Pertempuran Surabaya terjadi tidak terlepas dari peristiwa-peristiwa sebelumnya yang mendorong terjadinya puncak pertempuran pada 10 November 1945. Diawali dengan perebutan kekuasaan dan senjata dari tentara Jepang yang dimulai sejak 2 September 1945. Perebutan kekuasaan dan senjata di Surabaya ini telah menimbulkan suatu pergolakan sehingga berubah menjadi situasi revolusioner yang konfrontatif.
Ketika kedatangan Sekutu di Surabaya pada 25 Otober 1945, situasi revolusioner semakin menggelora di Surabaya. Terlebih, ketika para pemuda berhasil memiliki senjata yang dirampas dari Jepang sehingga mereka bersiap untuk menghadapi berbagai ancaman apa pun dan dari mana pun. Pada tanggal 15 September 1945, Tentara Sekutu mendarat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta yang kemudian disusul dengan pendaratan tentara sekutu yang dipimpin oleh W.R. Paterrson. Untuk menjalankan tugas di Indonesia, sekutu membentuk AFNEI dan mengangkat Letnan jenderal Sir Philip Christison sebagai panglima yang membawahi 3 pasukan divisi, yaitu divisi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatra.
Kedatangan sekutu di Indonesia awalnya diterima dengan baik oleh pemerintah dan rakyat Indonesia, termasuk di Surabaya. Namun, kedatangan Sekutu terdapat tentara Belanda dan juga NICA. Tentara AFNEI yang mendapatkan tugas untuk membebaskan para interniran Sekutu dimanfaatkan oleh tentara Belanda yang tergabung dalam AFNEI untuk membebaskan pula tentara Belanda dan anggota Koninklijk Nederalndsch-Indisch Leger (KNIL). Setelah membebaskan anggota KNIL, anggota KNIL kemudian dipersenjatai dan melakukan kerusuhan dan provokasi di berbagai kota, termasuk di Surabaya.
Insiden Hotel Yamato
Di Surabaya pada 18 September 1945, sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman, mengibarkan bendera Belanda (Merah- Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah Republik Indonesia di Surabaya. Keesokan harinya, pada 19 September 1945 para pemuda Surabaya melihat tindakan ini naik pitam karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia dan hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, serta dianggap telah melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Kota Surabaya.
Para pemuda pun segera berkumpul di depan Hotel Yamato. Setelah berkumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Sudirman, yang pada saat itu menjabat sebagai Residen Daerah Surabaya, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan Republik Indonesia Sudirman berunding dengan Mr. Ploegman untuk meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari Hotel Yamato. Namun, di dalam perundingan ini Mr. Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Mr. Ploegman kemudian mengeluarkan pistol sehingga terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan.
Di dalam perkelahian itu, Mr. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian Sidik juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga setelah mendengar letusan pistol Ploegman. Sementara itu, Residen Sudirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda yang berada di luar Hotel Yamato kemudian berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda.
Hariyono yang berhasil keluar dari dalam Hotel Yamato kemudian terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Kusno Wibowo yang kemudian berhasil menurunkan bendera Belanda. Bersama dengan Kusno Wibowo, Hariyono merobek bagian biru dari bendera Belanda dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Latar Belakang Pertempuran
Pada tanggal 25 Oktober 1945, Brigade 49 di bawah pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby di Surabaya. Brigade ini adalah bagian dari Divisi India ke-23 di bawah pimpinan Mayor Jenderal D. C. Hawthorn. Mereka mendapatkan tugas dari Panglima AFNEI untuk melucuti tentara Jepang dan menyelamatkan para interniran Sekutu.
Kedatangan tentara ini diterima dengan tidak sepenuh hati oleh Gubernur Jawa Timur, R.M.T.A. Surjo. Setelah diadakan pertemuan antara R.M.T.A. Surjo sebagai wakil dari Indonesia dengan Brigjend. A.W.S. Mallaby pada 26 Oktober 1945 maka dicapai kesepakatan;
- Inggris berjanji bahwa di antara mereka tidak terdapat angkatan perang Belanda;
- Kedua belah pihak akan bekerjasama untuk menjamin keamanan dan ketentraman;
- Akan segera dibentuk Kontact Bureau (Kontak Biro) agar kerja sama dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya;
- Inggris hanya akan melucuti tentara Jepang.
Selain keempat poin itu, Brigjend. A.W.S. Mallaby juga menyatakan bahwa tentara Indonesia dan milisi tidak harus menyerahkan senjata mereka. Namun, nampaknya telah terjadi salah pengertian antara pasukan Inggris yang bertugas di Surabaya dengan markas pusat tentara Inggris di Jakarta yang dipimpin Letnan Jenderal Sir Philip Christison.
Pada malam hari 26 Oktober 1945, satu pleton dari Field Security Section di bawah pimpinan Kapten Shaw, melakukan penyergapan ke penjara Kalisosok untuk membebaskan Kolonel Huiyer, seorang Kolonel Angkatan Laut Belanda dan kawan-kawannya. Setelah melakukan penyerangan terhadap penjara Kalisosok, pasukan Inggris juga merebut Pangkalan Udara Tanjung Perak, Kantor Pos Besar, Gedung Internatio, dan objek-objek vital lainnya di Kota Surabaya.
