Pertempuran Laut Karang yang terjadi pada 4-8 Mei 1942 adalah pertempuran antara Jepang dan Sekutu pada Perang Dunia II di Front Pasifik. Pertempuran Laut Karang atau Pertempuran Laut Koral ini adalah salah satu pertempuran laut terbesar di Front Pasifik yang melibatkan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang melawan angkatan laut dan angkatan udara Sekutu Amerika Serikat dan Australia. Pertempuran Laut Karang merupakan pertempuran laut pertama antara dua armada yang melibatkan kapal induk, dan telah dicatat sebagai pertempuran laut pertama dalam sejarah yang melibatkan kapal-kapal perang kedua belah pihak yang tidak saling menembak secara langsung dari kapal ke kapal.
Latar Belakang Pertempuran Laut Karang
Pada 7 Desember 1941, kapal-kapal induk Jepang menyerang Armada Pasifik Amerika Serikat di Pearl Harbour, Hawaii. Serangan tersebut menghancurkan atau melumpuhkan sebagian besar kapal-kapal tempur Armada Pasifik Amerika Serikat, sekaligus mengawali perang terbuka antara kedua negara. Dalam perang ini, pemimpin-pemimpin perang Jepang berusaha melenyapkan ancaman dari armada Amerika, merampas wilayah-wilayah jajahan Sekutu yang kaya sumber alam, dan menguasai pangkalan militer strategis untuk mempertahankan wilayah kekuasaan Jepang yang semakin besar.
Pada saat yang hampir bersamaan dengan Pengeboman Pearl Harbor, Jepang menyerang Malaya hingga menyebabkan Britania Raya, Australia, dan Selandia Baru bergabung dengan Amerika Serikat sebagai Sekutu dalam perang melawan Jepang. Pada tanggal 1 November 1941 Armada Gabungan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang mengeluarkan “Perintah Rahasia Nomor Satu” yang berisi tujuan awal Jepang dalam perang adalah untuk ”(melumpuhkan) kekuatan Inggris dan Amerika Serikat dari Hindia Belanda dan Filipina, (serta) menetapkan kebijakan kemerdekaan ekonomi dan swasembada secara otonom.”
Di dalam usaha mencapai tujuan dari akhir perang ini, maka tentara Jepang dalam beberapa bulan pertama tahun 1942 mulai melakukan penyerangan dan telah berhasil mengambil alih Kepulauan Filipina, Thailand, Singapura, Hindia Belanda, Kepulauan Wake, Britania Baru, serta Kepulauan Gilbert dan Guam. Dalam proses pengambilalihan wilayah-wilayah tersebut, Jepang mengakibatkan kerugian besar bagi kekuatan darat, laut dan udara pihak Sekutu. Daerah-daerah yang berhasil ditaklukan Jepang menurut rencana akan dipakai sebagai pertahanan garis luar bagi Kekaisaran Jepang, sekaligus melancarkan taktik perang menghabiskan tenaga lawan dalam usahanya mengalahkan atau menghabisi serangan balasan Sekutu.
Tidak lama setelah peperangan berlangsung, Staf Umum Angkatan Laut mengeluarkan rekomendasi untuk menginvasi Australia sebagai tindakan pencegahan agar Australia tidak dipakai sebagai pangkalan militer yang mengancam pertahanan garis luar Jepang di Pasifik Selatan. Namun rekomendasi ini ditolak Angkatan Darat Kekaisaran Jepang yang mengemukakan alasan bahwa Jepang tidak memiliki kapasitas kapal dan kekuatan militer yang cukup.
