Revolusi Prancis
Revolusi Prancis – Revolusi Prancis adalah suatu perubahan besar yang terjadi di bidang politik dan sosial yang awal mulanya terjadi di Prancis dan akhirnya merembet ke berbagai negara di Eropa. Revolusi Prancis juga dapatlah dikatakan sebagai awal dari terwujudnya demokrasi modern di Dunia Barat, di mana kebebasan hak individu dapat diraih. Sejak Abad Pertengahan di Eropa, otoritas tertinggi dipegang oleh para pejabat negara di gereja, di mana para pejabat itulah yang memiliki kekuasaan dan hak-hak istimewa untuk menikmati jerih payah kaum kelas bawah, di mana hal ini telah banyak menimbulkan kekacauan terutama pada sektor perekonomian.
Di dalam artikel ini akan dijelaskan tentang sejarah Revolusi Prancis tahun 1789 sebagai awal terjadinya perubahan besar di bidang politik dan sosial di Prancis. Monarki absolut yang telah memerintah Prancis selama berabad-abad runtuh dalam waktu 3 tahun. Masyarakat Prancis mengalami transformasi historis, ketika hak istimewa feodal, aristokrat, dan religius dicabut dan prinsip-prinsip kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan (Liberte, egalite, dan fraternite) diberlakukan.

Pecahnya Revolusi Prancis pada tahun 1789 terjadi karena ketidakpuasan rakyat dan terutama adalah kaum borjuasi terhadap pemerintahan Prancis yang dipimpin oleh Louis XVI. Selain itu, Revolusi Prancis juga telah mengobarkan semangat cita-cita Pencerahan (Zaman Pencerahan). Zaman Pencerahan ini telah membebaskan pemikiran manusia dari takhayul dan tradisi serta kemenangan kebebasan atas tirani dan keberhasilan pembentukan lembaga-lembaga keadilan.
Revolusi Prancis merupakan sebuah masa peralihan politik dan sosial dalam sejarah Prancis. Pada saat itu, kaum demokrat dan para pendukung republikanisme bersatu menjatuhkan sistem pemerintahan monarki abosolut, yang dianggap terlalu kaku dan memberikan keistimewaan berlebih pada keluarga kerajaan dan golongan bangsawan. hal tersebut di karenakan raja Louis XVI , hidup mewah dan memboroskan investasi atau harta kerajaan ketika sebagian besar rakyatnya hidup dalam kemiskinan. lalu rakyat menghendaki pemerintahan yang memerhatikan hak-hak mereka. Dalam Revolusi Prancis, mereka menggunakan slogan “Persamaan, Kebebasan, dan Persaudaraan” (Liberte, Egalite, Fraternite). Revolusi Prancis berakhir pada November 1799 dengan dibubarkannya monarki absolut Prancis, yang diganti dengan bentuk negara monarki terbatas dan selanjutnya berubah menjadi republik.
Latar Belakang Revolusi Prancis
Sebab-sebab Revolusi Prancis dapat dilihat berdasarkan struktur masyarakat yang bercorak feodal; kebobrokan pemerintahan rezim lama (terutama pemerintahan Louis XVI), masalah kelaparan yang sudah mulai terjadi sejak tahun 1709 dan kemunculan para pemikir yang memberikan ide untuk menumbangkan monarki. Di bawah ini akan diuraikan tentang hal-hal yang menyebabkan terjadinya Revolusi Prancis.
Struktur Masyarakat Prancis
Struktur masyarakat Prancis terdapat ketidaksamaan mengenai pemberian hak istimewa. Masyarakat Prancis sejak abad ke-8 terbagi dalam tiga golongan atau tingkatan (estate), yaitu kaum tingkatan pertama, kaum tingkatan kedua, dan kaum tingkatan ketiga. Kaum imam dan bangsawan yang berjumlah 500.000 orang dari populasi 26-27 juta, menikmati hak-hak istimewa. Struktur sosial semi-feodal, yang berlandaskan ketidaksetaraan yang didukung oleh hukum, di mana situasi inilah yang kelak akan menghasilkan ketegangan-ketegangan yang menyebabkan terjadinya revolusi.
Tingkatan pertama terdiri dari pendeta yang memiliki kekuasaan dan hak-hak istimewa gereja Katolik Prancis dan telah membuatnya seolah-olah sebagai negara di dalam negara. Gereja melakukan pekerjaan yang setara dengan urusan administrasi yang seharusnya dipegang oleh negara. Gereja mendata kelahiran, perkawinan, dan kematian; mengumpulkan pajak; menyensor buku-buku yang dianggap membahayakan agama dan moral; menyelenggarakan sekolah-sekolah; dan menyalurkan pertolongan kepada kaum miskin.
Namun demikian, meskipun mereka menyetujui untuk secara sukarela membayar pajak setiap lima tahun, nyatanya gereja tidak membayar pajak, meski produksi yang dihasilkan dari pekerjaannya tersebut membuahkan keuntungan yang sangat banyak. Para pendeta bersikap dan bergaya hidup yang sama dengan kaum bangsawan yang sebenarnya merupakan asal-usul mereka.
Tingkatan kedua, kaum bangsawan adalah golongan yang mempunyai hak istimewa. Kaum bangsawan memegang posisi tertinggi di dalam gereja, tentara, dan pemerintahan. Mereka juga tidak membayar pajak, dan banyak terlibat di dalam usaha seperti perbankan dan keuangan. Kaum bangsawan selalu curiga dan tidak toleran kepada ide-ide liberal yang dikembangkan para pelopor pencerahan seperti Montesquieu, Condorcet, dan d’Holbach. Namun ada juga kaum bangsawan yang menyujui ide-ide dari para pemikir liberal tersebut. Dipengaruhi oleh cita-cita liberal, sebagian bangsawan ingin mengakhiri depotisme kerajaan dan membentuk pemerintahan konstitusional. Tetapi mayoritas kaum bangsawan yang ingin melestarikan hak-hak istimewanya, memusuhi cita-cita liberal dan melawan pembaruan.
Tingkatan ketiga terdiri dari kaum borjuis, kaum petani, dan para buruh perkotaan. Menjelang 1789 kaum borjuis telah naik secara sosial melalui pembelian suatu jabatan yudisial atau politik dengan menyandang gelar kebangsawanan. Mereka mengusahakan suatu parlemen yang akan membuat undang-undang untuk bangsa; sesuatu konstitusi yang akan membatasi kekuasaan raja dan menjamin kebebasan berpikir, peradilan yang adil, toleransi religius; dan pembaruan administratif yang akan melenyapkan pemborosan. Sedangkan para buruh perkotaan berjuang untuk bertahan hidup dalam menghadapi kekurangan makanan dan naiknya harga-harga, khususnya harga bahan-bahan pokok. Kekurangan material mendorong kaum miskin perkotaan melakukan kekerasan yang kelak akan mempengaruhi jalannya revolusi.
Pemerintahan Louis XVI
Louis XVI naik takhta Kerajaan Prancis pada usia 20 tahun yang tidak mampu mengontrol orang-orang terdekatnya dan bahkan cenderung dipengaruhi oleh istrinya yang berasal dari Austria, Marie Antoinette dan juga kedua saudara laki-lakinya, comte Provence dan comte Artois. Untuk dijadikan sebagai penasehat utama, Louis XVI menunjuk Maurepas. Maurepas kemudian memecat Maupeou yang telah memprakarsai perombakan di bidang peradilan dan salah satu keputusan terbesar Maupeou adalah membubarkan parlements.
Setelah memecat Maupeou, Maurepas segera mengundang kembali kehadiran parlements yang bertujuan menenangkan suasana ditengah hilangnya kredibilitas monarki Prancis. Akan tetapi, usaha itu ternyata semakin memperlemah sistem monarki. Para parlements melakukan tindakan-tindakan sistematis untuk memperlemah posisi monarki. Maurepas kemudian mengusulkan kepada Louis XVI untuk menunjuk Vergennes sebagai Sekretaris Negara Urusan Luar Negeri dan Turgot sebagai Pengawas Umum Keuangan.