Pada 27 Oktober 1945, pukul 11.00 siang, pesawat Dakota Angkatan Udara Inggris dari Jakarta menjatuhkan selebaran di Surabaya yang memerintahkan semua tentara Indonesia dan milisi untuk menyerahkan senjata yang telah dirampas dari Jepang. Dengan adanya penyebaran pamflet ini, pemerintah Republik Indonesia segera meminta klarifikasi dengan Brigjend. A.W.S. Mallaby. Mallaby mengaku tidak mengetahui perihal pamflet tersebut, namun akan bertindak sesuai dengan isi dari pamflet tersebut. Pernyataan yang dikeluarkan dari Brigjen A.W.S. Mallaby tentu menghilangkan kepercayaan terhadap dirinya. Sehingga pemerintah Indonesia di Surabaya memerintahkan kepada para pemuda untuk siaga menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi.
Setelah pernyataan Brigjend. A.W.S. Mallaby mengeluarkan pernyataannya, tentara Inggris mulai menyita kendaraan-kendaraan yang lewat. Sehingga pada 27 Oktober pukul 14.00 terjadi kontak senjata antara para pemuda Surabaya dengan tentara Inggris. Peristiwa ini kemudian meluas menjadi serangan umum terhadap kedudukan Inggris di seluruh Kota Surabaya.
Pada tanggal 28 Oktober 1945 kondisi Inggris semakin tersudutkan di mana tank-tank Inggris pun juga berhasil dilumpuhkan oleh perjuangan pemuda Surabaya. Untuk menghindari kekalahan di Surabaya, Brigjend. A.W.S. Mallaby meminta agar Presiden Republik Indonesia, Soekarno dan panglima pasukan Inggris Divisi ke-23, Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk pergi ke Surabaya dan mengusahakan perdamaian.
Pada 29 Oktober 1945, para pemuda Surabaya berhasil merebut kembali beberapa objek vital yang telah dikuasai oleh tentara Inggris pada 26 Oktober 1945 setelah penyerbuan terhadap penjara Kalisosok. Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Menteri Penerangan Indonesia Amir Syarifuddin Harahap bersama dengan Mayjend. D.C. Hawthorn pergi ke Surabaya untuk melakukan perundingan. Mereka semua tiba di Kota Surabaya pada pukul 11.30 dan segera melakukan perundingan.
Di siang hari 29 Oktober 1945 Soekarno yang didampingi oleh Moh. Hatta dan Amir Syarifuddin melakukan perundingan dengan Brigjend. A.W.S. Mallaby yang juga didampingi oleh Mayjend. D.C. Hawthorn menghasilkan kesepakatan yaitu untuk menghentikan kontak senjata diantara kedua belah pihak. Perundingan mereka dilanjutkan pada malam hari antara Soekarno, wakil pemerintah Republik Indonesia di Surabaya dan wakil pemuda dengan pihak Inggris yang diwakili oleh Mayjend. D.C. Hawthorn. Di dalam perundingan itu dihasilkan keputusan diantaranya;
- Surat-surat selebaran yang ditandatangani oleh Mayjend. D.C. Hawthorn dinyatakan tidak berlaku;
- Inggris mengakui eksistensi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dari polisi;
- Pasukan Inggris hanya bertugas menjaga kamp-kamp tawanan. Penjagaan ini dilakukan bersama dengan TKR;
- Untuk sementara waktu Tanjung Perak dijaga bersama TKR, polisi, dan tentara Inggris guna menyelesaikan tugas menerima obat-obatan untuk tawanan perang.
Hasil dari keempat perundingan itu kemudian kembali dipertegas oleh Menteri Penerangan Indonesia, Amir Syarifuddin;
- Dibentuk suatu Kontak Biro yang terdiri dari unsur pemerintah Republik Indonesia di Surabaya bersama-sama tentara Inggris;
- Daerah pelabuhan dijaga bersama, dan kedudukan masing-masing ditentukan oleh Kontak Biro;
- Daerah Darmo, daerah kamp interniran orang-orang Eropa, dijaga oleh tentara Inggris. Hubungan antara Darmo dan Pelabuhan Tanjung Perak diamankan untuk mempercepat pelaksanaan pemindahan tawanan;
- Tawanan dari kedua belah pihak harus dikembalikan kepada pihak masing-masing.
Di dalam perundingan itu juga disepakati nama-nama anggota Kontak Biro dari kedua belah pihak. Dari pihak Inggris adalah Brigjend. A.W.S. Mallaby, Kolonel L.H.O. Pugh, Wing Commander, Groom, Mayor M. Hubson dan Kapten H. Shaw. Sedangkan Kontak Biro dari pihak Indonesia antara lain Residen Sudirman, Doel Arnowo, Atmaji, Mohammad, Soengkono, Soeyono, Koesnandar, Roeslan Abdulgani, dan T.D. Kundan sebagai juru bahasa.
Perundingan antara kedua belah pihak selesai pada 30 Oktober 1945. Setelah perundingan selesai, Presiden Soekarno dan Mayjend. D.C. Hawthorn meninggalkan Kota Surabaya di hari yang sama pada pukul 13.00. Meskipun perundingan gencatan senjata telah diumumkan, namun di beberapa tempat masih tetap terjadi pertempuran. Sehingga Kontak Biro mendatangi beberapa tempat untuk menghentikan pertempuran.
