Sarekat Dagang Islam adalah organisasi para pedagang batik yang didirikan di Lawean, Surakarta. Lawean, di awal abad ke-20 adalah sebuah daerah yang berada di kota Surakarta dan merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Surakarta atau dapat juga dikatakan sebagai daerah yang berada di dalam vortsenlanden (wilayah raja-raja). Pada awal abad ke-20, Lawean sebagai salah satu daerah penghasil sentra kerajinan Batik tulis yang cukup tersohor, dengan sedikit agak berlebih nampaknya untuk seseantero wilayah Hindia-Belanda.
Dibentuknya Rekso Rumekso
Keberhasilannya untuk mendapatkan predikat itu rupa-rupanya telah menjadikan Lawean di sisi yang lain sebagai daerah yang rawan di dalam pencurian batik. Pencurian batik itu tidak ayal dikarenakan batik yang diproduksi di Lawean merupakan batik tulis dengan harga jual yang tinggi. Harga jual yang tinggi, tentu saja didapatkan dari hasil proses produksi dari batik tulis itu sendiri. karena di dalam proses produksinya batik tulis cenderung lebih sulit dibandingkan proses produksi batik dalam cara yang lain.
Permasalahan di Lawean, membuat para pedagang batik merencanakan untuk mengatasi permasalahan yang kerap menimpa mereka. Sebagai upaya untuk melakukan usaha penanggulangan itu, terlebih karena mereka telah membuat batik tulis yang sangat rumit, sehingga para pedagang batik di Lawean merencanakan membentuk sebuah organisasi ronda yang kelak dinamakan Rekso Rumekso yang dipimpin oleh seorang saudagar batik dari Lawean, yaitu H. Samanhudi.
Setelah berdirinya organisasi itu, Rekso Rumekso tidak hanya sekedar melaksanakan sebuah kegiatan ronda untuk menjaga batik-batik mereka. Belakangan memang para pedagang-pedagang pribumi terlibat perseteruan dengan para pedagang-pedagang Tionghoa. Perseteruan itu ternyata telah memperkuat identitas mereka, sehingga para pedagang itu memperluas dan memperkuat jaringan mereka untuk bersama-sama mempertahankan diri dan melakukan serangkaian perlawanan terhadap para pedagang Tionghoa.
Pertikaian yang dimulai dari hanya sekedar adu mulut dan saling ejek pun pada akhirnya menghasilkan tawuran antara dua kelompok yang saling bertikai itu meskipun memang dari hasil tawuran itu kerap kali membawa korban dari kedua belah pihak. Tawuran yang dilakukan oleh kedua belah pihak itu pun ternyata tidak luput dari perhatian pemerintah kolonial Hindia-Belanda, tak terkecuali sang Gubernur Jenderal, Idenburg yang sesegera mungkin bertindak untuk ‘menyelesaikan’ tawuran yang tidak hanya sesekali atau dua kali itu, tetapi telah seringkali terjadi sehingga membuat pemerintah kolonial Hindia-Belanda harus segera turun tangan.
Tuntutan Pemerintah Kolonial Terhadap Status Hukum Rekso Rumekso
Memang, di dalam penyelesaian permasalahan itu, pihak yang disebut dengan pribumi selalu lebih ditekan dan dirugikan oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda. H. Samanhudi segera ditekan dan dimintai pertanggungjawaban oleh pihak pemerintah kolonial atas terjadinya serangkaian peristiwa tawuran itu. Pemerintah kolonial Hindia-Belanda pun mempertanyakan mengenai organisasi Rekso Rumekso tersebut, berikut dengan AD-ART-nya. Jika tidak ada landasan organisasinya maka organisasi yang dibentuk oleh para pedagang batik itu dianggap illegal oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda dan harus dibubarkan.
Pernyataan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda itu lantas membuat H. Samanhudi berpikir beberapa kali mengenai pernyataan yang membuatnya tidak tenang itu. Tidak tenang, sudah tentu karena H. Samanhudi adalah ketua dari organisasi ini dan yang terlibat tawuran dan diperkarakan oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda adalah anggota dari organisasi yang ia pimpin.