Pada saat yang bersamaan, komandan Armada IV Angkatan Laut Jepang Laksamana Madya Shigeyoshi Inoue mengusulkan pendudukan Tulagi yang berada di tenggara Kepulauan Solomon dan Port Moresby di Papua Nugini. Pendudukan ini bertujuan untuk membuat bagian utara dari Australia berada dalam jangkauan pesawat-pesawat terbang Jepang yang berpangkalan di darat. Laksamana Madya Shigeyoshi Inoue sebagai pimpinan Armada IV Angkatan Laut Jepang yang juga disebut Armada Laut Selatan membawahi unit-unit angkatan laut di kawasan Pasifik Selatan. Laksamana Madya Shigeyoshi Inoue percaya bahwa pendudukan dan penguasaan lokasi-lokasi tersebut akan menjamin keamanan dan pertahanan bagi pangkalan utama Kekaisaran Jepang di Rabaul, Britania Baru.
Staf Umum Angkatan Laut dan Angkatan Darat Kekaisaran Jepang kemudian menerima proposal yang diajukan oleh Laksamana Madya Shigeyoshi Inoue dan merencanakan operasi-operasi militer lanjutan. Dalam operasi-operasi selanjutnya, lokasi-lokasi yang diusulkan oleh Inoue akan dijadikan pangkalan militer pendukung dalam usaha berikutnya merebut Kaledonia Baru, Fiji, dan Samoa yang apabila berhasil akan memutuskan jalur komunikasi dan perbekalan antara Australia dengan Amerika Serikat.
Pada bulan April tahun 1942, Angkatan Laut dan Angkatan Darat Kekaisaran Jepang mulai menyusun rencana yang diberi nama Operasi Mo atau yang disebut pula Operasi Pelabuhan Moresby. Menurut rencana dalam operasi ini, Pelabuhan Port Moresby akan diserang dari laut dan harus dapat dikuasai oleh Jepang sebelum tanggal 10 Mei 1942. Dalam operasi itu juga mencantumkan penguasaan atas Tulagi yang harus berhasil pada 2-3 Mei 1942.
Setelah Angkatan Laut Jepang menguasai Tulagi, rencananya Jepang akan menjadikan Tulagi sebagai pangkalan bagi pesawat amfibi yang akan menyerang teritori dan tentara Sekutu yang berada di Pasifik Selatan. Setelah Operasi Mo selesai disusun, Angkatan Laut Kekaisaran Jepang mulai menyusun rencana lain untuk bertujuan merebut Nauru dan Kepulauan Banaba yang kaya dengan fosfat pada 15 Mei 1942. Operasi ini akan dilancarkan dengan menggunakan kapal-kapal yang berpangkalan di lokasi yang telah direbut dalam Operasi Mo.
Operasi militer berikutnya yang disebut Operasi Fs bertujuan merebut Fiji, Samoa, dan Kaledonia Baru setelah Jepang berhasil merebut Port Moresby, Nauru dan Kepulauan Banaba. Pada bulan Maret 1942 pesawat-pesawat Amerika Serikat dan Australia yang berpangkalan di kapal induk dan di darat mulai melakukan penyerangan terhadap kapal-kapal perang Jepang yang melakukan invasi ke kawasan Lae-Salamaua dan mengakibatkan kerugian bagi Jepang. Oleh karena itu, Inoue meminta Armada Gabungan untuk mengirimkan kapal induk sebagai perlindungan dari udara bagi kekuatan militer Jepang dalam Operasi Mo. Laksamana Madya Shigeyoshi Inoue terutama menyatakan kecemasannya terhadap pesawat pengebom Sekutu yang berpangkalan di Townsville dan Cooktown, Australia. Kedua pangkalan militer Sekutu tersebut berada di luar jangkauan pesawat pengebom Jepang yang berpangkalan di Rabaul dan Lae.
Komandan Armada Gabungan Kekaisaran Jepang, Laksamana Isoroku Yamamoto secara bersamaan menyusun operasi militer untuk bulan Juni 1942 yang dimaksudkan agar kapal-kapal induk Amerika Serikat yang belum hancur di Pearl Harbour masuk perangkap dan bertemu dengan armadanya dalam pertempuran menentukan di Samudra Pasifik dekat Atol Midway. Sebagai dukungannya terhadap Operasi Mo, Laksamana Isoroku Yamamoto mengerahkan beberapa kapal perang besar, termasuk dua kapal induk, satu kapal induk ringan, sebuah divisi kapal penjelajah, dan dua divisi kapal penjelajah, serta menunjuk Laksamana Madya Shigeyoshi Inoue sebagai komandan armada.