Pada 30 Oktober 1945 pukul 17.00, Brigjen Mallaby berkeliling ke berbagai pos pasukan Inggris di Surabaya untuk memberitahukan soal persetujuan tersebut. Saat mendekati pos pasukan Inggris di Gedung Internatio, dekat Jembatan Merah, mobil Brigjen Mallaby dikepung oleh milisi yang sebelumnya telah mengepung gedung Internatio.

Karena mengira komandannya akan diserang oleh milisi, pasukan Inggris kompi D yang dipimpin Mayor Venu K. Gopal melepaskan tembakan ke atas untuk membubarkan para milisi. Para milisi kemudian membalas menembak yang menyebabkan di dalam insiden ini Brigjend. A.W.S. Mallaby tewas. Mengenai tewasnya Mallaby menuai banyak versi;
- Ditengah-tengah kekacauan yang terjadi, para anggota Kontak Biro masing-masing berusaha untuk menyelamatkan diri. Brigjend. A.W.S. Mallaby kemudian menjadi sasaran para pemuda Surabaya. Para pemuda Surabaya kemudian membunuh Brigjend. A.W.S. Mallaby dengan menggunakan bambu runcing dan bayonet;
- Ditengah-tengah keributan, seorang perwira Inggris, Kapten R.C. Smith melemparkan granat ke arah milisi Indonesia, tetapi meleset dan malah jatuh tepat di mobil Brigjend. A.W.S. Mallaby. Granat meledak dan mobil terbakar. Akibatnya Brigjend. A.W.S. Mallaby dan sopirnya tewas;
- Ditengah-tengah keributan, Brigjend. A.W.S. Mallaby tewas ditembak oleh milisi Indonesia.
Terlepas dari beberapa versi tentang kematian Brigjend. A.W.S. Mallaby dalam insiden itu, nyatanya yang dilaporkan dan diterima oleh pimpinan markas Sekutu di Jakarta, Letjend. Sir Philip Christison bahwa Brigjend. A.W.S. Mallaby tewas ditangan para pemuda Surabaya. Letjend. Sir Philip Christison yang marah besar mendengar kabar kematian Brigjen Mallaby segera mengerahkan 24000 pasukan tambahan untuk menguasai Surabaya.
Kematian Brigjend. A.W.S. Mallaby menyebabkan pihak Inggris meminta pertanggungjawaban. Pada 31 Oktober 1945 Christison sebagai panglima AFNEI memperingatkan kepada rakyat Surabaya agar mereka menyerah, apabila tidak dilakukan maka mereka akan dihancurkan.
Berikut adalah pernyataan Christison;
“Indonesian”
“Subsequently these Indonesian broke the truce which had been agreed in presence of Ir. Soekarno and Mohammad Hatta and foully murdered Brigadier Mallaby, who had game to parley with them.”
Kontak Biro Indonesia mengumumkan bahwa kematian Brigjend. Mallaby adalah akibat kecelakaan dan tidak dapat dipastikan apakah akibat tembakan yang dilakukan oleh pemuda Surabaya atau oleh tentaranya sendiri.
Pada 7 November 1945 Mayor Jenderal E.C. Mansergh mendarat di Surabaya untuk menggantikan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby yang telah tewas. Sesampainya di Surabaya, Mayjend. E.C. Mansergh menyurati Gubernur Jawa Timur R.M.T.A Surjo yang berisi tuduhan bahwa Gubernur Jawa Timur itu tidak dapat menguasai keadaan, seluruh Kota Surabaya telah dikuasai oleh para ekstremis dan mereka menghalang-halangi tugas Inggris.
Selanjutnya, di dalam surat itu Mayjend. E.C. Mansergh mengancam akan menduduki Kota Surabaya untuk melucuti “gerombolan yang tidak mengenal tertib hukum” itu. Mansergh juga meminta Gubernur Jawa Timur R.M.T.A. Surjo untuk “menghadap”.
Dalam surat jawaban tanggal 9 November 1945 Gubernur R.M.T.A. Suryo membantah semua tuduhan yang dibuat oleh Mayjend. E.C. Mansergh. Gubernur Suryo kemudian mengutus Residen Sudirman dan Roeslan Abdulgani untuk menyampaikan suratnya pada Mansergh. Setelah memberikan surat kepada Mansergh, Sudirman dan Roeslan Abdulgani diberikan dua surat lagi dari pihak Inggris yang berisi ultimatum kepada rakyat Surabaya.
Isi ultimatium Sekutu kepada rakyat Surabaya adalah penghinaat terhadap martabat dan harga diri bangsa Indonesia; pemimpin Indonesia, pemuda, kepala polisi, dan kepala pemerintahan harus melapor pada tempat dan waktu yang ditentukan dengan meletakkan tangan mereka di atas kepala, dan kemudian menandatangani dokumen yang disediakan sebagai tanda menyerah tanpa syarat.
Pemuda-pemuda Surabaya yang memegang senjata diharuskan menyerahkan senjatanya dengan berbaris serta membawa bendera putih. Batas waktu yang ditentukan adalah pukul 06.00 tanggal 10 November 1945. Apabila ultimatum ini tidak digubris, maka Inggris akan mengerahkan seluruh kekuatan, darat, laut dan udara. Ultimatum ini ditandatangani oleh Mayjend. E.C. Mansergh.