Sebagai seorang Pengawas Umum Keuangan, Turgot mengusulkan kepada Louis XVI untuk mengatasi permasalahan defisit anggaran tanpa menggunakan cara-cara jalan pintas (menaikkan pajak, menggali pinjaman), tetapi dengan cara memperketat ekonomi dan terutama perbaikan tingkat pendapatan pajak yang dihasilkan dari pertumbuhan kekayaan secara merata. Untuk itu, Turgot mengambil langkah kebijakan yang menurutnya akan mendorong pertumbuhan kekayaan nasional serta pemerataan beban yang ditanggung dalam sebuah kerangka ekonomi liberal.
Pada bulan September 1774, Turgot memberlakukan kembali liberalisasi perdagangan benih untuk meningkatkan hasil produksi. Pada bulan Januari 1776, Turgot menghapus sistem kerja paksa kerajaan dan menggantinya dengan subsidi kedaerahan, bentuk pajak yang berupa uang dikenakan terhadap semua tanah hak milik, serta menghapuskan lembaga jurandes, perkumpulan pengrajin ahli maupun korporasi, sehingga semua pekerjaan menjadi bebas. Kebijakan yang diberlakukan oleh Turgot telah banyak menyita hak-hak istimewa berbagai kalangan. Selain kebijakan di atas masih banyak kebijakan-kebijaka lain yang hendak diberlakukan, namun Turgot akhirnya diberhentikan setelah sang ratu, Marie Antoinette dan orang-orang yang memusuhi Turgot memaksa raja untuk memberhentikannya.
Setelah pemberhentian Turgot, sistem kerjapaksa maupun korporasi kembali dihidupkan. Maurepas mengusulkan untuk mengangkat Jacques Necker yang merupakan seorang penganut sistem Colbertisme tradisional dan sangat memusuhi liberalisasi ekonomi. Usulannya adalah mendapatkan pinjaman sebanyak-banyaknya dengan tingkat suku bunga serendah-rendahnya, sehingga dapat mengalirkan berjuta-juta livres ke kas negara, tetapi utang negara justru bertambah parah. Padahal tahun 1778 atas dorongan Vergennes, Prancis secara resmi menyatakan dukungannya terhadap Revolusi Amerika, mengakui keberadaan negara Amerika Serikat dan memberikan jaminan bantuan kepada mereka.
Akan tetapi, yang perlu dicatat adalah bahwasanya perang tentu memakan biaya yang besar dan memperburuk defisit dan utang negara. Politik pinjaman tampaknya tidak mampu lagi mengatasi masalah dan kepercayaan kepada Necker semakin berkurang. Pada bulan Mei 1781, Necker pun mengundurkan diri setelah diterbitkannya Compte rendu au roi (Laporan kepada raja), yang merupakan sebuah bentuk pembelaan dirinya yang mengungkap betapa besarnya anggara pengeluaran di dalam lingkungan istana.
Pada bulan November 1783 atas dorongan Marie Antoinette, Louis XVI mengangkat Calonne sebagai Pengawas Umum Keuangan. Calonne menjalankan politik yang banyak menghamburkan uang negara yang diperoleh dari dana pinjaman. Padahal, sejak 1770, pertumbuhan ekonomi mulai lesu, terbukti dari kemandekan produksi, harga dan pendapatan. Pada tahun 1786, Calonne sudah tidak dapat lagi menemukan pemberi pinjaman yang menyebabkan ia menguslkan kepada raja sebuah perombakan besar yang diilhami oleh kebijakan Turgot, khususnya pemberlakuan pajak subsidi kedaerahan, yang dibebankan kepada seluruh pemilik tanah.
Sebagai upaya untuk menghindari tantangan yang diperkirakan akan datang dari parlements, ususlan tersebut disampaikan di hadapan sebuah majelis pembesar yang dipilih oleh raja, dan hampir semuanya berasal dari kalangan bangsawan. Majelis menolak penerapan prinsip persamaan dihadapan pajak dan mencela cara yang ingin diterapkan oleh Calonne. Akhirnya Calonne diberhentikan oleh raja pada bulan April 1787 dan digantikan oleh Lomenie de Brienne, seorang uskup agung Toulouse.
Brienne yang segera menjabat sebagai Pengawas Umum Keuangan segera membubarkan majelis pembesar, dan pada bulan Agustus 1787 mengesahkan pajak subsidi kedaerahan yang dinyatakan ilegal oleh para anggota parlements. Louis XVI kemudian mengasingkan parlements ke Troyes dan kembali ke Paris pada bulan Oktober setelah mencapai beberapa kesepakatan. Menteri Pengadilan, Lamoignon pada bulan Mei 1788 berupaya melakukan perombakan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Maupeou. Namun, tindakan ini mendapatkan perlawanan dari semua pihak yang masing-masing menuntut pengadilan berdasarkan keinginan dan kepentingan mereka sendiri.
Dengan demikian, maka telah terlihat secara jelas perbedaan kepentingan antara para anggota parlements yang berupaya keras mempertahankan kedudukan dan hak istimewanya sendiri dan kaum bangsawan yang berupaya untuk tetap melestarikan kekuasaan mereka di sejumlah pemerintahan, sementara para pejuang sistem perwakilan Tiga Kaum menuntut bentuk monarki yang terkendali dan penghapusan hak-hak istimewa.
Kerusuhan menentang keputusan-keputusan Lamoignon meletus di Paris, Rennes, dan Grenoble. Pada tanggal 8 Agustus 1788 Brienne mengundang Majelis Perwakilan Seluruh Kaum (etats generaux) untuk melaksanakan sidang pada tanggal 1 Mei 1789 dalam rangka mencari solusi atas krisis keuangan yang melanda Prancis. Akan tetapi, sebelum sidang itu terjadi, pada 25 Agustus 1788 Brienne justru mengundurkan diri.
Jacques Necker yang kemudian diangkat menjadi Menteri negara kembali mengundang parlements dan membatalkan tindakan yang dilakukan oleh Lamognon atas desakan berbagai kalangan. Akan tetapi, persoalan besar yang muncul justru menyangkut bentuk majelis perwakilan itu sendiri di masa mendatang. Para pejuang rakyat, yang menyerukan perombakan menyeluruh, bukan hanya peraturan perpajakan semata, menuntut agar kaum ketiga memiliki jumlah yang sama dengan jumlah gabungan kedua kaum yang lain agar pemungutan suara dapat dilakukan per kepala, bukan per kaum.
Pada tanggal 25 September 1788, parlement Paris meminta agar majelis melakukan sidang seperti dahulu, dengan setiap kaum memiliki satu hak suara serta jumlah perwakilan yang sama. Akibatnya hanya dalam hitungan hari, popularitas parlement segera merosot. Hal ini mengakibatkan pada tanggal 27 Desember 1788 Louis XVI memutuskan untuk meningkatkan jumlah perwakilan kaum ketiga. Namun, itu baru memenuhi separuh dari tuntutan, karena tidak ada keputusan pengambilan keputusan melalui pemungutan suara per kepala atau per kaum.
Selama minggu-minggu awal Januari 1789, ketika marak bermunculan pamflet-pamflet, plakat-plakat dan lembaran berkala, rakyat Prancis mulai menyatakan keluhannya saat mengisi cahiers de doleances (daftar keluhan), serta mempersiapkan pemilihan umum di tingkat daerah pemerintahan bailliages. Semua berlangsung dalam suasana bergolak dan situasi krisis gandum akibat buruknya panen di tahun 1789 yang ditambah dengan cuaca dingin yang ekstrem. Akhirnya pada tanggal 5 Mei 1789, Majelis Perwakilan Seluruh Kaum membuka persidangannya di Versailles dan memulai hari-hari akhir rezim lama dan Louis XVI.