Selama bertahun-tahun tanpa diketahui Jepang, Bagian Keamanan Komunikasi, Kantor Komunikasi Angkatan Laut Amerika Serikat telah berhasil menembus sandi komunikasi Jepang. Memasuki bulan Maret tahun 1942, Amerika Serikat telah berhasil mendapatkan informasi sebanyak 15% dari kode Ro atau Buku Kode D Angkatan Laut (disebut sandi JN-25B oleh Amerika Serikat) yang dipakai oleh Angkatan Laut Kekaisaran Jepang untuk kira-kira setengah dari komunikasi yang dilakukannya. Memasuki bulan April tahun 1942, militer Amerika Serikat sudah dapat membaca 85 persen dari sinyal yang ditransmisikan memakai kode Ro.
Pada Maret 1942, Amerika Serikat untuk pertama kalinya menangkap pesan Jepang yang menyebut soal Operasi Mo. Pada tanggal 5 April 1942, Amerika Serikat telah berhasil membaca sandi Angkatan Laut Kekaisaran Jepang yang ditujukan ke sebuah kapal induk dan kapal-kapal perang berukuran besar lainnya yang sedang menuju kawasan operasi yang dipimpin oleh Laksamana Madya Shigeyoshi Inoue. Pada tanggal 13 April 1942, Inggris berhasil membaca sandi Angkatan Laut Kekaisaran Jepang yang berisi pesan memberi tahu Laksamana Madya Shigeyoshi Inoue tentang Divisi Kapal Induk Kelima yang terdiri dari kapal induk Shokaku dan Zuikaku sedang menuju armada Inoue, diberangkatkan dari Formosa melewati pangkalan utama Angkatan Laut Kekaisaran Jepang di Truk.
Pihak Inggris meneruskan pesan ini kepada pihak Amerika Serikat berikut kesimpulan mereka bahwa Port Moresby kemungkinan besar adalah target Operasi Mo. Komandan baru Sekutu di Pasifik yang baru, Laksamana Chester Nimitz dan para staf-nya mulai membahas tentang pesan Jepang yang bocor dan sepakat bahwa pihak Jepang mungkin sedang memulai operasi besar-besaran di Pasifik Barat Daya pada awal bulan Mei dan kemungkinan Port Moresby merupakan target utamanya.
Sekutu menganggap bahwa Pelabuhan Port Moresby sebagai pangkalan kunci untuk serangan balasan yang akan dipimpin oleh Douglas MacArthur terhadap kekuatan militer Jepang di kawasan Pasifik. Staf Laksamana Nimitz juga menyimpulkan kemungkinan operasi militer Jepang mencakup serangan udara dari kapal induk terhadap pangkalan Sekutu di Samoa dan Suva. Setelah berkonsultasi dengan Panglima Tertinggi Armada Amerika Serikat Laksamana Ernest King, Nimitz memutuskan untuk melawan Jepang dengan cara mengerahkan seluruh kapal induk (empat kapal induk) armada Pasifik ke Laut Koral. Pada 27 April, pesan-pesan Jepang yang berhasil ditangkap pihak intelijen Amerika Serikat memastikan sebagian besar rincian dan target Operasi Mo and Ry.
Pada 29 April 1942, Laksamana Chester Nimitz mengeluarkan perintah memberangkatkan empat kapal induk bersama kapal-kapal perang pendukung menuju Laut Koral. Gugus Tugas 17 (TF17) di bawah komando Laksamana Muda Fletcher yang terdiri dari kapal induk Yorktown dengan kawalan tiga kapal penjelajah dan empat kapal perusak, serta dukungan logistik dari dua kapal tanker sudah berada di Pasifik Selatan. Sedangkan dukungan logistik akan diberangkatkan dari Tongatabu pada 27 April 1942, dan sudah menuju ke Laut Koral. Laksamana Muda Aubrey Fitch dengan memimpin Gugus Tugas 11 (TF11) yang terdiri dari kapal induk Lexington yang dikawal dua kapal penjelajah dan lima kapal perusak sudah berada di antara Fiji dan Kaledonia Baru.
