Pithecanthropus Mojokertensis: Anak Mojokerto

Pithecanthropus mojokertensis atau juga dikenal dengan Anak Mojokerto adalah salah satu dari jenis Pithecanthropus tertua yang hidup di Kepulauan Indonesia Pithecanthropus mojokertensis (Pithecanthropus Modjokertensis) atau robustus, yang temuan pertamanya berasal dari formasi Pucangan, Kepuhklagen, di sebelah utara Perning, Mojokerto pada tahun 1936. Anak Mojokerto telah menjadi fosil manusia purba paling kontroversial yang pernah ditemukan di Indonesia.

Penemuan Pithecanthropus Mojokertensis

Jenis Pithecanthrophus tertua adalah jenis Pithecanthropus mojokertensis atau robustus, yang temuan pertamanya berasal dari formasi Pucangan, Kepuhklagen, di sebelah utara Perning, Mojokerto. Penemuan itu terjadi pada Februari 1936 oleh Tjokrohandojo yang menjadi bagian dari tim penggalian hewan di Perbukitan Kendeng, Jawa Timur pimpinan Ralph von Koenigswald. Temuan tersebut berupa tengkorak kanak-kanak berusia sekitar 6 tahun.

Pada awal ditemukan, Tjokrohandojo mengira bahwa fosil tengkorak tersebut adalah milik orangutan, namun von Koenigswald segera mengenalinya bahwa fosil tersebut adalah manusia. Ralph von Koenigswald kemudian memberi nama Pithecanthropus modjokertensis. Penamaan yang dilakukan oleh Koenigswald ini kemudian ditentang oleh Eugene Dubois yang menemukan Pithecanthropus erectus (Manusia Jawa) pada tahun 1890-an. Dubois, menyangkal bahwa Pithecanthropus mojokertensis itu bukanlah jenis Pithecanthropus, melainkan jenis Homo. Sehingga, Koenigswald kemudian mengganti nama fosil ini menjadi Homo modjokertensis dan diklasifikasikan sebagai Homo erectus. Namun, di Indonesia, fosil temuan Koenigswald ini tetap dikenal dengan nama Pithecanthropus mojokertensis.

Perdebatan Pithecanthropus Mojokertensis

Selama berpuluh-puluh tahun, anak Mojokerto, yang jenis kelaminnya tidak diketahui, dianggap tidak dapat didata karena lokasi pasti ditemukannya tidak dapat ditentukan dengan jelas. Pada tahun 1985, empat lokasi berbeda telah diusulkan sebagai kemungkinan lokasi penemuan. Juga tidak jelas apakah fosil tersebut telah digali atau ditemukan di permukaan, sehingga sulit untuk menentukan penanggalannya meskipun situs tersebut sudah pasti dapat ditentukan.

Pada awal tahun 1990-an, ahli geokronologi Garniss Curtis dan ahli paleontologi Carl C. Swisher III mengusulkan penanggalan sekitar 1,81 juta tahun yang lalu. Sampel batuan yang digunakan oleh mereka dalam menggunakan metode penanggalan argon-argon berasal dari situs yang ditunjukkan kepada mereka pada tahun 1990 oleh Teuku Jacob, seorang ahli paleoantropologi Indonesia yang pernah belajar di bawah bimbingan Ralph von Koenigswald. Swisher dan Curtis mengumumkan temuan mereka dalam sebuah makalah yang diterbitkan di majalah Science pada tahun 1994.

Baca Juga  Kerajaan Akkadia (2334-2154 SM)

Usia fosil yang tidak terduga ini diumumkan setidaknya di 221 surat kabar, termasuk di halaman depan The New York Times. Selain itu, juga menjadi berita utama di majalah Discover, New Scientist, dan Time. Kesimpulan dari penanggalan yang diberikan oleh Swisher dan Curtis diperdebatkan dengan hangat, karena hal ini berarti bahwa anak Mojokerto sama tuanya dengan spesimen tertua Homo ergaster yang berasal dari Afrika (juga disebut Homo erectus sensu lato), yang menunjukkan bahwa Homo erectus mungkin telah meninggalkan Afrika jauh lebih awal dari perkiraan, atau bahkan berevolusi di Asia Tenggara, bukan di Afrika, seperti yang diasumsikan sebagian besar ilmuwan.

Beberapa kritikus mempertanyakan metode penanggalan yang dilakukan oleh Curtis dan Swisher tersebut. Beberapa keberatan disebabkan, mengingat ketidakpastian seputar lokasi penemuan fosil, tidak jelas apakah sampel batuan yang digunakan untuk penanggalan diambil dari lokasi yang benar.

