Proses Islamisasi di Indonesia
Proses Islamisasi di Indonesia – Pendapat-pendapat tentang proses dan saluran Islamisasi yang berkaitan dengan golongan pembawa dan penerima Islam masih banyak terdapat perbedaan. Proses Islamisasi di Indonesia dijelaskan oleh beberapa pendapat yang memiliki bukti-bukti dan alasannya masing-masing. Di dalam artikel ini akan dijelaskan secara singkat mengenai Proses Islamisasi di Indonesia.
Teori Kedatangan Islam di Indonesia
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang kedatangan Islam di Indonesia. Sejarah kedatangan Islam di Indonesia sendiri memiliki sejarah yang cukup panjang. Salah satu di antaranya berkaitan dengan interaksi ajaran agama Islam dengan masyarakat di Nusantara yang kemudian memeluk ajaran agama Islam. Ajaran agama Islam disebarkan di Indonesia melewati jaringan perdagangan. Melalui jaringan perdagangan ini, ajaran agama Islam dapat dibawa masuk sampai ke lingkungan istana. Interaksi budaya Islam dengan budaya yang telah ada sebelumnya telah memunculkan sebuah jaringan keilmuan, akulturasi budaya dan perkembangan kebudayaan Islam.
Teori-Teori Islamisasi
Terdapat berbagai pendapat mengenai proses masuknya Islam ke Kepulauan Indonesia, terutama perihal waktu dan tempat asalnya. Di bawah ini adalah beberapa teori kedatangan Islam di Indonesia:
Teori Gujarat
J. Pijnapel, C. Snouck Hurgronye, dan J.P. Moquetta serta sarjana-sarjana Barat (kebanyakan berasal dari Negeri Belanda) mengatakan bahwa agama Islam masuk ke Kepulauan Indonesia berasal dari Gujarat sekitar abad ke-13 M atau abad ke-7 H, sehingga pendapat ini sering dikenal dengan Teori Gujarat. Pendapat dari Teori Gujarat ini mengasumsikan bahwa Gujarat terletak di India bagian barat, berdekatan dengan Laut Arab. Letaknya sangat strategis, berada di jalur perdagangan antara timur dan barat. Pedagang Arab yang bermahzab Syafi’i telah bermukim di Gujarat dan Malabar sejak awal tahun Hijriyah (abad ke-7 M). Orang yang menyebarkan Islam ke Indonesia bukanlah dari orang Arab langsung, melainkan para pedagang Gujarat yang telah memeluk agama Islam dan berdagang ke dunia Timur.
Pendapat Teori Gujarat ini didasarkan pada batu nisan Sultan Malik Al-Saleh, pendiri Kerajaan Samudra Pasai yang wafat pada 17 Dzulhijjah 831 H atau 1297 M di Pasai, Aceh. Selain batu nisan Sultan Malik Al-Saleh di Pasai, pendapat ini juga didasarkan pada makam Maulana Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur. Kedua batu nisan ini memiliki bentuk dan corak yang sama dengan batu nisan yang ditemukan di daerah Kambay, Gujarat. Sehingga muncullah kesimpulan bahwa batu nisan tersebut diimpor dari Gujarat, atau setidaknya dibuat oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah belajar kaligrafi khas Gujarat.
Teori Persia
Teori Persia didasarkan pada pendapat yang dilontarkan oleh Hoesein Djajadiningrat. Hoesein Djajadiningrat mengatakan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Persia (Iran saat ini). Pendapat dari Teori Persia ini didasarkan adanya kemiripan budaya dan tradisi yang berkembang antara masyarakat Parsi dan Indonesia. Tradisi tersebut antara lain ditunjukkan dengan adanya tradisi merayakan 10 Muharram atau Asyuro sebagai hari suci kaum Syiah atas kematian Husein bin Ali, seperti yang berkembang dalam tradisi tabot (tabuik) di Pariaman di Sumatra Barat dan Bengkulu.
Teori Arab atau Teori Mekkah
Teori Mekkah dikemukakan oleh Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) dan Anthony H. Johns yang menyatakan bahwa Islam berasal dari tanah kelahirannya, yaitu Arab atau Mesir. Proses Islamisasi di Indonesia ini berlangsung pada abad pertama Hijriah atau sekitar abad ke-7 M. Pendapat Teori Mekkah ini menyatakan bahwa proses Islamisasi dilakukan oleh para musafir (kaum pengembara) yang datang ke Kepulauan Indonesia. Kaum ini biasanya mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya dengan motivasi hanya untuk melakukan penyebaran dan pengembangan agama Islam.
Saluran-Saluran Islamisasi
Sebagian ahli menyatakan bahwa tentang negeri asal serta golongan-golongan masyarakat muslim yang memperkenalkan Islam kepada orang-orang di Kepulauan Nusantara seperti yang dikatakan di dalam berita Cina pada abad ke-7 adalah orang-orang Arab yang datang ke Kepulauan Nusantara dalam tujuan berdagang. Sedangkan pendapat C. Snouck Hurgronje, menyatakan bahwa Islam disebarkan di Kepulauan Nusantara oleh orang-orang Gujarat pada abad ke-13. Pendapat Snouck tentang persebaran Islam di Kepulauan Nusantara terjadi di abad ke-13 didasarkan kepada unsur-unsur Islam di Kepulauan Nusantara yang menunjukkan persamaannya dengan di India.
Di mana pernyataan itu bersesuaian dengan beberapa kebiasaan muslim di Kepulauan Nusantara menunjukkan kebiasaan-kebiasaan yang sama dengan Syi’ah di pantai Malabar dan Koromandel, dan mereka penganut Sunnah Ortodoks yang dalam hukum tergolong mahzab Syafi’i. Pendapat itu juga diperkuat oleh hasil penelitian J.P. Moquette mengenai nisan kubur dari Samudra Pasai yang berangka tahun 1297 yang memuat nama Sultan Malik as-Saleh.
Dengan ditemukannya nisan itu, pembuatan nisan sultan Malik as-Saleh dari Pasai diperkirakan dibuat di Cambay-Gujarat. Pada umumnya, pendapat mengenai persebaran Islam di Kepulauan Nusantara yang menjadi pendorong utama adalah faktor perekonomian. Para penerima Islam di Kepulauan Nusantara terdiri dari raja-raja, bangsawan-bangsawan dan penguasa-penguasa yang memegang peran dalam menentukan kebijakan perdagangan dan pelayaran. Mereka bukan hanya penguasa di bidang perdagangan dan pelayaran, melainkan juga pemilik saham bahkan pemilik kapal-kapal dagang.
Perdagangan hasil-hasil pertanian yang sangat penting pada masa itu seperti rempah-rempah, beras, dan lain-lainya yang sangat menguntungkan, biasanya menjadi hak monopoli negara, di mana raja dan bangsawan berkuasa menentukan harga dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal itu. Para pedagang yang berasal dari golongan bawah bercampur dengan para pedagang muslim dan lambat laun menerima Islam. Penerimaan Islam melalui raja-raja atau bangsawan memungkinkan Islamisasi lebih cepat daripada melalui golongan bawah, masyarakat Kepulauan Nusantara menganggap rajanya dan golongan bangsawan karismatis.