Menanggapi ultimatum itu, para pemimpin Indonesia di Surabaya mendiskusikan terkait langkah apa yang akan diambil. Mereka berusaha menghubungi Presiden Soekarno untuk meminta instruksi mengenai tindakan apa yang akan diambil; menerima atau menolak ultimatum itu. Namun, mereka hanya berhasil menghubungi Menteri Luar Negeri, Mr. Ahmad Soebardjo. Menteri Luar Negeri menyerahkan “kata putus” kepada rakyat Surabaya. Secara resmi pada pukul 22.00 tanggal 9 November 1945 Gubernur R.M.T.A Soerjo menolak ultimatum Inggris.
Sementara itu, para pemuda Surabaya sudah mempersiapkan diri membuat pertahanan di dalam kota. Komandan Pertahanan Kota, Soengkono sejak 9 November 1945 pukul 17.00 mengundang dan mengumpulkan semua unsur kekuatan rakyat yang terdiri dari TKR, PRI, BPRI, Tentara Pelajar, Polisi Istimewa, BBI, PTKR, dan TKR Laut. Semua unsur ini berkumpul di Markas Pregolan 4.
Soengkono menyatakan bahwa siapa yang ingin meninggalkan Kota Surabaya dipersilahkan. Namun, tidak ada satupun yang ingin meninggalkan kota, semua elemen bertekad untuk mempertahankan Kota Surabaya. Mereka kemudian membubuhkan tanda tangan pada secarik kertas sebagai tanda setuju, dan diteruskan dengan ikrar bersama. Soengkono kemudian dipilih sebagai komandan pertahanan.
Kota Surabaya kemudian dibagi menjadi tiga sektor pertahanan. Garis pertahanan ditentukan dari Jalan Jakarta, tetapi penempatan pasukannya agar mundur ke belakang ke daerah Krembangan, Kapasan dan kedungcowek. Garis Kedua disekitar viaduct dan garis ketiga di daerah Darmo. Pembagian tiga sektor ini meliputi sektor barat, sektor tengah dan sektor timur. Untuk garis pertahan di sektor barat dipimpin oleh Koenkiyat, Sektor tengah oleh Kretarto dan Marhadi, sedangkan Sektor timur dipimpin oleh Kadim Prawirodihardjo.
Jalannya Pertempuran Surabaya
10 November 1945 pada pukul 06.00 Kota Surabaya mulai digempur oleh Sekutu. Pada pukul 09.00 meriam kapal perang Inggris mulai memuntahkan bertubi-tubi mortir selama tiga jam ke bagian utara kota Surabaya. Komando Pertempuran Surabaya mengeluarkan perintah resmi untuk melawan serangan pasukan sekutu (Inggris) yang dimulai dari pelabuhan Tanjung Perak. Pukul 9.30 Bung Tomo (di tempat tersembunyi) memberi komando pada barisan rakyat untuk bergerak dan bergabung dengan pasukan lain guna melawan serangan sekutu.
Melalui tempatnya, Bung Tomo berpidato membakar semangat tempur rakyat Surabaya. Berikut adalah isi pidato Bung Tomo;
Bismillahirrahmanirrahim.
Soetomo
Merdeka!!!
Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia,
terutama, saudara-saudara penduduk kota Surabaya
Kita semuanya telah mengetahui bahwa hari ini tentara Inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet yang memberikan suatu ancaman kepada kita semua.
Kita diwajibkan untuk dalam waktu yang mereka tentukan, menyerahkan senjata-senjata yang kita rebut dari tentara jepang.
Mereka telah minta supaya kita datang pada mereka itu dengan mengangkat tangan.
Mereka telah minta supaya kita semua datang kepada mereka itu dengan membawa bendera putih tanda menjerah kepada mereka.
Saudara-saudara,
Didalam pertempuran-pertempuran yang lampau, kita sekalian telah menunjukkan bahwa rakyat Indonesia di Surabaya
Pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku,
Pemuda-pemuda yang berasal dari Sulawesi,
Pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali,
Pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan,
Pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera,
Pemuda Aceh, pemuda Tapanuli & seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini,
Didalam pasukan-pasukan mereka masing-masing dengan pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung,
Telah menunjukkan satu pertahanan yang tidak bisa dijebol,
Telah menunjukkan satu kekuatan sehingga mereka itu terjepit di mana-mana
Hanja karena taktik yang licik daripada mereka itu, saudara-saudara
Dengan mendatangkan presiden & pemimpin-pemimpin lainnja ke Surabaya ini, maka kita tunduk untuk menghentikan pertempuran.
Tetapi pada masa itu mereka telah memperkuat diri, dan setelah kuat sekarang inilah keadaannja.
Saudara-saudara, kita semuanja, kita bangsa Indonesia yang ada di Surabaya ini akan menerima tantangan tentara Inggris ini.
Dan kalau pimpinan tentara Inggris yang ada di Surabaya ingin mendengarkan jawaban rakyat Indonesia,
ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini
Dengarkanlah ini hai tentara Inggris,
ini jawaban rakyat Surabaya
ini jawaban pemuda Indonesia kepada kau sekalian
Hai tentara Inggris!,
kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih takluk kepadamu,
menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu,
kau menyuruh kita membawa senjata-senjata yang kita rampas dari jepang untuk diserahkan kepadamu
Tuntutan itu walaupun kita tahu bahwa kau sekalian akan mengancam kita untuk menggempur kita dengan seluruh kekuatan yang ada,
Tetapi inilah jawaban kita:
Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah & putih,
maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun juga!
Saudara-saudara rakyat Surabaya,
siaplah keadaan genting
tetapi saja peringatkan sekali lagi, yangan mulai menembak,
baru kalau kita ditembak, maka kita akan ganti menjerang mereka itu.