Administrasi Prancis pada masa Louis XVI dapat dikatakan rumit, kacau, dan tidak efektif. Kekacauan finansial adalah penyumbang terbesar dalam kelemahan rezim lama. Pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Louis XVI, pemerintah tidak dapat mengumpulkan dana yang cukup untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran. Kekacauan yang terjadi di Prancis bukan karena Prancis menjadi miskin, tetapi karena sistem pajak yang tidak efisien dan tidak adil. Pada saat Prancis diambang kebangkrutan, sejumlah menteri raja mengusulkan agar kaum bangsawan dan gereja menyerahkan sebagian pajak mereka, namun usulan tersebut ditolak.
Beberapa Sebab Terjadinya Revolusi Prancis
Beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya Revolusi Prancis antara lain;
Pertama, berkaitan dengan hasil panen yang terjadi pada tahun 1788-1789 yang sangat buruk dan menyebabkan harga gabah naik, dan pada Juli 1789, mencapai tingkat yang lebih tinggi daripada apa yang pernah terjadi sejak 1709 di mana dianggap sebagai tahun kelaparan dan penderitaan. Hasil panen yang buruk ditambah dengan pengangguran dan inflasi membuat para petani semakin marah kepada raja dan bangsawan, karena perut tanpa roti jauh lebih berbahaya daripada pikiran yang dipenuhi dengan ide-ide politik.
Kedua, kemunculan pemikiran filsafat, yang menganjurkan reformasi sosial dan politik, telah dibaca lebih luas di Prancis. Para filsuf Montesquieu, Voltaire, dan Denis Diderot sebagai warga negara Prancis sangat berperan penting secara tidak langsung dalam Revolusi Prancis. Risalah dan esai yang muncul dan diketahui oleh masyarakat Prancis ini telah memicu api revolusi.
Ketiga, stratifikasi sosial masyarakat Prancis yang memberikan kekuasaan mutlak dan hak istimewa kepada Kaum Pertama dan Kedua telah berperan besar bagi pecahnya revolusi. Sistem ini telah menampilkan penindasan terhadap Kaum Ketiga dengan membuat mereka membayar pajak tidak seperti yang diistimewakan. Misalnya, mereka membayar Taille (pajak tanah), Gabelle (pajak garam) dan Corvee (kerja paksa). Para pendeta juga memungut sepersepuluh dari pajak yang diberikan dan memungut iuran dari masyarakat yang mana gaji mereka sangat kecil. Hal ini-lah yang meningkatkan rasa lapar Kaum Ketiga akan adanya perubahan.
Keempat, krisis keuangan Prancis; ketika Louis XVI naik takhta, harapan pada awalnya melambung tinggi, karena Turgot, diangkat sebagai Menteri Keuangan atau Pengawas Umum Keuangan yang menyebabkan terjadinya reformasi. Turgot berusaha meringankan beban petani sedangkan membuat para bangsawan dan pendeta harus membayar pajak yang mahal. Reformasi ini bertentangan dengan tradisi hak istimewa yang telah bertahan lama di Prancis selama berabad-abad. Oleh karena itu, Turgot dipecat pada tahun 1776.
Jacques Necker yang diangkat untuk menggantikan Turgot, berusaha menerapkan metode bisnis pada keuangan pemerintah. Necker meminjam 400.000.000 livres dari teman-teman bankirnya dan mencoba mengurangi pengeluaran dan meningkatkan pengumpulan pajak. Keinginan Necker untuk mendapatkan lebih banyak pinjaman justru memperbesar pengeluaran untuk mendukung perang Kemerdekaan Amerika sehingga memperburuk perekonomian.
Pengganti Necker, Charles-Alexandre de Calonne menjadi menteri keuangan pada tahun 1783 menjalankan politik penghamburan uang negara yang diperoleh dari dana pinjaman. Sehingga menyebabkan pada tahun 1786, bunga utang negara sangat besar sehingga jumlahnya lebih dari 160.000.000 livres. Memasuki tahun 1790-an kondisi keuangan Prancis berada di ambang kebangkrutan.
Jalannya Revolusi Prancis 1789
Cahiers de doleances (daftar ketidakpuasan) rakyat Prancis pada tahun 1789 dan kritik yang dilakukan oleh kaum elit, mereka menolak jarak antara tatanan politik dan sosial yang ada dengan keadaan yang sebenarnya terjadi di prancis. Kebobrokan dalam mengatasi permasalahan keuangan yang menyebabkan terjadinya hal ini. Memang, harus dikatakan dengan jujur bahwa kebutuhan akan uanglah yang telah mendorong Brienne, pada tahun 1788 untuk memanggil etats genaraux untuk melaksanakan sidang.
Pembentukan Majelis Nasional
Oleh karena keadaan yang sangat genting di Prancis, etats generaux melaksanakan sidangnya di Versailles pada tanggal 5 Mei 1789 atas dekrit kerajaan yang dikeluarkan oleh Louis XVI. Etats generaux yang hadir terdiri atas 600 orang dari perwakilan Kaum Ketiga, 300 orang dari kaum bangsawan (kedua) dan 300 orang dari kaum pendeta (pertama). Pertemuan ini sejak awal adalah mengenai permasalahan pemungutan suara berdasarkan kelompok (kaum) atau per kepala. Pemilihan berdasarkan kelompok memungkinkan kaum bangsawan dan pendeta untuk mengalahkan kaum ketiga. Sedangkan pemilihan berdasarkan per kepala akan menguntungkan bagi kelompok ketiga, sebab mereka akan menggunakan jumlah mereka untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Pada tanggal 17 Juni 1789, Kaum Ketiga melakukan suatu gerakan revolusioner dengan membentuk Majelis Nasional. Louis XVI memerintahkan Majelis Nasional memisahkan diri dari golongan-golongan yang ada, tetapi kelompok ketiga tetap bersikeras untuk membangkang. Kegigihan delegasi dan aksi penduduk Paris yang mendukung Majelis Nasional telah memaksa Louis XVI menyerah. Majelis Nasional memerintahkan kaum bangsawan dan pendeta untuk bergabung. Namun sebagian kaum bangsawan belum bersedia bergabung karena masih dipengaruhi oleh identitas bangsawan istana yang memiliki keinginan untuk menghentikan revolusi yang baru dimulai itu. Karena pembangkangan yang dilakukan oleh Kaum Ketiga dianggap berbahaya, maka pada tanggal 20 Juni 1789, ruangan tempat pertemuan pihak ketiga (S’alle des Etats) dikunci dan berada di bawah penjagaan militer.
Ketika mereka tidak diberikan akses ke gedung ini, menyebabkan mereka pindah ke lapangan tenis terdekat di mana mereka mengambil “Sumpah Lapangan Tenis” (The “Tennis Court Oath”). Di mana kaum ketiga yang revolusioner mereka bersumpah untuk tidak membubarkan diri sampai konstitusi dibuat untuk Prancis. Louis XVI kemudian mengutus seorang bangsawan, Marquis de Breze untuk menginstruksikan agar Majelis dibubarkan. Salah satu pemimpinnya, Pangeran de Mirabeau, seorang bangsawan menjawab;
“kami di sini atas kehendak rakyat. Bayonet tidak akan membuat kita pergi.”
“Sumpah Lapangan Tenis” menandai dimulainya Revolusi Prancis karena di dalamnya, perwakilan dari kaum Ketiga menentang perintah kerajaan dan raja telah gagal mengambil tindakan tegas terhadap rakyat jelata yang revolusioner. Sebaliknya, sekitar seminggu setelah acara Sumpah Lapangan Tenis, raja memanggil tiga perwakilan untuk bertemu dan memberikan suara sebagai anggota Majelis Konstituante Nasional.