Pada taraf permulaan, di antara saluran islamisasi yang pernah berkembang di Kepulauan Nusantara adalah perdagangan. Hal itu sejalan dengan kesibukan lalu lintas perdagangan abad ke-7 hingga abad ke-16. Pada saat itu para pedagang muslim (Arab, Persia, India) turut serta ambil bagian dalam perdagangan dengan pedagang-pedagang dari negeri-negeri bagian barat, tenggara, dan timur benua Asia.
Penggunaan perdagangan sebagai saluran islamisasi sangat menguntungkan karena bagi kaum muslim tidak ada pemisahan antara kegiatan berdagang dan kewajiban menyampaikan ajaran Islam kepada pihak-pihak lain. Kecuali itu, pola perdagangan pada abad-abad sebelum dan ketika Islam datang sangat menguntungkan, karena golongan raja dan bangsawan umumnya turut serta dalam kegiatan perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham.
Islamisasi melalui saluran perdagangan dipercepat oleh situasi dan kondisi politik bebrapa kerajaan di mana adipati-adipati pesisir berusaha melepaskan diri dari kekuasaan pusat kerajaan yang sedang mengalami kekacauan dan perpecahan. Mengenai islamisasi di pesisir utara Jawa, Tome Pires memberikan keterangan;
…kini saya ingin mulai menceritakan pate-pate muslim yang berada di pesisir, yang berkuasa di Jawa dan mempunyai semua perdagangan karena mereka adalah penguasa-penguasa jung-jung dan rakyat. Ketika di sana di sepanjang pesisir Jawa masih belum muslim ‘caffe’, maka banyak pedagang berdatangan, orang-orang Persia, Arab, Gujarat, Bengali, Malaya, dan jenis kebangsaan lainnya, yang diantaraya banyak muslim.
Tome Pires
Mereka mulai berdagang di dalam begeri itu dan menjadi kaya-kaya. Mereka berhasil dalam mendirikan masjid-masjid, dan para maulana datang dari luar sehingga jumlahnya menjadi banyak dan karena anak-anak muslim itu menjadi orang Jawa, dan kaya-kaya, karena mereka di daerah-daerah ini lebih kurang sudah 70 tahun.
Dalam beberapa tempat penguasa-penguasa Jawa yang belum Islam dengan sendirinya menganut Islam, dan maulana-maulana dan pedagang muslim ini mengambil kedudukan di tempat-tempat ini yang lain-lainnya dengan suatu cara memberi perbentengan. Mereka itu mengambil rakyat untuk diri mereka sendiri yang turut serta dalam jung-jungnya dan mereka membunuh penguasa-penguasa Jawa dan menjadikan dirinya sebagai penguasa-penguasa pesisir dan mengambil alih perdagangan dan kekuasaan Jawa, di tempat-tempat tinggalnya.
Meskipun demikian, secara umum islamisasi yang dilakukan oleh para pedagang melalui perdagangan diperkirakan adalah dengan langkah-langkah; mereka mula-mula berdatangan di pusat-pusat perdagangan dan diantaranya kemudian ada yang tinggal, baik untuk sementara waktu maupun menetap. Dari aktivitas itu kemudian lambat laun menciptakan sebuah perkampungan, yang disebut pekojan.
Di antara golongan pedagang tersebut tentu ada yang kaya dan pandai, bahkan seringkali ada pula yang menjadi syahbandar pelabuhan dari sebuah kerajaan. Dari sudut ekonomi jelas mereka memiliki status sosial yang lumayan sehingga orang-orang pribumi terutama anak-anak bangsawan, tertarik untuk menjadi istri saudagar-saudagar itu. Bagi pedagang-pedagang asing yang datang ke negeri-negeri lain biasanya tidak membawa istri, karena itu mereka cenderung membentuk keluarga di tempat yang mereka datangi.
Untuk memperoleh seorang perempuan penduduk pribumi di sekitar perkampungannya, mereka tidak mengalami kesukaran. Akan tetapi, perkawinan dengan penduduk yang masih menganut kepercayaan lama mereka anggap kurang sah. Oleh karena itu, perempuan-perempuan yang mereka inginkan diislamkan terlebih dahulu. Hal itu berjalan dengan mudah karena tanpa pentasbihan atau upacara-upacara panjang lebar dan mendalam, sehingga penganut yang bukan Islam yang melakukan cara tersebut merasa lebih mudah untuk menganut ajaran Islam. Lingkungan pedagang-pedagang asing muslim kemudian bertambah luas sehingga lambat laun muncul kampung-kampung, daerah-daerah, dan puncaknya dengan berdiri kerajaan Islam.
Saluran Islamisasi melalui perkawinan itu lebih menguntungkan lagi apabila terjadi antara saudagar, ulama, atau golongal lain, dengan anak bangsawan atau anak raja dan adipati. Lebih menguntungkan karena status sosial-ekonomi, terutama politik raja-raja, adipati-adipati, bangsawan-bangsawan pada waktu itu turut mempercepat terjadinya islamisasi.
Selain melalui perdagangan dan perkawinan, tasawuf juga merupakan salah satu saluran penting islamisasi. Tasawuf termasuk kategori yang berfungsi dan membentuk kehidupan sosial masyarakat yang meninggalkan bukti-bukti jelas pada tulisan-tulisan antara abad ke-13 hingga abad ke-18. Hal itu berkaitan dengan penyebaran Islam di Kepulauan Nusantara, memegang peran suatu bagian yang penting dalam organisasi masyarakat kota-kota pelabuhan. Sifat spesifik tasawuf dalam menyajikan ajarannya kepada orang-orang di Kepulauan Nusantara yaitu;
…mereka adalah guru-guru pengembara yang menjelajahi seluruh dunia yang dikenal, mereka dengan sukarela menghayati kemiskinan, mereka sering kali juga berhubungan dengan perdagangan atau serikat tukang kerajinan menurut tarekat mereka masing-masing; mereka mengajarkan teosofi yang telah bercampur, yang dikenal luas oleh bangsa Indonesia tetapi yang sudah menjadi keyakinannya, meskipun suatu peluasan fundamental kepercayaan Islam. Mereka mahir dalam soal-soal magis dan mempunyai kekuatan-kekuatan menyembuhkan.
Tidak berakhir disitu saja, dengan sadar atau tidak mereka bersiap untuk menjaga kelanjutan dengan masa lampau dan menggunakan istilah-istilah dan anasir-anasir budaya pra-Islam dalam hubungan Islam. Guru-guru tasawuf ini dengan kebajikan kekuasaannya dan kekuatan magisnya dapat mengawini putri-putri bangsawan Indonesia dan dengan demikian anak-anak mreka mendapat pengaruh keturunan darah raja, tambahan untuk mendewakan sinar karisma keagamaan.”
Bentuk Islam yang diprkenalkan kepada bangsa Indonesia menunjukkan persamaan dengan alam pikiran orang-orang Jawa-Hindu. Persamaan tersebut bukan hanya pada alam pikiran umumnya, melainkan juga pada gambaran ciri-ciri yang dianggap mutlak. Kecuali melalui tasawuf, islamisasi juga dilakukan melalui pendidik, bak di dalam pesantren maupun di dalam pondok yang diselenggarakan oleh guru agama, kiai-kiai, atau ulama-ulama. Pesantren atau pondok merupakan lembaga penting di dalam penyebaran Islam.
