Popo yang tiba di Sombaopu di sandera oleh VOC agar orang-orang Portugis yang berada di Sombaopu sebanyak lebih dari 2000 orang harus diusir dari Sombaopu. VOC juga memperkuat Benteng Pannakukang dan menjalin hubungan dengan orang-orang Bugis yang memusuhi Kerajaan Gowa.

Sultan Hasanuddin kemudian memberi kabar kepada orang Portugis yang terkemuka di Sombaopu seperti Fransisco Viera dan Fransisco Mendes bahwa Kerajaan Gowa telah berdamai dengan VOC dan orang-orang Portugis harus meninggalkan Sombaopu dan Kerajaan Gowa. Namun, Kerajaan Gowa memaksa VOC untuk membatalkan tuntutannya perihal ganti rugi yang harus dibayar Kerajaan Gowa kepada VOC sebesar 21.034 ringgit. Meminta Pangeran kalamatta dari Kerajaan Ternate diperbolehkan tetap tinggal di Sombaopu dan VOC harus berjanji untuk tidak mengkristenkan orang-orang Makassar serta orang-orang Belanda yang telah memeluk agama Islam harus tetap menjadi orang Islam. 

Baca Juga  OPEC: Organization of Petroleum Exporting Countries

Pada tanggal 1 Desember 1660 Sultan Hasanuddin barulah menandatangani perjanjian perdamaian dengan VOC. Setelah itu, pada 2 Desember 1660 Benteng Pannakukang dikosongkan oleh VOC. Meskipun perjanjian perdamaian itu dilakukan, sama seperti sebelumnya, tentu tidak akan bertahan lama. Pada 25 Desember 1660 Arung Palaka yang bersama pengikutnya meninggalkan Bone meminta perlindungan kepada Sultan Buton. 

Pada tahun 1662 kapal VOC bernama De Walvis masuk ke perairan Kerajaan Gowa dan ditenggelamkan oleh kapal-kapal Kerajaan Gowa. Orang-orang Makassar berhasil menyita 16 pucuk meriam dari kapal yang ditenggelamkan itu. Pada tahun 1663 Aru Palaka beserta 400 orang pasukannya yang terdiri dari orang Bone dan Soppeng datang ke Batavia untuk meminta bantuan menyerang Kerajaan Gowa. Pada tahun 1664 Sultan Ternate menyerahkan kembali Pulau Muna kepada Sultan Buton tanpa sepengetahuan Kerajaan Gowa. Pulau Muna sesungguhnya pada saat itu merupakan wilayah Kerajaan Gowa. 

Sultan Ternate dibujuk oleh VOC dan memang telah dipengaruhi sebelumnya untuk memusuhi Kerajaan Gowa. Campur tangan Belanda dalam penyerahan Pulau Muna dari Kerajaan Ternate ke Kerajaan Buton akhirnya diketahui oleh Sultan Hasanuddin. Sehingga Sultan Hasanuddin memprotes keras pemimpin VOC di Batavia. 

Pada tanggal 24 Desember 1664 Kapal VOC De Leeuwin memasuki perairan Kerajaan Gowa. Kapal ini kemudian dikejar-kejar oleh armada Kerajaan Gowa dan berhasil ditenggelamkan di Pulau Dayang-Dayangan, sebelah selatan Benteng Pannakukang. Keempat puluh orang di dalamnya mati tenggelam karena berupaya melarikan diri saat pengejaran dan penangkapan, sedangkan sebanyak 162 orang ditangkap dan ditawan di Sombaopu. VOC kemudian menuntut ganti-rugi sebab kapal tersebut memuat peti yang berisi uang perak sebanyak 1425 ringgit. Namun, tuntutan itu ditolak oleh Kerajaan Gowa.