Penyerbuan Bastille
Pada awal bulan Juli tahun 1789, beredar kabar bahwa raja dan para penasehatnya telah menyerah dan berupaya untuk mengumpulkan pasukan untuk membubarkan majelis dan gerakan revolusioner. Namun, serangkaian pemberontakan yang terjadi sepanjang bulan Juli-Agustus 1789 telah membuat langkah mulus bagi majelis selamat dari gerakan kontra-revolusioner. ketegangan di Paris semakin tinggi karena tiga alasan. Pertama, pemanggilan Etats Generaux telah menimbulkan harapan untuk pembaruan. Kedua, harga makanan pokok melambung tinggi. Ketiga, ketakutan terhadap komplotan bangsawan untuk menghancurkan Majelis Nasional.
Sementara itu, Necker semakin dimusuhi oleh keluarga kerajaan Prancis karena dianggap memanipulasi opini publik secara terang-terangan. Ratu Marie Antoinette, adik Raja Comte d’Artois, dan anggota konservatif lainnya dari dewan privy mendesak Raja agar memecat Necker sebagai penasihat keuangan. setelah Necker menerbitkan laporan keuangan pemerintah kepada publik, Louis XVI memecatnya pada 13 Juli 1789, dan segera merestrukturisasi kementerian keuangan tidak lama berselang. Kebanyakan warga Paris menganggap bahwa tindakan Louis XVI secara tidak langsung ditujukan pada Majelis dan segera memulai pemberontakan terbuka setelah mereka mendengar kabar tersebut pada keesokan harinya.
Hal yang paling mencengangkan adalah pada 14 Juli 1789, 900 orang penduduk Paris berkumpul di depan Bastille. Sewaktu ketegangan memuncak, penduduk Paris menggempur dan merebut Bastille. Jatuhnya Bastille yang juga dianggap sebagai simbol kekuasaan monarki telah jatuh dan sejumlah bangsawan yang memusuhi revolusi memutuskan untuk kabur dari Paris. Louis XVI yang ketakutan mengatakan kepada Majelis Nasional akan menarik pasukan yang mengepung Paris.
Aksi revolusioner penduduk Paris secara langsung menyelamatkan Majelis Nasional. Jatuhnya Bastille ke tangan kaum revolusioner telah memberikan pertanda bahwa majelis mendapatkan dukungan dari rakyat. Selain itu, juga menunjukkan bahwa rakyat dapat menunjukkan kemampuannya memaksakan kehendaknya sehingga penguasa terpaksa menerima keadaan yang telah terjadi itu. Pemberontakan Agraria yang terjadi sepanjang Juli-Agustus 1789 di desa-desa juga telah menyebabkan “ketakutan besar” yang mendorong Majelis Nasional untuk segera mengambil tindakan.
Pembaruan Majelis Nasional
Majelis Konstituante Nasional tidak menginginkan kekerasan dan mengusulkan bahwa cara terbaik untuk memecahkan permasalahan yang terjadi adalah dengan mengetahui penyebab permasalahan itu sendiri, yakni ketimpangan dalam pemungutan pajak. Pada tanggal 4 Agustus 1789, Majelis Konstituante Nasional menghapuskan feodalisme dan hak istimewa aristokrat. Keputusan ini dituangkan dalam dokumen yang dikenal dengan Dekrit Agustus, yang menghapuskan seluruh hak istimewa kaum Estate Kedua dan hak dime (menerima zakat) yang dimiliki oleh Kaum Pertama.
Necker, Mounier, Lally-Tollendal dan yang lainnya tidak berhasil mencapai kesepakatan dengan senat, yang keanggotaannya ditunjuk oleh Raja dan dicalonkan oleh rakyat. Sebagian besar bangsawan mengusulkan agar majelis tinggi dipilih oleh kaum bangsawan. Sidang segera dilakukan pada hari itu, yang memutuskan bahwa Prancis akan memiliki majelis tunggal. Dengan melemahnya perlawanan, Majelis Nasional meneruskan usaha pembaruan yang dimulai pada musim panas 1789 di mana pembaruan ini telah menghancurkan rezim lama. Beberapa pembaruan yang dihasilkan antara lain:
- Penghapusan hak-hak istimewa khusus. Majelis Nasional mengesahkan kesetaraan yang dituntut oleh kaum borjuis. Struktur aristokratis rezim lama, telah dilenyapkan.
- Pernyataan hak-hak asasi manusia. Pemerintahan bukan milik penguasa mana pun, melainkan milik rakyat secara keseluruhan, dan bahwa tujuannya ialah melestarikan hak-hak dasar individu.
- Subordinasi gereja atas negara. Majelis Nasional menghantam hak-hak istimewa gereja Katolik Romawi dan menyita tanah-tanah gereja lalu menjualnya.
- Konstitusi untuk Prancis. Pada september 1791, Majelis Nasional mengeluarkan suatu konstitusi yang membatasi kekuasaan raja dan menjamin semua warga negara Prancis mendapat perlakuan yang sama di bawah hukum.
- Pembaruan administratif dan yudisial. Sistem pengadilan yang distandarisasikan menggantikan yurisdiksi Rezim Lama dan penjualan yudisial diakhiri.
- Bantuan untuk bisnis. Majelis Nasional menghapuskan beacukai untuk barang-barang impor.
Jadi, haruslah dibangun kembali sistem baru dan untuk itu harus memberi perhatian kepada realitasnya. Deklarasi hak-hak asasi manusia dan warga negara yang dikeluarkan pada tanggal 26 Agustus 1789 berisi:
“manusia bebas dan mempunyai hak yang sama, prinsip kedaulatan mana saja berada terutamanya di tangan bangsa”.
Orang-orang yang masih merasa tidak puas dengan apa yang telah dilakukan oleh Louis XVI melakukan reaksi pada tanggal 5 Oktober 1789 di mana ribuan wanita yang memegang senjata berbeda-beda, sapu, senapan, tombak, pistol, garpu rumput mulai berbaris keluar dari paris menuju ke Istana Versailles meminta roti. Di Versailles, masssa yang marah ditenangkan oleh Pengawal Nasional. Akhirnya raja menyerah mengikuti para demonstran ke Paris dan diikuti oleh Majelis Nasional. Pada tanggal 6 Oktober 1789, sebagai isyarat niat baik, raja membawa gerobak yang penuh dengan tepung dari gudang istana diiringi oleh para wanita yang bernyanyi dan meneriakkan;
“Kami membawa kembali tukang roti, istri tukang roti, dan putra tukang roti” (raja, ratu, dan putra mereka).
Krisis keuangan yang semakin menjadi-jadi ditengah kondisi revolusioner membuat orang berhenti membayar pajak dan menyebabkan defisit kas negara semakin bertambah. Untuk mengatasi krisis ini, majelis mencari solusi yang telah ada. Pada 2 November 1789, majelis menyita kekayaan milik kaum rohaniawan dan tanah-tanah milik gereja Katolik. Kebijakan ini ternyata hanya menyelesaikan satu masalah saja, tidak lama kemudian mulai terjadi inflasi yang menyebabkan negara berada di ambang kebangkrutan.
Pada bulan Februari 1790, semua biara dan lembaga keagamaan lainnya telah ditindas karena dianggap sebagai bagian dari simbol rezim lama. Pada saat itu pula gereja mulai disekulerkan, hal ini termuat dalam dokumen “Konstitusi Sipil Pendeta” yang diberlakukan pada bulan Juli 1790. Dalam dokumen ini, baik uskup maupun imam dipilih oleh rakyat dan dibayar oleh negara; mereka juga diminta untuk bersumpah setia pada konstitusi sipil. Gereja Katolik, yang masih merupakan institusi penting dalam kehidupan rakyat Prancis, kini menjadi musuh revolusi.
Permasalahan-Permasalahan Seputar tahun 1790-1792
Memasuki tahun 1790 Konstituante telah mengumukan masa damai pada tanggal 20 Maret 1790 dan memperkirakan akan dapat menerapkan sistem pemerintahan baru yang disiapkan oleh komite-komitenya. Namun, keadaan yang serba tidak menentu menjadi tantangan tersendiri dalam tahun-tahun ini.
