Respon Australia Terhadap Kemerdekaan Indonesia
Respon Australia Terhadap Kemerdekaan Indonesia – Sebagai negara yang secara geografis berdekatan dengan Indonesia, Australia memiliki peranan dalam pengakuan kedaulatan Indonesia. Semenjak kepergian Jepang dari Indonesia yang dibarengi dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Belanda merasa bahwa Indonesia (Hindia-Belanda) harus kembali menjadi bagian dari kekuasaan Belanda, sebagaimana yang terjadi sebelum pendudukan Jepang ditahun 1942.
Penjajahan Jepang tersebut membuat banyak pengungsi Indonesia yang berkumpul di Australia. Di antara para pengungsi ini terdapat pelaut dan pramugara Indonesia yang bekerja di kapal-kapal Belanda, dan juga terdapat tentara Indonesia dari angkatan bersenjata Kerajaan Belanda (KNIL), serta petugas sipil dan juga pegawai kesehatan. Pada tahun 1943 Belanda mengangkut 500 orang lebih tawanan yang merupakan orang-orang Indonesia ke Australia dari Kamp Tanah Merah, Boven Digoel, Irian Barat.
Para tawanan asal Indonesia ini terdiri dari baik pria, wanita dan juga anak-anak. Pemerintah Belanda rupanya bermaksud untuk mengasingkan para tawanan ini ke Australia. Di Australia, para tawanan dari Indonesia ini memberikan sepucuk surat kepada seorang pekerja pelabuhan dan seorang pegawai kereta api Australia yang berisi penjelasan mengenai maksud Belanda dan permemintaan bantuan kepada masyarakat Australia. Di bawah ini akan dijelaskan tentang respon Australia terhadap kemerdekaan Indonesia.
Soal “Black Armada”
Surat yang disampaikan oleh para tawanan dari Indonesia ini mendapatkan respon yang cepat dan sangat kuat. Respon itu datang dari Serikat Buruh Australia (Australian Workers Union/AWU) dengan melakukan kampanye dan berhasil membebaskan para tawanan dari Indonesia ini. AWU juga memberikan bantuan kepada orang-orang Indonesia yang terdampar di Australia akibat Perang Dunia II, untuk mengatur pelbagai hal demi mememberikan dukungan bagi negara Indonesia. Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, kampanye yang dilakukan oleh AWU semakin bersemangat dan menjadi-jadi. AWU menekan Pemerintah Australia agar memberikan dukungannya kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Pada tanggal 15 Agustus Jepang menyerah kepada sekutu yang menjadikan kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk menyatakan kemerdekaannya. Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamasikan dirinya sebagai sebuah negara yang merdeka terlepas dari kekuasaan asing. Setelah proklamasi kemerdekaan itu, memunculkan perbedaan pendapat dan berujung pada perdebatan di Amerika Serikat mengenai hal-hal apa sajakah yang harus diperbuat oleh Indonesia.
Negara-negara Eropa, terutama yang mendukung Belanda menyatakan bahwa sebaiknya Amerika Serikat tidak ikut campur dalam permasalahan Indonesia dan membiarkan Indonesia kembali ke statusnya sebelum terjadinya Perang Dunia II, yaitu sebagai bagian dari wilayah Kerajaan Belanda. Sementara negara-negara Asia menyarankan kepada Amerika Serikat agar Indonesia diberikan kesempatan untuk menjadi negara yang merdeka.
Posisi Australia secara diplomatik nampaknya lebih dipengaruhi dan condong kepada pendukung-pendukung Belanda di Amerika serikat dan kewajiban Australia sebagai bagian dari sekutu Amerika Serikat dan Inggris. Hal ini ditunjukkan oleh pemerintah Australia setelah Perang Dunia II berakhir, bahwa Belanda harus bertanggungjawab untuk menjalankan kedaulatannya atas pulau-pulau di Indonesia yang berada di luar pulau Jawa yang telah berhasil diduduki oleh pasukan-pasukan Australia selama Perang Dunia II atas nama pasukan sekutu.
Di Australia berita mengenai proklamasi kemerdekaan Indonesia telah diterima oleh orang-orang Indonesia pada tanggal 18 agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan. Orang-orang Indonesia yang berada di Australia menyambut kemerdekaan Indonesia dengan melakukan demontrasi secara besar-besaran di kota Sydney. Demontrasi yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia ini mendapatkan dukungan dari orang-orang Australia yang tergabung ke dalam Serikat Buruh Pelabuhan Australia (Waterside Workers Federation/WWF) dan juga mendapatkan dukungan dari Serikat Buruh lainnya di Australia.