Di dalam pesantren, mereka dibina menyoal keagamaan Islam. Setelah mereka keluar dari pesantren, mereka kembali ke kampung-kampung asalnya untuk kemudian kembali mendirikan pesantren. Dengan demikian, maka pesantren beserta kiai-kiai berperan penting di dalam proses pendidikan masyarakat. Semakin terkenal seorang kiai, semakin terkenal pula pesantrennya dan pengaruhnya akan mencapai radius yang lebih jauh lagi.
Pada masa pertumbuhan Islam di Jawa, terdapat Sunan Ampel atau Raden Rahmat yang mendirikan pesantren di Ampel Denta, Surabaya. Raja-raja beserta keluarganya, kaum bagsawan, biasanya juga mendatangkan kiai-kiai, ulama-ulama sebagai guru atau penasihat agama. Dengan adanya hal ini, maka kiai-kiai tersebut dapat memberikan pengaruh di bidang politik kepada raja-raja.
Saluran islamisasi lain dapat pula melalui cabang-cabang kesenian seperti seni bangunan, seni pahat atau ukir, seni tari, seni musik, dan seni sastra. Hasil-hasil seni bangunan pada zaman pertumbuhan dan pembangunan Islam di Indonesia, antara lain masjid-masjid kuno Demak, Sendang Duwur Agung Kasepuhan di Cirbon, Masjid Agung Banten, dan lain-lain.
Di Indonesia , masjid-masjid kuno menunjukkan keistimewaan dalam denahnya yang berbentuk prsegi empat atau bujur sangkar dengan bagian kaki yang tinggi serta pejal, atapnya bertumpang dua, tiga, lima, atau lebih, dikelilingi parit atau kolam air pada bagian depan atau sampingnya dan berserambi. Bagian-bagian lain seperti mihrab dengan lengkung pola Kalamakara, mimbar yang mengingatkan ukiran-ukiran pola teratai, mastaka atau memolo, jelas menunjukkan pola-pola seni bangunan tradisional yang telah dikenal di Indonesia sebelum kedatangan Islam.
Beberapa masjid kuno lebih mirip dengan seni bangunan candi, menyerupai bangunan meru pada zaman Indonesia-Hindu. Ukir-ukiran seperti mimbar, hiasan lengkung polakalamakara, mihrab, bentuk beberapa mastaka atau memolo menunjukkan hubungan yang erat dengan perlambang merit, kekayon gunungan atau gunung kedewaan yang dikenal di dalam agama Hindu. Beberapa ukiran masjid kuno seperti di Mantingan, Sendang Duwur, menunjukkan pola yang diambil dari dunia tumbuh-tumbuhan dan hewan yang diberi corak tertentu dan memiliki kemiripan kepada pola-pola ukiran yang telah dikenal pada candi-candi pada zaman Hindu.
Pada pintu gerbang, baik di keraton-keraton maupun di makam orang-orang yang dianggap keramat yang berbentuk candi-bentar, kori Agung, jelas menunjukkan corak pintu gerbang yang dikenal sebelum Islam. Demikian pula nisan-nisan kubur di daerah Tralaya, Tuban, Madura, Demak, Kudus, Cirebon, dan Banten menunjukkan unsur-unsur seni ukir dan perlambang pra-Islam. Hal ini juga terjadi di daerah Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatra.
Selain melalui seni bangunan dan seni ukir, saluran islamisasi pun juga terdapat di seni tari, musik, sastra dan lain-lain. Dalam upacara-upacara keagamaan seperti Maulid Nabi, sering dipertunjukkan seni tari atau musik tradisional, misalnya gamelan yang disebut sekaten yang terdapat di keraton Cirebon dan Yogyakarta yang dibunyikan pada perayaan Grebeg Maulud.
Berdasarkan babad dan hikayat, di keraton-keraton lama teredapat gamelan, tarian seperti dedewan debus, birahi, bebeksan yang diselenggarakan pada upacara tertentu. Bahkan di antara seni yang terkenal dijadikan alat islamisasi adalah pertunjukan wayang. Menurut cerita, Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Sunan Kalijaga tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia minta agar para penonton mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat.
Kedatangan Islam Di Indonesia
Kedatangan Islam di Indonesia dipengaruhi oleh situasi dan kondisi politik pada masa kedatangan dan perkembangan ajaran agama Islam yang berkaitan dengan maraknya aktivitas perdagangan internasional yang juga melibatkan Kepulauan Nusantara sejak awal tarikh Masehi. Berkembangnya dominasi para pedagang Islam terutama sejak abad ke-13 sampai dengan abad ke-14 Masehi tidak terlepas pula dari perkembangan politik yang terjadi di Kepulauan Nusantara.

Memasuki dasawarsa akhir abad ke-14 mulai tampak kemunduran kekuatan politik yang berhaluan ajaran agama Hindu dan Buddha. Hal ini memungkinkan ajaran agama Islam untuk semakin berkembang dan memulai dominasinya di Kepulauan Nusantara. Perkembangan ajaran agama Islam sendiri tidak selalu memiliki pola yang sama antar-wilayah di Kepulauan Nusantara. Ketidakseragaman itulah yang pada akhirnya menjadikan Islam di Kepulauan Nusantara memiliki corak dan wajahnya sendiri di masing-masing wilayah yang saling memiliki perbedaan ekologi, geografi dan tekno-ekonomis.
Situasi Kondisi Politik
Kondisi Politik di Sumatra
Kedatangan Islam di berbagai daerah Kepulauan Nusantara secara prosesnya tidaklah bersamaan. Kerajaan-kerajaan dan daerah-daerah yang didatangi memiliki situasi politik dan sosial-budaya yang berbeda. Pada waktu Kerajaan Sriwijaya mengembangkan kekuasaannya pada sekitar abad ke-7 hingga abad ke-8, Selat Malaka sudah mulai dilalui oleh para pedagang muslim di dalam pelayarannya ke negeri-negeri di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur.
Berdasarkan keterangan di dalam berita Cina zaman Dinasti T’ang, pada abad-abad ini diduga masyarakat muslim telah ada, baik di Kanton maupun di daerah Sumatra sendiri. Perkembangan pelayaran dan perdagangan yang bersifat internasional antara negeri-negeri di Asia bagian barat dan timur mungkin disebabkan oleh kegiatan kerajaan Islam di bawah pimpinan Bani Umayyah di bagian barat maupun kerajaan Cina di zaman Dinasti T’ang di Asia Timur serta Kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara.
Usaha-usaha Kerajaan Sriwijaya di dalam meluaskan kekuasaannya ke daerah Semenanjung Malaka sampai Kedah dapat dihubungkan dengan bukti-bukti dari Prasasti Ligor (775), berita-berita Cina dan Arab abad ke-8 sampai abad ke-10. Hal itu erat hubungannya dengan usaha penguasaan Selat Malaka yang merupakan kunci bagi pelayaran dan perdagangan internasional.
Kedatangan orang-orang Islam di Asia Tenggara dan Asia Timur pada taraf permulaannya mungkin belum dapat dirasakan akibat-akibatnya bagi kerajaan-kerajaan di negeri-negeri tersebut. Karena usaha-usaha mereka itu baru pada tahapan menjelajahi masalah-masalah di bidang pelayaran dan perdagangan.