Di tengah guncangan-guncangan itu, yang diawali dengan masa damai, kemudian dimulai masa perang, pada saat itu lah ditempa semangat nasional yang berakar dalam lubuk warga negara dengan pemerintahan baru itu. Keputusan-keputusan besar bukan lagi hanya menjadi urusan raja dan Dewan, tetapi menjadi urusan bagi semua pihak.
Keputusan politik dipersiapkan di dalam klub-klub di Paris: kelompok feuillants yang moderat; kelompok cordeliers yang bersedia mencari dukungan kepada rakyat kecil di pinggiran kota; kelompok jacobins yang menerima konsep republik dan melengkapi diri dengan jaringan yang luas dengan memiliki sekitar dua ribu cabang di daerah, yaitu “kumpulan-kumpulan kerakyatan”. Untuk membina dan memberi informasi kepada rakyat, pers mengalami perkembangan dan orang membaca – sering dengan suara keras – memberi komentar terhadap koran Les Revolutions de France et de Brabant yang dipimpin oleh Camille Desmoulins atau Ami due peuple pimpinan Marat.
Secara spontan kota-kota bersama pasukan pengawal nasional mereka membentuk persekutuan. Di mana puncaknya tercapai di Paris pada 14 Juli 1790, ketika sebuah pesta Federation seakan menyatukan semua orang Prancis di dalam satu sumpah setia bersama “kepada bangsa dan hukum serta raja”.
Prancis juga mengambil tindakan untuk memperkuat persatuan dan kesatuannya. Perancangan undang-undang dibentuk untuk menyatukan adat dan kebiasaan yang beragam. Tanggal 26 Maret 1791 ditetapkan dasar-dasar sistem desimal yang baru untuk berat dan ukuran yang menggunakan meter dan gram atau yang dikenal pula dengan sistem metrik. Selain itu, Konstituante juga menyatakan bahwa pemimpin daerah dipilih oleh rakyat, bukan oleh raja serta penyebaran teks-teks legislatif ke berbagai logat daerah.
Sebuah tindakan kontra-revolusi yang tidak dapat didamaikan mengancam revolusi, memaksa kepemimpinan revolusioner mengambil langkah-langkah ekstrim. Di bawah Konstitusi 1791, Prancis beralih sebagai monarki konstitusional. Sebelum konstitusi selesai, Louis XVI dan keluarga kerajaan berusaha melarikan diri dari Paris dengan menyamar. Pada malam tanggal 20 Juni 1791, keluarga kerajaan melarikan diri dari Istana Tuileries dengan berpakaian sebagai pelayan, sedangkan pelayan mereka berpakaian seperti bangsawan. Namun, pada 21 Juni 1791, Raja dikenali dan ditangkap di Varennes dan kembali ke Paris dan dia menerima reorganisasi pemerintah Prancis.
Raja harus berbagi kekuasaan dengan Majelis Legislatif yang terpilih, namun ia masih bisa mempertahankan vetonya dan masih memiliki kemampuan untuk memilih menteri. Majelis Legislatif memiliki kekuasaan berdaulat dan terdiri dari 745 perwakilan yang dipilih melalui sistem pemilihan tidak langsung selama dua tahun. Perlu dicatat bahwa hanya warga negara aktif – yang membayar pajak, memiliki properti – yang dapat memilih. Karenanya, kekuasaan ada di tangan yang kaya.
Majelis Legislatif pertama kali mengadakan pertemuan pada tanggal 1 Oktober 1791, dan jatuh dalam keadaan kacau hingga kurang dari setahun berikutnya. Dalam mencoba memerintah, majelis itu sama sekali gagal. Majelis itu membiarkan kekosongan keuangan, indisipliner pasukan dan angkatan laut, dan rakyat yang rusak moralnya oleh huru-hara yang terjadi. Permasalahan yang muncul adalah soal ideologi dalam pertemuan ini di mana negara harus terpecah menjadi faksi-faksi yang saling bersaing. Sementara banyak warga Prancis setuju dengan sistem monarki yang terbatas.
Majelis Legislatif sendiri terdiri dari sekitar 165 Feuillant (monarki konstitusional), sekitar 330 Girondist (republikan liberal) dan Jacobin (revolusioner radikal), dan sekitar 250 deputi yang tidak berafiliasi dengan faksi mana pun. Saat perpecahan ini berlanjut, kedaulatan negara terancam oleh negara-negara Eropa lainnya. Ini karena meningkatnya jumlah bangsawan reaksioner yang menjadi emigre dengan cara melarikan diri dari negara dan meminta intervensi asing.
Intervensi Asing
Para bangsawan yang meminta intervensi asing adalah saudara laki-laki raja – Pangeran d’Artois dan Calonne, mantan menteri keuangan. Kedua bangsawan ini membentuk komite di Turin antara 1789 dan 1790, dan berencana untuk menyelamatkan raja, merencanakan pemberontakan kontra-revolusioner di Prancis dan mencari intervensi dari kerajaan-kerajaan di Eropa. Tidak lama Austria dan Prusia mengeluarkan “Deklarasi Pillinitz” yang mengumumkan bahwa pemulihan perdamaian dan monarki adalah tugas kerajaan-kerajaan di Eropa.
Sebagaimana yang telah disinggung di atas tadi, bahwa pada Juni 1791, Louis XVI dan keluarga kerajaan, pergi dengan menyamar meninggalkan Paris ke Prancis bagian timur laut untuk bergabung dengan para bangsawan kontra-revolusioner untuk mengumpulkan dukungan luar negeri melawan revolusi. Pelarian raja membuat banyak orang Prancis yang menentang monarki, memperkuat posisi kaum radikal untuk mendirikan sebuah republik.
Oleh karena adanya intervensi asing, terutama Austria, Pada 20 April 1792, Majelis Legislatif Prancis menyatakan perang terhadap Austria, yang bermaksud menumbangkan revolusi. Pangeran Brunswick membawa pasukan Austria dan Prusia ke Prancis. Pada kondisi yang tegang, Brunswick mengeluarkan manifesto yang menyatakan bahwa jika ada keluarga kerajaan yang dicelakai, maka ia akan membalasnya dengan lebih ganas kepada penduduk Paris. Namun pada 10 Agustus 1792, penduduk paris yang marah dan menyerang istana raja dan membunuh ratusan pengawal berkebangsaan Swiss.
Perang pun tidak dapat dihindari dan membawa kekalahan bagi Prancis. Dengan kekalahan yang diderita Prancis, rakyat percaya bahwa raja dan ratu sedang merencanakan sesuatu dengan bekerjasama dengan pihak asing. Kelompok politik radikal Paris atau sans culottes berdatangan ke Istana Tuileries untuk mengancam raja. Karena ancaman itu tidak digubris oleh raja, maka sans culottes kembali datang dan menyerang pada 9-10 Agustus 1792 yang dipimpin oleh orang-orang jacobin; Dantom, Marat dan Robespierre.
Penyerangan itu dengan tujuan membebaskan tawanan keluarga kerajaan dan membunuh pengawal-pengawal yang berasal dari Swiss, menghukum raja, mencabut konstitusi dan menyerukan Konvensi Nasional untuk menghapuskan monarki. Pada bulan September 1792 sans culottes kembali menyerang dan memaksa masuk ke penjara dan membantai siapapun yang ada di dalamnya termasuk pula para bangsawan, peristiwa ini dikenal pula sebagai “pembantaian September”.
Konvensi Nasional 1792-1795
Pada 21-23 September 1792, Konvensi Nasional menghapuskan monarki dan mendirikan republik. Pada Desember 1792, Louis XVI diadili dengan dihukum mati karena berkomplot melawan kemerdekaan rakyat Prancis. Pemberontakan 10 Agustus 1792, pembantaian September, penciptaan republik, dan eksekusi mati Louis XVI pada 21 Januari 1793 menyatakan bahwa revolusi telah jatuh ke dalam radikalisme.