VOC kemudian mengirim sebuah kapal yang dipimpin oleh Cornelis Kuyff dengan 14 anak buahnya untuk memeriksa kapal De Leeuwin yang tenggelam. Kedatangan mereka tanpa izin Kerajaan Gowa, sehingga mereka dikepung dan dipaksa untuk menyerah. Cornelis Kuyff dan pasukannya tidak mau menyerah sehingga mereka semua dibunuh oleh pasukan Kerajaan Gowa. Setelah peristiwa ini, Gubernur Jenderal VOC, Joan Maetsuycker berupaya untuk menyelesaikan perselisihan antara VOC dengan Kerajaan Gowa. Pada 20 November 1664 Joan Maetsuycker bertemu Sultan Hasanuddin di Sombaopu. Namun, perundingan ini juga menemui kegagalan.

Pada awal tahun 1665 Sultan Hasanuddin berencana untuk menyerang Kerajaan Ternate yang dianggap bersekutu dan banyak membantu VOC. Sehingga Sultan Hasanuddin mengakhiri perjanjian damai dengan VOC. Pada 12 Januari 1666 Kerajaan Gowa memutuskan untuk mengusir semua orang-orang Belanda dari Kerajaan Gowa. Pada 13 Maret 1666 VOC mengirimkan tiga utusan dengan membawa surat dari Joan Maetsuycker dan hadiah seharga 109.433 gulden untuk membujuk Sultan Hasanuddin. Akan tetapi, Sultan Hasanuddin menolak dan mengirimkan 200 kapal perang ke Kepulauan Sula. Benteng yang didirikan oleh Sultan Ternate dirusak dan 200 orang penduduk kepulauan itu ditawan dan dibawa ke Gowa.

Sultan Hasanuddin kemudian mengirimkan 700 kapal perang dengan 20.000 tentara untuk menyerang Buton. Serangan Sultan Hasanuddin ini dilakukan setelah mengetahui bahwa Sultan Buton melindungi Aru Palaka. Penyerangan ke Buton ini dipimpin oleh laksamana Kerajaan Gowa, Karaeng Bontomaranu. Karaeng Bontomaranu ini dibantu oleh Sultan Bima dan Raja Luwu, Sultan Alimudin dan mulai mengepung Buton.

Pada 23 November 1666 Gubernur Jenderal VOC, Joan Maetsuycker mengangkat Speelman memimpin penyerangan terhadap Kerajaan Gowa. Sebanyak 21 kapal perang besar. Dankert van der Straaten kemudian diangkat sebagai wakil Speelman. Di dalam armada itu juga terdapat Kapten Christiaen Poleman dan Maximiliaen de Jong, komandan militer VOC di Ternate. Selain itu juga terdapat Aru Palaka dengan pasukannya yang terdiri dari orang-orang Bugis serta Kapten Joncker yang memimpin orang-orang Ambon untuk membantu VOC. 

Pada tanggal 24 November 1666 armada VOC yang dipimpin oleh Cornelis Janszoon Speelmen berangkat dari batavia menuju Sombaopu. Pada 19 Desember 1666 armada VOC ini telah sampai di depan Sombaopu dan melakukan unjuk kekuatan (show of force) untuk menggertak Sultan Hasanuddin. Namun, gertakan ini tidak dihiraukan oleh Sultan Hasanuddin. Karena Sultan Hasanuddin tidak gentar akan gertakan ini, maka pada 21 Desember 1666 armada VOC mulai menembakkan meriam dari kapal yang ditujukan terhadap pertahanan orang-orang Makassar. Tembakan meriam VOC ini kemudian dibalas oleh tembakan meriam pula oleh Kerajaan Gowa.

Pada 25 Desember 1666 armada VOC tiba di Bantaeng dan bertempur dengan pasukan Kerajaan Gowa. Bantaeng sendiri merupakan pusat logistik dari Kerajaan Gowa. Di dalam pertempuran ini korban berjatuhan di kedua belah pihak, bahkan Aru Palaka sempat terluka dalam pertempuran di Bantaeng ini. Namun, pada akhirnya Bantaeng berhasil dikuasai oleh VOC berkat keunggulan persenjataan. Kota Bantaeng kemudian dibakar oleh VOC dan sekutunya untuk menurunkan semangat tempur tentara Kerajaan Gowa.