Pada abad ke-9 dengan terjadinya pemberontakan petani-petani Cina Selatan terhadap kekuasaan Dinasti T’ang pada masa pemerintahan Kaisar Hi-Tsung (878-889) di mana orang-orang muslim turut serta, dan akibatnya banyak orang-orang muslim dibunuh, dan mereka mencari perlindungan ke Kedah, maka bagi orang-orang muslim berarti telah melakukan kegiatan-kegiatan politik pula. Kegiatan mereka jelas memiliki akibat bagi kekuasaan T’ang dan Sriwijaya.
Sriwijaya yang kekuasaannya pada saat itu meliputi Kedah, melindungi orang-orang muslim tersebut. Syed Naguib al-Attas mengatakan bahwa orang-orang Muslim, yang diperkirakan sejak abad ke-7 telah memiliki perkampungan di Kanton, menunjukkan kegembiraannya menyaksikan derajat keagamaan yang tinggi dan otonomi pemerintahan; di mana mereka akan memelihara kelangsungan perkampungan serta organisasi masyarakatnya di Kedah dan Palembang.
Apabila kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 hingga abad ke-12 masih menunjukkan hegemoninya di bidang ekonomi dan politik, memasuki akhir abad ke-12 dan permulaan abad ke-13, Sriwijaya mulai mengalami fase kemundurannya. Tanda-tanda kemunduran Sriwijaya, berdasarkan Chou Ku-Fei menjelaskan bahwa persediaan barang dagangan di Sriwijaya mahal-mahal, karena negeri itu tidak lagi menghasilkan banyak sumber daya alam, sedangkan Jawa dan Abbasiah lebih kaya daripada Sriwijaya. Untuk mencegah kemundurannya, Sriwijaya di bidang perdagangan menerapkan peraturan cukai yang lebih berat lagi bagi kapal-kapal dagang yang singgah di pelabuhan-pelabuhannya.
Dengan demikian, pedagang-pedagang yang bertujuan ke Cina mengalami rintangan-rintangan. Persediaan keperluan untuk pelayaran dan perdagangan yang lebih jauh sudah diambil di pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai Sriwijaya tidak pernah membawa hasil yang menguntungkan, tetapi merugikan. Hal ini terjadi karena kapal-kapal dagang itu sering kali menghindari pelabuhan-pelabuhan milik Sriwijaya dan menuju tempat-tempat yang mereka ketahui banyak menghasilkan barang dagangan.
Kemunduran di bidang perdagangan serta politik kerajaan Sriwijaya dipercepat pula oleh usaha-usaha kerajaan Singhasari di Jawa melakukan ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275. Pengiriman arca Amogapacha sekitar tahun 1286, merupakan pengkukuhan kekuasaan Kertanegara terhadap kerajaan Melayu di Sumatra.
Pengaruh politik Kertanegara terhadap kerajaan Melayu sebenarnya adalah suatu usaha untuk memperkecil hegemoni politik dan ekonomi Sriwijaya di Selat Malaka. Kecuali itu, mengecilkan kekuasaan politik dan perekonomian oleh kerajaan Singhasari terhadap daerah-daerah yang dikuasai oleh Sriwijaya, merupakan kesempatan untuk menyatakan daerah-daerah itu lepas dari kekuasaan Sriwijaya.
Seiringan dengan melemahnya hegemoni Sriwijaya, para pedagang muslim yang mungkin disertai oleh para mubalig lebih berkesempatan untuk mendapatkan keuntungan dagang dan keuntungan politik. Mereka menjadi pendukung daerah-daerah yang muncul dan yang menyatakan dirinya sebagai kerajaan yang bercorak Islam seperti Samudra Pasai di pesisir timur laut Aceh. Munculnya daerah tersebut sebagai kerajaan Islam diperkirakan pada abad ke-13.
Hal itu mungkin hasil dari Islamisasi di daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi oleh para pedagang muslim sejak abad ke-7. Daerah lainnya yang diperkirakan dengan masyarakat yang telah menganut ajaran Islam adalah Perlak, sebagaimana yang tertera dalam catatan Marco Polo pada tahun 1292 M.
Kerajaan Samudra Pasai yang semakin berkembang telah mempengaruhi hubungan dengan Malaka dan mengakibatkan semakin banyak orang-orang muslim yang menempati daerah itu. Perkembangan-perkembangan kerajaan Islam jelas memiliki keterkaitan dengan keruntuhan Majapahit dan pengaruh kekuasaan Majapahit sejak pertengahan abad ke-14. Selain dikarenakan oleh pengaruh kekuasaan Singhasari-Majapahit, keruntuhan Sriwijaya pun disebabkan oleh ekspansi kerajaan Cina di bawah kekuasaan Dinasti Yuan pada abad ke-13 dan Dinasti Ming pada abad ke-14.
Memasuki pertengahan abad ke-15, pengaruh kekuasaan Majapahit mulai mengalami fase kemunduran setelah berakhirnya pemerintahan Hayam Wuruk. Hal ini ditambah dengan terjadinya perebutan kekuasaan di kalangan raja-raja Majapahit yang terutama adalah terjadinya Perang Paregreg. Semakin melemahnya pengawasan Majapahit terhadap daerah terjauh seperti Pasai dan Malaka, telah menjadikan kedua daerah ini mencapai puncak kekuasaannya hingga abad ke-16.
Berdasarkan catatan Tome Pires dalam karyanya Suma Oriental; daerah pesisir Sumatra Utara dan Timur dari Selat Malaka, Aceh dan Palembang telah banyak terdapat masyarakat yang memeluk ajaran Islam. Meskipun masih terdapat beberapa kerajaan yang belum bercorak Islam. Islamisasi ke daerah-daerah pedalaman Aceh dan Sumatra Barat, terutama terjadi sejak Aceh melakukan ekspansi politiknya sepanjang abad ke-16 – 17.
Kondisi Politik di Jawa
Sejak akhir abad ke-11 sampai abad ke-13 baik bukti-bukti peninggalan kepurbakalaan maupun berita-berita asing tentang kedatangan Islam di Jawa Timur sangatlah sedikit. Sejak akhir abad ke-13 hingga abad-abad berikutnya, terutama ketika Majapahit mencapai puncak kebesarannya, bukti-bukti Islamisasi dapatlah diketahui lebih banyak. Hal ini didasari oleh penemuan beberapa puluh nisan kubur di Troloyo, Trowulan, dan Gresik.
Kecuali itu, berita Ma-huan tahun 1416 yang menceritakan orang-orang muslim yang bertempat tinggal di Gresik, membuktikan bahwa baik di pusat Majapahit maupun di pesisir, terutama di kota-kota pelabuhan, telah terjadi Islamisasi dan terbentuknya komunitas masyarakat muslim.
Pertumbuhan masyarakat muslim di sekitar Majapahit dan terutama di beberapa kota pelabuhannya erat pula hubungannya dengan perkembangan pelayaran dan perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang muslim yang telah mempunyai kekuasaan ekonomi dan politik di Samudra Pasai dan Malaka. Pada taraf permulaan masuknya Islam di pesisir utara Jawa terutama di daerah kekuasaan Majapahit, mungkin belum dapat dirasakan akibatnya di bidang politik oleh Majapahit.