Pemberontakan kontra-revolusi menghancurkan republik yang masih muda. Banyaknya pemberontakan yang terjadi yang dilakukan oleh penduduk tradisional, yang masih menjunjung tinggi tradisi Katolik mereka di Vendee, Prancis Barat, yang menolak wajib militer dan membentuk sejumlah kelompok secara sporadis dan mengobarkan perang gerilya. Keguncangan bagi republik juga ditambah dengan para federalis yang keberatan atas kekuasaan yang dipegang oleh pemerintah pusat di Paris membuat sistem republik tidak mampu mengendalikan negara.
Saat republik diambang keruntuhan, pada Juni 1793, kaum jacobin yang menggantikan kaum girondin sebagai kelompok dominan dalam konvensi nasional. Kaum girondin lebih menyukai suatu pemerintahan dengan departemen-departemen yang akan mengendalikan urusan-urusannya sendiri. Sedangkan jacobin, menginginkan suatu pemerintahan pusat yang kuat, dengan menjadikan Paris sebagai kekuatan. Kaum jacobin mendapat dukungan dari sans-culotte yang mendukung pengendalian sementara oleh pemerintah untuk menangani kebutuhan perang dan krisis ekonomi. Dalam sebuah konvensi, sans-culotte bersenjata menuntut penahanan delegasi girondin yang tidak memiliki pemahaman yang sama dengan mereka. Mulai saat itulah, jacobin dapat mengambil kendali pemerintahan.
Kaum jacobin meneruskan pekerjaan pembaruan di Prancis. Pada 1793, suatu konstitusi baru mengungkapkan semangat kaum jacobin untuk demokrasi politik. Namun banyaknya pemberontakan pada saat itu, membuat konstitusi tersebut tidak pernah dilaksanakan. Kaum jacobin akhirnya mengungkapkan humanisme mereka dan hutang mereka kepada para pendukung pencerahan.
Pemerintah Terror
Sambil mempersiapkan tentara revolusioner untuk menghadapi musuh-musuh luar, kaum jacobin berperang melawan oposisi dalam negeri. Salah satu tokoh di dalam perjuangan ini adalah Maximillien Robespierre, yang memiliki keyakinan terhadap demokrasi republik. Robespierre dan para jacobin berusaha membangun suatu kediktatoran sementara dalam usaha menyelamatkan republik dan revolusi. Rezim ini telah mengusir tentara asing, menahan para kontra-revolusioner, meremukan pemberontakan federalis, dan mencegah anarki. Dimana unsur-unsur tersebut yang dapat meruntuhkan sistem republik yang dibawanya.
Selama pemerintahan Robespierre dilaksanakan sentralisasi maksimal. Di Paris, semua keputusan diambil oleh Comite de Salut Public (Komite Keselamatan Negeri) yang terdiri dari 12 anggota. Komite ini dibantu oleh Comite de Surete Generale (Komite Keamanan Umum) dengan cabangnya yang bersenjata, Tribunal revolutionnaire (Pengadilan revolusioner) serta, di daerah oleh petugas-petugas nasional dan wakil-wakil yang dikirim oleh pusat. Komite mendiktekan undang-undangnya kepada Konvensi Nasional yang dikuasai oleh kaum “Montagnards”, ia didukung oleh kelompok jacobins dan perhimpunan-perhimpunan kerakyatan, sehingga dapat mengambil kebijakan-kebijakan yang paling kejam.
Di dalam pelaksanaannya, kebijakan ini dapat menangkan secara sewenang-wenang bagi bangsawan maupun orang-orang yang dianggap tidak setia kepada republik untuk kemudian diadili dan dihukum mati. Selama periode inilah guillotine beraksi, pada bulan September 1793 guillotine bekerja ketika 500.000 orang ditangkap dan sekitar 17.000 orang dihukum mati. Selama pemerintahan teror ini tercatat sekitar hampir 30.000 orang yang dieksekusi tanpa memandang kelas dalam masyarakat.
Namun musuh-musuh Robespierre dalam konvensi, memerintahkan penahanan Robespierre dan sejumlah pendukungnya. Pada 27 Juli 1794, Thermidor kesembilan memerintahkan Robespierre dijatuhkan hukuman mati. Hal ini dilatarbelakangi oleh, reaksi Thermidorean yang bersikap kontra-revolusioner yang menginginkan kembalinya sistem monarki di Prancis. Mereka menyatakan tidak berlakunya konstitusi 1793 dan mambuat konstitusi baru pada 1795 yang menetapkan kembali persyaratan kekayaan untuk hak pilih.
Republik Borjuis
Para pemenang peristiwa Thermidor mengakui atas penolakan mereka terhadap pergerakan rakyat. Konstitusi tahun I yang disusun saat pemerintahan terror, bagi mereka bersifat terlalu egaliter, mereka lebih menyukai konstitusi tahun III, yang membagi kekuasaan eksekutif kepada lima anggota Directoire dan kekuasaan legislatif di antara dua perwakilan, Conseil des Anciens (Dewan Perwakilan Kaum Tua) dan Conseil des Cinq-Cents (Dewan Perwakilan Lima Ratus). Konstitusi ini membawa keuntungan bagi suatu jalan tengah, tetapi juga berdampak pada sebuah keadaan yang tidak stabil.
Periode Thermidorean menandai kebangkitan kehidupan normal di Prancis: budaya makanan Prancis dihidupkan kembali, mode pakaian yang mengikuti perkembangan jaman, kebebasan pers, dan teater. Selama periode ini beragam opini dan agitasi publik mulai berkembang dan hampir merubah menjadi kekacauan: Parisian bangkit pada tahun 1795 (di bawah pengaruh propagandis kerajaan) untuk menunjukkan beberapa keputusan baru-baru ini dari Konvensi Nasional, seorang perwira muda, Napoleon Bonaparte dipanggil untuk mengamankan perwakilan. Napoleon menandai berakhirnya peran kepemimpinan rakyat Paris dalam urusan politik. Pada Agustus 1795, konstitusi baru siap diberlakukan.
Pada masa ini pemerintahan Prancis yang terdiri dari para kaum borjuis berusaha menenangkan situasi dengan membentuk Dewan Pimpinan Pusat Bidang Eksekutif. Hal ini dimaksudkan agar rakyat beranggapan bahwa demokrasi yang digembor-gemborkan berjalan dengan baik dan lancar. Di sisi lain para golongan bangsawan yang menduduki kursi legislatif semakin banyak dan kuat, golongan ini memiliki paham monarki sehingga menimbukan kecemasan bagi kaum borjuis dan rakyat Prancis. Pada saat inilah rakyat Prancis megharapkan pemimpin baru seperti Napoleon Bonaparte yang berhasil memimpin rakyat Prancis dalam melawan Austria dan Rusia.
Masa Konsulat 1799-1804
Masa Konsulat merupakan masa kepemimpinan Napoleon Bonaparte yang telah mengambil alih pimpinan tertinggi Prancis pada tanggal 9 November 1799. Pemerintahan Directoire tidak efektif lagi sehingga Napoleon Bonaparte mengambil alih kekuasaan. Pada saat itu pula Napoleon membubarkan sistem pemerintahan Directoire sekaligus mengusung sistem pemerintahan Konsulat dengan beranggotakan Roger Ducos, Saiyes, dan Napoleon sendiri sebagai konsul pertama.
Pada awal kepemimpinannya Napoleon memiliki banyak gagasan dan tindakan yang cukup memberikan gebrakan dalam Revolusi Prancis. Diantaranya adalah:
(1) Membentuk pemerintahan yang kuat dan stabil dengan cara memusatkan kekuasaan pemerintahan di tangannya sendiri. Membuat undang-undangan hukum perdata (Code de Penal) dan Hukum pidana (Code de Civil);
(2) Memberikan kesempatan bagi kaum bangsawan yang melarikan diri ke luar negeri untuk kembali ke Prancis secara damai dan aman;
(3) Memperbaiki hubungan dengan Paus sebagai langkah awal pengembalian nama baik gereja dan ulama;
(4) Membentuk tentara keamanan yang kuat sebagai langkah awal dalam menjaga keamanan dan ketentraman Prancis;
(5) Meningkatkan pendidikan bagi rakyat sebagai langkah awal jaminan kesejahteraan rakyat;
(6) Membuat Kitab undang-undang perdagangan (Code de Commerce) guna mengatur perdangan di Prancis sedemikian rupa dengan tujuan berkembang dengan baik dari waktu ke waktu;
(7) Meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana guna kepentingan rakyat dan pemerintahan;
(8) Berusaha memberantas korupsi dengan tujuan memperbaiki keuangan negara yang tengah mengalami kekosongan.