Kita tunjukkan bahwa kita adalah benar-benar orang yang ingin merdeka.
Dan untuk kita, saudara-saudara, lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka.
Semboyan kita tetap: MERDEKA atau MATI.
Dan kita yakin, saudara-saudara,
pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita
sebab Allah selalu berada di pihak yang benar
percayalah saudara-saudara,
Tuhan akan melindungi kita sekalian
Allahu Akbar..! Allahu Akbar..! Allahu Akbar…!
MERDEKA!!!”
Pada pukul 11.00 Gubernur R.M.T.A. Soerjo berpidato yang intinya menyerukan warga untuk bertindak demi kehormatan Bangsa dan Negara Indonesia. Gubernur Surjo di dalam pidato selanjutnya berkata;
“…bahwa hanya ada satu langkah yaitu Bangkit dan Berani menghadapi apapun. Lebih baik mati dalam kemuliaan dari pada hidup sebagai budak lagi. Tuhan menganugrahi kita dalam pertempuran ini. SELAMAT BERJUANG!”
Demi menghambat kemajuan gerak tentara Sekutu, di berbagai tempat dibuat beragam jenis pertahanan. Salah satu garis pertahanan juga dibangun disekitar pabrik rokok Sampoerna dekat penjara Kalisosok dengan kekuatan sekitar 100 orang. Dengan meriam serangan udara para pejuang berhasil menembak jatuh pesawat tempur yang ditumpangi oleh Komandan Batalyon Artileri Sekutu Brigadir Jenderal Robert Loder-Symons.
Pada 11 November 1945 Inggris mulai melakukan pengeboman dari kapal perang di Ujung. Tank-tank Inggris mulai terlihat di jalan Jakarta sekitar pukul 14.00 yang diikuti oleh pasukan infantri. Di sini terjadi baku tembak antara tentara sekutu dengan para pemuda Surabaya. Gerakan tentara Sekutu ini juga mendapatkan perlindungan dari pesawat tempur Sekutu dari udara. Namun, hal ini sama sekali tidak membuat pemuda-pemuda Surabaya gentar.

Pada 12 November 1945 Pertempuran antara Inggris dan rakyat Surabaya tetap berlanjut dan semakin dahsyat. Front pertahanan rakyat Surabaya mulai bergeser ke arah Sidotopo, Jembatan Merah, Viaduc, dan sebagainya. Laju pergeseran pertahanan ini juga diikuti dengan pengeboman dari udara yang dilakukan oleh pasukan Inggris terhadap para pemuda. Sejak pagi hari para pemimpin Surabaya seperti Pramuji (wakil ketua Markas Besar PRI) di dampingi oleh Kusnaryono, Yonosewoyo, Sungkono, Bung Tomo, dan lain-lain, mulai berkumpul untuk menyusun rencana serangan umum. Rencana serangan ini akan dilaksanakan pada keesokan harinya.
13 November 1945 Sejak pagi-pagi para pemuda mulai melakukan penyerangan yang diawali di Masjid Kemayoran, Kantor Pos, dan Viaduc dengan kekuatan sebanyak 300-400 orang. Pertempuran di garis lini Viaduc tersebut mendapat bantuan dari PRI Maluku, PRI Kalimantan dan masih banyak PRI lainnya. tenaga dukungan juga datang dari Surakarta, Bali dan Madura. Sedangkan Sekutu mengerahkan pasukan brigade 123 serta brigade 9 sebanyak dua kompi dibawah arahan panglima divisi untuk merebut lini Viaduc.
Di sisi lain, di beberapa tempat para pemuda berhasil memukul mundur pasukan sekutu sampai di sekitar Jembatan Ferwerda (Petean). Tembakan dari meriam kapal Sekutu mencapai Simpang Lonceng dan ada pula dari tembakan meriam itu yang sempat menghanguskan gedung Siola. Sedangkan dari pesawat terbang Sekutu menjatuhkan bom api dan bom waktu yang menimbulkan banyak korban di kalangan pejuang dan rakyat. Sebagai balasan atas aksi Sekutu, para pemuda membakar rumah-rumah yang dihuni oleh warga Belanda di jalan Darmo.
Memasuki 14 November 1945 pada sore hari pasukan Inggris berhasil merapat ke lini pertahanan Viaduc. Sedangkan para pemuda Surabaya memilih berada pada pertahanan startegis yang terletak di Pasar Turi, Bubutan, Keranggan, Blauran, Jagalan dan beberapa tempat lainnya yang dinilai strategis. Di dalam pertempuran ini para pemuka agama terutama Kyai juga turut serta untuk memanjatkan doa-doa demi keberhasilan perjuangan rakyat Indonesia. Tekad dan sumpah dari rakyat Surabaya adalah lebih baik melihat Surabaya berapi-api dan berdarah-darah dari pada dijajah kembali oleh Belanda. Pejuang-pejuang ini banyak pula yang berasal dari Barisan Hizbullah Pesantren Tebu Ireng, Jombang.
Daerah pinggiran seperti sekitar Pegirian, Nyamplungan mulai dimasuki oleh pasukan Inggris. Kolonel Sungkono memberi perintah agar mempertahankan daerahnya dengan bantuan dari beberapa pemuda bersenjata. Namun, Serangan sekutu dengan persenjataan yang lebih baik membuat para pemuda harus melakukan konsilidasi kekuatan di sekitar Kenjeran.