Kedua belah pihak waktu itu mungkin mementingkan usaha untuk memperoleh keuntungan dagang. Islamisasi hingga mencapai bentuk kekuasaan politik seperti munculnya Demak, dipercepat oleh karena kelemahan-kelemahan yang dialami pusat Majapahit sendiri, akibat perebutan kekuasaan di kalangan keluarga raja-raja.
Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Tome Pires dalam Suma Oriental menceritakan tentang masih adanya kerajaan-kerajaan bercorak Hindu, baik di daerah pedalaman Jawa Timur maupun Jawa Barat, di samping telah adanya kerajaan yang bercorak Islam di Demak dan daerah-daerah lainnya di pesisir utama Pulau Jawa.
Tome Pires menyebutkan bahwa Daha (Kediri) jatuh ke tangan orang Islam pada tahun 1526. Meskipun, kerajaan Hindu yang berpusat di Kediri pada tahun 1526, sudah runtuh, kerajaan Blambangan, belumlah bercorak Islam. Pasuruan tunduk kepada kekuasaan Islam pada tahun 1546 oleh ekspedisi militer Demak di bawah pimpinan Sultan Trenggana.
Karena ancaman dari kekuatan politik yang bercorak Islam, Blambangan mencari kekuatan dari luar, terutama Portugis. Portugis yang berkedudukan di Malaka sejak tahun 1511 memerlukan hasil produksi Blambangan. Raja Blambangan kemudian mengundang misionaris-misionaris Portugis ke negerinya bukanlah dikarenakan ketertarikan raja untuk mengkonversi agamanya, melainkan karena dengan adanya para misionaris tersebut, ia dapat pula mendatangkan tentara Portugis serta persenjataannya. Kerajaan Blambangan dapat bertahan sampai pada masa serangan-serangan Sultan Agung dan Amangkurat I pada abad ke-17.
Dari berita yang diberikan oleh Tome Pires dan babad-babad setempat, dapat diketahui bahwa sejak Demak berdiri sebagai kerajaan, daerah Jawa Barat pesisir utara terutama Cirebon telah ada di bawah pengaruh Islam. Jika didasarkan pada berita Tome Pires, Islam di Cirebon sudah ada sejak 1470-1475. Bahwa kerajaan Demak menempatkan pengaruhnya di pesisir utara Jawa Barat, hal ini tidak dapat dipisahkan dari tujuan yang berisfat politis dan ekonomis.
Secara politis, tindakan ini dapat memutus hubungan kerajaan Pajajaran yang masih berkuasa di daerah pedalaman dengan Portugis di Malaka. Dari sudut ekonomi, pelabuhan-pelabuhan milik kerajaan Pajajaran, seperti Cirebon, Sunda Kalapa, dan Banten memiliki potensi besar dalam mengekspor hasil buminya, terutama lada yang juga diambil dari daerah Lampung. Oleh karena itu, raja Demak segera mengutus Faletehan dan Sunan Gunung Jati untuk menguasai Sunda Kalapa pada sekitar tahun 1527.
Banten merupakan pelabuhan yang penting jika dilihat secara geografis dan ekonomi karena letaknya yang berada pada penguasaan terhadap Selat Sunda yang juga menjadi mata rantai dalam pelayaran dan perdagangan melalui lautan Nusantara di bagian Selatan dan barat Pulau Sumatra. Keberadaan Banten lebih dirasakan terutama ketika Selat Malaka berada di bawah pengawasan Portugis. Meskipun sejak tahun 1526-1527 pelabuhan-pelabuhan milik kerajaan Pajajaran ada di tangan kaum muslim, pedalaman masih bertahan dan baru berhasil dijatuhkan oleh Maulana Yusuf pada tahun 1579-1580.
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa kedatangan dan penyebaran Islam di Pulau Jawa mempunyai aspek-aspek ekonomi, politik dan sosial-budaya. Situasi dan kondisi politik di Majapahit yang lemah karena perpecahan semakin mempercepat penetrasi Islam di Tanah Jawa. Bupati-bupati yang berada di daerah pesisir mereka merasa bebas dari pengaruh kekuasaan raja-raja Majapahit. Mereka semakin yakin akan kekuasaannya sendiri di bidang ekonomi daerah-daerahnya.
Daerah pesisir merasa semakin merdeka dikarenakan kelemahan pendukung-pendukung kerajaan yang sedang mengalami kemunduran. Perjuangan antara kota-kota perdagangan di pesisir dengan daerah-daerah agraris di pedalaman sedang dimulai. Perkembangan ekonomi dan politik mempunyai tujuannya sendiri, dan melalui bupati-bupati pesisir yang menganut ajaran Islam, agama menjadi kekuatan baru dalam proses perkembangan masyarakat. Dalam hal ini, pertentangan antara keluarga bangsawan dengan kekuasaan pusat Majapahit serta aspirasi-aspirasi keluarga bangsawan untuk berkuasa sendiri atas negara, maka Islamisasi menjadi alat politik.
Kondisi Politik di Maluku
Kedatangan pengaruh Islam ke Kepulauan Nusantara bagian timur yaitu ke daerah Maluku tidak dapat dipisahkan dari jalur perdagangan yang terbentang antara pusat lalu lintas pelayaran internasional di Malaka, Jawa, dan Maluku. Menurut tradisi setempat, sejak abad ke-14, Islam datang di daerah Maluku; Raja Ternate yang kedua belas, Molomateya (1350-1357) bersahabat karib dengan orang Arab yang memberinya petunjuk di dalam pembuatan kapal.
Pada masa pemerintahan Marhum di Ternate datanglah seorang raja dari Jawa bernama Maulana Husayn yang menunjukkan kemahiran menulis huruf Arab seperti yang tertera di dalam Al-Qur’an dan hal ini sangat menarik hati Marhum dan orang-orang di Maluku. Kemudian Maulana Husayn diminta oleh rakyat Maluku agar mau mengajarkan huruf-huruf itu. Sebaliknya permintaan Maulana adalah agar merka tidak hanya mempelejari huruf Arab, tetapi mereka juga diharuskan mempelajari agama Islam. Permintaan Maulana Husayn disambut dengan baik oleh rakyat Maluku, sehingga dengan hal ini Islam mulai dianut oleh rakyat Maluku.
Raja Ternate yang dianggap baru menganut ajaran Islam adalah Zainal Abidin (1486-1500). Ia mendapat ajaran agama Islam dari madrasah Giri, mungkin Prabu Satmata. Di Jawa, Zainal Abidin terkenal sebagai Raja Bulawa, artinya raja cengkih, karena ia membawa cengkih dari Maluku sebgai persembahan. Sekembalinya dari Jawa, Zainal Abidin membawa mubalig yang bernama Tuhubahalul. Menurut Hikayat Tanah Hitu yang ditulis oleh Rijali, yang mengantar raja Zainal Abidin ke Giri adalah Perdana Jamilu dari Hitu. Berdasarkan keterangan ini, hubungan antara Ternate, Hitu dengan Giri sangat erat sekali.
Hubungan perdagangan antara daerah Maluku dengan Jawa dan Maluku telah diuraikan oleh Tome Pires dan Antonio Galvao. Tome Pires menjelaskan bahwa kapal-kapal dagang dari Gresik adalah milik Pate Cucuf. Raja Ternate yang telah memeluk agama Islam bernama Sultan Bern Acorala dan hanya raja Ternate yang disebut sultan sedangkan kerajaan lainnya disebut raja. Dikatakan bahwa raja Ternate sedang berperang dengan mertuanya yang menjadi raja Tidore, yaitu Raja Almancor. Di Banda, Hitu, Maluku, Makyan, dan Bacan sudah terdapat masyarakat muslim. Di daerah Maluku itu raja yang mula-mula memeluk Islam kira-kira 1460-1465.