Dari tindakan-tindakan tersebut Napoleon mendapat dukungan sepenuhnya sekaligus harapan bagi rakyat Prancis.
Tindakan serta langkah-langkah Napoleon dalam memperbaiki situasi di Prancis dengan revolusi membuahkan hasil yang memuaskan, perlahan Negara Prancis kembali mengalami kemajuan. Keberhasilan ini kemudian membuat seluruh rakyat mempercayakan sepenuhnya pemerintahan kepada Napoleon Bonaparte.
Perang Koalisi I (1792–1797)
Pada masa pemerintahan Directoire, Napoleon sudah tampil sebagai komandan pasukan Prancis melawan koaliasi negara-negara Eropa yang lain, Austria, Inggris, Prusia, Spanyol, Belanda, dan Sardinia. Napoleon berhasil mengalahkan lawan-lawannya dan diakhiri Perjanjian Compo Formio (1797). Perang Koalisi I berakhir tahun 1797, musuh Prancis dapat dikalahkan, kecuali Inggris.
Inggris tidak mau menandatangani perjanjian perdamaian sehingga sejak saat itu Inggris menjadi lawan Napoleon. Napoleon bermaksud untuk mengalahkan Inggris dengan menyerang kedudukannya di India dengan menyerbu Mesir sebagai batu locatan. Kedatangan Napoleon di Mesir mempunyai arti penting, seperti ditemukan Batu Rosetta yang membuka tabir sejarah Mesir kuno, adanya ide untuk membuat terusan yang kemudian dapat direalisasi yakni Terusan Suez. Setelah Napoleon kembali ke Prancis, pemerintahan Directoire dibubarkan dan digantikan dengan pemerintahan Konsulat. Napoleon tampil sebagai Konsul yang pertama.
Perang Koalisi II (1799–1802)
Dalam Perang Koalisi II Prancis menghadapi Austria, Inggris dan Turki. Dalam perang ini, Napoleon juga tampil sebagai pemimpin perang Prancis. Prancis berhasil mengalahkan Austria dalam pertempuran di Marengo tahun1800. Sekutu Austria yang lain, kemudian menghentikan perang setelah terjadi Perjanjian Armien tahun 1802. Kemenangan ini mengantarkan Napoleon ke puncak kekuasaan absolutnya. Ia menjadi konsul seumur hidup dan pada tahun 1804 diangkat sebagai kaisar.
Masa Kekaisaran 1804-1815
Keberhasilan Napoleon dalam mempersatukan semua golongan di Negara Prancis membuat Paus VII menaruh simpatik terhadap Napoleon sampai-sampai mengangkat Napoleon sebagai Kaisar.
Pada saat masa tersebut rakyat tidak menyadari bahwa perjuangannya dalam melakukan Revolusi Prancis dan menentang kekuasaan absolut akan sia-sia dengan menyetujui pengangkatan Napoleon Bonaparte sebagai kaisar pada tahun 1804. Dalam masa pemerintahannya sebagai kaisar, Napoleon memang memberikan kebebasan rakyat dalam bidang perdangan, bidang pendidikan, dan bidang agama. Namun demikian pada bidang politik tidak sama halnya kebebasan dalam bidang lain, Napoleon Bonaparte tetap menganut sistem absolut dengan kepemimpinan secara turun temurun sehingga dikenal dengan sebutan dinasti Napoleon.
Perang Koalisi III (1805)
Dalam Perang Koalisi III ini, Prancis berhadapan dengan Austria, Inggris, Rusia, dan Swedia. Dalam menghadapi Inggris, Napoleon memusatkan pasukannya di Boulogne. Namun, Angkatan Laut Prancis dapat dihancurkan oleh pasukan Inggris di bawah pimpinan Laksamana Nelson. Pasukan Austria dan Rusia akan menyeberang ke Inggris. Dengan tipu muslihat, Napoleon berhasil menduduki Jerman. Austria dan Rusia akhirnya dapat dikalahkan setelah terjadi pertempuran di Austetlitz. Pertempuran berakhir dengan Perjanjian Preszburg tahun 1805.
Dengan kemenangan ini, Napoleon mengubah peta Eropa menurut kehendaknya sendiri. Di negara-negara yang telah berhasil dikalahkannya, Napoleon menempatkan saudara-saudaranya untuk mendukung politik dinastinya.
Perang Koalisi IV (1806–1807)
Perang Koalisi IV, dipusatkan untuk mengalahkan Prusia dan Inggris. Pasukan Prusia berhasil dihancurkan dalam pertempuran di Jena dan Auerstadt pada tahun 1806. Berlin dapat diduduki oleh Napoleon dalam usaha memperlemah Inggris, Naopleon di Berlin mengeluarkan Dekrit Berlin yang berisi Continental Stelsel, yakni suatu usaha blokade ekonomi terhadap Inggris dengan melarang negara-negara Eropa untuk mengadakan hubungan dagang dengan Inggris dan menerima kapal-kapal Inggris untuk berlabuh di kawasan Eropa. Siapa yang melanggar ketentuan ini akan dihancurkan oleh Prancis.
Perang Koalisi V (1809)
Dalam Perang Koalisi V , Prancis berhadapan dengan Austria, Inggris, Spanyol, dan Portugal. Dalam perang ini pasukan Austria berhasil dihancurkan oleh Napoleon dalam pertempuran di Ulagram dan diakhiri dengan Perjanjian Schonkrunn tahun 1809. Namun, Napoleon gagal mematahkan kekuatan Spanyol. Bahkan, di Spanyol muncul gerakan nasionalisme untuk menenatang kekuasaan Prancis. Gerakan nasionalisme ini menjalar ke negara-negara lain, seperti Prusia dan Austria. Gerakan ini merupakan ancaman bagi dominasi kekuasaan Napoleon di Eropa.
Rusia ternyata tidak mematuhui adanya Continental Stelsel. Pada tahun 1812 Napoleon menyerang Rusia dengan kekuatan 600.000 orang pasukan yang disebut Grande Armee. Rusia menggunakan taktik bumi hangus sehingga ketika tentara Napoleon tiba di Moskow, banungunan di kota itu tinggal puing-puing. Hal inilah yang mempersulit tentara Napoleon. Kondisi ini diperburuk dengan datangnya musim dingin. Kekuatan tentara Naopleon frustrasi dan menderita akibat kedinginan dan kehabisan persediaan makanan. Napoleon kemudian memerintahkan untuk segera mundur.
Tentara Rusia muncul dari persembunyiannya dan segara menyerang tentara Napoleon dengan semangat berkobar-kobar. Tentara Prancis yang telah payah dan kehabisan tenaga mundur dan harus menyeberangi Sungai Berezina yang penuh dengan gumpalan es dan salju. Berpuluh-puluh ribu pasukan Napoleon gugur dalam pertempuran tersebut. Serangan ke Rusia merupakan pukulan berat bagi tentara Napoleon. Napoleon mendahuli kembali ke Paris untuk menghimpun kekuatan baru yang akan dikerahkan guna menebus kekalahannya.