Pada 15 November 1945 Pasukan Inggris dari Alun-alun Contong mulai bergerak ke sekitar Gemblongan. Pertempuran pun mulai menyebar sampai ke daerah Kapasan. Untuk menghindari jatuhnya korban penduduk di kampung-kampung, tentara dan pemuda Surabaya kembali melakukan konsolidasi di tempat baru di Kapasari dan Tambaksari. Markas pemuda yang tekena serangan adalah yang di Jalan Widodaren (Wilhelminalaan), Ngemplak, Darmo dan Wonokromo.
Pada 16 November 1945 markas BKR Kota Surabaya yang terletak di jalan Pregolan diserang oleh Sekutu dengan bom. Di dalam penyerangan itu, banyak pemuda yang turut menjadi korban. Para pemuda membalas penyerangan itu denganberusaha membumihanguskan gedung Whiteway (Siola). Gedung Siola yang rusak ini dilengkapi karung pasir dan jadi kubu pertahanan para pemuda.
Hotel Ngemplak yang berlokasi di pojok Jalan Ambengan dan Ngemplak dijadikan markas oleh MKR (Marine Keamanan Rakyat) yang juga menawan beberapa petinggi tentara Jepang. Di sana terdapat pos wanita pejuang yang bertugas melakukan penyelamatan bagi para pejuang yang mengalami luka. Selain itu, mereka juga melakukan tugasnya sebagai pemenuhan bahan logistik dengan mengirim makanan bagi para pejuang yang bertempur.
Di jalan Sumatera ada berbagai markas BKR Laut yang dipimpin J. Sulamet. Kemudian juga terdapat Penerangan Angkatan Laut Surabaya (PALS). Kawasan ini dilengkapi dengan senjata senapan mesin dan sejenisnya yang diangkut dari Morokrembangan. Pertempuran yang terjadi antara Inggris dan rakyat Surabaya makin sengit, Namun karena persenjataan Inggris lebih canggih, terpaksa rakyat Surabaya harus mundur.
Superioritas Inggris di dalam Pertempuran Surabaya dilanjutkan dengan pendudukan Kantor Gubernur Jawa Timur pada 17 November. Markas-markas pejuang menjadi sasaran dari pengeboman yang dilakukan lewat udara maupun meriam kapal perang. Markas pemuda yang terkena pengeboman antara lain di Wilhelminalaan (jalan Widodaren), Ngemplak, Wonokromo dan Darmo. Sehari sebelumnya markas BKR Kota di Pregolan juga terkena bom.
Di Surabaya peringatan kelahiran tiga bulan Republik Indonesia dilakukan dengan perang dahsyat. Muhammad Ali Jinnah, salah seorang tokoh dari Pakistan (India) sebelumnya telah berpidato mengecam keras tindakan sekutu di Surabaya dan mendesak Inggris tidak melibatkan tentara India. Di mana akibat dari pidato Muhammad Ali Jinnah ini sekitar 400 tentara India yang beragama Islam menolak untuk dikirim ke Surabaya serta senjatanya dilucuti dan diistirahatkan di Bogor tanpa hukuman apapun.
Pada 18 Novembe 1945 Polisi Istimewa pimpinan M. Yasin dinyatakan sebagai pasukan militer dan mereka terlibat dalam pertempuran di sekitar Kayun dan Simpang. Pasukan Polisi Istimewa dibawah pimpinan Musa menggempur dan merusakan kedudukan pasukan sekutu di Kedungdoro. Sedangkan pada malam harinya gedung PLN di jalan Gemblongan diduduki sekutu.
Gubernur R.M.T.A. Suryo memberi semangat dan apresiasi kepada para pemuda yang berjuang dengan gigihnya di Surabaya. Gubernur Suryo menyampaikan ucapannya:
“…anak-anak ini yakin mereka dilindungi Tuhan yang Maha Kuasa, mereka percaya pada kodrat Illahi, mereka berjoang atas nama Keadilan dan Kebenaran…”
Pertempuran di Surabaya memasuki tanggal 19-21 November 1945 terjadi street (and kampung) fighting di mana-mana. Kemudian muncul pula kelompok Pasukan Berani Mati yang bergabung dengan para pejuang yang ada. Mereka berani melakukan serangan jibaku (bunuh diri). Namun, karena persenjataan yang tidak imbang, baik dari sisi jumlah maupun mutu, berangsur-angsur para pejuang mengubah taktik dengan berpindah ke tempat luar kota untuk mengkonsolodasi kekuatan. Dalam perjalanan ini dilakukan upaya bumi hangus baik bangunan gedung maupun rumah kampung yang posisinya dinilai strategis.
Pada tanggal 21 November 1945 pasukan Inggris mencapai kawasan sekitar jalan Embong, Malang. Kedatangan pasukan Inggris itu disambut oleh para pemuda dalam pertempuran di sekitar Tunjungan. Pertempuran di depan Hotel Orange menyebabkan beberapa pemuda gugur. Agar pertempuran di Surabaya ini cepat selesai, Sekutu mulai mendatangkan sejumlah Tank Sherman untuk diterjunkan ke medang pertempuran. Tank ini terlalu kuat untuk dapat dikalahkan oleh sisa senjata yang dimiliki oleh pejuang.