Kondisi Politik di Kalimantan
Situasi politik di daerah Kalimantan Selatan menjelang masa kedatangan Islam dapat diketahui dari Hikayat Banjar. Kerajaan yang bercorak Hindu di Kalimantan menjelang kedatangan ajaran Islam berpusat di Nagara Dipa, Daha dan Kahuripan yang terletak di hulu Sungai Nagara, di daerah Amuntai. Kerajaan-kerajaan tersebut telah memiliki hubungan dengan Kerajaan Majapahit semasa masa pemerintahan Suryanata, karena perkawinannya dengan putri Jungjung Buih. Kitab Nagarakrtagama telah menyebutkan pengaruh kekuasaan Majapahit di daerah-daerah sepanjang Sungai Nagara dan Batang, Tabalung, Barito, dan sebagainya.
Menjelang kedatangan Islam kira-kira tahun 1550 ke daerah itu kerajaan yang disebut Nagara Daha, diperintah oleh Maharaja Sukarama. Setelah meninggal, ia digantikan oleh Pangeran Tumenggung, tetapi beberapa tahun kemudian timbul perpcahan dengan Raden Samudra, cucu Maharaja Sukarama yang lebih berhak atas tahta kerajaan. Raden Samudra sejak kecil mengasingkan diri dan setelah dewasa ia dinobatkan sebagai Raja Banjar oleh Patih Masih, Balit, Muhur, Kuwin, dan Balitung. Kerajaan Banjar di daerah pantai dengan Nagara Daha di hulu sungai kemudian berperang.
Hikayat Banjar selanjutnya menceritakan bahwa Raden Samudra meminta bantuan raja Demak, dengan perjanjian untuk menganut agama Islam beserta rakyatnya. Dengan bantuan tentara Demak, kerajaan Nagara Daha dikalahkan dan Pangeran Tumenggung tunduk kepada Raden Samudra. Sejak itu kerajaan Banjar mengalami perkembangan dan daerah-daerah lainnya tunduk kepada Banjar. Dikatakan pula bahwa orang yang mengajarkan agama Islam kepada Raden Samudra dan patih-patihnya adalah Panghulu Demak. Setelah masuk Islam, Raden Samudra mendapat gelar baru yaitu Sultan Suryanullah, yang diberikan oleh seorang Arab.
Di Kalimantan Timur keadaan politik ketika pengaruh Islam datang dijelaskan di dalam Hikayat Kutai. Di dalam Hikayat Kutai dijelaskan bahwa di Kalimantan Timur tidak terjadi perselisihan dilingkungan keluarga raja karena perebutan kekuasaan. Sebelum kedatangan Islam, kerajaan Kutai bercorak Hindu, sedang di pedalaman banyak masyarakat yang masih menganut ajaran animisme dan dinamisme. Di dalam hikayat itu diceritakan bahwa Kutai juga memiliki hubungan dengan Majapahit dan diperkuat oleh keterangan dari Negarakrtagama.
Pada masa pemerintahan Raja Mahkota datanglah dua orang muslim yang bernama Tuan di Bandang dan Tunggang Parangan. Kedua mubalig itu datang ke Kutai setelah orang-orang Makassar masuk Islam, tetapi beberapa waktu kemudian keluar lagi dari Islam. Karena itu, Tuan di Bandang kembali ke Makassar, sedang Tuan Tunggang Parangan menetap di Kutai. Raja Mahkota masuk Islam setelah ia merasa kalah dalam kesaktiannya menghadapi Tuan Tunggang Parangan. Islamisasi di Kutai dan daerah sekitarnya diperkirakan terjadi pada 1575. Sedangkan daerah pedalaman terjadi trutama pada waktu putra Raja Mahkota, Aji Langgar dan pengganti-penggantinya, meneruskan perang ke daerah Muara Kaman.
Kondisi Politik di Sulawesi
Sejak abad ke-15 Sulawesi mulai di datangi oleh para pedagang muslim yang diperkirakan berasal dari Malaka, Jawa dan Sumatra. Pada awal abad ke-16 di Sulawesi banyak terdapat kerajaan, yang jika berdasarkan catatan Tome Pires berjumlah 50 kerajaan yang penduduknya masih menganut berhala. Di antara kerajaan-kerajaan di Sulawesi, yang terkenal adalah Gowa-Tallo, Bone, Wajo Soppeng dan Luwu. Pada abad ke-16 di daerah Gowa telah terdapat masyarakat muslim dan orang-orang Portugis yang juga telah melakukan hubungan dagang dengan Gowa. Hubungan dagang dengan Portugis itu bahkan lebih berkembang setelah terjadinya Islamisasi.
Seperti yang diketahui, kerajaan bercorak Islam di semenanjung selatan Sulawesi adalah Gowa-Tallo, Bone, Wajo, dan Soppeng. Kerajaan Wajo, Bone, dan Soppeng bersatu dalam persekutuan Tellum Pocco (tiga kerajaan), sedangkan antara Gowa-Tallo dan Tellum Pocco terjadi persaingan memperebutkan hegemoni atas wilayah ini. Letak kerajaan Gowa-Tallo di semenanjung barat daya Sulawesi sangat strategis jika dilihat dari sudut perdagangan rempah-rempah.
Berdasarkan keterangan yang di dapatkan dari Wetboek voor Zeevarende van het Koninkrijk Makassar en Bougis op het eiland Celebes dapat diketahui bahwa orang-orang Bugis sebagai pelaut telah mengarungi lautan Nusantara dan telah berlayar ke Semarang, Sumbawa, Timor, Bengkulu, Aceh, Perak, Malaka, Johor, Palembang, Banjarmasin, dan Manilla.
Karena perdagangan antara Malaka dan Makassar pada abad ke-16 sudah ramai, agama Islam dengan mudah juga disebar di Gowa-Tallo, kerajaan ini menerima Islam pada tahun 1605. Raja yang terkenal dengan nama Tumaparisi-Kallona, adalah raja Gowa yang berkuasa pada akhir abad ke-15 dan permulaan abad ke-16. Ia adalah raja yang memerintah kerajaannya dengan peraturan-peraturan dan memungut cukai dan juga mengangkat kepala-kepala daerah. Pada saat pemerintahannyalah orang-orang Makassar mulai mencatat sejarah mereka.
Meskipun raja-raja di Gowa dan Tallo telah memeluk agama Islam pada 1605, ternyata pada masa berikutnya hubungan dengan orang-orang Portugis tetap erat dan agama Katholik yang dianut orang-orang Portugis tidak menjadi halangan. Hubungan erat antara orang-orang muslim di Makassar dengan Portugis dikarenakan adanya ancaman perluasan kekuasaan Belanda di perairan Nusantara dan terutama karena tidak disenanginya usaha-usaha Belanda untuk mengadakan monopoli perdagangan rempah-rempah dari Maluku.