Setelah membakar Kota Bantaeng, VOC dan sekutunya kemudian membakar sebanyak 30 desa di sekitar Kota Bantaeng dan membakar lebih dari 100 perahu. VOC dan sekutunya juga membakar habis padi milik rakyat dan sebanyak 100 ton beras, setelah itu pasukan VOC dan sekutunya menuju ke Buton. Di Buton, pasukan Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Laksamana Karaeng Bontomarannu dengan 20.000 pasukannya sudah mengepung Buton. Pada 31 Desember 1666 armada VOC dan sekutunya tiba di Buton. 

Aru Palaka kemudian berupaya memasuki Benteng Buton melalui jalan rahasia dan menyusun rencana penyerangan dengan Sultan Buton. Orang-orang Bugis yang terdapat di dalam pasukan Karaeng Bontomarannu menjadi goyah ketika mendengar Aru Palaka telah tiba bersama armada VOC. Sedangkan orang-orang Mandar pun juga merasa tidak berkewajiban membela Kerajaan Gowa sehingga kondisi pasukan besar itu pun menjadi kacau.

Pada 1 Januari 1667 penyerangan dari laut dan dari Benteng Buton menyerang pasukan besar Karaeng Bontomarannu. Meriam-meriam VOC dan Buton mulai diarahkan ke pasukan Kerajaan Gowa yang membuat kacau-balau. Orang-orang Bugis di dalam pasukan Kerajaan Gowa pun berbalik menyerang pasukan Kerajaan Gowa. Sehingga pasukan besar yang dipimpin oleh Karaeng Bontomarannu itu berhasil dihancurkan. Ribuan tentara Kerajaan Gowa kemudian tertawan, termasuk Karaeng Bontomarannu, Sultan Bima, Datu Luwu dan dua orang bangsawan dari Mandar.

Pada 3 Januari 1667, setelah kekalahan Karaeng Bontomarannu di Buton, sebanyak 68 kapal segera bergabung dengan Armada VOC dan Aru Palaka. Sebanyak 30 kapal itu kemudian diserahkan kepada Sultan Buton. Sedangkan lebih kurang sebanyak 5.000 orang Bugis dimasukkan ke dalam pasukan Aru Palaka. Setelah berhasil mengalahkan Karaeng Bontomarannu di Buton, VOC segera memperkuat diri dengan melakukan beberapa perjanjian dengan Sultan Buton, Sultan Ternate, Sultan Bacan dan juga Sultan Tidore. Di mana perjanjian-perjanjian itu tentu sangat menguntungkan VOC.

Setelah memperkuat kedudukannya terutama di Maluku, pada 7 Juni 1667 Speelman menuju Buton dan sampai di sana pada 19 Juni 1667. Pada 25 Juni 1667 di Teluk Bau-Bau, Speelman merencanakan penyerangan dan tindakan terhadap Kerajaan Gowa. Di sisi lain, Kerajaan Gowa mulai kembali memperkuat Bantaeng yang telah dibakar oleh Belanda dengan kekuatan 5.000 tentara. Tentara Kerajaan Gowa yang memperkuat Bantaeng dipimpin oleh adik Sultan Hasanuddin, I Atatojeng Kare Tulolo Karaeng bonto Majannang. Benteng Ujung Pandang dipimpin oleh Karaeng Bonto Sunggu, sedangkan Benteng Pannakukang dipimpin oleh Karaeng Popo. Benteng Sombaopu sendiri dipertahankan oleh Sultan Hasanuddin yang dibantu oleh Karaeng Karunrung.

Sebagai upaya untuk terjadinya pemberontakan di Bone, pada Februari 1667 Sultan Hasanuddin mengangkat bekas Raja Bone, La Maddaremmeng sebagai komisaris Kerajaan Gowa di Bone. Namun, tindakan Sultan Hasanuddin telah terlambat, rakyat Bone sudah bersiap untuk melakukan perlawanan terhadap Kerajaan Gowa. Terlebih lagi, mendengar Aru Palaka telah kembali dari Batavia bersama dengan tentara VOC dan semakin bersemangat setelah mengetahui kekalahan Karaeng Bontomarannu di Buton serta kembalinya ribuan orang Bugis untuk membantu Aru Palaka.