Surat kabar-surat kabar di Sydney seperti The Sun, Sydney Morning Herald dan surat kabar lainnya memberitakan tentang demonstrasi tersebut dalam berita utama mereka. Tidak luput pula siaran dari radio di Sydney yang memberitakan tentang kemerdekaan negara Indonesia itu keseluruh dunia. Dengan demikian secara tidak langsung Australia telah mengakui kemerdekaan negara Indonesia.
Pada tahun 1944 di Brisbane, Australia, orang-orang Indonesia yang berada di Australia telah mendirikan organisasi kemerdekaan yang diberi nama Central Komite Kemerdekaan Indonesia (CENKIM). Pada tanggal 1 september 1945 CENKIM mengeluarkan sebuah manifesto yang isinya mengajak seluruh orang Indonesia di Australia untuk melakukan pemberontakan dengan cara mengadakan aksi mogok kerja. Aksi ini kemudian diikuti oleh para buruh pelabuhan-pelabuhan di Australia yang sejak 20 September 1945 melarang semua kapal-kapal Belanda berlayar ke Indonesia. Hal ini merupakan respon awal Australia bagi kemerdekaan Indonesia dan menolak kembalinya Belanda ke Indonesia yang disebut dengan peristiwa “Black Armada”.
Federasi Buruh Pelabuhan di Dermaga Sydney pada tanggal 24 September 1945, yang menyatakan “Empat buah kapal yaitu Japara, El Libertador, General Verspijck dan Patras yang sedang dimuati dengan suplai bagi tentara Belanda yang dibawa dari Inggris dengan tujuan untuk membiyai perang melawan kemerdekaan Indonesia serta untuk membawa pemerintahan boneka Hindia-Belanda di Indonesia. Pemuatan kapal-kapal ini jelas bertentangan dengan ide-ide demokrasi Gerakan Buruh Australia. Membantu Belanda dengan cara apapun berarti membantu ketamakan imperialisme Belanda melawan demokrasi Indonesia”. Selain di Sydnyey, sebanyak tiga buah kapal Belanda di Brisbane ditahan begitu juga dengan SS. Karsik di Melbourne karena boikot tersebut. Dengan cepat aksi pemboikotan itu menyebar ke Pelabuhan Melbourne dan Fremantle.
Asosiasi pekerja pelabuhan dengan cepat juga menyatakan dukungannya yang mengakibatkan sekitar 400 kapal Belanda yang berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Australia tidak dapat melanjutkan pelayarannya ke Indonesia karena tidak ada tenaga pengangkut barang untuk membawa barang ke geladak, menyiapkan bahan bakar dan lain sebagainya. Dengan adanya pemboikotan ini maka berdampak pada kekuatan militer Belanda yang ada di Indonesia di mana kekuatan militer Belanda lumpuh secara signifikan. Sebab kapal-kapal Belanda yang mengangkut logistik dan persenjataan menuju Indonesia ditahan di pelabuhan-pelabuhan Australia
Pemboikotan pada peristiwa Black Armada ini semakin meningkat dan memuncak memasuki tanggal 28 September 1945 ketika para pekerja pelabuhan di kota Sydney menggelar demonstrasi di depan kantor kapal Belanda dan kantor diplomatik Belanda. Di dalam aksi unjuk rasa itu, para demonstran mendesak agar Belanda segera angkat kaki dari Indonesia. Hal itu juga didukung dengan perintah dan seruan langsung kepada seluruh anggota serikat pekerja pelabuhan Australia untuk tidak memberikan tumpangan bagi tentara dan pekerja Belanda, termasuk juga tidak mengangkut muatan apapun termasuk persenjataan ke kapal Belanda, dan semua barang yang berhubungan dengan Belanda dikategorikan sebagai barang terlarang dan harus diembargo.
Meskipun Belanda telah memberikan tanggapan terhadap pemboikotan itu dengan bersikeras bahwa peralatan dan personel militer yang diangkut di kapal-kapal tersebut akan digunakan untuk memerangi milisi yang pro-Jepang di Indonesia. Selain itu Belanda juga menyatakan bahwa kapal-kapal tersebut adalah kapal ‘belas kasih’ yang membawa makanan, pakaian dan obat-obatan untuk rakyat di Indonesia.
