Prasasti Tugu adalah salah satu prasasti yang menunjukkan eksistensi dari Kerajaan Tarumanagara. Prasasti Tugu menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya. Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi apabila musim kemarau tiba.
Lokasi Penemuan Prasasti Tugu
Lokasi asal Prasasti Tugu ketika ditemukan berada di Kampung Batutumbuh, Desa Tugu, di sekitar Simpang Lima Semper sekarang, tidak jauh dari tepian Kali Cakung. Kini wilayah itu menjadi wilayah kelurahan Tugu Selatan, kecamatan Koja, Jakarta Utara. Saat ini Prasasti Tugu tersimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta.
Sejarah Penemuan Prasasti Tugu
Prasasti Tugu dicatat pertama kali dalam laporan Notulen Bataviaasch Genootschap tahun 1879. Kemudian pada tahun 1911 atas prakarsa P.de Roo de la Faille prasasti ini dipindahkan ke Museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (sekarang Museum Nasional). Prasasti Tugu berbahan dasar batu berbentuk bulat telur berukuran ± 1 meter dan bertuliskan aksara pallawa.
Isi Prasasti Tugu

Berikut ini adalah isi dari prasasti Tugu:
Teks:
pura rajadhirajena guruna pinabahuna khata khyatam purim prapya candrabhagarnnavam yayau//
pravarddhamane dvavingsad vatsare sri gunau jasa narendradhvajabhutena srimata purnavarmmana//
prarabhya phalguna mase khata krsnastami tithau caitra sukla trayodasyam dinais siddhaikavingsakaih
ayata satsahasrena dhanusamsasatena ca dvavingsena nadi ramya gomati nirmalodaka//
pitamahasya rajarser vvidaryya sibiravanim brahmanair ggo sahasrena prayati krtadaksina//
Terjemahan:
“Dahulu sungai yang bernama Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan yang memilki lengan kencang serta kuat yakni Purnnawarmman, untuk mengalirkannya ke laut, setelah kali (saluran sungai) ini sampai di istana kerajaan yang termashur. Pada tahun ke-22 dari tahta Yang Mulia Raja Purnawarman yang berkilau-kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja-raja, (maka sekarang) dia pun menitahkan pula menggali kali (saluran sungai) yang permai dan berair jernih Gomati namanya, setelah kali (saluran sungai) tersebut mengalir melintas di tengah-tegah tanah kediaman Yang Mulia Sang Pendeta Nenekda (Raja Purnnawarmman).
Pekerjaan ini dimulai pada hari baik, tanggal 8 paro-gelap bulan dan disudahi pada hari tanggal ke 13 paro terang bulan Caitra, jadi hanya berlangsung 21 hari lamanya, sedangkan saluran galian tersebut panjangnya 6122 busur. Selamatan baginya dilakukan oleh para Brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dihadiahkan”.
Prasasti Tugu dipahat sehubungan dengan selesainya pembangunan Sungai Candrabaga dan Gomati, kedua sungai yang terkenal di Punjab, India. Prasasti ini menerangkan penggalian Sungai Candrabaga (Chandrabhaga) oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati sepanjang 6112 tombak atau 12 km oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya. Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau. Prasasti ini bertuliskan aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa Sanskerta dengan metrum Anustubh yang terdiri dari lima baris melingkari mengikuti bentuk permukaan batu. Sebagaimana semua prasasti-prasasti dari masa Tarumanagara umumnya.
Pembangunan sungai itu berlangsung selama 21 hari dengan panjang sungai yang berhasil digali yakni 12 km. Setelah berhasil menyelesaikan proyeknya, Purnawarman memberikan sedekah kepada para Brahmana sebanyak 1000 ekor sapi sebagai tanda rasa syukur atas keberhasilannya.
Hal unik dari prasasti Tugu yang pertama adalah dengan penyebutan nama Chandrabaga yang menurut Prof. Poerbatjaraka nama tersebut adalah nama Sungai di India yang namanya digunakan untuk memberikan nama sungai di Pulau Jawa. Melalui etimologi, Prof. Poerbatjaraka berkesimpulan bahwa nama itu sekarang dikenal dengan nama Bekasi dan merupakan pusat dari Kerajaan Tarumanegara. Selain itu, menyebutkan terdapat dua buah nama selain Purnawarman (yaitu Rajadirajaguru), sehingga setidaknya nama tersebut dapat dipergunakan untuk menentukan asal-usul dari Purnawarman.
Prasasti Tugu merupakan satu-satunya prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara yang mencantumkan pertanggalan, meskipun tidak memuat angka tahun yang pasti. prasasti ini hanya menyebutkan phalguna dan caitra yang bertepatan dengan bulan-bulan Februari-April. Pembuatan sungai atau terusan ini diperkirakan berkaitan dengan upaya pengendalian banjir mengingat bulan-bulan tersebut Jawa bagian barat mendapatkan curah hujan yang sangat tinggi.
Kronologi tahun pembuatan prasasti Tugu didasarkan pada analisis gaya dan bentuk aksara (analisis palaeografis). Berdasarkan analisis tersebut diketahui bahwa prasasti ini berasal dari pertengahan abad ke-5 M. Namun, apabila berkaca pada naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa, Purnawarman sendiri mulai berkuasa sekitar tahun 395 yang itu berarti tahun ke-22 masa pemerintahannya jatuh pada tahun 417. Khusus untuk prasasti Tugu dan prasasti Cidanghiyang memiliki kemiripan aksara, sehingga sangat mungkin sang pemahat tulisan (citralaikha > citralekha) kedua prasasti ini adalah orang yang sama. Dibandingkan prasasti-prasasti dari masa Kerajaan Tarumanagara lainnya, Prasasti ini merupakan prasasti yang terpanjang yang dikeluarkan oleh Sri Maharaja Purnawarman.
Prasasti Tugu memiliki keunikan yakni terdapat pahatan hiasan tongkat yang pada ujungnya dilengkapi semacam trisula. Gambar tongkat tersebut dipahatkan tegak memanjang ke bawah seakan berfungsi sebagai batas pemisah antara awal dan akhir kalimat-kalimat pada prasastinya.
Daftar Bacaan
- Damais, L.Ch. 1955. “Les Ecritures d’Origine Indienne en Indonesie et dans le Sud-Est Asiatique Continental’ BSEI XXX. 40: 365-382.
- Kern, H. 1910. “Een woord in ‘Sanskrit opschrift van Toegoe verbeterd” TBG. LII:123
- Krom, N.J. 1931. Hindoe-Javaansche Geschiedenis. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhof.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Hindu. Jakarta: Balai Pustaka.
- Vogel, J.Ph. 1914-1915. “The Earliest Sanskrit Inscriptions of Java” ROD. 1914, 1915:28-35; plate 27