Tirto Adhi Soerjo Mendorong Pendirian Sarekat Dagang Islam Di Surakarta
Kegelisahan dan keruwetan yang dihadapi oleh H. Samanhudi rupanya tidak luput dari pandangan Tirto Adhi Soerjo yang pada tahun 1909 telah mendirikan organisasi Kaum Mardika atau yang disebut dengan Sarekat Dagang Islamiyah.
Sebagai seorang jurnalis dan organisator yang telah cukup berpengalaman dan selain itu, telah mengenyam pendidikan Eropa atau pendidikan dan kebudayaan Barat, Tirto Adhi Soerjo tentu sangat memahami bagaimana sebuah organisasi dibentuk dan dijalankan. Berbekal hal itu, Tirto Adhi Soerjo yang mengamati perilaku para pedagang batik di Lawean dan permasalahan yang menyelimuti mereka, Tirto Adhi Soerjo pun pada tahun 1911 segera mendesak H. Samanhudi untuk mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI). Kiranya inilah yang menjadi latar belakang terbentuknya Sarekat Dagang Islam.
Selain oleh karena permasalahan status hukum, latar belakang Sarekat Dagang Islam didirikan yaitu kompetisi tinggi pada bidang perdagangan batik, terutama dengan golongan Cina dan sikap superioritas orang Cina terhadap orang pribumi sehubungan dengan berhasilnya revolusi Cina dalam tahun 1911. Hal ini sebagai akibat dari digantinya tekstil pribumi dengan bahan-bahan yang diimpor dan dibeli oleh para pembatik dari pedagang perantara Cina, maka seluruh industri batik beralih ke tangan orang Cina. Untuk mempertahankan diri terhadap praktek-praktek orang Cina, para pedagang batik Jawa akhirnya bersatu pada tahun 1911 dan mendirikan Sarekat Dagang Islam.
Meskipun tidak begitu megetahui tentang akibat apa yang kelak ditimbulkan oleh H. Samanhudi ketika ia menyetujui bujukan Tirto Adhi Soerjo untuk mendirikan Sarekat Dagang Islam, tetapi bagi diri H. Samanhudi yang terpenting adalah bagaimana caranya agar organisasi yang ia pimpin di Lawean mendapatkan status hukum dari pemerintah kolonial dan tidak dianggap sebagai sebuah organisasi yang illegal.
Sehingga dapatlah dipahami bahwa Sarekat Dagang Islam didirikan oleh H. Samanhudi adalah untuk mendapatkan status hukum dari pemerintah kolonial Hindia-Belanda. H. Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam pada tahun 1911 dan Surakarta sebagai kota tempat berdirinya Sarekat Dagang Islam sebagai sebuah organisasi.
Perlu kiranya dipahami di sisi lain, bahwa Tirto Adhi Soerjo bukan tanpa sebuah alasan mendukung H. Samanhudi untuk mendirikan Sarekat Dagang Islam. Berakar dari pengalaman yang didapatkan oleh Tirto Adhi Soerjo selama di Batavia, dan terlebih jika memahami gerakan yang dibuat oleh H. Samanhudi sebagai latar belakang berdirinya Sarekat Dagang Islam memiliki kesamaan dengan gagasan-gagasan Tirto Adhi Soerjo, yakni pedagang dan Islam serta Organisasi Barat.
Kekecewaan terhadap Budi Utomo (BO) yang mengalami kemandekan dan tidak digubrisnya dukungan-dukungan yang diberikan oleh Tirto Adhi Soerjo kepada organisasi priyayi tua itu, membuat Tirto Adhi Soerjo berharap lebih kepada organisasi yang didirikan oleh H. Samanhudi, meskipun pada awalnya organisasi SDI Lawean mengaku sebagai cabang SDI yang lain (baca: Sarekat Dagang Islamiyah) di Bogor.
Kekecewaan terhadap Budi Utomo dan harapan Tirto Adhi Soerjo kepada SDI dibayar meski tidak tuntas dengan gerakan masif yang dilakukan selama Sarekat Dagang Islam disahkan sebagai organisasi yang dilandasi hukum oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Bagaikan sebuah gelombang telah menjadikan Sarekat Dagang Islam sebagai organisasi besar dalam jumlah anggota melebihi Budi Utomo.