Islamisasi di daerah Sulawesi Selatan dapat diketahui dari hikayat-hikayat Gowa-Tallo dan Wajo. Islamisasi pada taraf pertama di daerah kerajaan Gowa dilakukan dengan cara damai. Hal ini dapat diketahui dari hikayat setempat yang menceritakan bagaimana cara-cara yang ditempuh oleh mubalig Dato’ri Bandang dan Dato’ Sulaemana dalam memberikan ajaran Islam kepada masyarakat dan raja-rajanya.
Nama Dato’ri Bandang telah diketahui pada Hikayat Kutai yang mengatakan bahwa ia telah ke Kutai bersama dengan Tuan Tunggang Parangan, tetapi ia kembali lagi ke Makassar. Menurut cerita Bugis dan Makassar Dato’ri Bandang berasal dari Minangkabau, sedang menurut cerita Jawa ia adalah murid dari Sunan Giri. Setelah menjadi kerajaan bercorak Islam, Gowa melakukan peperangan terhadap Soppeng, Wajo dan Bone. Meskipun pada akhirnya Wajo memeluk ajaran Islam pada 1610 sedangkan Bone pada tahun 1611.
Situasi Sosial-Budaya pada Masa Kedatangan Islam
Pada masa kedatangan dan penyebaran Islam di Kepulauan Nusantara terdapat beragam masyarakat, organisasi pemerintahan, struktur ekonomi, dan sosial-budaya. Masyarakat yang bertempat di daerah-daerah pedalaman, dilihat dari sudut antropologi budaya, belum banyak mengalami percampuran jenis-jenis bangsa dan budaya dari luar, seperti India, Persia, Arab maupun Eropa.
Struktur sosial, ekonomi, dan budayanya agak statis dibandingkan dengan masyarakat yang mendiami daerah pesisir. Mereka yang berdiam di pesisir, terlebih di daerah kota-kota pelabuhan, menunjukkan ciri-ciri fisik dan sosial budaya yang lebih berkembang karena disebabkan percampuran dengan bangsa dan budaya dari luar.
Pada masa kedatangan Islam, di Kepulauan Nusantara terdapat negara-negara yang bercorak Hindu. Di Sumatra terdapat kerajaan Sriwijaya dan Melayu, di Jawa terdapat kerajaan Majapahit dan Sunda-Pajajaran, di Kalimantan terdapat kerajaan Negara Daha dan Kutai. Sedangkan di Bali, kerajaan-kerajaan dengan corak Hindu masih tetap bertahan hingga abad ke-20.
Pada waktu itu di beberapa daerah lainnya masih terdapat banyak kerjaan yang sedikit atau sama skali tidak mendapat pngarih dari kerajaan-kerajaan Hindu tersebut di atas. Kerajaan-kerajaan semacam itu di Sulawesi ialah Gowa, Wajo, Bone, dan lain-lain. Seperti yang diberitakan oleh Tome Pires, bahwa di Sulawesi masih terdapat 50 kerajaan dan masih menyembah berhala.
Kerajaan-kerajaan di Sulawesi tersebut tidak menunjukkan pengaruh India atau Nusantara-Hindu, hal ini terlihat dari struktur birokrasi pemerintahannya yang merupakan federasi limpo-limpo di bawah pimpinan Arungmatoa yang biasanya dipilih oleh arung-arung dan sistem pemerintahannya mengenal unsur-unsur demokrasi, terutama adalah kerajaan Wajo.
Cara-cara penguburan pada masyarakat kerajaann Gowa pada umumnya berdasarkan tradisi masa pra-aksar, yaitu dikubur arah timur-barat dengan bekal kubur, seperti mangkuk, cepuk, tempayan buatan setempat, dan barang-barang impor dari Cina, dan lain-lainnya. Demikian pula ada kebiasaan untuk memberi penutup mata dari emas atau kedok bagi jenazah bangsawan atau orang terkemuka. Bukti cara penguburan tersebut diperoleh dari penggalian-penggalian kepurbakalaan di daerah Takalar dan Pangkajene Kepulauan. Dilihat dari usia keramik yang ditemukan di area perkuburan, maka usia kerangka manusia itu diperkirakan berasal dari abad ke-14, 15, 16, dan 17.
Dari berita Tome Pires dapat diketahui pula bahwa daera Sumatra di samping banyak kerajaan yang telah bercorak Islam juga banyak yang belum dan karena itu sering kali disebut cafre. Mungkin di antaranya banyak yang tidak memperoleh pengaruh budaya Hindu. Tome Pires juga menyebutkan bahwa di sepanjang pantai Banda terdapat pedagang-pedagang muslim, tetapi di pedalamannya banyak yang menganut berhala dan mereka tidak mempunyai kerajaan tetapi desa-desanya dipimpin oleh cabila dan orang-orang tua.
Struktur pemerintahan seperti ini telah diberitakan selain oleh Tome Pires, juga oleh Antonio Galvao yang menyebutkan bahwa di Maluku, setiap tempat merdeka dengan daerah dan batas-batasnya sendiri. Penduduknya hidup bersama dalam masyarakat-masyarakat yang memenuhi keperluannya sendiri-sendiri. Masyarakat-masyarakat tersebut diperintah oleh orang tua yang dianggap lebih baik dan layak dibandingkan yang lainnya.
Pada beberapa kelompok masyarakat di Kalimantan dan Sumatra jelas masih terdapat masyarakat yang struktur pemerintahannya tidak terkena pengaruh India atau Nusantara-Hindu. Contoh-contohnya hingga saat ini masih ada, antara lain di pedalaman Kalimantan, di Irian yang organisasi sosial, kehidupan ekonomi, dan sosial-budayanya masih menunjukkan corak pra-Hindu dan pra-Islam. Berdasarkan bukti beberapa unsur bentuk-bentuk ini, masyarakat-masyarakat pra-Hindu agaknya sudah memiliki tingkat hidup yang sama dengan apa yang terdapat dalam struktur sosial dan kehidupan sosial-ekonomi bangsa Indonesia di berbagai daerah pada masa sekarang.
Dari adanya pertanian yang menggunakan irigasi dan sistem administrasi yang berhubungan dengannya, muncullah negara-negara patriomial-birokratis dalam ukuran lebih besar atau kecil, dan pada saat yang sama terdapat pula bentuk-bentuk organisasi desa-desa yang sangat berkembang dengan keluarga-keluarga sebagai intinya, dan orang tua-tua desa sebagai pengawas terhadap tanah-tanah, dan barangkali kepala-kepala yang patrimonial.
Dari pelayaran dan perdagangan dapat diketahui adanya status struktur sosial, hubungan satu dengan lain, dan wibawa yang berhubungan dengan hal itu. Dari adanya pengolahan logam di desa–desa yang benar-benar teratur, di bawah kewibawaan yang stabil, dapat diktahui adanya kerajinan, dan hasilnya serba-bentuk dalam organisasi masyarakat dan rakyat. Sejumlah bentuk organisasi rakyat, lembaga-lembaga politik, dan kehidupan sosial-ekonomi, meskipun beraneka ragam, tetapi tetap memberi gambaran kesatuan bangsa.
Bukti kedua, meskipun bermacam-macam budaya asing dan agama dunia berhasil memasukkan pengaruhnya ke Indonesia, pendapat-pendapat pada umumnya mengatakan bahwa pengaruh-pengaruh itu tetap lemah, sekalipun kegiatannya telah berlangsung berabad-abad lamanya.