Dengan pemboikotan tersebut, serikat pekerja militan Australia justru membantu pihak Jepang dan pemerintah Indonesia. Selain aksi boikot, pada Oktober 1945, Australia membantu pemulangan lebih dari 1400 orang Indonesia yang ditahan di Australia sebagai tawanan perang Belanda menggunakan kapal kargo milik Australia bernama Esperance Bay dari pelabuhan Sydney.
Keberadaan pelabuhan Australia memiliki arti yang sangat penting bagi Belanda karena letaknya yang berdekatan dengan Indonesia. Sehingga sangat strategis sebagai lokasi persinggahan sementara untuk mengisi perbekalan dan lain sebagainya sebelum melanjutkan perjalanan menuju Indonesia. Berkat dukungan Australia ini, agresi militer yang dilakukan Belanda untuk kembali menguasai Indonesia menjadi tidak maksimal. Tentara, Persenjataan dan perbekalan Belanda yang hendak di datangkan untuk mendukung agresi itu tidak dapat sampai, sehingga membuat bangsa Indonesia dapat dengan lebih mudah untuk mempertahankan kemerdekaan dan memperjuangkan pengakuan kedaulatan. Pemboikotan itu sendiri baru dihentikan setelah lebih dari empat tahun lamanya ketika Belanda telah mengakui kemerdekaan Indonesia.
Respon Australia Terhadap Kemerdekaan Indonesia Melalui KTN
Selain melakukan pemboikotan terhadap kapal-kapal Belanda yang hendak menuju Indonesia, Australia juga memberikan peran yang cukup penting bagi Indonesia dalam pengakuan kedaulatan. Bagaimanapun juga, Australia adalah salah satu negara yang pertamakali mengakui kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara yang merdeka. Peran Australia dapat terlihat salah satunya melalui perundingan Komisi Tiga Negara (KTN).
Bulan Agustus 1946, Angkatan Laut Belanda meminta pasokan amunisi dan fasilitas pangkalan Australia. Kabinet memutuskan bahwa tidak satupun permintaan itu dipenuhi, serta diputuskan bahwa tidak baik untuk mangangkut amunisi dari Australia, meskipun pemuatannya ke kapal-kapal Belanda dengan Buruh serta pengakutan barang-barangnya dari Australia dengan tenaga mereka sendiri.
Pada 15 November 1947 ditandatangani Persetujuan Linggarjati, Menanggapi Persetujuan Linggarjati, rupanya Belanda mempunyai pikiran lain, di Jakarta para pejabat Belanda berfikir untuk mengadakan tindakan militer terhadap Indonesia sebagai alternatif penandatanganan Persetujuan Linggarjati. Maka pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan apa yang dikatakan sebagai Aksi polisional yang pertama. dengan penandatanganan ini Belanda secara de facto mengakui kekuasaan Republik Indonesia atas Jawa, Sumatra, dan Madura. Namun Belanda dan Republik Indonesia bekerjasama dalam pembentukan Negara Indonesia Serikat (RIS) yang berbentuk federal, yang meliputi wilayah-wilayah Republik dan non Republik di Hindia-Belanda.
Menanggapi Persetujuan Linggarjati, rupanya Belanda mempunyai pikiran lain, di Jakarta para pejabat Belanda berfikir untuk mengadakan tindakan militer terhadap Indonesia sebagai alternatif penandatanganan Persetujuan Linggarjati. Maka pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan apa yang dikatakan sebagai Aksi polisional yang pertama.
Atas tindakan Belanda itu Ali Sastroamidjojo di Canbera pada tanggal 24 juli 1947 menghimbau pada pemerintah Australia untuk mengajukan sengketa Belanda-Indonesia ke Dewan Keamanan PBB, tetapi sikap pemerintah Australia ragu-ragu akan keberhasilan usulan itu sehingga republik Indonesia berinisiatif untuk mencoba berpaling meminta bantuan India. Pada tanggal 30 juli 1947 pemerintah India mengintruksikan wakilnya di PBB untuk meminta perhatian Dewan Keamanan PBB secepatnya terhadap perkembangan situasi di Indonesia. Usulan India rupanya tidak diperhatikan karena waktu itu bukan anggota Dewan Keamanan PBB.
Australia yang bersimpatik kepada Indonesia juga prihatin terhadap keadaan di Indonesia akibat aksi polisional itu. Sehingga pemerintah Australia mengusulkan masalah Indonesia dengan Belanda ke DK PBB. Rupa-rupanya usulan dari Australia lebih diperhatikan oleh DK PBB sebab Australia pada saat itu menjadi anggota Dewan Keamanan. Di samping itu alasan Australia dianggap lebih kuat daripada gagasan yang dikemukakan India menyoal permasalahan antara Indonesia dengan Belanda. Australia berangkat dari pasal 39 yang berisi tentang telah terjadi pelanggaran terhadap perdamaian, sedangkan India berangkat dari Pasal 34 yang berisi tentang perdamaian internasional sedang dalam bahaya.
Pada 31 Juli 1947 diselenggarakan sidang keamanan PBB, wakil dari Australia yaitu Kol. Hodgson meminta perhatian dewan bahwa permasalahan yang sedang terjadi di Indonesia bukanlah semata-mata merupakan Aksi Polisional melainkan adalah sebuah agresi militer yang jika menilik hukum internasional memiliki arti sebagai konflik yang terjadi diantara dua negara, dalam kasus ini negara yang berkonflik adalah Indonesia dan Belanda.
Australia sebagai anggota dari Dewan Keamanan PBB kemudian mengajukan sebuah rencana resolusi yang antara lain berisikan; memohon untuk dilaksanakannya prosedur arbitrasi sesuai dengan Persetujuan Linggarjati yang sebelumnya telah disepakati oleh Indonesia dan Belanda. Merujuk kepada pelanggaran perdamaian internasional menurut Pasal 39 Piagam PBB. Pasal 39 berisi; Dewan Keamanan akan menentukan keberadaan ancaman kepada perdamaian, pelanggaran perdamaian, atau tindakan agresi dan akan membuat rekomendasi, atau memutuskan tindakan apa yang harus diambil sesuai dengan Pasal 41 dan 42, untuk memelihara atau memulihkan perdamaian internasional dan keamanan.
Kemudian wakil Amerika Serikat mengusulkan agar Dewan Keamanan PBB memberi jasa-jasa baik kepada pihakpihak yang bersengketa, untuk itu dibentuklah Komisi Jasa-Jasa Baik atau lebih dikenal dengan sebutan Komisi Tiga Negara (KTN). Indonesia memilih Australia duduk dalam komisi tersebut, sedangkan Belanda memilih Belgia, dan Amerika Serikat dipilih oleh Australia dan Belgia.
Inisiatif Australia agar masalah sengketa Belanda-Indonesia dibawa dalam Dewan Keamanan PBB menyebabkan ditandatanganinya Perjanjian Renville. Perjanjian ini Belanda mencoba mengambil kesempatan agar Australia mengambil tindakan untuk menghentikan boikot pengapalan barang-barang Belanda di Australia. Jawaban yang diberikan Australia malah menuduh Belanda sama sekali tidak menunjukkan penghargaan ataupun pengakuan atas peran yang dimainkan Australia dalam membantu tercapainya penyelesaian perselisihan Belanda-Indonesia.
Sementara itu Indonesia empat hari setelah Perjanjian Renville ditandatangani, penguasa sipil Belanda secara Unilateral menciptakan satu negara Federasi baru di Madura salah satu pulau yang sebelum aksi polisional Belanda I secara de facto berada di bawah kekuasaan pemerintah Indonesia, kemudian pada bulan Maret 1948, Belanda juga mendirikan Negara Jawa Barat dan tanpa republik. Pada 18 September 1948 Partai Komunis Indonesia melakukan pemberontakan terhadap pemerintah pusat. Pemberontakan ini dipimpin oleh Muso yang kembali dari Moskow pada tanggal 11 Agustus 1947, pemberontakan ini dibantu oleh Amir Syarifuddin sebagai pimpinan FDR yang kecewa dengan Perjanjian Renville untuk menggulingkan pemerintahan Muhammad Hatta.
