Politik kolonial Belanda abad ke-19 di Indonesia sebenarnya diawali oleh perubahan besar yang terjadi pada saat memasuki abad ke-19 dengan bubarnya perusahaan dagang hindia timur yaitu Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada tanggal 31 Desember 1799. Memasuki abad ke-20 diawali dengan kemunculan gagasan-gagasan penting yang dilakukan untuk memperbaiki situasi dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat kolonial yang mengalami kebobrokan selama paruh akhir abad ke-19. Oleh sebab itu, maka perlu diketahui politik kolonial Belanda abad ke-19 di Indonesia.
Pasca Pembubaran VOC
Bubarnya VOC disebabkan oleh berbagai hal diantaranya adalah kualitas mutu pegawai yang merosot, pengeluaran yang sangat besar dan manajemen yang buruk, intervensi politik yang membutuhkan dana besar, sistem monopoli yang dianggap tidak sesuai, persaingan dengan bangsa lain seperti Inggris dan Prancis dan yang tidak kalah pentingnya adalah praktik suap dan korupsi di kalangan pejabat VOC. Di sisi lain, gelora dari Revolusi Prancis di akhir abad ke-18 seolah tidak dapat dibendung yang menyebabkan Belanda harus jatuh ke tangan Prancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte. Kondisi yang sangat buruk ini membuat tidak ada alasan bagi pemerintah Belanda untuk dapat mempertahankan VOC. Sehingga VOC harus dibubarkan pada penghujung akhir abad ke-18.
Berkuasanya Prancis Di Hindia-Belanda
Setelah VOC dibubarkan, pemerintah kerajaan Belanda mengambil alih seluruh aset dan wilayah yang dikuasai oleh VOC, terutama wilayah Pulau Jawa di mana Kota Batavia yang menjadi ibukota VOC. Untuk menangani peralihan kekuasaan itu dan mempersiapkan diri dari kemungkinan penyerangan yang dilakukan oleh Inggris ke Pulau Jawa, Lodewijk Napoleon (Louis Napoleon) mengirim Herman Willem Daendels ke Batavia untuk menjadi Gubernur Jenderal.
Herman Willem Daendels kemudian mengemban tugas untuk menyusun kembali sistem pemerintahan dan juga membangun pertahanan untuk mempertahankan Pulau Jawa. Tindakan-tindakan yang kemudian dilakukan oleh Daendels adalah membangun struktur birokrasi dan tentara yang profesional dengan meniro model Revolusi Prancis, mengubah sistem politik tradisional dan melakukan pengerahan tenaga milisi (wajib militer).
Pada masa pemerintahan Daendels pemerintahan Pulau Jawa dibagi ke dalam daerah prefektur, peradilan tradisional diperluas dan diperbarui, dan para bupati dijadikan pegawai pemerintah kolonial walau masih memegang beberapa kuasa politik sebelumnya. Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dihapuskan eksistensinya dan dijadikan sebagai daerah pemerintah. Herman Willem Deandels pun mengembangkan dan membangun infrastruktur di Jawa terutama dengan membangun jalan raya pos sepanjang 1.000 km dari Anyer hingga Panarukan. Kebijakan pembangunan jalan raya terindah ini meninggalkan kisah memilukan yang harus diterima oleh rakyat di Pulau Jawa.
Pemerintah Herman Willem Daendels tidak bertahan lama terutama karena munculnya berbagai penolakan yang diakibatkan dari kebijakan yang ia lakukan. Herman Willem Daendels kemudian digantikan oleh Jansen sebagai Gubernur Jenderal pada tahun 1811, namun pada masa pemerintahannya inilah Pulau Jawa berhasil dikuasai oleh Inggris dan dengan terpaksa seluruh wilayah Kepulauan Indonesia diserahkan kepada Inggris.