Pada tanggal 26 Juli 1667 armada VOC yang dipimpin Speelman beserta sekutu-sekutunya yang terdiri dari orang-orang Bugis, Ternate, Buton dan Ambon. Pasukan Aru Palaka berangkat terlebih dahulu sebagai pasukan pelopor dan pengintai, sedangkan armada VOC berada di belakang. Namun, karena armada Aru Palaka diserang oleh angin taufan, maka armada VOC yang tiba terlebih dahulu. Armada VOC yang dipimpin oleh Speelman segera menyerang Bantaeng pada 7 Juli 1667. Pertempuran pun terjadi antara VOC dengan tentara Kerajaan Gowa. Pertempuran di Bantaeng ini berhasil dimenangkan oleh VOC.

Baca Juga  Manusia Purba Homo Cro-Magnon

Setelah memenangkan pertempuran ini, untuk kedua kalinya Bantaeng dibakar oleh VOC. Pada 10 Juli 1667 Speelman meninggalkan Bantaeng dan menuju Sombaopu. Pada 11 Juli 1667 Speelman mendarat di Jeneponto dan membakar lumbung-lumbung padi persediaan makanan pasukan Kerajaan Gowa. Pada 12 Juli, Speelman meninggalkan Jeneponto dan langsung menuju ke Sombaopu. Pada 13 Juli 1667 pasukan Speelman telah tiba di perairan Sombaopu dan kembali mengajukan tuntutan kepada Sultan Hasanuddin. Sultan Hasanuddin harus mengganti kerugian kapal-kapal VOC yang ditenggelamkan di perairan Kerajaan Gowa.

Sultan Hasanuddin yang tidak mau menodai perbuatan-perbuatan rakyatnya yang membenci Belanda, Sultan Hasanuddin kemudian mengirimkan semua uang yang ditemukan oleh orang-orang Makassar di Kapal De Leeuwin. Selain itu Sultan Hasanuddin juga mengirimkan sejumlah uang emas sebagai ganti kerugian atas kematian orang-orang Belanda dalam insiden kapal-kapal VOC yang memasuki perairan Kerajaan Gowa tanpa izin. Menanggapi sikap Sultan Hasanuddin ini, Speelman berkata:

“Want  het Hollants loet niet met gelt, maer met het bloet dergene die her vergoten adde …. coste voldaen werde”

“Karena darah orang-orang Belanda tidak dapat dibayar dengan uang tetapi harus dibayar dengan darah orang-orang yang membunuhnya.”

Meskipun begitu, Speelman tidak mengembalikan uang dan emas yang dikirimkan oleh Sultan Hasanuddin. Speelman menganggap Sultan Hasanuddin berbuat seperti ini karena takut berperang dan berupaya membujuk VOC untuk berdamai. Namun, dugaan itu salah besar. Sultan Hasanuddin sama sekali tidak takut untuk berperang. Hal ini ditunjukkan ketika tentara Speelman mulai mendekati Benteng Sombaopu dan kembali mengajukan tuntutan, Sultan Hasanuddin menolak mentah-mentah tuntutan itu.

Selama beberapa hari, tentara VOC berdiam di depan Benteng Sombaopu menunggu kedatangan pasukan Aru Palaka. Aru Palaka dengan pasukannya yang berasal dari Soppeng, Barru, Nepo dan Tanete berencana akan menyerang Benteng Sombaopu dari utara. Di sisi lain, pasukan Belanda dari Ternate mulai tiba dengan 19 kora-kora dan 9 joli-joli. Sedangkan Buton juga mengirimkan pasukannya dengan 24 perahu dan 1.000  tentara. Mengetahui telah dikepung, pada 19 Juli 1667 meriam-meriam Kerajaan Gowa di Benteng Sombaopu mulai menembaki VOC dan sekutunya.