Perang Koalisi VI (1813–1814)
Pada tahun 1813 di Eropa muncul koalisi yang sangat kuat yakni Rusia, Inggris, Swedia, Austria, Spanyol, dan Prusia. Koalisi ini sepakat untuk menghancurkan kekuasaan Napoleon. Tentara Napoleon semula memperoleh kemenangan. Namun, dalam pertempuran di Leipzig tentara Napoleon akhirnya berhasil dikalahkan oleh pasukan koalisi (1813). Napoleon menyerahkan dan ia turun dari takhta kekaisaran. Napoleon kemudian dibuang ke Pulau Elba di selatan Prancis (1814). Sebagai raja Prancis diangkatlah seorang Bourbon yakni Louis XVIII ( adik Louis XVI).
Pada tahun 1814, Louis XVIII kemudian mengadakan Perjanjian Paris yang isinya sebagai berikut.
1) Penetapan batas-batas kekuasaan Prancis seperti sebelum tahun 1792.
2) Belanda menjadi negara merdeka.
3) Inggris mendapatkan Pulau Malta.
Negara-negara Koalisi kemudian mengadakan kongres di Wina (1814) untuk menentukan nasib negara-negara Eropa seperti sebelum terjadi Revolusi Prancis.
Perang Koalisi VII (1815)
Raja Louis XVIII ternyata seorang raja yang lemah sehingga bertolak belakang dengan Napoleon yang cakap, berani, dan dikagumi rakyat. Louis XVIII dipandang tidak cocok dengan kondisi Prancis yang sedang kacau akibat kalah perang. Rakyat Prancis mendambakan datangnya Napoleon atau tokoh yang sejajar. Hal ini terdengar oleh Napoleon di pembuangan. Oleh karena itu, Napoleon berusaha meloloskan diri dan ingin kembali ke Prancis. Napolen berhasil lolos dan kembali ke Prancis yang kemudian disambut dengan meriah oleh rakyat Prancis.
Louis XVIII yang merasa terancam melarikan diri ke luar negeri. Mendengar kedatangan Napoleon di Prancis, maka Kongres Wina dihentikan dan negara-negara koalisi sepakat untuk menghadapi Prancis. Napoleon dengan pasukannya ke luar menghadapi tentara koaliasi. Di Ligny, pasukan Napoleon mendapatkan kemenangan. Namun, dalam pertempuran di Waterlo pada tahun 1815, Napoleon dapat dikalahkan. Napoleon dapat ditangkap dan diasingkan ke Pulau Saint Herlena (sebelah barat Afrika) sampai meninggalnya pada tanggal 5 Mei 1815.
Dampak Terjadinya Revolusi Prancis
Revolusi Prancis memiliki banyak dampak terhadap keberlangsungan pemerintahan Prancis sendiri maupun terhadap negara lain di dunia. Adapaun dampak terjadinya Revolusi Prancis dapat dibagi menjadi beberapa bidang seperti dibawah ini:
Dampak Revolusi Prancis Di Bidang Politik
Dampak utama yang ditimbulkan Revolusi Prancis terhadap sistem politik jelas berupa kekuasaan absolut yang sangat dikecam oleh rakyat. Lebih dari itu, paham liberal yang muncul dengan adanya Revolusi Prancis sangat pesat menyebar hingga ke penjuru dunia seperti Spanyol, Jerman, Rusia, Austria, dan Italia. Dengan adanya Revolusi Prancis tumbuh pula paham demokrasi, parlementer, republik, dan lain sebagainya yang tentunya juga mulai tumbuh di negara lain.
Dampak Revolusi Prancis Di Bidang Sosial
Dalam perjuangan Revolusi Prancis stratifikasi sosial di negara tersebut dihapuskan, memberikan hak dan kewajiban yang sama terhadap seluruh rakyat serta memberikan kebebasan dalam menentukan agama, pendidikan, dan pekerjaan.
Dampak Revolusi Prancis Di Bidang Ekonomi
Dihapusnya sistem gilda, yakni sistem dalam peraturan perdagangan. Dengan dihapusnya sistem ini maka perdagangan dan industri dapat berkembang dengan cukup baik di Prancis pasca Revolusi Prancis.
Disisi lain kehidupan petani juga memiliki peningkatan, hal ini tidak lain karena dihapusnya pajak feodal dan selain sebagai penggarap tanah, petani juga diberikan hak untuk memiliki tanah. Dengan demikian pendapatan dan taraf hidup petani perlahan semakin meningkat.
Revolusi Prancis adalah suatu periode yang menentukan pembentukan Barat modern. Ia melaksanakan pemikiran paa pendukung pencerahan, menghancurkan masyarakat hirarkis dan korporat rezim lama, mendorong kepentingan kaum borjuis, dan mempercepat pertumbuhan negara modern. Revolusi Prancis melemahkan aristokrasi. Dengan dilenyapkannya hak-hak feodal dan hak-hak istimewa, kaum bangsawan menjadi warga negara biasa.
Revolusi Prancis mengubah negara dinastik Rezim lama menjadi negara modern seperti nasional, liberal, sekuler, dan rasional. Ketika deklarasi hak-hak manusia dan hak-hak warga negara menyatakan bahwa “sumber kedaulatan pada dasarnya terletak di dalam bangsa”, maka konsep negara tersebut menjadi demokrasi. Karena di dalam konsep tersebut, negara adalah milik rakyat secara keseluruhan, dan individu memiliki hak dan kewajiban yang diatur oleh undang-undang sebagai warga negara.
Pemikiran liberal pencerahan menemukan ekspresi dalam pembaruan-pembaruan revolusi. Absolutisme dan monarki ditolak oleh konstitusi yang membatasi kekuasaan pemerintah dan oleh parlemen terpilih untuk mewakili rakyat.
Revolusi Prancis juga melepaskan dua kekuatan yang berpotensi merusak negara modern seperti perang total dan nasionalisme. Ini bertentangan dengan cita-cita rasional dan universal para pembantu revolusi seperti yang tercantum pada Deklarasi hak manusia. Selain itu, revolusi berusaha merekonstruksi masyarakat berdasarkan pemikiran pencerahan. Deklarasi hak manusia dan hak warga negara, sangat meresap pada pembaruan revolusi, menjunjung martabat individu, menuntut penghargaan individu, memberikan hak-hak dasar kepada setiap orang dan menghalangi negara untuk memungkiri hak-hak tersebut.
Daftar Bacaan
- Abray, Jane. 1975. “Feminism in the French Revolution”. The American Historical Review. 80 (1): 43–62.
- Baker, Michael. 1978. “French political thought at the accession of Louis XVI”. Journal of Modern History. 50 (2): 279–303.
- Baker, Keith. 1995. Van Kley, Dale (ed.). The Idea of a Declaration of Rights in The French Idea of Freedom: The Old Regime and the Declaration of Rights of 1789. Stanford University Press.
- Brown, Howard G. 2006. Ending the French Revolution: Violence, Justice, and Repression from the Terror to Napoleon. Virginia: University of Virginia Press.
- Censer, Jack; Hunt, Lynn. 2001. Liberty, Equality, Fraternity: Exploring the French Revolution. Pennsylvania: Pennsylvania State University Press.
- Crook, Malcolm. 1996. Elections in the French Revolution: An Apprenticeship in Democracy, 1789-1799. Cambridge: Cambridge University Press.
- Doyle, William. 2001. The French Revolution: A very short introduction. Oxford: Oxford University Press.
- Hampson, Norman. 1988. A Social History of the French Revolution. Routledge: University of Toronto Press.
- Horstboll, Henrik; Ostergård, Uffe. 1990. “Reform and Revolution: The French Revolution and the Case of Denmark”. Scandinavian Journal of History. 15 (3).
- Lefebvre, Georges. 1963. The French Revolution: from 1793 to 1799. Vol. II. New York: Columbia University Press.
- Mitchell, CJ. 1984. “Political Divisions within the Legislative Assembly of 1791”. French Historical Studies. 13 (3): 356–389.
- Sargent, Thomas J; Velde, Francois R. 1995. “Macroeconomic features of the French Revolution”. Journal of Political Economy. 103 (3): 474–518.
- Vardi, Liana. 1988. “The Abolition of the Guilds during the French Revolution”. French Historical Studies. 15 (4): 704–717