Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun – Prasasti Ciaruteun (Ciaruteun Inscription) atau yang biasa disebut juga dengan prasasti Ciampea ditemukan di aliran Sungai Ciaruteun. Sungai Ciaruteun adalah anak sungai dari Sungai Cisadane. Prasasti Ciaruteun adalah salah satu peninggalan Kerajaan Tarumanegara. Prasasti ini diperkirakan ditulis sekitar tahun ± 450 dan dibangun pada masa pemerintahan Raja Purnawarman.
Lokasi Penemuan Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun ditemukan di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Lokasi ini terletak sekitar 19 kilometer sebelah barat laut dari pusat kota Bogor. Tepatnya kira-kira seratus meter dari pertemuan sungai Ciaruteun, Sungai Cianten dan Sungai Cisadane. Pada abad ke-19 tempat penemuan prasasti ini masih termasuk ke dalam tanah swasta Tjampea (Ciampea), namun kini termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Cibungbulang.
Tidak jauh dari letak penemuan prasasti Ciaruteun juga ditemukan prasasti Kebon Kopi I. Pada tahun 1981 prasasti Ciaruteun diangkat dan diletakkan di dalam cungkup. Prasasti ini diidentifikasi sebagai peninggalan raja Purnawarman dengan beraksara Palawa, berbahasa Sanskerta.
Sejarah Penemuan Prasasti Ciaruteun
Pada tahun 1863 pemerintah kolonial Hindia-Belanda menerima laporan temuan sebuah batu besar dengan ukiran aksara purba di daerah dekat Tjampea (Ciampea), tidak jauh dari Buitenzorg (Bogor sekarang). Batu besar itu ditemukan di Kampung Muara tepatnya di aliran Sungai Ciaruteun, salah satu anak Sungai Cisadane. Laporan itu kemudian diteruskan kepada pemimpin Bataviasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Pada tahun 1893 batu prasasti ini terhantam banjir besar yang membuatnya berpindah terseret beberapa meter ke hilir dan bagian batu yang bertuliskan aksara terbalik posisinya ke bawah. Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda segera melakukan pemindahan kembali prasasti itu ke tempatnya semula pada tahun 1903. Untuk mencegah prasasti ini terseret kembali oleh banjir, pada tahun 1981 Direktorat Perlindungandan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengangkat dan memindahkannya ke sebuah bangunan pendopo. Dengan demikian prasasti ini terlindungi dari curah hujan, cuaca serta dari tangan-tangan tidak bertanggung jawab yang berusaha merusak prasasti ini. Replika dari prasasti ini kini tersimpan di tiga museum, yaitu Museum Nasional Indonesia dan Museum Sejarah Jakarta di Jakarta serta di Museum Sri Baduga di Bandung.
Isi Prasasti Ciaruteun

Prasasti Ciaruteun dituliskan dengan huruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta dalam bentuk puisi India dengan irama anustubh terdiri dari 4 baris. Berikut ini adalah isi prasasti Ciaruteun yang dibaca oleh Prof. Poerbatjaraka:
Teks: vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam
Terjemahannya menurut Vogel:
Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara.
Cap telapak kaki menunjukkan akan kekuasaan raja atas daerah tempat ditemukannya prasasti tersebut. Hal ini berarti menegaskan kedudukan Purnawarman yang diibaratkan Dewa Wisnu maka dianggap sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat. Penggunaan cetakan telapak kaki pada masa itu mungkin dimaksudkan sebagai tanda keaslian, mirip dengan tanda tangan zaman sekarang. Hal ini mungkin sebagai tanda kepemilikan atas tanah. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya.
Menurut keterangan yang diberikan oleh Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan Purnawarman terdapat nama Rajamandala (raja daerah) Pasir Muhara. Hal yang cukup menarik dari prasasti Ciaruteun adalah dengan ditemukannya lambang menyerupai “laba-laba” yang terdapat persis di depan jejak kaki Purnawarman. Tentunya hal ini mengundang banyak spekulasi.
