Pertempuran Padang dan sekitarnya atau yang biasa disebut juga dengan Padang Area adalah salah satu dari bentuk perjuangan rakyat Padang dan sekitarnya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman Sekutu dan Belanda. Sama halnya dengan daerah-daerah lainnya di Sumatra dan Indonesia secara umumnya, berita kemerdekaan Indonesia tidak serta merta diketahui oleh rakyat Padang pada 17 Agustus 1945. Hal ini disebabkan oleh kesulitan sarana komunikasi pada saat itu dan sensor yang dilakukan terhadap media komunikasi oleh pihak Jepang.Â
Pertempuran Padang dan sekitarnya terjadi akibat respon atas kedatangan tentara Sekutu yang ternyata di antara tentara Sekutu terdapat tentara Belanda dan NICA yang ingin menegakkan kembali eksistensi Belanda di Indonesia. Di bawah ini akan dijelaskan secara singkat tentang Pertempuran Padang dan sekitarnya yang terjadi pasca kemerdekaan Indonesia sebagai upaya mempertahankan dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Latar Belakang Pertempuran Padang AreaÂ
Pada tanggal 13 Oktober 1945 tentara Sekutu mendarat di Teluk Bayur untuk menuju ke pusat Kota Padang. Tentara Sekutu yang mendarat adalah pasukan Inggris bernama Lincoln Fifth Regiment yang berada di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Hutchinson. Pada tanggal 15 Oktober Brigjend. Hutchinson menemui pemerintah Republik Indonesia di Padang. Di dalam pertemuan dengan pemerintah Republik Indonesia, Brigjend. Hutchinson menyatakan bahwa pasukan Inggris bertugas untuk menjalankan tugas-tugas Sekutu pasca Perang Dunia II dan tidak akan mencampuri urusan pemerintahan dan akan mengadakan konsultasi terlebih dahulu apabila ingin mengambil tindakan.
Di dalam pertemuan kedua antara Brigjend. Hutchinson dengan pemerintah Republik Indonesia, dirinya meminta kesediaan pemerintah untuk meminjamkan kantor residen yang akan digunakan sebagai kantornya. Permintaan dari Brigjend. Hutchinson ditafsirkan oleh pihak Indonesia sebagai pengakuan Inggris terhadap kekuasaan de facto Republik Indonesia.
Kesepakatan yang telah dicapai bersama di dalam pertemuan itu ternyata tidak seluruhnya ditaati oleh Inggris. Tentara Inggris mulai menggeledah rumah-rumah penduduk untuk mencari senjata dan mengacak-acak kantor Balai Penerangan Pemuda Indonesia (BPPI) yang dianggap dan dicurigai sebagai pusat kegiatan pemuda. Orang-orang Belanda dan interniran Sekutu yang baru dibebaskan dari kamp tahanan langsung dipersenjatai oleh Inggris.
Jalannya Pertempuran
Para bekas tawanan ini kemudian juga menempati gedung-gedung penting yang ada di Kota Padang dan Bukittinggi. Saat itu sebanyak 500 orang pemuda yang merupakan anggota dari Balai Penerangan Penerangan Pemuda Indonesia (BPPI) langsung dikerahkan, sebagian terdiri dari para pelajar, dengan menyamar sebagai pekerja-pekerja pelabuhan, melakukan tugas-tugas khusus seperti menyelidiki apakah di dalam pasukan Sekutu terdapat tentara Belanda dan NICA, mencari informasi tempat tinggal orang-orang penting dari pihak Sekutu dan berupaya melakukan pencurian senjata.
Penggeledahan dan perampasan yang dilakukan oleh tentara Sekutu itu tentu mengundang respon dari rakyat. Terlebih lagi, rakyat telah mengetahui bahwa di dalam tentara Sekutu dan para tawanan yang dipersenjatai terdapat orang-orang Belanda. Tindakan Sekutu kemudian mendapat jawaban dari TKR dan para pemuda dengan melakukan penyerangan balasan pada 17 November 1945.
Inggris tidak tinggal diam menghadapi serangan balasan dari TKR, Inggris kemudian menggeledah rumah-rumah warga yang terletak di Simpang Haru dan membakar beberapa rumah. Selain itu, Inggris juga menangkap beberapa pemuda dan dipenjarakan serta diadakannya pemberlakuan jam malam dari pukul 18.00 – 06.00 pagi. Akibat dari tindakan Inggris inilah para pemuda dan TKR memutuskan untuk sesegera mungkin merampas dan melucuti senjata Jepang, sehingga sering timbul insiden-insiden kecil seperti di Sungai Tanah, Bukit Tinggi pada 20 November 1945 dan insiden yang terjadi pada tanggal 25 November 1945 di Lubuksikaping.
Pada 27 November 1945 Dengan perlindungan Inggris, bekas tawanan Belanda yang telah dipersenjatai ini mulai menduduki secara paksa gedung sekolah teknik di Simpang Haru, bahkan memukuli kepala sekolahnya. Hal ini tentu menyulut kemarahan rakyat dan pada malam hari rakyat menyerang gedung yang telah diduduki oleh tentara Belanda. Di dalam penyerangan itu seluruh tentara Belanda yang terdapat di dalam gedung sekolah tersebut dihabisi.