Pada tanggal 22 November 1945 di pagi hari telah terjadi pertempuran antara pasukan Sekutu di Embong, Malang dengan pasukan pejuang yang bermarkas di Hotel Sarkies. Karena gencarnya pertempuran di kawasan Embong Malang, maka pasukan sekutu mendatangkan satuan tank untuk membantu. Dalam menghadapi perubahan situasi ini, pasukan pejuang melakukan konsolidasi di tempat baru yaitu di berbagai gedung yang terletak disekitaran Rumah Sakit Katolik RKZ.
Pasukan TKR Laut yang bermarkas di sepanjang Kalimas dan Peneleh terlibat pula dalam pertempuran dengan Sekutu. Karena persediaan amunisi yang semakin menipis, disiapkan sebuah strategi dengan membuat daerah konsolidasi berikutnya di serkitar Darmokali.
Tepat tanggal 23 November 1945 Markas Pasukan Polisi Istimewa yang berada di Coen Boulevard membuat tempat baru di Sidoarjo untuk menjamin agar eksistensinya cukup lama sebab di Surabaya keadaan sudah terlalu genting dan semakin kacau. Sebagian dari anggota Polisi Istimewa tetap berada di Surabaya untuk mendukung para pejuang yang masih bertahan.
Pukul 07.00 pagi, dengan dukungan pasukan tank Sherman yang baru didatangkan, pasukan Sekutu mulai menyapu bersih kantong-kantong perlawanan pejuang di kawasan Kedungdoro dan Kedunganyar. Gerakan pasukan Sekutu sempat tertahan di Jalan Kaliasin oleh karena menghadapi perlawanan sengit dari para pejuang yang mendapatkan dukungan dari warga kampung sekitar. Dugaan Inggris yang menyatakan bahwa para pejuang Indonesia tidak lebih dari third grade partisan army atau lebih rendah, ternyata keliru, sebab pejuang-pejuang Indonesia mampu bertahan dan membahayakan banyak pertahanan Sekutu. Menghadapi kenyataan ini pasukan Sekutu terpaksa merubah taktik dengan melakukan serangan sapu habis.
Pada tanggal 24 November 1945 Pasukan sekutu berhasil mencapai kawasan Keputran namun di sini para pejuang tetap bersemangat untuk melakukan perlawanan sehingga selama sehari penuh pasukan Sekutu tidak mampu maju sama sekali. Para pejuang pun mengubah taktiknya lagi agar mampu bertahan lama dengan memindahkan markas Komando.
Pertahanan Surabaya berpindah ke luar kota atas perintah Sungkono. Sebaliknya pasukan TKR yang terletak di pinggiran kota Surabaya mulai masuk ke dalam kota Surabaya. Pasukan pelajar di sekolah Susteran Darmo 49 membentuk Pasukan Berani Mati dengan 13 pelajar sebagai inti, terkenal sebagai Pasukan Tiga belas. Sementara itu pasukan sekutu terus beringsut bergerak ke selatan melalui jalan raya Darmo sampai mendekati Kawasan Wonokromo. Pada pertempuran ini nampak pula para pemuda yang berasal dari Pesantren Tebu Ireng, Jombang yang ikut menyerang pasukan Tank Sekutu dengan dipimpin oleh seorang Kyai.
Kondisi pada tanggal 25 November 1945 para pejuang yang menyerang posisi infantri Sekutu di sekitar Simpang berlangsung hingga waktu subuh keesokan harinya. Namun, serangan ini tidak mudah dimenangkan sebab pasukan infantri sekutu mendapat dukungan dari pesawat udara dan juga tembakan dari kapal perang di laut. Selain itu pasukan infantri Sekutu ini memiliki persenjataan yang jauh lebih baik.
Dalam pertempuran dua hari ini ribuan warga tewas. Di Tunjungan mayat-mayat tergeletak di jalan-jalan, termasuk sejumlah perempuan dan anak-anak. Di antara para pejuang juga terdapat sejumlah warga China yang jadi korban, dan jumlahnya mencapai seribu-an dan luka-luka mencapai angka lima-ribuan. Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh United Press jumlah korban mencapai lebih dari 6000 orang. Catatan dari pihak Inggris menyebutkan bahwa di jalan-jalan ditemukan 1.618 mayat rakyat yang tertembak dan 4.697 lainnya tewas dan luka-luka. Sedangkan berdasar laporan dari pihak Sekutu bahwa yang meninggal ada 8000 orang. Sebagian besar adalah pemuda dari kampung-kampung.
Pada tanggal 26 November 1945 Pasukan Sekutu melancarkan pembersihan di sepanjang bagian barat Kali Mas ke garis perjuangan di Dukuh Kupang hingga sekitar Jalan Darmo. Di dalam pertempuran ini pasukan Inggris berhasil menduduki Rumah Sakit Simpang (CBZ) yang merawat para korban luka dari kedua belah pihak.
Selanjutnya, pada sore hari, 27 November pasukan Sekutu telah bersiap-siap akan melakukan pembersihan di bagian selatan dan barat Kota Surabaya dengan bantuan beberapa tank yang telah didatangkan ke Surabaya. Sebagai upaya untuk mengantisipasi serangan pasukan Sekutu, kelompok Pemuda Putri Republik Indonesia diungsikan dari dekat markas Pelajar ke jalan Setail. Pada malam harinya para pejuang melakukan penembakan dengan mortir terhadap pusat konsentrasi pasukan Sekutu dari bangunan yang ada di belakang pasar Wonokromo. Dengan begitu para pemuda berhasil melakukan konsolidasi pasukan dan membangun tempat pertahanan baru.