Menurut Vogel, tentang lambang laba-laba yang terdapat di dalam prasasti Ciaruteun seperti lambang laba-laba yang terdapat di Kebudayaan India. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh van Hinloopen-Labberton pada tahun 1912. Menurut Labberton, lambang laba-laba melambangkan brahmana atau jiwa semesta dalam Upanishad. Sehingga, dalam hal prasasti Ciaruteun, laba-laba dianggap melambangkan penguasa yang melak¬sanakan tugasnya mengawasi segenap daerah yang masuk ke dalam kekuasaannya. Pertentangan ini mungkin juga telah timbul karena banyak peneliti yang meneliti hal itu mendasarkan komentarnya pada foto-foto prasasti tersebut dan bukan pada peninjauan langsung terhadap batu prasasti itu sendiri.
Menurut Pleyte, lambang yang dianggap “laba-laba” itu bukanlah laba-laba sebagaimana artinya. Di dalam karangannya yang berjudul Uit het Sunda’s Voortijd pada tahun 1906, menurutnya ukiran itu bukanlah lambang laba-laba melainkan bunga teratai (padma). Bahwa ukiran tersebut bukanlah laba-laba sudah jelas dari jumlah kakinya. Memang diketahui umum bahwa jumlah kaki laba-laba (Araneida) adalah delapan. melihat bahwa garis yang merupakan kaki laba-laba sebenarnya berjumlah dua belas pada lambang yang sebelah kiri, dan sepuluh atau dua belas pada lambang yang sebelah kanan. Dari jumlah kaki itu dapat diambil kesimpulan bahwa lambang tersebut bukan laba-laba.
Menurut Vogel, ukiran tersebut bukanlah lambang teratai sama sekali. Bentuknya sangat lain jika dibandingkan dengan lambang teratai yang terkenal dalam kesenian klasik Kebudayaa India, baik bergaya Hindu ataupun Buddha. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa ukiran tersebut berada di daerah Sunda dan bukan di India. Sehingga ada kemungkinan bahwa lambang tersebut telah diadaptasi dan disesuaikan dengan keadaan setempat.
Di dalam prasasti Ciaruteun yang perlu dicatat adalah mengenai Purnawarman yang dianggap sebagai penjelmaan kembali Dewa Wisnu. Di mana Dewa Wisnu dilambangkan oleh sepasang kaki atau paduka. Pada awal Masehi, sebelum pembuatan arca dikenal, para dewa biasanya dilambangkan sebagai paduka. Kebiasaan ini tentu dimanfaatkan oleh para penganut Buddha maupun Hindu. Setiap dewa (laki-laki) atau sakta diikuti oleh sakti (padanan perempuannya).
Mc. Kinnon menyimpulkan bahwa yang disebut sebagai laba-laba bukanlah lambang laba-laba, tetapi bunga teratai yaitu lambang sakti Wisnu, Dewi Sri atau Sri Laksmi; dewi kesuburan terutama sebagai dewi pelindung padi, dewi rezeki dan kemakmuran. Sedangkan benang yang terukir adalah tangkai bunga teratai yang melambangkan pengikat dunia atas dan dunia bagian bawah. Di periode selanjutnya, Dewi Sri telah diberi satu peranan yang amat penting dalam kebudayaan Sunda dan Jawa.
Ukiran-ukiran yang dianggap laba-laba itu masing-masing merupakan padma atau bunga teratai dengan tangkainya. Walaupun lambang bunga teratai tersebut berbeda bentuknya dengan bentuk teratai dalam kesenian klasik India. Namun, ini tidak menjadi persoalan. Sebab, ukiran tersebut terdapat di tanah Sunda dan karena itu telah terpengaruh oleh sikap daripada penduduk setempat. Maka dapatlah disimpulkan bahwa lambang tertai yang terdapat pada prasasti Ciaruteun ini adalah lambang Dewi Sri dan merupakan bentuk ukiran teratai tertua di Indonesia.
Daftar Bacaan
- De Casparis, J.G. 1975. Indonesian Palaeography: A Historv of Writing in Indonesia from the Beginning to c. A.D. 1500. Leiden: E.J. Brill.
- Mc Kinnon, Edwards E. 1996. “Prasasti Ciaruteun: suatu teka-teki, laba-laba atau lambang Sri?” Kalpataru 12:1-6.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Hindu. Jakarta: Balai Pustaka.
- Vogel, J.Ph. 1925. “The Earliest Sanskrit Inscriptions of Java”, Publicaties van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-lndie. Batavia: hlm. 15-35.
- Zahorka, Herwig 2007. The Sunda Kingdoms of West Java, From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.