Pada tanggal 21 Juli 1667 armada VOC melakukan penyerangan terhadap desa-desa disekitar Sombaopu . Pada 24 Juli 1667 armada VOC kembali berdiam diri di depan Benteng Sombaopu. Pada tanggal 26-27 Juli 1667 armada VOC mulai kembali menembaki Benteng Sombaopu. Pada 30 Juli 1667 pasukan VOC menyerang pertahanan Kerajaan Gowa di Galesong dan berhasil mengusir tentara Kerajaan Gowa yang menjaga daerah itu.

Aru Palaka yang menuju utara Benteng Sombaopu dengan kekuatan 8000 pasukan dan 200 tentara VOC berhasil mengalahkan tentara Kerajaan Gowa yang menjaga daerah perbatasan sebelah utara Benteng Sombaopu.Pada 1 Agustus 1667 Armada VOC dan sekutunya melakukan penyerangan terhadap Galesong dan dengan mudah merebut wilayah ini. 

Pada tanggal 3 Agustus 1667 Speelman mengirimkan bantuan ke daerah Turatea yang sedang terancam oleh tentara Kerajaan Gowa. Pasukan bantuan ini terdiri dari orang-orang Bugis yang berasal dari Soppeng dan Bone sebanyak 6000 orang. Perlu diketahui, jumlah orang Bugis di bawah pimpinan Aru Palaka di Galesong untuk membantu VOC telah berjumlah 10.000 orang.

Pada awal bulan Agustus 1667 ini jumlah tentara yang menyerang Kerajaan Gowa telah berjumlah 1298 tentara VOC, 10.000 pasukan inti Aru Palaka, 1.000 orang Bone dan Soppeng di bawah pimpinan Aru Bila dan Aru Appanang, 3.000 tentara Buton dan Ternate dan beberapa puluh pasukan serta 4 buah meriam tambahan yang dipimpin oleh Kapten Joncker dan Kapten Spijker, mereka semua berkumpul di Galesong. Pasukan di Galesong ini juga mendapatkan bantuan dari Soppengriaja (Mangkoso), Nepo (Palandro), Barru dan Tanete yang mana terdiri dari orang-orang Bugis sebanyak 4.000 orang.

Di pihak Kerajaan Gowa, jumlah tentara yang tersisa sebanyak 20.000 tentara. Speelman kemudian mulai menyerang Kerajaan Gowa, namun ia tidak menempatkan pasukan VOC dalam jumlah banyak di daratan, hanya beberapa tentara saja yang ikut bertempur dan bersifat membantu. Sebagian besar yang berada digaris depan adalah tentara pimpinan Aru Palaka yang termotivasi untuk memerdekakan diri dari kekuasaan Kerajaan Gowa. Sedangkan, tentara Buton dan Ternate kurang dapat diandalkan semangat tempurnya.

Pasukan koalisi ini kemudian menyerang Benteng Sombaopu dari segala arah:

(1) Dari arah selatan melalui daratan menyerang pasukan-pasukan inti Aru Palaka yang dibantu oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Poleman;
(2) Dari arah timur, juga melalui daratan, pasukan-pasukan Kerajaan Gowa diserang oleh pasukan-pasukan bantuan Aru Palaka dari Bone  dan Soppeng melalui Lamuru dan Camba. Pasukan-pasukan ini dipimpin oleh Aru Bila dan Aru Appanang;
(3) Dari arah utara, melalui daratan, pasukan-pasukan Kerajaan Gowa hams menghadapi pasukan-pasukan bantuan Aru Palaka dari Nepo (Palanro), Soppengriaja (Mangkoso), Barru dan Tanete;
(4) Dari arah barat, dari arah laut pasukan-pasukan Kerajaan Gowa diserang oleh pasukan-pasukan bantuan dari Buton, Maluku dan Temate serta pasukan-pasukan inti VOC yang dibantu oleh armada VOC yang dipimpin sendiri oleh Laksamana Speelman.

Sepanjang 6-18 Agustus 1667 terjadi pertempuran sengit antara kedua belah pihak. Sebenarnya, tentara VOC sendiri lebih mengedepankan perdamaian dan perundingan, namun semangat tentara Bugis yang dipimpin oleh Aru Palaka mengalahkan niatan VOC dan terus menggempur Benteng Sombaopu. 