Anak Mojokerto (Modjokerto child) sebagaimana penemuan ini disebutkan, memiliki isi tengkorak dengan ukuran sekitar 650 cc, yang apabila sesudah dewasa ditaksir dapat mencapai ukuran 1000 cc. Tonjolan kening yang nyata sedikit pada tengkorak ini, dan tulang-tulang atap tengkoraknya tidak begitu tebal.

Pithecanthropus mojokertensis
Penemuan Pithecanthropus mojokertensis oleh Ralph von Koenigswald

Temuan-temuan lain yang dianggap tergolong ke dalam Pithecanthropus mojokertensis berasal dari Sangiran, berupa atap tengkorak, beberapa bagian dasar tengkorak, rahang atas dan bawah, serta gigi-gigi lepas sehingga dapat diperoleh gambaran tentang kepalanya. Selain penemuan di Pucangan dan Sangiran, Fosil-fosil Pithecantrophus Mojokertensis juga banyak ditemukan di daerah Kedungbrubus, Trinil, Sambungmacan, dan Ngandong. Pithecanthropus mojokertensis diperkirakan hidup di sekitar lembah atau kaki gunung dekat perairan darat di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Berdasarkan pertanggalan Kalium-Argon pada batu apung di Kepuhklagen, yang terdapat cukup luas pada lapisan sedikit di bawah tempat terdapatnya tengkorak kanak-kanak tadi, kepurbaannya ditaksir sekitar 1,9 juta tahun yang lalu. Dari pertanggalan lain di tempat yang sama, pada lapisan formasi Pucangan dan di Sangiran, dapatlah diambil kesimpulan bahwa Pithecanthropus mojokertensis hidup 2,5 – 1,5 juta tahun yang lalu. Jadi, kira-kira kemungkinan bersamaan dengan Megantrophus.

Berdasarkan hasil penemuan di atas, hingga sekarang masih sulit ditentukan hubungan evolusioner antara Meganthropus dan Pithecanthropus mojokertensis atau robustus.

Ciri-Ciri Pithecantrophus Mojokertensis

Ciri-ciri Pithecanthropus nyata terlihat dari hasil penemuan ini. Bagian terlebar tengkoraknya terletak rendah dekat dasar tengkorak dan tulang-tulang atap tengkoraknya tebal. Tengkoraknya rendah dan isinya kira-kira 900 cc. Tulang kepala belakang rendah dan bersegi antara kedua bagiannya, tempat terdapatnya tonjolan belakang kepala dengan tepi bawah yang tajam. Hal ini berikut tempat perlekatan otot tengkuk yang luas menggambarkan betapa masifnya otot-otot tersebut untuk mengimbangi tengkorak mukanya yang berat. Bahwa hal ini benar demikian dibuktikan juga dengan rahang atasnya yang menonjol ke depan dengan giginya yang berukuran besar. Di tengah-tengah atap tengkoraknya membujur peninggian, seakan-akan lunas pada perahu yang terlungkup. Peninggian yang tidak tajam ini bukan untuk perlekatan otot-otot kunya seperti pada kera atau Austrolopithecus robustus.

Pada rahang gigi seri tengahnya lebih besar daripada yang samping dan taringnya melewati gigi seri samping dan taringnya menonjol melewati permukaan kunyah. Antara gigi seri samping terdapat ruang (diastema), suatu hal yang jarang ditemukan pada manusia modern. Untuk memperkuat rahang terhadap tonjolan atau penebalan tulang di sebelah luarnya. Dari ketiga gerahamnya, yang kedua adalah yang terbesar. Langit-langitnya sangat lebar. Ciri yang perlu dicatat pada rahang atas Pithecantrophus adalah terdapatnya tiga buah akar pada geraham muka pertamanya.

Baca Juga  Pemberontakan Boxer 1899-1901

Pada rahang bawah, yang terbesar juga geraham kedua. Di mana pada rahang bawah terdapatnya dua akar pada geraham muka, suatu ciri yang primitif. Berbeda dengan geraham-geraham yang besar-besar, gigi depannya kecil, seperti dicerminkan oleh ceruk giginya. Aus gigi ada yang mencapat derajat 2 dan 3 sehingga tulang gigi kelihatan, yang menandakan bahwa makanannya kasar, badan rahang cukup masif, tetapi dasarnya tidak begitu tebal. Selain itu, dagu juga tidak ditemukan pada rahang bawah Pithecantrophus.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa Pithecanthropus mojokertensis berjalan tegak. Mukanya dipastikan telah memiliki tonjolan kening yang tebal dan tulang pipi yang kuat. Mukanya menonjol ke depan sehingga diperlukan otot-otot tengkuk yang kukuh untuk mengimbanginya.