Meskipun hanya dalam tataran kuantitas, namun hal ini menjadi penting sebagai dasar pergerakan kalangan bumiputera Hindia-Belanda di dalam menghadapi pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Di mana hal ini kemudian seolah-olah telah berkembang menjadi tujuan Sarekat Dagang Islam di mana tidak hanya sekedar melindungi para pedagang Islam, melainkan sebagai alat perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda.
Dengan jumlah anggota yang besar dan dalam arti bahwa massa dapat di mobilisasi serentak secara besar-besaran karena meliputi daerah pedesaan maupun perkotaan. Hal yang semula telah disetujui oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda pada tahun 1911, dalam tempo satu tahun (1912) mulai meresahkan dan sedikit mengancam pemerintah kolonial Hindia-Belanda.
Sarekat Dagang Islam telah memulai zaman baru, zaman di mana pergerakan bumiputera dari berbagai lapisan masyarakat, meskipun masih bergerak di bidang perdagangan telah menjadi modal arah dan corak pergerakan nasional bumiputera Hindia-Belanda, dengan menggunakan kekuatan massa. Meskipun baru dalam tataran yang kuantitatif, tetapi setidaknya menunjukkan bahwa rakyat bumiputera telah mampu terorganisir dalam jumlah yang besar dan tidak dibatasi oleh subrasial kesukuan, akan tetapi dibatasi oleh subrasial lainnya, yaitu keagamaan.
Transformasi Sarekat Dagang Islam Menjadi Sarekat Islam
Memasuki tahun 1912, Sarekat Dagang Islam telah berhasil melebarkan sayap organisasinya dengan membentuk afdeiling-afdeiling (cabang-cabang) di beberapa kota-kota besar, termasuk di Surabaya. Di Surabaya inilah Sarekat Dagang Islam mulai merubah bentuk organisasinya, terutama setelah turut bergabung H. O. S. Tjokroaminoto yang memandang bahwa organisasi Sarekat Dagang Islam selayaknya tidak hanya sekedar organisasi yang bergerak dalam bidang ekonomi saja, terutama perdagangan.
Perlu dipahami kembali bahwa latar belakang berdirinya Sarekat Dagang Islam mula-mula hanya sekedar untuk mendapatkan status hukum dari pemerintah kolonial Hindia-Belanda ketika organisasi Rekso Rumekso yang dipimpin oleh H. Samanhudi yang kemudian kelak menjadi pendiri dari Sarekat Dagang Islam serta sebagai tokoh Sarekat Dagang Islam dipertanyakan menyoal status keorganisasian itu.
Ketika Sarekat Dagang Islam didirikan di kota Surakarta, pendirian Sarekat Dagang Islam bertujuan untuk melindungi kepentingan para pedagang muslim sebagaimana yang tertuang pula dalam salah satu tujuan dari pendirian Sarekat Dagang Islamiyah oleh Tirto Adhi Soerjo pada 1909. Ketika mulai tersebarnya organisasi keluar wilayah vortsenlanden dengan membentuk afdeiling-afdeiling maka kiranya menurut Tjokroaminoto Sarekat Dagang Islam selayaknya bergerak pula di bidang yang lebih progressif, yaitu politik.
Tujuan Sarekat Dagang Islam yang kelak bergerak di bidang politik akan membawa organisasi itu ke arah percaturan politik, bermanuver melawan pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Dengan bergabungnya Tjokroaminoto maka haluan organisasi Sarekat Dagang Islam dirubah berikut pula namanya, sesuai dengan gagasan Tjokroaminoto mengenai Sarekat Dagang Islam, bahwa Sarekat Dagang Islam sudah saatnya untuk bergerak di bidang politik.
Daftar Bacaan
- Kartodirjo, Sartono. 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru II: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia.
- McVey, Ruth T. 2017. Kemunculan Komunisme Di Indonesia. Depok: Komunitas Bambu
- Nagazumi, Akira. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918. Jakarta: Grafiti.
- Neil, Robert van. 1984. Munculnya Elit Modern Indonesia. (terj.) Zahara Deliar Noer. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. 2010. Sejarah Nasional Indonesia V: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia-Belanda. Jakarta: Balai Pustaka
- Ricklefs, M. C. 2009. Sejarah Indonesia Modern 1200- 2004. Jakarta: Serambi.
- Shiraishi, Takashi. 2005. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Di Jawa, 1912-1926. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.