Di sisi lain, alotnya pertempuran di Benteng Sombaopu, mengalihkan perhatian VOC untuk terlebih dahulu menduduki Benteng Barombong. Aru Palaka dan pasukannya pun menghentikan penyerangan di Benteng Sombaopu dan mengalihkan perhatiannya ke Benteng Barombong yang berhasil direbut pada 23 Oktober 1667. Setelah berhasil menguasai Benteng Barombong, pasukan koalisi VOC dan Aru Palaka kembali mendekati Benteng Sombaopu.

Akhir Perlawanan Sultan Hasanuddin

Pada tanggal 29 Oktober 1667 sebuah utusan dikirimkan kepada Sultan Hasanuddin di mana disepakati dilakukan gencatan senjata selama tiga hari. Selama gencatan senjata ini, masing-masing pihak memperkuat pertahanannya. VOC kemudian menggunakan kesempatan ini untuk membujuk para bangsawan Kerajaan Gowa yang mulai bimbang untuk tetap bertahan melawan VOC. Diantaranya yang berhasil dibujuk adalah: Karaeng Laiya dan Karaeng Bangkala. Selain bangsawan Kerajaan Gowa juga berhasil dibujuk saudara Sultan Ternate yang selama ini mendukung Kerajaan Gowa, yakni Pangeran Kalamatta dengan janji keselamatannya akan dijamin dengan baik.

Pada 4 November 1667 Speelman mengirim Aru Kaju ke daerah Turatea untuk berunding dengan Karaeng Laiya dan Karaeng Bangkala dengan juga memberikan hadiah-hadiah bagi keduanya. Kedua bangsawan ini akhirnya mau berdamai dan bekerjasama dengan VOC. Pada 11 November 1667, Karaeng Laiya dan Karaeng Bangkala beserta 6.000 tentaranya bergabung dengan VOC dan sekutu-sekutunya. Dengan bergabungnya tentara pimpinan Karaeng Laiya dan Karaeng Bangkala, kekuatan Kerajaan Gowa sesungguhnya telah berhasil digembosi oleh VOC.

Sepanjang tanggal 14-15 November 1667 beberapa bangsawan Kerajaan Gowa juga berhasil dibujuk untuk bergabung dengan VOC. Pada 18 November 1667 pertahanan Kerajaan Gowa di Benteng Sombaopu berhasil dikuasai oleh pasukan koalisi VOC dan Aru Palaka. Setelah itu, pada hari yang sama ditandatanganilah perjanjian di sebuah desa yang bernama Bungaya (Bongaya) sehingga kelak nama desa inilah yang menjadi nama perjanjian itu. Adapun isi dari Perjanjian Bongaya adalah:

  1. Kerajaan Gowa harus mengakui monopoli VOC;
  2. Wilayah Kerajaan Gowa dipersempit hingga tinggal Gowa saja;
  3. Kerajaan Gowa harus membayar ganti rugi atas peperangan;
  4. Sultan Hasanuddin harus mengakui Aru Palakka sebagai Raja Bone;
  5. Kerajaan Gowa tertutup bagi orang asing selain VOC;
  6. Benteng-benteng yang ada harus dihancurkan kecuali Benteng Sombaopu yang telah diubah namanya oleh Speelman menjadi Benteng Rotterdam

Dengan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667, maka untuk sementara berakhirlah Perlawanan Sultan Hasanuddin terhadap Praktik Monopoli VOC.

Daftar Bacaan

  • Gonggong, Anhar. 1984. Sultan Hasanuddin Ayam Jantan Dari Timur. Jakarta: Depdikbud.
  • Kartodirjo, Sartono. 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru II: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia.
  • Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan Di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Ricklefs, M. C. 2009. Sejarah Indonesia Modern 1200- 2004. Jakarta: Serambi.

Beri Dukungan

Beri dukungan untuk website ini karena segala bentuk dukungan akan sangat berharga buat website ini untuk semakin berkembang. Bagi Anda yang ingin memberikan dukungan dapat mengklik salah satu logo di bawah ini:

error: Content is protected !!

Eksplorasi konten lain dari Abhiseva.id

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca