Restorasi Meiji
Restorasi Meiji – Restorasi Meiji (Meiji Restoration) adalah perubahan besar yang terjadi di Jepang sepanjang tahun 1868-1869. Restorasi Meiji adalah suatu perubahan besar yang mana berakibat pada kembalinya kekuasaan Jepang di bawah kaisar. Di bawah ini akan dijelaskan tentang sejarah Restorasi Meiji (pembaruan Meiji) atau yang biasa dikenal juga dengan istilah Revolusi Meiji.
Kondisi Jepang sebelum Restorasi Meiji sering disebut dengan era Shogun Tokugawa (Keshogunan Tokugawa), hal ini dikarenakan yang menjalankan pemerintahan Jepang adalah keluarga Tokugawa yang dilakukan dengan cara diktator dan turun temurun selama 264 tahun (1603-1867). Masa sebelum Restorasi Meiji ada juga yang menyebut dengan zaman Edo, karena pusat pemerintahan berada di kota Edo (sekarang bernama Tokyo). Dalam Bahasa Indonesia Shogun dapat diartikan sebagai pimpinan militer.
Jadi Shogun Tokugawa adalah pimpinan militer yang berasal dari keluarga Tokugawa. Pada masa itu Kaisar hanyalah sebagai lambang kerajaan yang bertempat tinggal di kota Kyoto. Jika Kaisar membuat suatu kebijakan harus atas persetujuan dari Tokugawa dan Tokugawa yang akan menjalankan kebijakan atau perintah dari Kaisar tersebut. Oleh sebab itu, maka perlu diketahui terlebih dahulu kondisi Jepang sebelum terjadinya Restorasi Meiji. Di bawah ini akan dijelaskan keadaan Jepang sebelum terjadinya Restorasi Meiji.
Asal-Usul Bangsa Jepang
Para ahli berbeda pendapat mengenai asal-usul ras Jepang, namun para ahli ilmu purbakala menetapkan bahwa penduduk awal Jepang mencakup para imigran dari berbagai kawasan Asia Timur dan Kepulauan Pasifik Selatan. Umumnya orang percaya bahwa nenek moyang bangsa Jepang adalah segolongan ethnis, yang sekarang dikenal dengan nama Ras Yamato. Menurut buku Kijiki (catatan kuno) yang selesai ditulis pada tahun 712, Kaisar Jepang adalah keturunan Dewa Matahari yang bernama Amaterasu Omikami.
Menjelang akhir abad ke-4 Masehi terjadi kontak antara Jepang dengan beberapa kerajaan di Semenanjung Korea. Seni-seni perindustrian seperti tenun, karya logam dan pembangunan kapal yang berkembang di Cina semasa Dinasti Han masuk ke Jepang melalui Semenanjung Korea. Karena itulah Semenanjung Korea dan Cina menjadi sumber asal seni kerajinan Jepang yang kemudian secara berangsur-angsur berkembang. Orang Jepang mengambil bentuk tulisan Cina yang berbentuk Ideograf (tulisan berupa lambang gambar) atau mempelajari seluk beluk pengobatan, rahasia penanggalan dan astronomi serta ajaran Konghucu. Agama Budha masuk ke Jepang tahun 538 dari India melalui Cina dan Korea. Sementara itu, sistem pemerintahan Cina merupakan pola baku bagi penguasa Jepang dalam bentuk sistem mereka sendiri.
Ibukota tetap negeri Jepang yang pertama didirikan di Nara pada permulaan abad ke-8 M. Selama lebih dari 70 tahun, dari 710 sampai 784, keluarga kekaisaran Jepang tinggal disana dan perlahan-lahan melebarkan kekuasaannya sampai ke seluruh negeri. Sampai pada waktu itu, ibukota atau kedudukan singgasana, sering berpindah tempat dalam daerah yang sekarang merupakan kota Nara, Kyoto dan Osaka. Ibukota baru di bangun pada tahun 794 di kota Kyoto dengan meniru model ibukota Cina zaman itu. Kyoto menjadi tempat bersemayam Kaisar hampir 1.000 tahun.
Pemindahan Ibukota ke Kyoto, telah menandai dimulainya Masa Heinan, berlangsung sampai tahun 1192. Masa ini merupakan salah satu periode besar bagi pengembangan artistik. Kontak dengan Cina agak macet menjelang akhir abad ke-9 dan peradaban Jepang mulai menunjukkan ciri-ciri khas dan bentuknya sendiri. Hal ini merupakan proses pembauran dan penyesuaian bagi segala sesuatu yang masuk dari luar untuk berangsur-angsur mengambil bentuk Jepang yang sesungguhnya. Contoh yang paling jelas dari periode ini adalah perkembangan tulisan tangan Jepang asli.
Peliknya huruf-huruf Ideograf Cina yang masuk ke negara Jepang yang disebut dengan Kanji menyebabkan para penulis dan kaum ulama menyusun dua perangkat suku kata yang didasarkan pada tulisan Cina. Huruf Hiragana biasanya digunakan untuk penulisan istilah dalam bahasa Jepang, sedangkan Katakana hanya digunakan untuk menuliskan istilah-istilah asing semakin disempurnakan dan dipakai dalam penggunaan yang cukup luas. Di dalam perkembangannya Kanji digunakan untuk menyatakan kata benda, kata kerja, kata sifat, dan kata keterangan. Itulah pembuka jalan bagi kesusastraan yang asli Jepang yang tumbuh subur menggantikan kedudukan corak Cina.
Kehidupan di ibukota bercirikan keelokan dan kehalusan. Kalangan istana asyik menekuni seni dan mengejar kesenangan sosial, sementara kekuasaanya atas suku-suku yang berperang makin goyah. Penguasaan efektif terhadap daerah kerajaan makin terlepas dari tangannya dan beralih menjadi perebutan dua keluarga militer yang bersaing, Minamoto dan Taira. Kedua keluarga keturunan Kaisar-Kaisar sebelumnya, terlibat dalam salah satu pertarungan yang sangat terkenal dan keras dalam abad pertengahan Jepang yang kacau. Akhirnya keluarga Minamotolah yang unggul, memusnahkan saingannnya keluarga Taira dalam pertempuran Dannoura yang gagah berani di Laut Pedalaman pada tahun 1185.
Jepang Zaman Feodal
Kemenangan keluarga Minamoto menandai pudarnya singgasana Kekaisaran sebagai sumber kekuasaan politik yang nyata, dan mulainya masa tujuh abad pemerintahan Feodal Shogun (penguasa militer) secara turun menurun. Pada tahun 1192, kepala keluarga Minamoto yang menang, Yoritomo membentuk Shogunat, atau pemerintahan militer, di Kamakura dekat Tokyo sekarang. Administrasi yang sebelumnya dipegang oleh Kaisar-Kaisar di Kyoto. Bisa dikatakan pada masa ini Jepang di bawah pemerintahan Shogun.
Sebagai reaksi atas apa yang dianggap sebagai kemerosotan yang terjadi di Kyoto akibat dari menekuni seni-seni damai, Shogunat di Kamakura memberi dorongan ke arah kesederhanaan dan penguasaan seni perkasa serta berbagai disiplin yang diperlukan untuk memulihkan pengawasan yang efektif atas daerah kekuasaan, khususnya atas suku-suku pembangkang di provinsi-provinsi yang terpencil. Kalau pada masa Heian yang mendahuluinya kesenian berkembang makmur, maka pada masa Kamakura-demikian sebutan bagi masa Shogunat Yoritomo-merupakan era yang diliputi Bushido (semangat kaum Samurai) atau keksatriaan Jepang.
Pada tahun 1213 kekuasaan diserahkan-terimakan keluarga Minamoto kepada keluarga Hojo yakni keluarga istri Yoritomo, yang selanjutnya membina pemerintahan militer di Kamakura sampai tahun 1333. Selama masa itu, orang Mongol dua kali menyerang Kyushu sebelah Utara, sekali pada tahun 1274 dan tahun 1281. Meskipun dengan senjata yang kurang memadai, para ksatria Jepang berhasil menguasai pertempuran dan mencegah para penyerbu untuk menerobos kesebelah dalam. Setelah armada mereka hancur akibat angin topan melanda pada kedua penyerbuan tersebut, orang-orang Mongol menarik diri dari Jepang.
Pada tahun 1338 pemerintahan militer dilanjutkan oleh keluarga Ashikaga di Muromachi, Kyoto. Masa Muromachi berlangsung lebih dari dua abad, dari 1338 sampai 1537. Sesudah berkuasa selama dua abad lamanya, Shogunat di Muromachi mulai merasakan adanya tentangan dari dua suku saingan di bagian lain negeri ini. Menjelang akhir abad ke-16, Jepang terkoyak-koyak akibat perang saudara karena penguasa-penguasa daerah yang berperang untuk memperebutkan supremasi.
Akhirnya pada tahun 1590 Jendral besar Hideyoshi Toyomi berhasil memulihkan ketertiban. Usahanya mendamaikan dan mempersatukan negara kemudian diperkuat oleh Ieyasu Tokugawa, pendiri Shogunat Tokugawa. Pada masa transisi perang saudara inilah (1573-1603) banyak puri Jepang yang termasyur dibangun.
Pada era Shogun Tokugawa yang menjalankan pemerintahan Jepang adalah keluarga Tokugawa dengan cara diktator dan secara turun temurun selama 264 tahun (1603-1867). Selain itu ada juga yang menyebut dengan zaman Edo, karena pusat pemerintahan berada di kota Edo (sekarang bernama Tokyo). Pada masa ini, Kaisar hanyalah sebagai lambang kerajaan yang bertempat tinggal di kota Kyoto. Jika Kaisar membuat suatu kebijakan haruslah atas persetujuan dari Tokugawa dan Tokugawa lah yang akan menjalankan perintah itu.
Masuknya Bangsa Portugis Dan Penyebaran Agama Kristen Di Jepang
Para saudagar Portugis mendarat disebuah pulau kecil di Barat daya Jepang pada tahun 1543 dan memperkenalkan senjata api ke negeri ini. Kemudian datang pula para misionaris pimpinan Fransiscus Xaverius, dan serombongan orang spanyol.Para saudagar Belanda dan Inggris juga pernah menetap di Jepang.
Bangsa Potugis berlabuh di Pulau Tanegashima di bagian Selatan Kyushu. Mereka datang dengan membawa senjata yang sangat menarik minat rakyat Jepang yang saat itu sedang mengalami perang saudara. Perang antar keluarga yang ingin merebut jabatan Shogun. Karena hal ini senjata yang dibawa oleh bangsa Portugis cepat meluas di kalangan rakyat, bahkan menjadi faktor penentu dalam setiap peperangan. Dengan kedatangan bangsa Portugis, Jepang mulai membuka hubungan dagang dengan bangsa luar. Hingga akhirnya negara Spanyol, Belanda dan juga Inggris pernah menetap di Negara Jepang.
Para misionaris berhasil menarik banyak pengikut baru terutama diJepang sebelah Selatan. Ia menyebarkan agama Kristen tanpa hambatan dan bahkan didukung oleh penguasa yang ada di Jepang, baik penguasa pusat maupun penguasa di daerah. Dalam waktu singkat dengan mudah agama ini dapat menarik orang-orang Jepang untuk memeluknya, sehingga pada tahun 1605 jumlah penganutnya di daerah Barat sampai Timur sudah mencapai lebih dari tujuh ratus ribu orang.). Diantara penganut agama tersebut terdapat juga para Daimyo yang menjadi pembantu tetap Shogun.
Keberhasilan pemerintahan keluarga Tokugawa dalam menjalankan pemerintahan membuat keadaan negara menjadi damai. Jepang mengalami peningkatan dalam berbagai bidang. Salah satunya adalah dibidang produksi. Karena hal ini, membuat negara Jepang harus mencari daerah lain untuk memasarkan hasil produksinya. Kondisi seperti ini juga membuat timbulnya kota-kota besar di Jepang sebagai pusat perekonomian dan perdagangan. Dikarenakan pasar dalam negeri yang tidak memadai, Jepang kemudian membuka hubungan dengan negara lain. Orang Jepang banyak yang pergi ke luar negeri untuk memasarkan hasil produksinya seperti negara Philiphina, Macao, Siam dan negeri lainnya di Selatan Jepang.
Dengan banyaknya rakyat Jepang yang pergi keluar negeri dan semakin majunya perdagangan, maka ajaran Kristen yang bertolak belakang dengan sistem feodal yang dianut rakyat Jepang pun semakin banyak. Hal ini sangat merisaukan para pimpinan penguasa Jepang. Shogun juga sadar akan ancama politik yang ditimbulkan oleh ajaran tersebut telah menimbulkan perpecahan di antara rakyat dan melemahkan kesetiaan rakyat terhadap pemimpim-pemimpin negara, terutama terhadap Shogun, Shogun sadar akan ampuhnya kekuatan agama Kristen sebagaimana senjata api yang dibawa oleh orang-orang Eropa tersebut. Hingga akhirnya Tokugawa Ieyasu yang saat itu berkuasa mengeluarkan peraturan yang melarang agama Kristen masuk ke negara Jepang.
Pelarangan Penyebaran Agama Kristen Di Jepang
Kegiatan perdagangan luar negeri Jepang yang selama ini telah mengalami kemajuan mendorong berkembangnya agama Kristen di antara rakyat Jepang. Akibatnya pada tahun 1606, Shogun mengeluarkan peraturan anti Kristen, dan mulai menekan penyebaran agama tersebut dengan melarang orang-orang Kristen berhubungan dagang dengan Jepang. Walaupun perdagangan luar negeri sangat menguntungkan Jepang namun shogun Ieyasu menyadari ancaman-ancaman yang di timbulkan oleh agama tersebut, karena sifatnya yang tidak mengakui adanya dewa-dewa Shinto. Untuk menghindari akibat-akibat yang mungkin merugikan wibawa pemerintah, sejak tahun 1612 dengan tegas diadakan penindasan terhadap agama Kristen. Bahkan kapal-kapal dagang asing yang telah mendapat ijin pun dilarang masuk pelabuhan Jepang.
Pada tahun 1616, tindakan penindasan tersebut di pertegas oleh Hidedata, pengganti Shogun Ieyasu. Ia melarang orang-orang Jepang pergi ke luar negeri maupun mengadakan hubungan dagang dengan orang-orang Kristen. Walaupun demikian, di bagian Barat Jepang, orang-orang Jepang (termasuk para Daimyo) pemeluk Agama Kristen tetap melakukan hubungan dagang, yang lama kelamaan menjadi kuat, sehingga Bakufu menjadi cemas.
Melihat keadaan yang demikian, Shogun lebih memperketat lagi larangan tersebut, dengan menolak orang-orang Spanyol yang datang ke Jepang. Akhirnya pada tahun 1633, keluar larangan untuk mengirim kapal-kapal dagang ke luar negeri, dan orang-orang yang berada di luar negeri dilarang untuk kembali ke Jepang, khawatir kalau-kalau mereka yang datang telah mendalami ajaran Kristen. Dilain pihak, untuk mencari orang-orang Kristen yang bersembunyi, Bakufu menetapkan peraturan yang berbunyi ”Barang siapa yang menemukan Orang-orang Kristen yang bersembunyi akan diberi hadiah uang”.
Kemudian untuk menguji kesetiaan orang-orang yang dicurigai menganut agama Kristen, Bakufu menetapkan peraturan supaya mereka menginjak-injak lukisan-lukisan keagamaan atau simbol-simbol yang dianggap suci oleh mereka. Dan setiap orang yang menolak melakukannya akan dibunuh. Peraturan ini disebut dengan Fumi-e dan harus dilaksanakan setiap tahun oleh penduduk kota Nagasaki yang dicurigai sebagai pusat agama Kristen Peraturan ini banyak menimbulkan peretentangan dan ketidakpuasan di kalangan masyarakat Jepang yang menganut agama Kristen.
Hingga akhirnya timbul pemberontakan di daerah Semenanjung Shimabara di Kyushu yang dikenal sebagai pemberontakan Shimabara No Ran pada tahun 1637-1638. Ini merupakan pemberontakan yang menentang peraturan-peraturan yang melarang orang-orang Jepang untuk pergi ke Luar negeri dan larangan masuknya buku-buku bacaan Kristen. Pelaku sebenarnya dari pemberontakan ini adalah kaum petani dan para Samurai yang tidak puas terhadap pemerintah yang semakin keras menekan dalam bidang ekonomi dan politik.
Pemberontakan itu membuat Shogun Tokugawa marah dan memperketat peraturannya, sehingga orang-orang Jepang tidak di perbolehkan untuk pergi ke luar negeri, dan sebaliknya orang-orang Jepang yang di luar negeri tidak diijinkan untuk kembali, dan juga orang asing tidak diperkenankan memasuki Jepang kecuali segelintir orang Belanda dan Cina yang dibatasi geraknya di Pulau Deshima, Nagasaki. Saudagar-saudagar Belanda yang datang hanya bertujuan untuk mencari keuntungan dan tidak tertarik untuk menyebarkan agama Kristen, bahkan bangsa Belanda mau membantu Bakufu untuk mencari orang-orang Kristen di Jepang. Pedagang Cina diijinkan karena Jepang banyak mengimpor sutera kasar dari Cina. Perdagangan dengan Cina dan Belanda di lakukan dengan pengawasan yang sangat ketat, karena ditakutkan adanya penyelundupan kitab dan buku-buku ajaran Kristen.
Pada tahun 1640, orang-orang Spanyol mencoba kembali mengadakan hubungan dagang dengan Jepang, tetapi ditolak oleh Bakufu bahkan seorang utusan mereka dipenggal kepalanya untuk membuktikan bahwa Jepang tidak akan melakukan hubungan dagang dengan luar negeri. Pembuatan kapal-kapal Jepang dibatasi hanya pada kapal-kapal pantai yang tidak layak untuk pelayaran samudra. Akibatnya kapal-kapal dagang Jepang hanya terdiri dari kapal-kapal kecil untuk berdagang antar pulau di lautan Kepulauan Jepang saja. Sejak saat itu Jepang menutup negerinya dari pengaruh-pengaruh luar. Ini dikenal dengan sebutan negara tertutup (Sakoku).
Keadaan Jepang Selama Masa Politik Pintu Tertutup (Sakoku)
Pada masa pemerintahan keluarga Tokugawa, banyak terjadi perubahan yang mengakibatkan kehidupan pada masa itu menjadi dinamis. Salah satu diantaranya adalah adanya pembagian golongan dalam masyarakat. Sistem pemerintahan Bakufu pada Zaman Edo menjalankan pemerintahan berdasarkan penggolongan masyarakat munurut profesinya, yang merupakan pinjaman dari sistem pemikiran Cina. Adanya pembagian golongan ini mengakibatkan hubungan vertikal dalam masyarakat Jepang, terutama dalam hal status, terlihat jelas. Secara keseluruhan masyarakat pada zaman Edo ini dibagi menjadi empat golongan, yaitu:
- Shi (Bushi) yaitu golongan militer;
- No (Nomin) yaitu golongan petani;
- Ko (Shokuin) yaitu golongan pekerja;
- Sho (Shonin) yaitu golongan pedagang.
Dan persentase perbandingan untuk setiap golongan masyarakat tersebut adalah sebagai berikut:
- Shi = 6% dari jumlah penduduk.
- No = 80% dari jumlah penduduk
- Ko = 10% dari jumlah penduduk
- Sho = 4% dari jumlah penduduk
Melihat perbandingan jumlah, Golongan Samurai merupakan golongan yang kecil, tetapi pada kenyataannya mereka merupakan golongan yang terkuat dan tertinggi, sehingga dapat menguasai golongan lainnya. Golongan petani merupakan golongan yang terbesar dan tingkatannya berada langsung dibawah golongan Bushi. Tetapi karena dibebani pajak yang sangat tinggi, mereka sangat susah dan paling rendah tingkat kehidupannya.
Golongan Shokuin dan Shonin terdiri dari orang-orang kota yang mata pencahariannya sebagai buruh dan pedagang. Walaupun tingkat kedudukannya lebih rendah daripada golongan petani, namun karena pertumbuhan kota dan kemajuan perdagangan, mereka menjadi kaya dan kedudukannya menjadi kuat.
Masa penutupan yang dilakukan keluarga Tokugawa, memungkinkan Jepang untuk mengembangkan warisan budaya mereka yang kaya. Kebudayaan yang berkembang pada masa Politik Isolasi ini adalah upacara minum teh (Cha No Yu) yang merupakan penggabungan hasil karya golongan militerat dan golongan pedagang. Kesenian lainnya yang berkembang adalah Ikebana atau seni merangkai bunga yang hadir untuk melengkapi upacara minum teh. Pada masa ini timbul pula suatu seni tari atau drama dikalangan masyarakat pedagang kota yang disebut Kabuki, yaitu suatu bentuk tarian yang dimainkan oleh kaum wanita dengan mengenakan pakaian yang mewah.
Keadaan damai panjang yang dirasakan oleh rakyat Jepang pada masa itu, memungkinkan juga terjadinya perkembangan yang pesat dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan. Selama periode ini pemerintah mengambil langkah untuk mendorong kemajuan ilmu pengetahuan, terutama ajaran Kong Fu Tse yang menekankan kewajiban kepada penguasa dan rakyat agar setia kepada Kaisar dan mendukung pemerintahan Bakufu. Dengan demikian bangsa Jepang banyak melakukan studi yang mendalam tentang penulis-penulis klasik Cina. Untuk pertama kalinya mereka mengikuti ajaran Kong Fu Tse, dan sarjana-sarjana Kong Fu Tse banyak yang tinggal di Edo dan di daerah-daerah Daimyo yang besar. Akibatnya terjadi perkembangan ke arah kemajuan berbahasa Cina.
Pada masa penutupan ini Jepang juga mengalami pertumbuhan ekonomi dan sosial yang mantap. Perdagangan meluas ke seluruh negeri, uang digunakan secara resmi sebagai sebagai alat pembayaran yang diterima diseluruh negeri, dan produksi pertanian melimpah. Pada zaman ini landasan Bakufu lebih diperkokoh lagi. Tenno diakui sebagai keturunan dewa matahari, tetapi tidak boleh turut aktif dalam urusan pemerintahan, dan hanya mempunyai fungsi sakral yaitu sebagai lambang negara saja. Dan Tenno juga tidak diijinkan untuk menerima kunjungan tanpa melalui saluran-saluran yang di tetapkan Bakufu.
Perdagangan pada masa ini berkembang dengan pesat, golongan petani adalah produsen membantu kehidupan golongan-golongan lain. Tapi kehidupan golongan petani sendiri sangat memprihatinkan. Mereka dipaksa membayar pajak dari hasil pertanian dan tanah yang mereka miliki. Karena hal ini banyak petani yang akhirnya meninggalkan tanah pertaniannya dan menjadi buruh tani di tanah pertanian orang lain. Para petani juga membentuk kelompok-kelompok untuk membela haknya dengan kekerasan, memberontak melawan pemerintah. Hal ini membuat kekacauan negara.
Disamping itu, bencana alam dan bahaya kelaparan yang sering terjadi pada masa Tokugawa menambah semangat rakyat untuk meruntuhkan kekuasaan Shogun. Ketika didalam negeri mulai bergolak, negara-negara Barat terus mendesak agar Jepang membuka pintunya. Di tambah lagi banyaknya kelompok masyarakat yang ingin mengembalikan kekuasaan kepada Kaisar. Pada akhir abad ke 18 dan awal abad ke 19 Jepang makin terdesak hebat untuk membuka pantainya bagi dunia luar. Di dalam negeri struktur sosial dan politik yang kaku ciptaan Ieyasu makin terjepit oleh kemajuan waktu.
Latar Belakang Restorasi Meiji
Memasuki abad ke-19 Jepang yang pada era Shogun Tokugawa memberlakukan kebijakan pintu tertutup, nyatanya harus membuka diri dan mau tidak mau harus mengikuti arus perkembangan politik dan ekonomi internasional. Pasca Revolusi Prancis yang terjadi di Eropa telah menyebabkan semakin intensnya lalu lintas perdagangan internasional yang dilakukan oleh bangsa Barat ke daerah perairan Jepang terutama dan telah berupaya untuk membuka kebijakan politik pintu tertutup Jepang. Di bawah ini akan dideskripsikan tentang upaya bangsa asing dalam membuka Jepang dari kebijakan politik pintu tertutup, yang mana pada gilirannya akan membawa perubahan besar bagi bangsa Jepang melalui serangkaian modernisasi yang dilakukan oleh Meiji.
Upaya yang dilakukan oleh bangsa asing itu, bukanlah berarti bertujuan untuk “memajukan” Jepang. Di sisi lain, mereka berkepentingan untuk melakukan investasi demi terus meningkatnya tingkat akumulasi modal sebagaimana yang diharapkan dalam paham kapitalisme yang memang telah berkembang di Eropa, utamanya sejak terjadi Revolusi Industri di Inggris. Namun, di lain pihak hal ini juga menguntungkan bagi Jepang sebab dengan menjalin hubungan dengan bangsa Barat, telah membawa Jepang pada perubahan yang besar dan berdampak bagi perjalanan bangsa Jepang dikemudian hari dalam kancah perpolitikan internasional.
Usaha Bangsa Asing Dalam Politik Pembukaan Negara (Kaikoku) Jepang
Ketika keadaan didalam negeri Jepang sedang bergolak, negara-negara di Eropa sibuk dengan usaha merentangkan sayapnya ke sebelah Timur dengan melalui Samudra Hindia dan Selat Malaka. Mereka terus menerus mendesak Jepang agar mau membuka pintu yang selama ini tertutup. Didalam masa damai yang panjang setelah perang Napoleon di Eropa, negeri-negeri Barat (Eropa) banyak memberi perhatian kepada perdagangan Internasional. Akibat Revolusi Industri, mereka membutuhkan pasar baru untuk menjual hasil-hasil industri dan membeli bahan baku industrinya. Arah pandangan mereka antara lain ke Samudra Pasifik, terutama ke Jepang yang pada waktu itu sedang menjalankan politik pintu tertutup.
Bangsa pertama yang membuka Jepang sebenarnya adalah Rusia. Pada tahun 1792, Rusia yang telah meluaskan wilayahnya hingga Siberia, mengirimkan utusan bernama Adam Laxman ke Nemuro, Hokkaido untuk mengajukan usul resmi membuka hubungan dagang antara ke dua negara. Tetapi usul tersebut ditolak dan Bakufu memberitahukan tentang kebijaksanaan pengasingan Jepang, serta mengatakan bahwa pembicaraan lebih lanjut agar dilakukan di Nagasaki. Kemudian mereka mengusir utusan tersebut, karena Bakufu beranggapan bahwa usul tersebut bertentangan dengan Undang-Undang.
Selanjutnya pada tahun 1807 kapten Golovin diperintahkan untuk memeriksa Pulau Kuriles di bagian Utara Jepang. Tetapi dia dan beberapa kawannya ditangkap oleh tentara Jepang dan kemudian diusir. Pengusiran yang kedua kalinya ini, menyebabkan Rusia menggunakan kekuatan militernya untuk menyerang wilayah bagian Utara Jepang. Akibatnya pemerintahan Bakufu mengawasi kota tersebut dan memperkuat pengawasan disana. Pada tahun 1808 sebuah kapal perang Inggris berlabuh di Nagasaki, tetapi mereka diusir. Dalam tahun 1813 dan 1814 Raffless mencoba kembali untuk memaksa Jepang dengan mengirim dua kapal perang ke Jepang, namun gagal.
Pada tahun 1844 Raja Belanda Willem II mengirim surat kepada Shogun Tokugawa. Dia memperingatkan pemerintahan Jepang bahwa lalu lintas dunia yang sangat ramai tidak memungkinkan Jepang untuk menutup diri selamanya. Prancis pun tidak mau ketinggalan dalam melayari Samudra Pasifik. Pada tahun 1848 sebuah kapal Perancis singgah di Pulau Ryukyu. Kapal Prancis yang mendarat itu kemudian menghasut penduduk pulau tersebut supaya mau berlindung dibawah perlindungan Negara Prancis sebagai tindakan penjagaan terhadap orang-orang Inggris.
Berulang kali bangsa Barat memaksa Jepang membuka pintu dan melakukan kerja sama dalam berbagai bidang, terutama perdagangan. Akan tetapi pemerintahan Jepang tetap teguh pada pendiriannya mengingat pengalaman pahit dalam berhubungan dagang dengan dunia luar, yaitu banyaknya persaingan dan pertentangan yang masih berpegang teguh pada pendirian leluhur. Lain hal dengan Amerika Serikat yang memiliki kepentingan istimewa untuk membuka Jepang. Hubungan kegiatan dan perkembangan penangkapan ikan Paus di Lautan Pasifik, semakin penting bagi Amerika Serikat.
Pada tahun 1837 kapal Amerika The Morrison bertolak dari Macao menuju Jepang, tetapi di Nagasaki kapal ini di sambut dengan tembakkan tentara Jepang.. Akibatnya,kapal terpaksa kembali ke Kanton. Penembakan ini merupakan penembakan untuk yang kesekian kalinya yang dialami kapal-kapal Amerika Serikat. Tambahan pula apabila ada awak kapal yang terdampar atau kadas di perairan Jepang, maka awak kapal tersebut akan diperlakukan dengan kasar, kadang-kadang disiksa dan dibawa ke Nagasaki, kemudian dikembalikan ke negeri asalnya. Faktor lain yang mendorong Amerika Serikat untuk membuka Jepang ialah agar pemerintahan Jepang melindungi awak kapal Amerika Serikatyang terdampar di pantai Jepang.
Untuk maksud tersebut, maka pada musim panas tahun 1853, Amerika Serikat mengirimkan armadanya dibawah Commodore Matthew C Perry. Pada bulan Juli kapal-kapal tersebut memasuki Teluk Edo (sekarang teluk Tokyo). Pengikut Bakufu sangat heran melihat kedatangan kapal dengan senapan-senapan meriam tersebut, dan mereka menyebutnya Kapal Hitam (Kuro Fune). Tambahan pula kapal-kapal tersebut melaju dengan pesatnya, walaupun menentang arus angin. Perry semasa lawatannya menyampaikan surat presiden Amerika Serikat. Dalam surat ini di jelaskan bahwa ekspedisi Perry ini adalah untuk meminta:
- Perlindungan bagi pelaut-pelaut Amerika Serikat yang mengalami kecelakaan laut.
- Pembukaan kota-kota pelabuhan bagi kapal-kapal Amerika Serikat untuk melakukan perbaikan kapal dan menambah perbekalan.
- Pembukaan kota-kota pelabuhan untuk perniagaan.
Commodor Perry bertindak tegas, sehingga pengikut Shogun merasa segan terhadapnya. Sikap Perry ini adalah akibat adanya pengalaman pahit terhadap terhadap Commodore Biddle yang telah diusir dari Jepang, ketika Biddle ditugaskan mengadakan perundingan dengan penguasa Tokugawa tujuh tahun sebelumnya. Biddle berlaku terlalu sopan, sehingga ditolak oleh seorang kelasi Shogun untuk menghadap Shogun.
Tindakan semacam itu dianggap sebagai kelemahan oleh orang Amerika Serikat. Perry meninggalkan surat tersebut, dangan pesan bahwa setahun kemudian armadanya akan kembali ke Jepang untuk memperoleh jawaban pemerintah Bakufu. Pada bulan Agustus, Angkatan Laut Rusia di bawah komandan Laksamana Putyatin berlabuh di Nagasaki. Karena pemerintah Bakufu tidak memberi jawaban apa-apa, maka Putyatin kembali ke negerinya dan bulan Januari tahun 1854 muncul lagi di Jepang.
Sepeninggal Commodor Perry, keadaan dalam negeri Jepang yang sebelumnya sudah agak kacaubertambah kacau lagi akibat adanya pertentangan antara golongan-golongan yang menentang masuknya orang-orang asingdan golongan yang menerima masuknya orang-orang asing tersebut. Golongan pertama menyerukan selogan Sonno Joi (usir orang-orang liar, muliakanlah maharaja). Golongan kedua, menyadari bahwa bagaimana pun juga, apabila Amerika Serikat menggunakan kekerasan, maka Bakufu akan tidak berdaya menghadapi ataupun mengadakan perlawanan, mengingat tidak adanya Angkatan Laut yang kuat.
Oleh karena itu, keputusan diambil oleh Abe Masahiro selaku Rochu (Sekretaris Jendral Shogun) dengan mengizinkan masuknya kapal-kapal asing tersebut. Bakufu telah mengumumkan bahwa Jepang harus menerima syarat yang diajukan oleh Amerika Serikat, apabila negeri Jepang tidak ingin mengalami bencana.
Setahun kemudian Perry datang lagi dengan armada yang lebih besar, yakni tujuh buah kapal perang. Dalam kedatangan itu Perry tidak segan-segan mengancam dengan kekerasan. Kemudian Jepang terpaksa menandatangani perjanjian di Kannagawa yakni sebuah kampung nelayan di Yokohama, pada tanggal 31 Maret 1854. Ini perjanjian itu singkat saja, hanya terdiri dari 12 pasal. Kemudian perjanjian-perjanjian sejenis dibuat pula oleh Bakufu dengan Inggris yang diwakili oleh Laksamana Starling, pada tanggal 14 Oktober 1854 di Nagasaki. Perjanjian ini mengakibatkan kapal-kapal Inggris diijinkan berlabuh di Nagasaki dan Hakodate.
Perjanjian dengan Rusia dibawah Laksamana Putyatin ditanda tangani pada tanggal 17 Februari 1855 di Shimoda, yang mengakibatkan tiga pelabuhan penting yaitu Nagasaki, Shimoda dan Hakkodate dibuka untuk kapal-kapal Rusia. Pada tahun 1956 Townsend Harris tiba di Shimoda untuk menjabat Duta Besar Amerika Serikat yang pertama. Dengan demikian terbukalah pintu Jepang bagi orang-orang Asing, setelah mengisolasi diri selama lebih kurang dua setengah abad, selama pemerintahan Bakufu Tokugawa.
Semenjak dibukanya Jepang untuk orang-orang asing, maka timbullah kekacauan-kekacauan yang semakin meningkat didalam negeri, yang mencapai puncak setelah ditandatanganinya perjanjian perdagangan dan persahabatan antara Jepang dengan Amerika Serikat, Belanda dan Inggris antara tahun 1855-1866 . Perjanjian-perjanjian ini pada umumnya merugikan pihak Jepang, terutama dalam bidang keuangan Jepang, dimana uang emas lebih banyak mengalir ke luar negara Jepang.
Di luar negara Jepang 1 emas = 15 perak, didalam negara Jepang 1 emas = 5 perak. Ini berarti bahwa orang asing dapat mencari keuntungangan tiga kali lipat di Jepang hanya dengan menukarkan uang saja, demikian pula para Chonin (pedagang besar) – terutama yang tinggal di Osaka dan Yokohama – sedangkan kehidupan rakyat kecil semakin sulit.
Dalam bidang politik muncul dua golongan yang saling bertentangan, yakni golongan konservatif dan golongan realistis. Golongan konservatif pada prinsipnya, menentang politik Bakufu mengadakan hubungan dagang dengan Bangsa Asing, dan menginginkan pengembalian fungsi politik pada Tenno (Kaisar) dan ingin menegakkan kambali pemujaan terhadap Tenno dan agama Shinto.
Mereka melontarkan slogan Sonno Joi (usir orang-orang liar, dan muliakan Tenno), yang tergabung dalam kelompok ini adalah Daimyo yang masih termasuk keluarga Tokugawa dan juga Samurai bawahan. Golongan realistis adalah yang berpihak kepada Bakufu dan berpendapat bahwa bagaimanapun juga Jepang harus membuka pintunya terhadap orang asing, karena dikhawatirkan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa lainnya akan memakssa masuk, apabila Jepang menolak permintaan mereka.
Golongan konservatif mengatur strategi dengan mengadakan gerakan-gerakan yakni mengadu kekuatan Bakufu dengan kekuatan asing. Mereka mengadakan aksi-aksi kekerasan dan meneror orang-orang asing yang tinggal di kota-kota Jepang. Pada tanggal 24 Juni 1863 sekelompok orang dari suku Choshu menembaki kapal Amerika Serikat yang sedang berlayar di Selat Shimonoseki. Kemudian pada bulan berikutnya pada tanggal 8 Juli 1863, mereka menyerang kapal Perancis dan pada tanggal 11 Juli 1863, menembaki kapal-kapal Belanda.
Pada bulan September, Richardson, seorang berkebangsaan Inggris yang tinggal di Jepang dibunuh oleh tentara pengawal Satsuma di Namamugi, jalan antara Edo dan Yokohama- ketika tentara pengawal Satsuma mengantarkan Daimyo ke Edo. Peristiwa ini dikenal dengan nama insiden Namamugi. Bertepatan dengan kembalinya tentara pengawal Satsuma dari mengantar Daimyo mereka kembali ke Edo, ditengah jalan mereka berpapasan dengan empat orang Inggris yang sedang menunggang kuda. Keempat orang Inggris ini tidakturun dari kudanya, malah menghadapkan kudanya terhadap iring-iringan Daimyo ini untuk memberi hormat.
Menurut adat Jepang pada waktu itu, apabila seorang besar atau Daimyo lewat, maka rakyat biasa harus memberi hormat, dengan bersimpuh di tanah. Sikap orang-orang Inggris itu dianggap kasar atau kurang sopan. Kemudian satu diantaranya yaitu Richardson dipancung lehernya. Selain itu juga terjadi pembakaran gedung Kedutaan Besar Inggris di Edo, dilakukan oleh kelompok anti orang asing.
Akibat peneroran terhadap orang-orang asing ini, maka Amerika Serikat, Inggris dan Belanda mengadakan serangan-serangan balasan terhadap Jepang. Amerika Serikat membentuk pasukan bersama Perancis kemudian menyerang Choshu sebagai balasan terhadap penembakan kapal-kapal dagang Amerika Serikat. Kemudian pada Agustus 1863 Inggris menyerang Kagoshima Ibukota Satsuma, sebagai balasan terhadap terbunuhnya Richardson. Setelah itu terjadi beberapa kali pertempuran antara Bangsa Asing dengan Jepang anti Bangsa Asing.
Namun, semua pertempuran selalu dimenangkan oleh Bangsa Asing. Hal ini dikarenakan bangsa Jepang yang masih menggunakan militer tradisional. Karena banyaknya kekalahan yang dialami Satsuma dan Choshu maka sebagian kelompok Samurai bawahan mengakui kehebatan militer Bangsa Asing. Bahkan mereka berbalik haluan menerima Bangsa Asing yang datang ke Jepang. Mereka memanfaatkan pengetahuan Bangsa Asing dalam hal militer dan kemudian tidak menolak untuk dilatih militer moderen oleh Bangsa Asing. Satsuma kemudian berlatih militer Angkatan laut dibantu oleh Angkatan Laut Inggris. Choshu mempelajari militer Angkatan Darat yang kemudian menguasai Angkatan Darat Kekaisaran Jepang sampai abad dua puluh.
Perubahan-perubahan politik memang sudah nampak dalam Bakufu sendiri untuk mengembalikan kekuasaan politik kepada Tenno. Ini di tunjukkan dengan jelas, ketika Shogun Iemochi mengadakan lawatan ke Edo tempat tinggal Tenno.Semasa pemerintahan Tokugawa peristiwa semacam ini belum pernah terjadi. Dalam tahun 1866 Shogun Iemochi meninggal dunia dan di gantikan oleh Tokugawa Kieki. Dalam tahun 1867, Kaisar Komei meninggal dunia dan digantikanoleh Kaisar Meiji, yang pada waktu itu baru berumur lima belas tahun.
Akhir dari kekuasaan Bakufu, ialah ketika Shogun Keiki menyerahkan kekuasaannya kepada Kaisar Meiji, pada bulan November 1867. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Tokugawa yang menguasai Jepang selama lebih kurang 260 tahun, dengan sedikit pertumpahan darah. Menurut ahli-ahli sejarah,terdapat dua pendapat utama yang berbeda mengenai sebab-sebab kejatuhan Bakufu. Pendapat yang pertama menyatakan bahwa kejatuhan Bakufu diakibatkan karena dibukanya Jepang secara paksa oleh Amerika Serikat dan negara-negara lain (Inggris, Perancis, Rusia dan Belanda). Pendapat ini menyimpulkan bahwa kerusakan Bakufu Tokugawa dan keruntuhan Bakufu disebabkan oleh masuknya orang-orang asing tersebut.
Pendapat kedua menyatakan bahwa sebenarnya seluruh pemerintahan Tokugawa secara tidak langsung diserang dari berbagai sudut dalam negeri Jepang, lama sebelum Perry datang, desakan perubahan ekonomi, terutama pertumbuhan Chonin (saudagar kaya) dan pemilik modal yang berkembang dengan perlahan-lahan, merusakkan azas-azas Bakufu. Pembentukan Aliansi Sat-Cho, yaitu antara Saigo Takamori, pemimpin Satsuma dengan Kido Takayoshi, pemimpin Choshu. Dengan tujuan melawan Keshogunan Tokugawa dan mengembalikan kekuasaan Kaisar dan oleh sebab itu kedatangan orang-orang Barat yang dilambangkan dengan kedatangan Perry hanya memberikan dorongan akhir untuk kehancuran Bakufu yang memang sudah tidak dapat terelakkan lagi.
Terjadinya pemindahan kekuasaan dari Shogun Tokugawa kepada Kaisar dapat dikatakan berjalan mulus. Meskipun terjadi beberapa pemberontakan, namun tidak sampai menyeret Jepang ke dalam perang saudara. Pertempuran terjadi antara pengikut-pengikut Tokugawa dengan penentang-penentangnya tetapi tidak sampai terjadi perang saudara lebih jauh. Seperti pada tahun1866 pasukan Bakufu di Edo yang ditugaskan untuk menumpas orang-orang Choshu di Barat Daya dapat dipukul mundur oleh tentara Choshu yang sudah dilatih secara Barat. Pada permulaan Januari 1868, terjadi peperangan kecil antara tentara Bakufu dengan tentara Satsuma dan Choshu di Toba-Fushimi. Dalam pertempuran ini, tentara Bakufu mengalami kekalahan. Setelah itu, terjadi beberapa pertempuran, namun dimenangkan oleh tentara pendukung Restorasi Meiji, yang berintikan pasukan Choshu dan Satsuma.
Dimulainya Restorasi Meiji
Pada tanggal 8 November 1867 Shogun terakhir meletakkan jabatan dan menyerahkan kembali kekuasaan pada Kaisar. Maka berakhirlah kekuasaan Bakufu dibawah Tokugawa yang berlangsung selama 264 tahun (1603-1867). Era Meiji (1868-1912) merupakan salah satu masa yang paling menonjol dalam sejarah dunia. Di bawah Kaisar Meiji hanya dalam waktu beberapa dasawarsa saja Jepang berhasil mencapai apa yang memerlukan waktu berkembang selama berabad-abad di Barat, yakni pembentukan negara moderen dengan perindustrian moderen, badan-badan politik moderen dan pola masyarakat yang modern.

Dalam kurun tahun pertama pemerintahannya, Kaisar Meiji memindahkan ibukota Kekaisaran dari Kyoto ke Edo, tempat kedudukan pemerintah feodal dulu. Kota itu dinamakan Tokyo yang bermakna Ibukota Timur. Alasan pemindahan Ibukota Negara adalah sebagai bentuk dari pemerintahan yang baru. Secara harfiah Tokyo berarti ”Ibukota Timur”. Hal ini berlawanan arti dengan Kyoto yang berarti ”Ibukota Barat”, kota yang menjadi pusat pemerintahan Feodal yang dulu. Konstitusi diumumkan dan tegaklah Monarki Konstitusional. Kelas-kelas lama tempat masyarakat terkotak-kotak selama zaman feodal dihapus. Seluruh negeri mengerahkan energi, semangat bagi studi dan pengalihan peradaban Barat yang modern.
Memang dalam masa peralihan ini boleh dikatakan bahwa pemindahan kekuasan dari Shogun kepada Tenno adalah merupakan pemindahan kekuasaan yang luar biasa. Meskipun terjadi pertempuran-pertempuran kecil. Suku-suku Choshu dan Satsuma yang pada mulanya sangat konservatif (tidak menginginkan perubahan), berbalik menjadi tokoh-tokoh modernis (menginginkan terjadinya perubahan), terutama dibawah kelompok Samurai Muda. Ini dibuktikan dengan pembentukan Angkatan Darat dan Angkatan Laut modern yang mencontoh Barat. Tambahan pula kelompok Samurai Muda inilah yang memegang peranan sangat penting dalam pemerintahan Meiji. Merekalah yang mendorong hubungan dengan Barat semakin diintensifkan.
Langkah tegas yang diambil Kaisar Meiji dalam mengadakan hubungan dengan negara-negara Barat ialah diproklamirkannya Ikrar Piagam (Go Ka Jo No Goseimon), pada tanggal 13 Maret 1868, kepada bangsa-bangsa, leluhur, dewa dan dewi dalam suatu tradisi kerajaan. Adapun isi Ikrar Piagam tersebut sebagai berikut :
- Kami akan menyidangkan majelis dan memerintah bangsa sesuai dengan pendapat umum.
- Orang-orang dari golongan atas dan golongan bawah akan disatukan tanpa perbedaan di dalam semua kegiatan.
- Jabatan-jabatan sipil dan jabatan-jabatan militer akan disesuaikan dan semua rakyat jelata akan diperlakukan sama, bahwa mereka akan memperoleh tujuan mereka dan tidak merasakan ketidakpuasan.
- Cara-cara dan adat lama yang tidak berguna akan dilenyapkan dan segala sesuatu akan didasarkan atas kebenaran dan prinsip-prinsip pada dasarnya.
- Pengetahuan akan dicari di antara bangsa-bangsa di dunia dan dengan demikian kesejahteraan kerajaan akan dimajukan.
Akan tetapi, Ikrar piagam tersebut diproklamirkan secara semu, dimana Kaisar bersumpah kepada Tuhan, bahwa beliau sendiri akan bertanggung jawab terhadap pemerintahan. Maka jelaslah bahwa pemerintahan baru itu akan memulihkan bentuk pemerintahan Kerajaan Jepang pada masa lalu. Dilihat dari isi Ikrar Piagam itu ternyata bahwa pendapat umum, dihargai, walaupun masih terbatas pada Daimyo. Juga kebijaksanaan diplomatik dari penutupan negara (Sakoku) kepemerintahan dengan sistem pembukaan negara (Kaikoku).
Tujuan modernisasi tercantum, seperti dinyatakan dalam butir lima, bahwa pengetahuan akan dicari diantara bangsa-bangsa di dunia. Tata negara selanjutnya akan diatur berdasarkan jiwa dari Ikrar Piagam ini. Semboyan pemerintah baru adalah Fukoku Kyo Hei (Negeri kaya dan militer kuat).
Seperti telah disebutkan kejatuhan Bakufu Tokugawa adalah juga akibat berkembangnya Chonin (saudagar kaya), yang semakin lama semakin bertambah kaya. Mereka berkumpul di Osaka, dimana dikatakan bahwa 70 % dari orang-orang kaya di Jepang berkumpul disana. Chonin (saudagar kaya) ini nantinya memainkan peranan yang sangat penting di dalam Restorasi Meiji. Seperti perlawanan yang dilakukan untuk menumpas tentara Bakufu di Toba-Fushimi, Edo, dan Aizu untuk pertempuran ini adalah sumbangan para Chonin.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat lah dipahami pengertian Restorasi Meiji. Yang dimaksud Restorasi Meiji menurut beberapa teori antara lain, ada yang menganggap bahwa Restorasi Meiji adalah penetapan kerajaan mutlak, yang diletakkan satu taraf sebelum meletusnya revolusi rakyat, karena pada masa ini kekuasaan tuan tanah sangat kuat dan industri moderen belum cukup berkembang. Teori yang lain menganggap bahwa Restorasi Meiji adalah gerakan pemulihan pemerintahan kerajaan seperti zaman dahulu dibawah Tenno (Kaisar) oleh ras Samurai bawahan, dengan menghancurkan pemerintahan Bakufu dibawah Shogun Tokugawa.
Kaisar Meiji dengan pemerintahannya yang menerangi dan imaginatif turut membimbing bangsanya melalui dasawarsa-dasawarsa dinamis peralihan, wafat pada tahun 1912 sebelum pecah Perang Dunia I. Tidak dapat disangsikan lagi bahwa Restorasi Meiji telah membawa dampak yang besar bagi Kekaisaran Jepang. Perubahan yang cenderung mengarah pada kemajuan mulai terjadi dan dapat terlihat dari pelbagai bidang seperti pemerintahan, pendidikan, militer, ekonomi dan kebudayaan.
Restorasi Meiji Di Bidang Pemerintahan
Dalam bidang pemerintahan, tahun-tahun permulaan Zaman Meiji adalah merupakan masa perubahan secara drastis, yakni perubahan sistem pemerintahan Jepang dari Negara feodal menjadi Negara Monarki dan pada tanggal 25 Februari 1868 ditetapkan sistem tatanegara baru yakni “Tiga Jabatan dan Delapan Direktorat”. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut;
Tiga Jabatan Tinggi
- Sosai (Penasehat Senior)
- Gijo (Eksekutif Senior)
- Sanyo (Penasehat Junior)
Delapan Direktorat
- Penasehat Khusus
- Jingi Jimuka (Direktorat Agama)
- Naiko Jimuka (Direktorat Dalam Negeri)
- Gaikoku Jimuka (Direktorat Luar Negeri)
- Kairiku Gummuka (Direktorat Angkatan Laut dan Darat)
- Kaikei Jimuka (Direktorat Keuangan)
- Keiho Jimuka (Direktorat Pengadilan)
- Seido Jimuka (Direktorat Tatanegara)
Dampak dari Restorasi Meiji bagi pemerintahan Jepang adalah lahirnya konstitusi 1889 yang menempatkan Kaisar sebagai sumber kekuasan. Pada era Meiji ini dapat terlihat dengan jelas mengenai kedudukan dan fungsi Kaisar dalam Undang-undang Dasar Meiji adalah :
- Kaisar adalah sumber dari segala kekuasaan.
- Real Power dijalankan badan-badan pemerintahan atas nama Kaisar.
- Kedudukan Kaisar adalah suci dan tidak dapat diganggu gugat (Secret and iviolable).
Tenno Meiji meninggal pada tahun 1912, kemudian digantikan oleh putranya sampai tahun 1926 dengan gelar Tenno Taishi. Akan tetapi Tenno Taishi dalam memegang tampuk kekuasaan tidak secakap ayahnya, dan tahun 1926 digantikan oleh anaknya putra mahkota Hirohito dengan gelar Tenno Heika dengan masa pemerintahan Showa (1926-1989).
Masa pemerintahan Kaisar Hirohito inilah yang menyeret Jepang ke dalam Perang Dunia II. Sebab Jepang bercita-cita untuk membentuk Negara Asia Timur Raya yang diilhami oleh ajaran Shinto tentang Hakko Ichi-u (Dunia sebagai satu keluarga – dibawah pimpinan negara Jepang). Memang dalam konstitusi Jepang Raya yang diundang-undangkan pada tanggal 11 Februari 1889, yang berlaku sampai Perang Dunia II antara lain menyebutkan bahwa Dai Nippon Teikkoku (Negara Kekaisaran Jepang Raya) dikuasai oleh Kaisar.
Dalam konstitusi juga disebutkan bahwa Kaisar adalah suci dan tidak dapat diganggu gugat. Kostitusi juga menentukan kaitan Kaisar dengan militer, misalnya pasal 11 menyebutkan Kaisar memegang jabatan tertinggi atas angkatan darat dan angkatan Laut. Pasal 13 menyebutkan bahwa Kaisar menyatakan perang dan membuat perjanjian-perjanjian. Oleh karena itu tidak heran kalau Kaisar Hirohito pada tanggal 8 Desember 1841 menyatakan perang kepada Amerika Serikat dan Inggris setelah tanggal 7 Desember 1941 menghancurkan Pearl Harbour.
Restorasi Meiji di Bidang Pendidikan
Selama masa Feodal, berbagai lembaga pendidikan berkembang untuk mengisi kebutuhan berbagai golongan sosial. Para penguasa provinsi mendirikan sekolah-sekolah khusus bagi anak-anak prajurit, sedangkan masyarakat pedalaman menyelenggarakan sekolah-sekolah tertentu bagi anggota golongan saudagar dan petani yang kaya. Jenis lain dari sekolah swasta adalah terakoya, dimana diajarkan membaca, menulis dan ilmu hitung kepada anak-anak rakyat, terutama di kawasan kota.
Menurut tradisi, pendidikan seorang anak dimulai di rumah dengan memberikan pelajaran tentang pekerjaan keluarga serta sopan santun hidup, sedangkan pendidikan formal hanya melanjutkan pelajaran-pelajaran itu. Dengan demikian, dalam suatu tatanan budaya yang terpadu dan yang berpola tunggal, sekolah hanya mempunyai peranan tambahan dan pelengkap. Bersamaan dengan proses modernisasi, pemerintah mulai pula memberi perhatian terhadap pendidikan rakyat, karena pendidikan mempunyai dasar yang baik untuk mendorong kemajuan. Para pemimpin Jepang segera berpaling ke arah gagasan pendidikan Barat.
Sejak Restorasi Meiji, pendidikan mendapat perhatian khusus. Pendidikan pada periode Meiji ini banyak meniru sistem Barat. Setelah tahun1868, sistem pendidikan baru itu dibebani dengan tugas-tugas yang menimbulkan pertentangan-pertentangan dengan peranan tradisional keluarga. Sekolah-sekolah yang baru itu menjadi alat revolusi sosial dan budaya. Oleh karena pendidikan diberi tugas untuk menyebarluaskan pengetahuan dan pengertian tentang budaya Barat dan dengan demikian mempersiapkan kaum muda bagi tugas-tugas dalam suatu masyarakat industri, maka berkuranglah peranan keluarga dalam melatih keterampilan.
Keberhasilan dalam zaman yang baru ini bergantung bukan kepada keterampilan tradisional yang diperoleh dalam keluarga, tetapi terutama kepada penguasaan beberapa segi pendidikan baru seperti rekayasa mesin, Hukum Prancis, sistem pembukuan rangkap, atau percakapan Bahasa Inggris.
Cabang-cabang pengetahuan yang dapat memperkokoh landasan nasional baru banyak menarik perhatian mereka. Dua orang pelajar bernama Tsuna dan Nishi dikirim ke Universitas Leiden di Belanda pada tahun 1862. Disana mereka mempelajari hukum alam, hukum bangsa-bangsa, hukum konstitusi, ekonomi dan statistik selama 4 tahun di bawah bimbingan Profesor Simon Vissering. Setelah itu orang-orang Jepang banyak melakukan penelitian mengenai berbagai cabang ilmu pengetahuan Barat.
Pemerintah memberlakukan sistem wajib belajar kepada seluruh rakyat dengan tidak membedakan jenis kelamin, tingkat sosial atau kekayaan. Untuk memperluas dan mengembangkan pendidikan rakyat tersebut sistem pendidikan moderen diterapkan pada tahun 1872 ketika pemerintahan mendirikan sekolah dasar dan sekolah menengah diseluruh negeri.
Pada tahun 1886 setiap anak diwajibkan belajar di sekolah dasar selama tiga tahun. Pada tahun 1900 pendidikan wajib diberikan cuma-cuma dan pada tahun 1908 waktunya diperpanjang menjadi enam tahun. Setelah Perang Dunia II masa wajib belajar menjadi sembilan tahun hingga kini, mencakup sekolah dasar dan sekolah lanjutan pertama.
Struktur dasar dan prinsip sistem pendidikan dewasa ini tercantum dalam dua Undang-Undang yang disahkan pada tahun 1947 yaitu Undang-Undang Fundamental Pendidikan dan Undang-Undang Pendidikan Sekolah. Konsep sentral dalam pendidikan Jepang dewasa ini adalah mencetak warganegara yang percaya pada diri sendiri dalam negara dan masyarakat yang damai dan demokratis yang menghormati hak-hak manusia dan memiliki rasa cinta terhadap kebenaran dan perdamaian.
Prinsip dasar lain yang dinyatakan dalam Undang-Undang adalah kesempatan pendidikan yang sama bagi semua orang sesuai dengan kemampuannya. Undang-Undang melarang adanya diskriminasi yang didasarkan atas ras, kepercayaan, status sosial, posisi ekonomi, atau latar belakang keluarga. Undang-Undang tersebut menitikberatkan pentingnya pengetahuan politik dan toleransi keagamaan dalam membina warganegara yang sehat, namun secara khusus juga melarang ikatan apapun antara partai-partai politik atau agama dengan pendidikan.
Mata pelajaran di sekolah negeri ditekankan pada studi sosial, sejalan dengan Undang-Undang pendidikan yang mendorong adanya pendidikan sosial dan menganjurkan negara dan pejabat setempat untuk mendirikan lembaga-lembaga seperti perpustakaan, museum dan balai pertemuan. Sistem pendidikan terbagi atas empat tahap:
- Taman Kanak-Kanak (satu sampai tiga tahun);
- Sekolah Dasar (enam tahun);
- Sekolah Lanjutan Pertama (tiga tahun); dan
- Universitas (empat tahun).
Sebagai penunjang kemajuan ilmu pengetahuan, pemerintah mulai mengundang para pengajar Asing. Karena itu waktu Universitas Tokyo pertama kali didirikan, pengajarnya sebagian besar terdiri dari tenaga asing yang jumlahnya kira-kira berjumlah 5.000 orang.
Bapak pendidikan Jepang Fukuzawa Yukichi (1835-1901) mengungkapkan bahwa yang penting bagi Jepang adalah Jitsugaku, yakni ilmu pengetahuan yang dapat berguna langsung bagi kehidupan masyarakat, dalam hal ini adalah ilmu pengetahuan praktis dari Barat. Ia juga merupakan salah seorang penganjur hak-hak wanita yang berjuang tak kenal lelah untuk memberikan kesempatan pendidikan yang sama kepada wanita.
Pada tahun 1807 Fukuzawa Yukichi memulai dari kalangan keluarga dan teman-temannya dalam mengajarkan gagasan-gagasan akan kebebasan, persamaan hak, membiasakan cara berfikir pengetahuan empiris. Untuk memusatkan pada pendidikan, ia dipacu oleh kemajuan pesat yang telah ia perhatikan di Negara-negara Eropa. Dan melalui pendidikan ini ia berharap tidak hanya merubah konsep-konsep tradisional saja, tetapi juga membantu membangun perekonomian negara.
Restorasi Meiji Di Bidang Militer
Dalam bidang militer terdapat dua peranan besar yang mempengaruhi pembaharuan angkatan perang yaitu Choshu dan Satsuma. Chosu yang memegang peranan Angkatan Darat lebih condong ke Jerman dalam angkatan perangnya. Sedangkan yang menguasai Angkatan Laut lebih condong ke Inggris dalam kekuatan militernya. Untuk melaksanakan negara yang modern, organisasi militer yang efisien merupakan kebutuhan yang mutlak. Suatu dinas militer dimonopoli kelas Samurai bukan saja mencerminkan sistem feodal, tetapi juga merupakan hambatan serius terhadap usaha penghapusan sistem kelas feodal. Oleh karena itu, Samurai di bubarkan dan diganti menjadi Tetara Nasional.
Selain itu pemerintah juga mengeluarkan peraturan penghapusan Haito-Rei yang melarang para Samurai untuk membawa Katana yang merupakan senjata para Samurai. Hal ini menyebabkan terjadinya Pemberontakan Satsuma tahun 1877. Golongan Satsuma yang awalnya merupakan pendukung pembaharuan dan pemerintah berbalik melawan pemerintah.
Dampak dari pemberontakan ini bukan hanya terasa bagi golongan samurai tapi juga bagi pemerintah. Bagi golongan samurai pemberontakan ini merupakan akhir perlawanan secara fisik kelas istimewa di masyarakat Jepang, dan penyampaian aspirasi berubah jalur menjadi pembentukan partai politik atau jalur birokrasi. Bagi pemerintah pemberontakan ini membuktikan bahwa senjatara modern lebih efisien dari pada senjata tradisional.
Dalam rangka memperkuat militer, pemerintah segera mengambil alih fasilitas pembuatan persenjatan dan penggunaannya untuk industri perang. Dengan membuka jalan kereta api yang pertama pada tahun 1872 rencana perluasan industri perang dapat diwujudkan, tetapi hal tersebut belum cukup untuk memenuhi keperluan rencana pengembangan kekuasaan militer. Karena itu pada tahun 1873 pemerintah memperlakukan wajib militer umum untuk menggantikan pola lama yang didasarkan pada kelas bagi dinas militer. Untuk memajukan angkatan perang baru ini pemerintah mewajibkan semua laki-laki berumur 20 tahun keatas untuk menjalankan tugas militer, dengan beberapa pengecualian.
Di samping itu pemerintah segera mengirim seorang utusan bernama Yamagata Aritomo ke Prancis dan Prusia (Jerman) untuk mempelajari organisasi militer modern berdasarkan model Barat. Yamagata Aritomo sangat berjasa dalam pembangunan Angkatan Darat di Choshu, menghendaki bahwa untuk mengangkat martabat Jepang sederajat dengan negara-negara lain terutama negara-negara Barat yang sudah modern, Jepang harus mempunyai kekuatan militer yang moderen dan disegani oleh negara lain. Untuk maksud itu maka pada tahun 1872, pemerintah mengumumkan Peraturan Wajib Militer.
Pada tanggal 28 Desember 1872, Kaisar mengumumkan Undang-Undang wajib militer, yang isinya sesuai dengan instruksi resmi pemerintah pada tanggal 28 November 1872, ditujukan kepada segenap warga negara laki-laki dari semua golongan yang sudah mencapai umur 20 tahun. Mereka diwajibkan masuk militer (Angkatan Darat dan Angkatan Laut), untuk menjaga ketahanan nasional, dalam rangka melaksanakan slogan Fukoku Kyo Hei (negeri kaya, Militer Kuat). Juga bertujuan mengakhiri jabatan-jabatan militer oleh segolongan Samurai yang telah memonopoli berabad-abad. Juga untuk bermaksud menumbuhkan nasionalisme Jepang. Dan pemerintah menyerukan untuk menyebar luaskan Undang-Undang ini kepada seganap rakyat oleh kapala-kepala distrik dan kepala-kepala desa.
Sekembalinya ke Jepang, Yamagata Aritomo membentuk tentara Jepang yang terdiri atas para Samurai dan rakyat umum. Pada tahun 1878 Yamagata mengorganisasikan Staf Umum Angkatan Perang Jepang menurut model Prusia (Jerman) dan pada tahun 1883 sebuah Akedemi Militer dibangun, sehingga para perwira muda Jepang tidak perlu dikirim untuk belajar ke luar negeri. Rencana pembangunan Angkatan Laut dimulai dengan pembuatan badan-badan kapal oleh Jepang sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk keperluan pengawalan Jepang.
Restorasi Meiji Di Bidang Ekonomi
Pada masa pemerintahan Tokugawa, keluarga memiliki peranan penting dalam melatih keterampilan. Umumnya orang berharap bahwa seorang anak akan meneruskan pekerjaan ayahnya. Dengan demikian, gudang pekerjaan dan keterampilan yang diemban suatu keluarga diajarkan dan dipraktekkan di rumah.
Kuatnya ikatan keluarga tradisional terutama karena adanya ketergantungan satu sama lain para anggotanya dalam perekonomian. Pekerjaan terikat pada keluarga, bukan pada perorangan, karena keluarga merupakan satuan produksi. Untuk memperoleh pendapatan keluarga diperlukan usaha bersama seluruh keluarga. Jalan yang lumrah dan aman bagi seorang anak laki-laki adalah meneruskan pekerjaan keluarga, karena dengan demikian latihan, modal dan pertolongan pada waktu darurat akan selalu tersedia dan merupakan bantuan penting bagi kelangsungan hidupnya. Dalam tatanan ekonomi yang terbatas, kekuasaan untuk menolak mewariskan perusahaan keluarga merupakan wewenang yang dilakukan sang ayah. Alasan kuat mengapa seorang anak harus tunduk pada wewenang ayahnya, ialah karena sifat memberontak akan memperkecil ruang hidup baginya diluar bidang pekerjaan keluarga.
Dalam bidang ekonomi, Jepang telah mengalami perkembangan yang pesat dalam perdagangan dan industri. Dengan majunya bidang pendidikan dengan sistem pendidikan Barat yang diterapkan oleh negara Jepang, ditambah dengan banyaknya pelajar Jepang yang dikirim keluar negeri serta banyaknya tenaga pengajar dari Eropa yang didatangkan ke negara Jepang untuk memberikan edukasi membuat negara Jepang memiliki sumber daya manusia yang berkualitas. Sebelum adanya Restorasi Meiji, Jepang adalah negara dengan masyarakat agrikultur dan hanya meneruskan usaha keluarga secara turun menurun. Namun, pasca Restorasi Meiji, Jepang menjadi sangat unggul dalam bidang manufaktur. Terdapat pembangunan jalan raya, jalur kereta api dan dilakukan reformasi kepemilikan tanah.
Dalam usaha meningkatkan industri swasta, pemerintah membangun industri-industri baru melalui pabrik percontohan yang pada mulanya dibiayai dan dikelola dengan modal pemerintah. Untuk menciptakan peluang pengembangan industri dan mendorong para Samurai memasuki lapangan bisnis, pemerintah juga membuat kebijaksanaan pendirian perusahaan-perusahaan pemerintah dan penciptaan kesempatan kerja.
Pusat penelitian, laboratorium dan sekolah banyak didirikan untuk melatih, membantu dan mendukung berbagai industri. Setelah industri-industri tersebut terorganisasi dengan rapi dan usahanya berjalan dengan baik, secara bertahap pemerintah akan menjualnya kepada perusahaan swasta dengan harga yang murah. Hal ini pun ditujukan untuk merangsang pertumbuhan industri dan lapangan bisnis.
Karena kurangnya pengalaman dan tidak hadirnya modal asing, maka pertumbuhan perekonomian Jepang berjalan sangat lambat, tidak sesuai dengan yang diharapkan. Walaupun begitu usaha mencari pinjaman luar negeri dilakukan hanya kepada Inggris, dan penanaman modal asing dibatasi, karena orang Jepang tidak menghendaki sebagian besar ekonominya dikuasai asing.
Dalam usahanya mendirikan dan membangun perusahaan tersebut, pemerintah banyak menggunakan peralatan dan teknologi Barat. Para industriawan mengimpor pabrik tekstil lengkap dari Perancis dan mendatangkan teknisi-teknisi Perancis untuk memasang peralatan dan mengajar para pekerja Jepang bagaimana cara menjalankan peralatan tersebut.
Bersamaan dengan modernisasi ekonomi, untuk menunjang kemajuan perindustrian pemerintah menciptakan sistem perbankan moderen. Pada tahun 1873 didirikan Bank Nasional dengan mencontoh Amerika Serikat. Penataan kembali sistem keuangan nasional pun dilakukan secara mendasar dengan mencontoh model Eropa. Pada tahun 1899 disusun Undang-Undang Perbankan dan Bank Sentral Jepang didirikan, untuk lebih mendorong pertumbuhan ekonomi.
Untuk memodali perdagangan dan membantu eksportir Jepang dalam persaingan dengan orang-orang asing, pemerintah mendirikan Bank Spacie Yokohama sebagai Bank utama untuk pertukaran luar negeri. Bank Hipotik Jepang (Nihon Kangyo Ginko) menyediakan pula pinjaman jangka panjang untuk membantu perkembangan industri. Disamping itu pemerintah mulai memperkenalkan sistem keuangan dasar sistem desimal dengan Yen sebagai satuannya, serta mulai menerima penggunaan emas sebagai standar perekonomian mereka.
Restorasi Meiji Di Bidang Budaya
Jepang di era Meiji merupakan titik balik dalam perkembangan politik, ekonomi dan pendidikan di Jepang dengan meniru sistem-sistem negara-negara Barat, dan dalam bidang kebudayaan juga mendapatkan pengaruh dari Negara Barat. Namun, meskipun mendapat pengaruh dari Barat, kebudayaan asli Jepang tetap di pertahankan hingga saat ini, seperti Pakaian Kimono, upacara minum teh, seni merangkai bunga dan pembuatan taman pemandangan alam, yang berpangkal pada kebiasaan dan adat istiadat Jepang yang telah berlaku sejak ratusan tahun yang lalu merupakan sendi-sendi kebudayaan Jepang.
Orang Jepang sangatlah memperhatikan perkembangan seni, baik sebagai penonton maupun pelaku. Sejak perang telah terjalin pertukaran seni internasional dengan giat. Banyak lukisan Jepang dan karya-karya seni lain nya dipamerkan diluar negeri.
Daftar Bacaan
- Akamatsu, Paul. 1972. Meiji 1868: Revolution and Counter-Revolution in Japan. New York: Harper & Row.
- Beasley, William G. 1972. The Meiji Restoration. Stanford: Stanford University Press.
- Beasley, William G. 1995. The Rise of Modern Japan: Political, Economic and Social Change Since 1850. New York: St. Martin’s Press.
- Craig, Albert M. 1961. Choshu in the Meiji Restoration. Cambridge: Harvard University Press.
- Jansen, Marius B.; Gilbert Rozman, eds. 1986. Japan in Transition: From Tokugawa to Meiji. Princeton: Princeton University Press.
- Totman, Conrad. 1988. “From Reformism to Transformism, bakufu Policy 1853–1868”, in: T. Najita & V. J. Koshmann, Conflict in Modern Japanese History. New Jersey: Princeton University Press.