Insiden-insiden kecil ini mulai berdampak luas di beberapa tempat di Sumatra Barat terutama insiden yang terjadi pada 5 Desember 1945 ketika seorang perwira Inggris, Mayor Anderson dan seorang perempuan anggota Palang Merah Sekutu, Miss Allingham terbunuh di dekat pemandian Sungai Barameh, dekat Kota Padang. Akibat dari peristiwa ini Inggris membalas dengan membakar tiga kampung di sekitar Sungai Barameh dan menyerbu pos TKR yang menyebabkan tewasnya beberapa orang anggota TKR serta membunuh 12 orang penduduk.
Pertempuran antara tentara Inggris dan TKR yang dibantu oleh rakyat pun berlanjut pada 21 Februari 1946 di Rimbo Kaluang. Pasukan TKR yang berada di bawah pimpinan Ahmad Husein dan dibantu oleh laskar-laskar berhasil menghancurkan beberapa pos pertahanan Inggris dan membongkar gudang senjata. Setelah itu terjadi beberapa serangan malam sehingga Inggris memutuskan untuk menarik pasukannya dari Rimbo Kaluang. Serangan yang dipimpin oleh Ahmad Husein ini menyerang Inggris dimulai dari Kranji sehingga Inggris menyebut pasukan ini dengan istilah The Tiger of Kuranji.
Pada tanggal 14 Juni 1946 pasukan Inggris melakukan penyerangan terhadap daerah Batu Busuak untuk membebaskan tentara Inggris yang ditangkap oleh TRI (telah bertransformasi dari TKR) akibat penyerangan terhadap Rimbo Kaluang yang dipimpin oleh Ahmad Husein. TRI yang telah mengetahui adanya penyerangan itu membiarkan pasukan Inggris untuk memasuki Batu Busuak. Serangan terhadap tentara Inggris baru dilakukan ketika mereka kembali ke Kota Padang. Akibat dari pertempuran ini sebanyak 13 orang anggota TRI tewas, sedangkan puluhan tentara Inggris berkebangsaan India yang beragama muslim melakukan desersi dan bergabung dengan Laskar Hizbullah.
Daerah Simpang Haru terjadi pertempuran sepanjang 7-9 Juli 1946 di mana pasukan TRI dan laskar-laskar melakukan penyerangan terhadap kedudukan Inggris di daerah ini. Pada hari ketiga TRI dan laskar melakukan serangan serentak yang membuat Simpang Haru ditinggalkan oleh Inggris dengan beberapa orang tentara Inggris tewas dan sejumlah senjata ringan dirampas oleh TRI. Pada malam hari tanggal 27-28 Agustus 1946, menjelang Hari Raya Idul Fitri di kota Padang meletus lagi pertempuran hebat antara TRI dan rakyat dengan Sekutu dan tentara Belanda. TRI dan laskar rakyat yang dipimpin oleh Komandan Divisi III/Banteng Kolonel Dahlan Djambek melakukan penyerangan besar-besaran.
Pertempuran berlangsung di dalam kota padang sejak pukul 00.00 – 05.00 Di dalam pertempuran menjelang Hari Raya Idul Fitri itu, Kota Padang menjadi lautan api akibat terbakarnya tiga tempat dekat Tabing, Kantin, dan Simpang Haru. Sedangkan pertempuran di Teluk Bayur berlangsung sampai pagi harinya. Pada pagi hari di saat suasana Idul Fitri, Inggris dan Belanda mempersiapkan pasukannya untuk melakukan penyerangan, Sekutu mengerahkan 100 truk untuk membalas serangan para pejuang kemerdekaan. Namun rencana tersebut dibatalkan sendiri oleh pihak Sekutu.
Setelah Idul Fitri secara berangsur Sekutu mulai menyerahkan kekuasaannya kepada tentara Belanda. Akibat tindakan ini, justru menambah amarah rakyat Padang dan menyebabkan pertempuran terus berkobar selama bulan September 1946. Komandan Divisi Sumatra Tengah TRI, Kolonel Ismail Lengah, sering memeriksa ke front Padang, kehadirannya di Padang menambah semangat juang para pemuda Indonesia. Keadaan semakin kacau dan ruwet setelah orang-orang Cina membentuk barisan Poh An Tui untuk menjaga keamanan dan keselamatan orang-orang Cina.
Akhir Pertempuran
TRI bersama laskar dan rakyat bersama-sama mempertahankan kota Padang dari ancaman yang kini datangnya dari Belanda. Pemerintah Indonesia menempuh cara perundingan dengan Belanda untuk mengakhiri konflik antara keduanya melalui Perundingan Linggarjati yang ditandatangani pada 16 November 1946.
Pada tanggal 23 November 1946 diadakan perundingan pertama mengenai garis demarkasi, dalam suasana pertempuran di sekitar Andalas, Simpang Haru dan Alai Sebrang Padang. Komunikasi lawan antara Padang dan Teluk Bayur sering terputus karena sering dikuasai pasukan Indonesia. Pada tanggal 28 November 1946 pasukan Belanda yakni Brigade U di bawah pimpinan Kolonel Sluyter menerima penyerahan kekuasaan sepenuhnya dari tentara Inggris. Setelah penyerahan itu, tentara Inggris mulai meninggalkan Kota Padang.
Pada tanggal 9 -11 Desember 1946 Menteri Pertahanan dan Kepala Staf Umum Tentara Republik Indonesia Letnan Jendral Urip Sumohardjo menhadiri perundingan gencatan senjata dengan Belanda di Padang yang disambut baik oleh Belanda. Dengan demikian Pertempuran Padang dan sekitarnya berakhir sementara hingga kembali meletus saat Agresi Militer Belanda I.
Daftar Bacaan
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. 2011. Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik. Jakarta: Balai Pustaka.
- Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.