Kemenangan yang didapatkan pemuda tidaklah dapat dibiarkan begitu saja oleh Sekutu. Pada pagi hari, 28 November 1945 pasukan Sekutu melakukan pembersihan di sekitar pasar Wonokromo. Daerah sekitar pengeboran minyak BPM di Wonokromo menjadi tempat kontak senjata antara pasukan sekutu dan para pemuda. Mortir yang dilancarkan oleh pasukan Sekutu mencapai daerah Menur Krukah. Pasukan Sekutu terus memperkuat posisi dari markasnya di Wonokromo untuk menjaga keluar-masuknya pejuang dari dan menuju ke kota Surabaya. Pasukan Divisi 5 Sekutu pun ikut menjaga daerah yang dianggap strategis ini.
Sekitar Pukul 10.00 pagi pasukan sekutu menyerang dari darat dan udarauntuk melakukan penyerbuan pertahanan para pejuang di Gunungsari. Dengan jatuhnya markas di Gunungsari dapat dikatakan pasukan Sekutu telah menguasai seluruh kota Surabaya. Semula Sekutu merencanakan perang di Surabaya disudahi pada tanggal 26 November 1945, namun perlawan yang ditunjukkan oleh para pemuda membuat perang tersebut menjadi lebih panjang.
Akhir Pertempuran
Sepanjang 29 November–2 Desember 1945, Setelah pertempuran selama tiga hari, gempuran pasukan Sekutu masih dan bahkan semakin gencar. Daerah Gunungsari yang merupakan pertahanan terakhir adalah yang dihadapi secara habis-habisan. Para pemuda harus merubah strategi dan taktik perang dengan membangun pertahanan baru di luar Kota Surabaya dan menyusun strategi baru untuk melakukan penyerangan.
Pada tanggal 2 Desember 1945, para pejuang mulai membentuk garis pertahanan baru yang berada di luar batas Surabaya ke arah Mojokerto1. Dengan demikian sejarah mencatat bahwa The Battle of Surabaya dapat dikatakan berakhir, tetapi serangan balik dalam berbagai bentuk terutama gerilya masih dilakukan oleh para pejuang. Markas pejuang Indonesia di pindah ke Desa Labaniwaras ynag terkenal dengan nama Markas Kali.
Inggris ingin sekali secepatnya menarik pasukannya dari Indonesia mengingat keadaan di India mulai memanas sebagai dampak dari perjoangan di Surabaya. Mereka mengusahakan agar tidak terlibat pertemuan antara Indonesia dan Belanda. Pada tanggal 6 Desember terjadi pertemuan petinggi Sekutu di Singapura. Dalam konferensi itu Inggris menekankan bahwa mereka mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia. Namun mereka tidak bersedia untuk melakukan operasi bersama Belanda sebab tentara sekutu jumlahnya terlalu sedikit. Inggris tetap mendesak Belanda melakukan perundingan dengan Indonesia dan tidak menyetujui pendaratan tentara Belanda di Surabaya. Walaupun di tempat lain tentara Sekutu mulai ditarik, namun di Surabaya tentara Sekutu tidak ditarik mundur hingga akhir tahun.
Dampak Pertempuran
Jatuhnya ribuan korban jiwa dalam Pertempuran Surabaya
Kekalahan pihak Indonesia ini dapat dilihat dengan jelas dari jalannya pertempuran yang terjadi antara Sekutu dengan pihak Indonesia. Para pemuda berjuang dengan mengandalkan alat seadanya, mulai dari senjata tajam hingga senjata api yang dirampas dari pihak Jepang. Dari pihak Indonesia setidaknya 6.000-16.000 pejuang yang tewas dan 200.000 rakyat sipil mengungsi dari Kota Surabaya.
Sedangkan korban dari pihak Inggris dan Sekutu sebanyak 600-2.000 tentara tewas. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir kolonialisme dan Imperialisme serta berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan. Apabila diperkirakan secara keseluruhan, korban dari Pertempuran Surabaya lebih kurang 160.000 jiwa tewas.
Dorongan Moral Bagi Indonesia Untuk Mempertahankan Kemerdekaan
Kekalahan yang dialami rakyat Indonesia di Surabaya rupanya telah menjadi api semangat perjuangan demi mempertahankan kemerdekaan tetap menyala. Hal itu disebabkan oleh perjuangan selama lebih-kurang tiga minggu dengan gigih dan pantang menyerah melawan gempuran Sekutu. Pertempuran ini juga mendapatkan sorotan Dunia internasional terhadap apa yang sedang terjadi di Indonesia.
Setelah Pertempuran Surabaya banyak dukungan yang didapat dari dunia luar terhadap Indonesia. Terutama sekali oleh negara-negara yang ikut berperan dalam memperjuangkan hak asasi manusia. Para pelajar India di Bombay dan London pun melakukan demonstrasi besar-besaran terkait perbuatan-perbuatan tentara Inggris di Surabaya yang sebelumnya diberitakan secara tidak jujur. Di mana gerakan militer Inggris di Pulau Jawa, terutama di Surabaya dianggap sebagai suatu tindakan yang tidak mengenal perikemanusiaan.
Daftar Bacaan
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. 2011. Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik. Jakarta: Balai Pustaka.
- Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.