Belanda mengambil kesempatan situasi di Indonesia ini melancarkan Aksi Polisional yang kedua pada tanggal 19 Desember 1948. Sedangkan Pemerintah Australia memberi reaksi keras atas Aksi Polisional Belanda kedua. Lewat Departemen Luar Negerinya, Australia memberitahu Inggris bahwa kepentingan Australia di masa depan atas kemajuan, kemakmuran, dan ketentraman Indonesia berarti menghancurkan secara perlahan hingga Indonesia lenyap. Lebih lanjut berbicara mewakili Australia Mr. N.J.O. Makin mengatakan Tindakan Belanda tidak bisa dimaafkan, mengabaikan berarti memaafkan. Dewan harus segera mempertimbangkan untuk mengembalikan situasi damai di Indonesia dan rasa aman di Asia Tenggara.
Pada tanggal 26 dan 27 Januari 1949, di Dewan Keamanan PBB Australia bersama-sama dengan India dan Indonesia mendesak Dewan Keamanan PBB agar menyerukan kepada kedua pihak untuk menghentikan seluruh operai militer dan menyerukan kepada Belanda agar membebaskan tahanan politik Indonesia. Dewan Keamanan PBB akhirnya mengelurkan Resolusi pada tanggal 28 Januari membentuk komisi PBB untuk Indonesia, United Nations Commission for Indonesia (UNCI).
UNCI mempunyai wewenang untuk berunding dengan wakil-wakil daerah di Indonesia, mengambil tindakan sesuai pendapat mayoritas, memberikan usul atau anjuran kepada pihak-pihak dan atau Dewan Keamanan, mengawasi pemilihan umum di seluruh Indonesia, dan membantu serta melindungi pengembalian daerah-daerah Indonesia yang wilayahnya pada saat Perjanjian Renville. Resolusi ini sesuai dengan tuntutan Australia yang sejak lama diajukannya kepada Dewan Keamanan.
Belanda Rupanya tidak memperhatikan Resolusi Dewan Keamanan tertangal 28 Januari 1949, tetapi Belanda mempunyai inisiatif sendiri untuk melaksanakan kedaulatan kepada Negara Indonesia Serikat (NIS). Oleh karena itu Belanda mengadakan konferensi di Den Haag pada 12 Maret 1949 untuk membicarakan pembentukan pemerintahan serikat sementara, pengalihan kedaulatan, dan pembentukan Uni-Indonesia.
Pada tanggal 21 April 1949 delegasi Belanda di Jakarta mengumumkan bahwa Belanda setuju memulihkan kembali Indonesia di Yogyakarta dan membebaskan para pemimpin Indonesia dengan syarat kegiatan gerilya dihentikan dan pemerintah Indonesia setuju untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. 27 Mengenai masalah Irian Barat ini masih menjadi ganjalan dalam proses perdamaian dalam KMB.
Pemerintah Australia mengusulkan dua hal pertama, menyarankan agar Irian Barat ditempatkan di bawah Perwalian Internasional Indonesia menerima usulan Belanda, sehingga pada tanggal 17 Mei 1949 ditandatangani Perjanjian Roem-Royem yang isinya Indonesia setuju untuk menerima usul Belanda yang akan memulihkan pemerintah Indonesia di Yogyakarta dan membebaskan semua tawanan Indonesia sebagai imbalan kesediaan Indonesia untuk datang ke KMB.
Diselenggarakannya KMB di Den Haag pada tanggal 23 Agustus-2 November 1949, Telah menghasilkan keputusan diakuinya Indonesia sebagai negara merdeka secara de facto dan de jure. Sehingga dapat menjalankan pemerintahan sendiri, walaupun dengan bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) yang tidak sesuai dengan cita-cita perjuangan Indonesia untuk menciptakan negara merdeka yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jadi itulah tadi uraian singkat tentang peran dan respon Australia terhadap Kemerdekaan Indonesia.
Daftar Bacaan
- Critchley, Susan. 1995. Hubungan Indonesia dengan Australia: Faktor Geografi, Politik dan Keamanan. Jakarta: UI Press.
- Fernandes, Frans. S. 1988. Hubungan Internasional dan Peranan Bangsa Indonesia Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta: Depdikbud.
- George, Margaret. 1980. Australia and Indonesian Revolution. Melbourne: Melbourne University Press.
- Ingelson, John. 1983. Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia tahun 1927 -1934. Jakarta: LP3ES
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik. Jakarta: Balai Pustaka.
- Ricklefs, M. C. 2009. Sejarah Indonesia Modern 1200- 2004. Jakarta: Serambi.
- United Nations Security Council. 1948. Committe of the Good Office For Indonesia: First Interim Report of The Committe to The Security Council: 10 Februari 1948.