Laksamana Madya William F. Halsey yang memimpin Gugus Tugas 16 (TF16) terdiri dari dua kapal induk, Enterprise dan Hornet, baru tiba di Pearl Harbour setelah dipakai dalam Serangan Doolittle di Pasifik tengah sehingga tidak dapat diberangkatkan karena tidak akan sampai tepat waktu di Pasifik Selatan untuk turut serta ke dalam pertempuran. Laksamana Chester Nimitz menunjuk Laksamana Muda Fletcher sebagai komandan armada laut Sekutu di kawasan Pasifik Selatan hingga Laksamana Madya William F. Halsey tiba bersama TF16. Walaupun kawasan Laut Koral masih di bawah komando Douglas Mac Arthur, Fletcher dan Halsey sewaktu berada di kawasan Laut Koral diperintahkan untuk langsung melapor ke Chester Nimitz, dan bukan ke Douglas MacArthur.
Jalannya Pertempuran Laut Karang
Memasuki akhir bulan April tahun 1942, Jepang akan memulai penyerangannya yang didahului dengan pengiriman kapal selam Jepang RO-33 dan RO-34 ke wilayah target penyerangan. Kapal selam ini telah berhasil memata-matai kawasan yang akan dijadikan tempat pendaratan bagi tentara Jepang. Kapal-kapal selam Jepang juga melakukan pemeriksaan terhadap Kepulauan Rossel dan teluk-teluk di Kepulauan Deboyne yang berada di Gugus Kepulauan Louisiade, Selat Jomard, dan jalur pelayaran ke Port Moresby dari sebelah timur. Setelah tidak menemui satu pun kapal Sekutu, mereka kembali ke Rabaul pada 23 April dan 24 April 1942.
Jepang mulai melakukan invasi ke Port Moresby dengan mengerahkan 12 kapal angkut yang membawa sekitar 5.000 prajurit dari Detasemen Laut Selatan Angkatan Darat Jepang, dan diperkuat sekitar 500 prajurit yang berasal dari Pasukan Khusus Pendaratan Angkatan Laut III Kure di bawah pimpinan Laksamana Muda Koso Abe. 12 Kapal angkut Jepang yang menuju Port Moresby dikawal oleh Kesatuan Serang yang terdiri dari satu kapal penjelajah ringan dan enam kapal perusak di bawah komando Laksamana Muda Sadamichi Kajioka. Kapal-kapal yang dipimpin oleh Laksamana Muda Koso Abe berangkat dari Rabaul menempuh perjalanan sejauh 840 mil laut (1.556 km) menuju Port Moresby pada 4 Mei.
Pada 5 Mei 1942, kapal-kapal yang dipimpin oleh Laksamana Muda Koso Abe bergabung dengan kapal-kapal pengawal di bawah komando Laksamana Muda Sadamichi Kajioka. Armada Jepang ini berencana untuk transit di Selat Jomard di Louisiade, dan melewati sekitar ujung selatan Pulau Nugini sebelum tiba di Port Moresby yang direncanakan pada 10 Mei 1942. Berdasarkan informasi yang didapatkan bahwa Garnisun Sekutu yang berada di Port Moresby berjumlah sekitar 5.333 prajurit, namun jumlah pasukan infanteri hanya setengah dari jumlah total, dan semuanya dilengkapi persenjataan yang buruk dan kurangnya latihan.