Pengaruh-pengaruh yang fundamental dalam setiap bagian tata sosial dan politik bangsa Indonesia, yaitu radiasi dari agama-agama dunia dan bentuk-bentuk budaya asing hanyalah merupakan lapisan yang tipis dan penghalus, sedangkan di bawahnya terdapat seluruh bentuk asli dan kuno yang tetap berlanjut, terutama dengan banyak ragam dan tingkatan yang muncul menurut tingkat budaya itu sendiri.
Pengaruh kebudayaan yang dibawa oleh orang-orang India terutama golonga Brahmana dan pendeta-pendeta agama Buddha lebih meresap kepada golongan elit dan bangsawan daripada ke masyarakat umum. Karena itu pula masyarakat umum yang hidupnya jauh dari pusat-pusat kerajaan tetap hidup dalam kebudayaan aslinya.
Peninggalan-peninggalan purbakala, seperti bangunan candi, patung-patung, prasasti-prasasti, dan ukiran-ukiran pada umumnya menunjukkan sifat kebudayaan Nusantara yang dilapisi oleh unsur-unsur Hindu-Buddha. Administrasi pemerintahan Jawa kuno menunjukkan perbedaan-perbedaan dengan India. Candi-candi di Jawa, di Sumatra dan di Bali ternyata tidak ada yang menunjukkan sebagai prototipe candi-candi di India. Terlebih jika memperhatikan bentuk-bentuk candi di Jawa Timur, antara lain candi jago, panataran, sukuh, dan penanggungan, semuanya lebih serupa dengan punden berundak megalitik pra-Hindu.
Kecuali itu, beberapa seni pahat dan hias dari kebudayaan Nusantara-Hindu seperti patung-patung di candi sukuh, patung-patung corak “Pajajaran”, pola hiasan segitiga tumpul, pilin tunggal, dan berganda merupakan contoh yang serupa dengan bentuk-bentuk patung masa megalitikum dan kebudayaan logam sebelum kedatangan pengaruh kebudayaan India.
Fungsi candi-candi Nusantara-Hindu adalah antara lain sebagai tempat penguburan abu jenazah raja-raja. Raja-raja yang meninggal dibuatkan patung dan perwujudannya melambangkan dewa-dewa yang mereka puja semasa hidupnya. Candi Borobudur yang bertingkat sepuluh mungkin merupakan tempat pemujaan raja-raja dinasti Sailendra.
Masyarakat Nusantara pada masa kerajaan Hindu menganggap rajanya sebagai dewa yang memerintah di dunia. Kultus dewa raja pada zaman pengaruh kebudayaan Hindu memiliki keterkaitan dengan tradisi kepercayaan pada masa pra-Hindu, ketika mereka memuja roh nenek moyang yang biasanya diwujudkan dalam patung-patung dan menhir-menhir di atas punden-punden berundak. Pembuatan patung-patung megalitik masih dilakukan pada masa kini terutama di daerah Nias dan Flores.
Menurut keterangan yang diberikan oleh Antonio Galvao, pada abad-abad kedatangan dan penyebaran ajaran Islam di Maluku masih terdapat beberapa kelompok masyarakat yang membuat patung-patung untuk menghormati para bapak dan para nenek moyang. Patung-patung tersebut dibuat dari kayu atau batu dengan wajah laki-laki, anjing, kucing, dan binatang-binatang lain yang mereka sukai. Mereka memuja benda-benda langit, matahari, bulan, dan bintang-bintang.
Berdasarkan keterangan tersebut maka jelaslah bahwa pemujaan yang digambarkan bukanlah bercorak Hindu-Buddha, tetapi kepercayaan kepada kekuatan-kekuatan alam, antara lain upacara Tiwah. Jelaslah bahwa dasar kepercayaan suku-suku bangsa Nusantara pra-Hindu tetap diteruskan pada masa Hindu. Perhitungan waktu yang telah dikenal oleh bangsa Indonesia sebelum pengaruh Hindu adalah pasaran yang terdiri dari lima hari. Pada masa Hindu perhitungan pasaran digabung dengan perhitungan tujuh hari dan menjadi satu minggu sebagaimana yang tertera dalam prasasti dengan istilah pancawarna dan saptawara.
Bahasa-bahasa yang digunakan di Kepulauan Nusantara pada waktu sebelum dan masa kedatangan Islam sesuai dengan bahasa daerah masing-masing. Sedangkan untuk bahasa Sanskerta hanya digunakan oleh sebagian kecil masyarakat dan terutamanya adalah kalangan agamawan. Keguncangan di dalam kehidupan politik dan ekonomi mengakibatkan pula keguncangan pada kehidupan sosial-budaya. Keperluan-keperluan upacara keagamaan, kreasi-kreasi dalam kerajinan tangan, seni bangunan, seni patung dan ukir, serta cabang-cabang seni lainnya terpengaruh oleh situasi politik dan ekonomi yang kacau itu.
Sementara itu, dalam suasana politik yang kacau, banyak pedagang muslim yang ramai mengunjungi Kepulauan Nusantara, di antaranya mungkin terdapat juga mubalig-mubalig. Mereka juga berdiam dalam perkampungan-perkampungan. Sudah tentu di antara mereka terdapat pula orang-orang kaya, dan orang-orang muslim tersebut menerima dan memakai bahasa penduduk setempat. Mereka juga menerima adat kebiasaan setempat, dan melakukan perkawinan dengan perempuan-perempuan setempat yang mereka Islam-kan. Untuk kepentingan pribadi atau untuk sebab-sebab lain, mereka mencari budak-budak dan budak-budak tersebut menjadi muslim. Dengan cara ini tiap keluarga muslim menjadi inti masyarakat muslim dan pusat kegiatan Islamisasi. Dengan cara perkawinan pula Islam memasuki lapisan masyarakat bangsawan.
Kemudian orang-orang dari daerah sekitar tertari akan Islam karena pedagang-pedagang muslim dapat menunjukkan sifat-sifat dan tingkah laku yang baik dan pengetahuan yang tinggi. Pada kesempatan itu pula raja-raja dan bangsawan-bangsawan mengumpulkan kekayaan melalui perdagangan dengan pedagang-pedagang asing. Rakyat umumnya memandang pemimpin-pemimpin dan bangsawan-bangsawannya sebagai contoh-contoh yang baik untuk diikuti. Dengan demikian, apabila seorang pemimpin atau bangsawan telah mengkonversi kepercayaannya menjadi Islam, maka rakyat mengikutinya.
Dengan berbagai keterangan ini, maka Islamisasi di Kepulauan Nusantara terjadi dan dipermudah karena adanya dua pihak, yakni orang-orang muslim yang datang dan mengajarkan agama Islam dan golongan masyarakat Kepulauan Nusantara sendiri yang menerimanya. Kemudahan itu ditambah oleh orang-orang muslim yang menyebarkannya menyesuaikan Islam dengan kondisi sosial-budaya masyarakat yang telah ada, hal itulah yang akan menyebabkan beragam saluran dan corak Islamisasi yang berbeda di daerah Kepulauan Nusantara.
Daftar Bacaan
- Graff, H. J. de. & Th. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Johns, A. H. “Sufism as a Category in Indonesian Literature and History”. JSEAH: vol. 2, No. 2, Juli 1961: 10-23.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Islam. Jakarta: Balai Pustaka.