Berkuasanya Inggris Di Hindia-Belanda
Pemerintahan Kolonial Inggris di Indonesia yang dipimpin oleh Thomas Stamford Raffles sepanjang tahun 1811-1816 memperkenalkan beberapa kebijakan baru, terutama mengenai sistem sewa tanah. Terdapat persamaan antara Thomas Stamford Raffles dan Herman Willem Daendels terutama mengenai anggapan perlunya diubah hubungan politik dan ekonomi masyarakat terutama di Pulau Jawa yang masih berada dalam sistem tradisional. Para bupati dan kepala-kepala daerah pribumi yang sebelumnya adalah perpanjangan tangan pemerintah kolonial dalam menarik upeti berupa hasil bumi, kini menjadi pegawai pemerintah yang diberikan gaji dengan tugas memungut pajak dalam bentuk in natura (hasil penanaman). Kebijakan Raffles ini tidak sesungguhnya berhasil bahkan menemui banyak kegagalan.
Perkembangan politik di Eropa yang sangat cepat juga turut memengaruhi situasi yang terjadi di Indonesia (Hindia-Belanda) Kekalahan Napoleon Bonaparte pada dasawarsa kedua abad ke-19 menyebabkan Kerajaan Belanda memperoleh kembali haknya atas wilayah Kepulauan Indonesia. Thomas Stamford Raffles pun kemudian hanya menguasai daerah yang lebih kecil di Sumatra bagian selatan, yakni Bengkulu. Pada tahun 1824 berdasarkan Perjanjian London, Thomas Stamford Raffles menyerahkan Bengkulu untuk ditukar dengan Tumasik dan Malaka. Di Pulau Tumasik ini, Thomas Stamford Raffles kemudian berhasil membangun sebuah kota pelabuhan perdagangan yang berfungsi sebagai transit yang dikenal dengan nama Singapura.
Penerapan Politik Kolonial Belanda Abad ke-19 Di Indonesia
Setelah kembali mendapatkan Kepulauan Indonesia, Belanda kembali menata kekuasaan kolonialnya. Sejumlah Komisaris Jenderal bertugas untuk melakukan pemulihan itu dengan ide-ide dari prinsip liberal yang bertujuan menciptakan keuntungan dari negeri jajahan. Selain menata kembali kolonialisme di Pulau Jawa, beberapa juga dilakukan dengan mengirimkan utusan untuk memperbarui perjanjian dengan daerah-daerah di luar Pulau Jawa, meskipun beberapa mengakibatkan terjadinya pertempuran. Namun, yang paling menyita perhatian adalah perlawanan yang justru dilakukan oleh seorang pangeran dari Kesultanan Yogyakarta yang sangat menguras keuangan pemerintah.
Pangeran Diponegoro melakukan perlawanan terhadap Belanda pada tahun 1825-1830 telah banyak menguras kas pemerintah kolonial. Sedangkan, sumber pemasukan yang didapatkan oleh pemerintah kolonial tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk membiayai perang terhadap Pangeran Diponegoro. Sistem pajak tanah dan penyerahan hasil tanaman (levarantie) tidak memberikan pemasukan yang pasti dan jumlahnya pun tidak berarti apa-apa. Selain itu aktivitas pelayaran dan perdagangan kapal-kapal Belanda tidak menentu yang disebabkan antara lain belum pulihnya jaringan perdagangan VOC, berubahnya pasar dunia, dan persaingan dengan kapal-kapal Inggris.
Kebijakan kolonial Belanda di Hindia-Belanda, lebih khususya di Pulau Jawa memang mengalami berbagai peninjauan ulang selama periode 1820-an. Gubernur Jenderal Van der Capellen telah menerapkan suatu kebijakan yang menjamin orang Jawa untuk menggunakan serta memetik hasil dari tanah mereka secara bebas. Sebaliknya, orang jawa itu justru harus membayar sewa tanah. Kebijakan era Van der Capellen berusaha mengurangi pengaruh dan peran orang eropa di Jawa, sehingga orang jawa terdorong untuk menghasilkan produk yang dapat dijual untuk membayar sewa tanah. Kebijakan ini menemui kegagalan setelah tahun 1825 karena sejumlah alasan, dan yang terpenting di antara alasan tersebut adalah pengeluaran besar dari pemerintah kolonial Belanda akibat perang Jawa (perang Diponegoro).