Kapal-kapal yang berada dalam Grup Perlindungan yang dipimpin Goto diberangkatkan dari Truk pada 28 April 1942. Mereka berlayar melalui Kepulauan Solomon antara Kepulauan Bougainville dan Kepulauan Choiseul sebelum diposkan dekat Kepulauan New Georgia. Kapal-kapal ini dipimpin oleh Marumo yang diberangkatkan dari Irlandia Baru pada 29 April 1942 menuju Teluk Thousand Ships, Kepulauan Santa Isabel, sebelum nantinya diposkan sebagai pangkalan pesawat amfibi pendukung invasi Tulagi pada 2 Mei 1942. Kesatuan invasi di bawah komando Shima diberangkatkan dari Rabaul pada 30 April 1942.
Kesatuan Serbu Kapal Induk Jepang yang dikirimkan di Rabaul ini berintikan kapal induk Zuikaku dan Shokaku, yang didukung oleh dua kapal penjelajah berat dan enam kapal perusak yang diberangkatkan dari Truk pada 1 Mei 1942. Laksamana Madya Takeo Takagi dan Laksamana Muda Chuichi Hara yang memimpin Kesatuan Serbu Jepang ini. Kapal-kapal itu berlayar melewati sisi timur Kepulauan Solomon dan memasuki Laut Koral dari selatan Guadalkanal. Setelah berada di Laut Koral, kapal-kapal induk ditugaskan untuk memberi perlindungan udara bagi pasukan Jepang yang melakukan invasi, menghancurkan kekuatan udara Sekutu di Port Moresby, dan mencegat serta menghancurkan semua kekuatan angkatan laut Sekutu yang memasuki Laut Koral untuk melakukan serangan balasan.
Di saat perjalanan menuju Laut Koral, kapal-kapal induk yang dipimpin oleh Laksamana Madya Takeo Takagi ditugaskan untuk mengantar sembilan pesawat tempur Zero ke wilayah Rabaul. Akan tetapi, selama dua kali usaha mengantarkan pesawat Zero pada 2 Mei dan 3 Mei 1942 terkendala oleh cuaca buruk dan memaksa pesawat-pesawat tersebut kembali ke kapal induk yang berada di posisi 240 nautical mile (444 km) dari Rabaul. Salah satu pesawat Zero bahkan dengan terpaksa harus mendarat di laut. Setelah dua kali usaha pengiriman itu menemui kegagalan, Laksamana Madya Takeo Takagi dalam usaha menjaga jadwal Operasi Mo, terpaksa membatalkan usaha pengantaran pesawat Zero. Laksamana Madya Takeo Takagi kemudian memerintahkan Kapal-kapal itu menuju ke Kepulauan Solomon untuk mengisi bahan bakar.
Sebagai tanda peringatan, Angkatan Laut Jepang telah mengerahkan kapal selam jenis I-22, I-24, I-28, dan I-29 yang berhasil membentuk jaringan pengintai sekitar 833 km barat daya Guadalkanal. Namun, armada yang dipimpin oleh Laksamana Muda Fletcher sudah terlebih dahulu melewati dan memasuki Laut Koral sebelum kapal-kapal selam Jepang berada di posnya masing-masing. Dengan hal ini maka telah menyebabkan aramada Jepang tidak mengetahui akan keberadaan armada Sekutu di bawah komando Laksamana Muda Fletcher.
Salah satu kapal selam Jepang, yakni I-21 dikirimkan untuk mengintai daerah sekitar Noumea mendapatkan serangan dari pesawat-pesawat sekutu yang berasal dari Yorktown pada 2 Mei 1942. Kapal selam I-21 tidak mengalami kerusakan, namun sepertinya awak kapal I-21 tidak menyadari bahwa serangan itu berasal dari pesawat yang berpangkalan di kapal induk. Selanjutnya, Jepang mengerahkan kapal selam RO-33 dan RO-34 sebagai usaha yang dilakukan oleh Jepang untuk memblokade Port Moresby, dan tiba di lepas pantai pada 5 Mei 1942. Akan tetapi, baik RO-33 dan RO-34 tidak bertemu dengan kapal-kapal Sekutu selama berlangsungnya pertempuran.
