Prabu Langlangbumi atau Prabu Langlangbuana adalah putera dari Prabu Dharmaraja yang mulai naik takhta sebagai raja Kerajaan Sunda pada tahun 1065 M. Di dalam naskah Carita Parahiyangan, Prabu Langlangbumi berkuasa sekitar 90-92 tahun. Prabu langlangbumi menikah dengan Dewi Puspawati, putri dari Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya, saudara ayahnya (salah seorang anak dari Sri Jayabupati namun beda ibu). Dari pernikahannya dengan Dewi Puspawati, Prabu Langlangbumi mempunyai beberapa orang anak, diataranya:
- Rakeyan Jayagiri atau Prabu Menak luhur, yang kemudian menggantikannya sebagai raja di tanah sunda; dan
- Sang cakranagara yang kemudian menjadi Mangkubumi (patih).
Salah seorang putri dari Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya yang lain, yakni Dewi Citrawati sebenarnya juga berkeinginan agar diperistri oleh Prabu Langlangbumi, oleh karena itu ada keinginan Dewi Citrawati untuk membunuh kakaknya, Dewi Puspawati. Namun, Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya yang mengetahui perselisihan itu segera mengambil tindakan dengan menikahkan Dewi Citrawati dengan penguasa Kerajaan Galunggung, Resiguru Sudakarenawisesa.
Prabu Langlangbumi (Langlangbuana)
Setelah menikah, Resiguru Sudakarenawisesa meninggalkan takhtanya sebagai raja Kerajaan Galunggung dan memberikannya kepada Dewi Citrawati. Resiguru Sudakarenawisesa memilih untuk meninggalkan istana dan melanjutkan kehidupannya untuk memperdalam agama. Dengan demikian, maka yang menjadi raja di Kerajaan Galunggung adalah Dewi Citrawati. Setelah menjadi raja di Kerajaan Galunggung, Dewi Citrawati bergelar Batari Hiyang Janapati (Batari Hyang Janapati).
Berselang tidak begitu lama Dewi Citrawati menjadi penguasa di Kerajaan Galunggung timbul perselisihan antara Prabu Langlangbumi yang berkuasa di Kerajaan Sunda dengan Dewi Citrawati yang berkuasa atas Kerajaan Galunggung. Pertentangan antara keduanya disebabkan oleh timbulnya ancaman yang dilakukan oleh kawanan perampok di daerah sekitar pedesaan Galuh, Sunda dan Galunggung.
Ketidaktentraman yang terjadi disekitar wilayah Galuh, Sunda dan Galunggung menimbulkan ketegangan hubungan antara Prabu Langlangbumi dengan Dewi Citrawati. Di satu sisi, Selama memegang kekuasaan di Galunggung, Sang Ratu Batari Hiyang merasa cemas, akan kemungkinan serangan dari Kerajaan Sunda, karena dendam dirinya kepada Prabu Langlangbumi yang tidak menjadikannya sebagai istri.
Sebagai upaya untuk mengatasi kekhawatiran akan ancaman dari Kerajaan Sunda, Ratu Batari Hiyang, mulai mempersiapkan angkatan perang Kerajaan Galunggung, membangun parit pertahanan yang kuat. Kemudian, Galunggung, dijadikan sebagal ibukota Kerajaan Galuh. Selesai membangun ibukota yang baru, Sang Ratu Batari Hiyang membuat prasasti, yang kemudian dikenal sebagai Prasasti Geger Hanjuang.
Prasasti Geger Hanjuang adalah prasasti yang dikeluarkan oleh Ratu Batari Hiyang pada tahun 1111 M. Isi prasasti Geger Hanjuang adalah:
tra ba I gune apuy na, sta gomati sakakala rumatak, disusuk ku batari hyang pun
Arti dari prasasti Geger Hanjuang adalah:
Pada tahun 1033 Saka ibukota Ruma(n)tak diperkuat pertahanannya oleh Batari Hyang.
Sebenarnya, dari pihak Prabu Langlangbumi tidak pernah berniat untuk melakukan penyerangan terhadap Kerajaan Galunggung. Namun, apabila persoalan ini tidak segera diatasi, maka akan menyebabkan konflik yang besar dikemudian hari. Selain itu, Prabu Langlangbumi juga tidak menghendaki adanya perpecahan diantara keturunan Sri Jayabhupati.

Untuk mengatasi permasalahan dengan Dewi Citrawati, Prabu Langlangbumi kemudian meminta bantuan Batara Hiyang Purnawijaya, ayah dari Dewi Citrawati (Batari Hiyang), dan pamannya yang menjadi panglima Kerajaan Galunggung yang bernama Suryanagara supaya menempuh jalan damai. Pertemuan itu dihadiri oleh Batara Guru Hiyang Purnawijaya, Senapati Suryanagara, Resiguru Sudakarena, Dahiyang Guru Darmayasa, Senapati Kusumajaya, Prabu Langlangbumi, Mangkubumi Darmanagara, Senapati Wirayuda, Yuwaraja Menak Luhur, Permaisuri Puspawati, Batari Hiyang Janapati Ratu Galunggung (Dewi Citrawati), dan beberapa raja dari daerah bawahan Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.
Hasil perundingan jalan damai akhirnya membuahkan kesepakatan, dengan membagi wilayah kekuasaan :
- Sebelah barat sebagai wilayah Kerajaan Sunda, di bawah kekuasaan Prabu Langlangbumi.
- Sebelah timur sebagai Kerajaan Galuh, di bawah kekuasaan Ratu Batari Hiyang Janapati, dengan ibukotanya di Galunggung.
Pada tahun 1155 M, Prabu Langlangbumi wafat setelah memerintah Kerajaan Sunda selama lebih kurang 90 tahun. Kedudukannya sebagai raja Kerajaan Sunda digantikan oleh puteranya yang telah diangkat sebagai Yuwaraja, yaitu Prabu Menakluhur.
Daftar Bacaan
- Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa
- Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara Sarga 4 Parwa 2
- Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara Sarga 3 Parwa 2
- Atja & Ekajati, E.S. 1989. Carita Parahiyangan “karya tim pimpinan pangeran wangsakerta”. Bandung: Yayasan Pembangunan Jawa Barat.
- Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah “Panitia Wangsakerta” Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Danasasmita, S. 1983. Sejarah Bogor. Bogor: Paguyuban Pasundan Cabang Kodya Bogor.
- Ekajati, Edi S. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Groeneveldt. W. P. 2009. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Depok: Komunitas Bambu.
- Iskandar, Yoseph.1997. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa).Bandung: Geger Sunten
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Hindu. Jakarta: Balai Pustaka.