Sementara itu, di antara para elite politik di negeri Belanda terjadi perdebatan bagaimana cara mengisi keuangan negeri jajahan yang kosong. Hal ini pun menjadi perhatian serius bagi raja Belanda saat itu, Willem II. Sejumlah kalangan elit Belanda berpendapat bahwa perdagangan laut masih dapat dikembangkan untuk menghasilkan keuntungan sebagaimana yang telah dilakukan pada masa VOC. Pada tahun-tahun selanjutnya, pemerintah kolonial Belanda memiliki pandangan bahwa orang di Jawa dan lahan produktif harus dikelola dengan kegiatan produktif melalui perjanjian kontrak dengan orang Eropa.
Kebijakan Cultuur Stelsel
Ditengah perdebatan tentang mencari solusi pemecahan masalah keuangan Belanda, gagasan yang menjadi pemenang adalah mengenai penanaman daerah jajahan. Salah satu alasan utamanya adalah bahwa perdagangan lintas lautan Belanda memerlukan komoditas yang laku di pasaran dunia. Salah seorang pendukung gagasan penanaman ini adalah Johannes van den Bosch. Johannes van den Bosch pada tanggal 6 Maret 1829 menyodorkan usulan yang kemudian membuatkebijakan sewa tanah ditinggalkan dan diganti dengan sistem penanaman hasil bumi yang cocok bagi pasar Eropa.
Hal ini menandakan bahwa Johannes van den Bosch ingi menjadikan Jawa sebagai aset yang menguntungkan dalam waktu yang sesingkat mungkin dengan menghasilkan komoditas pertanian tropis seperti kopi, gula, nila (indigo) dengan harga murah sehingga dapat bersaing dengan produk serupa dari belahan dunia lainnya. Demi tujuan tersebut, Johannes van den Bosch menyarankan sistem tanam paksa yang menurutnya sesuai dengan kultur orang Jawa, yang didasarkan atas penanaman dan penyerahan hasil bumi secara paksa pada pemerintah. Ia pun mendapatkan mandate dari rajauntuk membangun sistem yang dibangunnya itu.
Johannes van den Bosch segera diutus ke Pulau Jawa untuk merealisasikan gagasannya itu yang disebut dengan sistem penanaman (cultuurstelsel). Penerapan pemikiran Johannes van den Bosch itu kemudian lebih dikenal dengan istilah tanam paksa. Sistem ini merupakan perpaduan antara Sistem Priangan (preangerstelsel) yang dipraktikan pada masa VOC dan pengerahan tenaga kerja.
Selama penerapan sistem tanam paksa, kehidupan pedesaan di pulau Jawa mengalami perubahan, sejumlah kebijakan baru diperkenalkan dan diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pertama-tama adalah bahwa tanah yang tidak digarap adalah tanah milik pemerintah kolonial. Penduduk pedesaan atau para petani diperkenalkan dengan tanaman yang memiliki nilai ekspor yang pola penanamannya ada yang sama dan ada yang beda dalam proses penggarapannya. Tanaman wajib itu adalah tebu, kopi dan nila.
Permintaan pasar telah meluas tidak hanya beras dan rempah-rempah sebagaimana yang terjadi pada masa sebelumnya. Walau bentuk penyerahan pajak masih diperhitungkan dalam bentuk in natura (hasil penanaman), namun Pemerintah kolonial Belanda juga memperkenalkan penggunaan uang sebagai alat tukar dan alat untuk pembayaran. Para bupati dan jajaran di bawahnya menjadi penentu pelaksanaan sistem tanam paksa dengan memberikan jaminan pengerahan tenaga kerja dan hasil dari penanaman komoditi yang telah ditentukan. Sistem ini dijalankan dengan penerapan pemberian insntif dan pengenaan sanksi atau hukuman.
Di dalam pelaksanaannya, penanaman tanaman dagangan itu menunjukkan perluasan lahan usaha penanaman dan penyerahan hasil penanaman di seluruh Pulau Jawa. Pemberian insentif itu berupa presentase penanaman (cultuurprocenten) dalam bentuk uang, yang dinikmati juga oleh para penanam yang memperluas dan meningkatkan hasil penanaman. Namun, apabila para petani menolak untuk bekerja akan dikenakan lebih sering hukuman badan.
Dalam bidang politik dan pemerintahan, daerah di Pulau Jawa diterapkan reorganisasi dalam suatu struktur birokrasi. Jajaran tertinggi di tanah jajahan adalah seorang Gubernur Jenderal yang dibantu oleh Dewan Hindia (Raad van indie) sebagai penasehat beserta departemen-departemennya. Selanjutnya, wilayah jajahan dibagi atas pembagian wilayah provinsi dan residen-residen. Para residen pada proses pelaksanaan pemerintahan dibantu oleh para asisten residen, membawahi seorang kontroleur (kontrolir) yang menjadi ujung tombak pelaksanaan sistem tanam paksa. Di bawah kedudukan bupati adalah wedana dan camat yang juga membawahi kepala desa.
Pola pemerintahan semacam ini juga diterapkan di luar Pulau Jawa walau terjadi sedikit penyesuaian. Secara wilayah dan kedudukan, para penguasa pribumi ini mengalami kemunduran karena menjadi perpanjangan tangan pemerintah kolonial. Namun, secara kekuasaan mereka menjadi semakin kuat karena didukung oleh kekuatan militer kolonial. Dalam pemadaman berbagai pergolakan yang terjadi di pedesaan, pasukan pemerintah kolonial sering kali diturunkan untuk membantu para bupati. Sasaran ketidakpuasan masyarakat pedesaan lebih banyak tertuju pada kebijakan pemerintah kolonial.
Dapat dikatakan, bahwa sistem tanam paksa telah berhasil dalam memulihkan kembali keuangan pemerintah dan menghidupkan kembali perekonomian negara induk (negara Belanda). Aktivitas pelayaran dan perdagangan Belanda kembali mengambil peran dalam lalu lintas pemasok komoditas untuk pasar internasional di Eropa yang dijalankan oleh sebuah perusahaan dagang Nederlandsche Handelmaatschapij (NHM). Selain sebagai perusahaan dagang, NHM juga berfungsi sebagai badan perbankan yang melayani kebutuhan keuangan pemerintah dan menyediakan modal untuk perusahaan perkebunan.
Aktivitas perekonomian kolonial semakin meningkat dengan pembukaan sejumlah perusahaan dan industri. Pengelolaan penanaman tebu untuk menghasilkan gula memanfaatkan mesin-mesin penggilingan yang juga berlaku untuk beberapa tanaman lainnya. Keberadaan pabrik-pabrik itu lambat laun juga menimbulkan usaha perbengkelan. Selain itu, pemasokan hasil tanaman untuk diekspor juga mendorong perbaikan dan pembangunan sarana perhubungan seperti jalan raya, kereta api, pelabuhan dan alat angkutan.
Penerapan Sistem Politik-Ekonomi Liberal
Memasuki pertengahan abad ke-19, penerapan sistem tanam paksa mulai memperlihatkan penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan-ketentuan awal. Dalam upaya mengejar keuntungan dari presentase penanaman, para pelaksana penanaman sering melakukan pemaksaan kepada petani. Di perkebunan tebu, penanaman dilakukan bergiliran dengan penanaman padi karena tebu dibudidayakan dengan pola persawahan. Penanaman kopi dilakukan di daerah dataran tinggi yang sering jauh dari pedesaan sehingga tidak jarang para pekerja perkebunan ini harus tinggal selama beberapa waktu dan tidak dapat kembali ke desanya.
Pola-pola seperti itu sering mengganggu penyediaan penanaman tanaman pangan penduduk pedesaan. Oleh karena itu, tingkat kesejahteraan petani di beberapa tempat penanaman tanaman dagangan memperlihatkan penurunan. Keadaan inilah yang dijadikan sebagai alat bagi para penentang kebijakan sistem tanam paksa di negeri Belanda. Selain itu, kemunculan pemikiran humanisme mulai masuk ke negeri Belanda dan mulai memberikan pengaruh terhadap masyarakat dan kebudayaan Eropa. Gagasan humanitarian yang membela harkat manusia secara universal menjadi alasan lain untuk mengkritik kebijakan tanam paksa.
Kritik terhadap kebijakan tanam paksa yang dilancarkan oleh para pengusaha-pengusaha di negeri Belanda menghendaki adanya liberalisasi perekonomian di negeri jajahan, termasuk di Hindia-Belanda (Indonesia). Para pengusaha ini berharap akan adanya keuntungan dan potensi usaha yang diperlihatkan oleh Pulau Jawa selama masa sistem tanam paksa. Sebagai akibatnya, sejak tahun 1870 penerapan sistem tanam paksa secara berangsur mulai dihapuskan.
Sebagai ganti dari penerapan sistem tanam paksa, maka diberlakukan sistem ekonomi liberal yang didukung oleh keluarnya Undang-Undang Agraria tahun 1870 yang mengatur kepemilikan tanah negara (domein verklaring) yang memberikan peluan untuk masuknya modal swasta ke negeri jajahan. Di sejumlah tempat, penerapan domein verklaring itu mendapatkan protes dan perlawanan. Dampak yang nyata dari penerapan domein verklaring ini berlangsung di daerah-daerah luar Pulau Jawa, seperti di Sumatra Timur dengan pembukaan perkebunan karet dan tembakau.
Setelah sistem tanam paksa dihapuskan, perekonomian negara jajahan mulai mengenal modal-modal swasta, baik yang berasal dari negeri Belanda maupun dari negeri-negeri lainnya seperti Inggris, Amerika dan Cina. Modal-modal itu lebih banyak ditanamkan di sektor perkebunan. Sektor pertambangan kemudian memperoleh perhatian setelah masalah energi mulai menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sejak pertengahan abad ke-19. Penemuan listrik yang menggantikan mesin uap sebagai sumber tenaga penggerak. Sehingga batu bara dan minyak bumi mulai diusahakan sebagai sumber energi untuk melayani kebutuhan industrialisasi yang semakin intens pada akhir abad ke-19.
Selain pertambangan sumber energi, kandungan mineral dan logam memperoleh perhatian bagi kalangan pemilik modal untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi. Emas, timah, dan bauksit adalah bahan tambang metalurgi yang banyak menciptakan permintaan pasar dunia. Teknologi menjadi unsur yang tidak dapat dikesampingkan dalam dunia usaha dan perekonomian kapitalis. Perkembangan teknologi mengubah jaringan perhubungan dan komunikasi. Penemuan kapal uap menggantikan kapal layar dan pembukaan Terusan Suez pada akhir tahun 1869 memberikan jalur pelayaran yang lebih singkat. Kemajuan-kemajuan itu telah memudahkan komunikasi antara Benua Eropa dan Benua Asia. Untuk Hindia-Belanda perkembangan itu menjadi penunjang daya tarik penanaman modal asing.
Seiringan dengan berbagai perkembangan di atas, perluasan jaringan kekuasaan jajahan semakin meningkat di Hindia-Belanda. Pada akhir abad ke-19 negara kolonial Hindia-Belanda hampir berhasil menaklukan seluruh kerajaan-kerajaan tradisional di Kepulauan Indonesia. Sedangkan di daerah Papua Barat, politik Hindia-Belanda masih dalam bentuk eksplorasi dan penjelajahan awal kolonialisme. Dengan pasifikasi itu, jaringan dan hubungan antar tempat di Kepulauan Indonesia makin terbuka dan semakin intensif.
Selain itu, jaringan perdagangan internasional tetap berkembang di tengah-tengah persaingan imperialisme modern yang memunculkan bangsa-bangsa penjajah baru, seperti Amerika Serikat, Jerman dan Jepang. Perkembangan internasional semakin memperlihatkan peran dan pengaruh yang besar dalam dinamika kehidupan suatu bangsa. Perekonomian dunia mulai mengenal suatu bentuk monopoli dan persaingan baru yang lebih rumit melalui sistem kapitalisme yang selalu mencari daerah eksploitasi dan pasar bebas untuk dikuasai.
Dengan demikian, maka telah diketahui perkembangan politik kolonial Belanda abad ke-19 di Indonesia. Politik kolonial Belanda abad ke-19 di Indonesia ini selanjutnya memberikan dampak dan perubahan pula bagi kondisi sosial-ekonomi masyarakat kolonial di Indonesia abad ke-19.
Daftar Bacaan
- Kartodirjo, Sartono. 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru II: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia IV: Zaman Penjajahan Di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
- Ricklefs, M. C. 2009. Sejarah Indonesia Modern 1200- 2004. Jakarta: Serambi.