Pasca Pertempuran Laut Karang
Pada 9 Mei 1942, TF17 mengubah haluan ke timur dan keluar dari Laut Koral melalui rute selatan Kaledonia Baru. Nimitz memerintahkan Fletcher untuk mengembalikan Yorktown ke Pearl Harbor secepat mungkin setelah mengisi bahan bakar di Tongatabu. Sepanjang hari itu, pesawat pengebom Angkatan Darat Amerika Serikat menyerang Deboyne dan Kamikawa Maru, namun kerusakan yang ditimbulkan tidak diketahui. Sementara itu, Crace yang tidak mendapat berita apa pun dari Fletcher menyimpulkan TF17 telah meninggalkan lokasi pertempuran. Pukul 01.00 tanggal 10 Mei, setelah tidak mendapat berita lebih lanjut tentang pergerakan kapal-kapal Jepang menuju Port Moresby, Crace berputar menuju Australia dan tiba di Cid Harbor, 130 nautical mile (241 km) utara Townsville pada 11 Mei.
Pada pukul 22.00 tanggal 8 Mei 1942, Yamamoto memerintahkan kapal-kapal Inoue untuk berbalik arah, menghancurkan sisa kapal-kapal Sekutu, dan menyelesaikan invasi ke Port Moresby. Inoue tidak membatalkan penarikan mundur konvoi invasi, namun memerintahkan Takagi dan Goto untuk mengejar sisa kapal-kapal Sekutu di Laut Koral. Persediaan bahan bakar kapal-kapal perang Takagi sudah kritis, dan menghabiskan hampir sepanjang hari 9 Mei mengisi bahan bakar dari tanker Toho Maru. Larut malam 9 Mei 1942, Takagi dan Goto memutuskan untuk berlayar ke tenggara, dan lalu ke barat daya menuju Laut Koral.
Pesawat-pesawat amfibi Jepang yang berasal dari Deboyne kemudian membantu Takagi untuk mencari armada TF17 pada pagi 10 Mei 1942. Namun kapal-kapal Fletcher dan Crace sudah meninggalkan lokasi tersebut. Pukul 13.00 tanggal 10 Mei 1942, Takagi berkesimpulan musuh sudah pergi dan memutuskan untuk kembali ke Rabaul. Yamamoto setuju dengan keputusan Takagi dan memerintahkan Zuikaku kembali ke Jepang untuk dilengkapi kembali dengan pesawat-pesawat dan Kamikawa Maru juga pergi meninggalkan Deboyne.
Pada siang hari tanggal 11 Mei 1942, satu pesawat PBY Angkatan Laut Amerika Serikat yang sedang berpatroli dari Noumea melihat Neosho sedang terapung-apung di (15°35′LU 155°36′BT15,583°LS 155,6°BT). Pada hari itu juga, kapal perusak Amerika Serikat Henley bertindak dan menyelamatkan 109 awak Neosho dan 14 awak Sims yang selamat, dan lalu menenggelamkan Neosho dengan tembakan torpedo.
Pada 10 Mei 1942, Operasi Ry dinyatakan berakhir. Setelah kapal penyebar ranjau Okinoshima yang dijadikan kapal komando ditenggelamkan oleh kapal selam Amerika Serikat S-42 pada 12 Mei (05°06′LU 153°48′BT5,1°LS 153,8°BT), pendaratan pasukan ditunda hingga 17 Mei 1942. Sementara itu, armada TF16 di bawah pimpinan Halsey mencapai Pasifik Selatan dekat Efate, dan pada 13 Mei 1942 berlayar ke utara untuk mencegat kapal-kapal Jepang yang mendekati Nauru dan Kepulauan Ocean.
Setelah mendapat laporan intelijen tentang operasi berikutnya Armada Gabungan Jepang ke Midway, Nimitz pada 14 Mei 1942 memerintahkan Halsey untuk memastikan pesawat pengintai Jepang dapat melihat kapal-kapal Halsey pada hari berikutnya. Nimitz setelah itu segera kembali ke Pearl Harbor. Pada 10.15 tanggal 15 Mei 1942, pesawat pengintai Kawanishi dari Tulagi melihat TF16 di 445 nautical mile (824 km) timur Kepulauan Solomon.
Gerakan menipu kapal-kapal Halsey berhasil. Setelah mencemaskan serangan udara kapal induk Amerika Serikat terhadap pasukan invasi Jepang, Inoue segera membatalkan Operasi RY. Kapal-kapal diperintahkannya untuk kembali ke Rabaul dan Truk. Pada 19 Mei, TF16 yang kembali ke kawasan Efate untuk mengisi bahan bakar, dan berbelok menuju Pearl Harbour dan tiba di Pearl Harbour pada 26 Mei 1942, sementara tiba di Yorktown pada hari berikutnya.
Kapal induk Shokaku tiba di Kure, Jepang, pada 17 Mei. Dalam perjalanan, kapal induk ini hampir terbalik akibat kerusakan yang diderita selama pertempuran. Zuikaku tiba di Kure pada 21 Mei, setelah berhenti sebentar di Truk pada 15 Mei. Berbekal sinyal intelijen, Amerika Serikat mengerahkan delapan kapal selam di sepanjang rute yang diperkirakan akan dilewati kapal-kapal induk Jepang sewaktu kembali ke Jepang. Namun, kapal-kapal selam tersebut tidak berhasil melakukan serangan.
Staf Umum Angkatan Laut Kekaisaran Jepang memperkirakan perlu waktu dua hingga tiga bulan untuk memperbaiki Shokaku dan melengkapi kembali skuadron udaranya. Oleh karena itu, Shōkaku dan Zuikaku keduanya tidak dapat ikut serta dalam operasi Yamamoto yang berikutnya di Midway. Shokaku dan Zuikaku bergabung kembali dengan Armada Gabungan pada 14 Juli dan berperan utama dalam pertempuran antarkapal induk yang berikutnya melawan Amerika Serikat. Lima kapal selam kelas I yang mendukung Operasi MO dialihkan untuk mendukung penyerangan ke Pelabuhan Sydney tiga minggu kemudian sebagai bagian dari usaha mengganggu jalur logistik Sekutu. Dalam perjalanan ke Truk, I-28 terkena tembakan torpedo dari kapal selam Amerika Serikat Tautog dan tenggelam berikut semua awaknya.
Daftar Bacaan
- Armstrong, Michael J. 2014. “The Salvo Combat Model with a Sequential Exchange of Fire”. Journal of the Operational Research Society. 65 (10): 1593–1601.
- Armstrong, Michael J.; Powell, Michael B. 2005. “A Stochastic Salvo Model Analysis of the Battle of the Coral Sea”. Military Operations Research. 10 (4): 27–38.
- Brown, David. 1990. Warship Losses of World War Two. Annapolis, Maryland: Naval Institute Press.
- Chihaya, Masataka. 1991. Goldstein, Donald M.; Dillon, Katherine V. (eds.). Fading Victory: The Diary of Admiral Matome Ugaki, 1941–1945. Gordon W. Prange (foreword) (English trans. ed.). Pittsburgh, Pennsylvania: University of Pittsburgh Press.
- Frame, Tom. 1992. Pacific Partners: A History of Australian-American Naval Relations. Sydney: Hodder & Stoughton.
- Frank, Richard. 1990. Guadalcanal: The Definitive Account of the Landmark Battle. New York: Random House.
- Hashimoto, Mochitsura 1954. Sunk: The Story of the Japanese Submarine Fleet 1942–1945. Colegrave, E. H. M. (translator). London: Cassell and Company.
- Hata, Ikuhiko; Izawa, Yasuho 1975. Japanese Naval Aces and Fighter Units in World War II. Don Cyril Gorham (translator) (1989 translated ed.). Annapolis, Maryland: Naval Institute Press.
- Henry, Chris. 2003. The Battle of the Coral Sea. Annapolis, Maryland: Naval Institute Press.