Hasil Kebudayaan Pithecanthropus Mojokertensis

Berdasarkan penggalian pada lapisan bumi tempat ditemukannya Pithecanthropus mojokertensis, Kebanyakan alat-alat yang dibuat pada masa ini menggunakan peralatan seadanya, memanfaatkan apa yang ada dari alam. Alat-alat ini, utamanya digunakan untuk pencarian dan pengolahan bahan makanan berupa daging dan umbi-umbian. Kebanyakan alat yang dibuat dari batu tersebut bahan pembuatannya diambil dari batuan tufa, kersikan, fosil kayu, kuarsa, endapan, dan lainnya. Berikut ini adalah beberapa peninggalan yang diduga sebagai hasil kebudayaan dari Pithecanthropus mojokertensis:

  1. Kapak perimbas
  2. Alat serpih
  3. Kapak penetak
  4. Alat tulang

Kehidupan Pithecanthropus mojokertensis

Manusia jenis Pithecanthropus mojokertensis ini hidup dengan cara berpindah-pindah tempat (nomaden) dan merupakan masyarakat pendukung kehidupan paleolitikum di Indonesia. Kehidupan yang nomaden ini dilakukan dengan mengikuti keberadaan sumber makanannya baik tumbuhan maupun hewan. Jadi prinsipnya apabila mereka hidup pada suatu tempat, di mana mereka merasa bahwa sumber makanannya sudah semakin menipis maka mereka akan berpindah tempat untuk mencari daerah yang masih banyak terdapat sumber pangan. Selayaknya manusia jenis Pithecantrophus pada umumnya, Pithecanthropus mojokertensis sangat menggantungkan kehidupannya pada alam.

Baca Juga  Pendidikan Zaman Kerajaan Islam

Daerah-daerah yang menarik perhatian bagi Pithecanthropus mojokertensis untuk didiami ini adalah daerah yang memiliki sumber makanan yang berlimpah dan dekat pula dengan sumber air. Daerah yang berdekatan dengan sumber air juga sering dilewati oleh hewan yang juga dijadikan sebagai target buruan.

Pithecanthropus mojokertensis hidup dengan cara berkelompok dan membekali diri untuk menghadapi lingkungannya. Biasanya kelompok ini membatasi jumlah individu di dalam kelompoknya untuk keberhasilan suatu perburuan. Selain itu juga mereka membatasi jumlah mereka agar tidak kekurangan bahan pangan. Cara yang digunakan untuk pembatasan ini misalnya dengan memusnahkan anak-anak yang baru lahir, terutama jika itu perempuan yang dianggap menghalangi dan menjadi penghambat dalam perpindahan saat melakukan perburuan

Kelompok berburu Pithecanthropus mojokertensis ini, biasanya terdiri dari keluarga kecil, beberapa diantaranya pun juga menunjukkan telah adanya pembagian kerja diantara mereka. Pembagian kerja ini adalah berdasarkan jenis kelamin di mana nampak terlihat bagi laki-laki melakukan tugas perburuan dan perempuan mengumpulkan makanan (tumbuh-tumbuhan dan hewan kecil). Para perempuan ini juga memegang peran penting dalam menyeleksi jenis tumbuhan yang dapat dimakan.

Daftar Bacaan

  • Anton, Susan C. 1997., “Developmental age and taxonomical affinity of the Mojokerto child, Java, Indonesia”, American Journal of Physical Anthropology, 102 (4): 497–514,
  • Dennell, Robin. 2009. The Palaeolithic Settlement of Asia, Cambridge World Archaeology, Cambridge: Cambridge University Press.
  • Huffman, O. Frank; Y. Zaim; J. Kappelman; D. R. Ruez Jr.; J. de Vos; Y. Rizal; et al. 2006. “Relocation of the 1936 Mojokerto skull discovery site near Perning, East Java”, Journal of Human Evolution, 50 (4): 431–51

Beri Dukungan

Beri dukungan untuk website ini karena segala bentuk dukungan akan sangat berharga buat website ini untuk semakin berkembang. Bagi Anda yang ingin memberikan dukungan dapat mengklik salah satu logo di bawah ini:

error: Content is protected !!

Eksplorasi konten lain dari Abhiseva.id

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca