Abad Pertengahan – Istilah Abad Pertengahan digunakan untuk membantu di dalam menjelaskan dua zaman lain, yaitu zaman kuno dan zaman modern. Abad Pertengahan adalah suatu periodesasi dalam sejarah yang mendeskripsikan tentang Eropa dalam periode antara jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada tahun 476 M hingga dimulainya era Renaissance (Abad Pembaharuan) pada abad ke-16. Tidak begitu jelas penarikan dimulainya Abad Pertengahan di Eropa ini. Beberapa sejarawan merujuk waktu terjadinya Abad Pertengahan ini dimulai pada kembali berkuasanya gereja dalam seluruh aspek kehidupan. Hal ini terjadi sejak pemahkotaan Karel Agung oleh Paus Leo III sebagai kaisar pada tahun 800 M.
Abad Pertengahan juga dianggap sebagai sebuah periode yang panjang dalam sejarah Eropa ketika nyaris tidak mengalami perkembangan apa-apa. Bahkan dalam periode ini Eropa justru dapat dikatakan mengalami kemunduran. Kemunduran ini terjadi dalam berbagai aspek kehidupan (ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan) sehingga masa ini juga disebut dengan zaman kegelapan.
Perlu dipahami bahwa jika dibandingkan dengan zaman Yunani Kuno dan Romawi Kuno, manusia telah menghasilkan karya-karya besar dalam bidang kebudayaan, baik dalam bidang seni arsitektur, sastra, filsafat, politik dan kenegaraan. Sedangkan pada Abad Pertengahan, itu tidak terjadi lagi karena disebabkan oleh Odoacer yang barbar dan dominannya pengaruh gereja Katolik dalam kehidupan bangsa Eropa.
Jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada tahun 476 M ditandai dengan menyerahnya Romulus Augustus ke tangan Odoacer dari bangsa Germanik, hal ini mengakibatkan kebudayaan Yunani Kuno dan Romawi Kuno tidak berkembang karena suku bangsa Germanik tidak begitu menaruh minat dalam bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan.
Pada tahun 800 M, kondisi politik Eropa mulai mengalami perubahan. Gereja Katolik mulai tampil sebagai penguasa yang dominan, baik dalam kehidupan politik maupun keagamaan. Pada tahun itu pula, Paus Leo III memahkotai Charlemagne (Karel Agung) sebagai kaisar. Di bawah Karel Agung pula, Eropa disatukan di bawah satu kekaisaran besar yang disebut dengan Kekaisaran Romawi Suci (The Holy Roman Empire).
Selain mengemban tugas politik, Kaisar Romawi Suci juga memiliki tugas misi keagamaan, yaitu melindungi agama Katolik dan menjamin penyebarannya ke seluruh Eropa. Di dalam konteks itu, setiap kaisar harus taat pada keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh Paus. Setiap kaisar di dalam lingkup Kekaisaran Romawi Suci tidak sah menjadi kaisar jika tidak mendapatkan persetujuan dan pemahkotaan oleh Paus.
Potensi yang dimiliki oleh orang-orang pada zaman Yunani Kuno dan Romawi Kuno yang umumnya terekspresikan melalui karya seni, sastra, dan ilmu pengetahuan terhenti selama Abad Pertengahan. Pada masa ini, ketaatan kepada wahyu Tuhan melalui kitab suci jauh lebih penting daripada mengejar keinginan-keinginan dan ambisi yang bersifat duniawi.
Mengejar surga atau akhirat jauh lebih penting daripada mewujudkan secara maksimal potensi diri setiap individu lewat kebahagiaan dan kesejahteraannya di dunia. Manusia dianggap hanya sekedar peziarah dunia (viat mundi). Seluruh perhatian dan kegiatan gereja diarahkan hanya untuk kepentingan akhirat. Kekuasaan gereja Abad Pertengahan yang begitu kuat, sehingga sikap taat kepada gereja yang ditunjukkan masyarakat kepada para pejabat gereja lainnya, diidentikkan dengan ketaatan kepada Tuhan.
Dengan kekuasaan besar seperti itu, sangatlah mudah bagi para pemimpin gereja berkesempatan untuk menyalahgunakan kekuasaannya dengan mengatasnamakan firman Tuhan atau kehendak Tuhan. Paus dalam hal ini juga selain sebagai pemimpin agama, merangkap pula sebagai pemimpin politik serta penguasa atas raja-raja di Eropa.
Abad Pertengahan merupakan masa di mana kekuasaan gereja banyak diwarnai oleh tindakan-tindakan yang menyimpang dari ajaran moral, terutama hal-hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan kekuasaan para pemimpin gereja.
Keadaan Eropa Pada Abad Pertengahan
Runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada tahun 476 menyebabkan perdagangan di sekitar Laut Tengah setelah hilangnya pasar di Roma menjadi sangat berkurang atau mengalami penurunan aktivitas. Penurunan aktivitas ini membuat kota-kota di Eropa Barat menjadi mati. Hubungan dagang yang tersisa adalah hubungan antara kota-kota pantai di cekungan sebelah timur dengan Konstantinopel sebagai pusatnya. Sisa-sisa perdagangan dan pelayaran di Laut Tengah bagi bangsa Eropa berakhir setelah Konstantinopel dikuasai oleh Kekaisaran Turki Utsmani pada tahun 1453.
Hilang dan runtuhnya kota-kota pelabuhan di Eropa mengubah daerah Eropa menjadi semakin agraris dengan rumah tangga desa tertutup. Hasil tanah yang dahulu dijual di kota-kota kini menjadi konsumsi desa. Di Eropa kemudian pun tidak adanya lalu lintas uang antara desa yang satu dengan desa yang lain. Hubungan perdagangan dengan daerah Asia yang telah terjadi selama berabad-abad hampir putus dan hilang sama sekali. Hal ini pun kemudian mengakibatkan kemunduran di bidang perekonomian.

Berubahnya Eropa menjadi masyarakat yang agraris menyebabkan timbulnya susunan sosial-politik baru di Eropa yang disebut dengan sistem feudal. Sistem feudal (feodalisme) adalah suatu sistem yang didasarkan pada penguasaan atas tanah (feodum) atau yang memiliki pengertian tanah yang dimiliki oleh para vassal. Sistem ini di Eropa ditandai dengan kekuasaan yang besar di tangan tuan tanah. Sistem feudal juga diartikan sebagai sistem sosial yang mengagungkan jabatan atau pangkat seseorang dan menyingkirkan prestasi kerja.
Sistem politik yang dibangun pada masa ini adalah perpaduan antara militer dan bangsawan dengan menganut sistem yang sangat hierarki. Kekuasaan politik bersifat lokal dan personal. Hal ini mengakibatkan dunia kekuasaan menjadi tumpah tindih sehingga seringkali dipenuhi dengan ketegangan dan peperangan antar vassal.
Para raja yang dianggap menjadi pemilik tunggal tanah secara keseluruhan, meminjamkan bidang-bidang tanah yang luas kepada mereka yang dianggap berjasa terhadap raja. Pinjaman yang diberikan oleh raja ini bersifat turun-temurun dan peminjam pertama ini disebut sebagai raja daerah atau vassal, yang tergolong sebagai bangsawan kelas tinggi.
Para raja daerah (vassal) atau tuan-tuan tanah ini bertempat tinggal di sebuah bangunan yang disebut dengan kastil. Vassal atas namanya sendiri menguasai dan mengatur pemakaian tanah di wilayah kekuasaannya. Mereka meminjamkan bagian-bagian tanahnya kepada bawahannya langsung dan seterusnya.
Dengan demikian, terbentuklah golongan bangsawan atau kaum feudal yang dibagi atas tingkatan-tingkatan. Dalam hal ini peminjam yang tingkatannya paling bawah adalah para petani yang mengerjakan tanah. Dalam kehidupan yang feudal ini, seorang vassal mempunyai hak untuk memerintah daerah kekuasaannya menurut kehendak dan caranya sendiri. Seorang vassal memiliki kewajiban untuk memberi pajak dan upeti kepada raja.
Demikian juga, bawahan-bawahan langsung dari para vassal inilah yang lalu menjadikan petani-petani sebagai objek untuk mendukung kewajibannya, sehingga para petani terpaksa menanggung pajak yang sangat berat dalam susunan pemerintahan yang feudal. Sebagian besar pendapatan petani dipakai untuk membayar pajak.
Feodalisme telah menempatkan kaum feudal (raja, vassal, bangsawan, dan golongan ksatria dari kaum bangsawan (ridder-knight) sebagai penguasa, sedangkan rakyat lebih banyak kewajibannya dibandingkan dengan haknya. Keadaan-keadaan lain yang menjadi ciri-ciri lain dari kehidupan masyarakat feudal di Eropa adalah:
Dominasi Gereja
Di tengah-tengah situasi politik yang kacau-balau selama Abad Pertengahan, ketika semua organisasi kenegaraan lumpuh, suku bar-bar mulai menguasai daerah-daerah dan mulai mendominasi di dataran Eropa. Sedangkan di sisi lain orang-orang masih menggunakan tradisi Romawi dan diatur menurut model Romawi Kuno: Kota berada di bawah uskup, provinsi di bawah provicaris gereja dan juga sebagai pusat agama Kristen di Eropa.
Kedudukan Paus sebagai “pembuat raja” menempatkan pula kedudukan dan pengaruh kaum gereja ke dalam kehidupan secara menyeluruh. Biara-biara saat itu menjadi pusat pembinaan kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Uskup-uskup di samping memangku jabatan gereja juga menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Banyak diantara mereka yang menjadi penasihat raja. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pada masa ini seluruh sendi-sendi kehidupan mengandung unsur kegerejaan yang sangat kuat.
Semangat (spirit) Abad Pertengahan
Masyarakat agraris bergantung dari faktor alam (hujan, cuaca dan lain-lain) yang mereka percaya berasal dari Tuhan. Penghasilan para petani tidak ditentukan oleh manusia tetapi ditentukan oleh alam. Masyarakat Agraris pada Abad Pertengahan juga mempunyai ciri semangat yang berbeda dengan masa sebelumnya. Semangat masyarakat Abad Pertengahan diantaranya adalah semangat teosentris, semangat komunal, semangat jenseits (harapan akan hidup di dunia kekal).
Oleh karena itu, motto atau semboyan hidup masyarakat Abad Pertengahan adalah Memento Mori (Ingatlah akan kehidupan di alam baka). Sumber-sumber jiwa Abad Pertengahan menuju kembali pada kitab suci, segala perwujudan kebudayaan dalam bentuk kata ataupun tulisan, dalam seni patung dan musik, dalam ibadat dan kebiasaan sehari-hari semuanya berpedoman kepada kitab suci. Hidup seseorang dan masyarakat senantiasa diarahkan kepada alam baka.
Munculnya Kasta Prajurit (Knight/Ridder)
Disebabkan oleh sering munculnya peperangan yang terjadi di antara para vassal, maka sifat-sifat kepahlawanan dan keprajuritan menjadi sangat terpandang. Pengangkatan seseorang menjadi knight dilakukan oleh raja pada suatu ibadat yang khidmat. Seorang knight harus setia kepada sumpah setianya kepada raja dan agama serta membela dan melindungi yang lemah.
Produksi Gilda
Kota-kota di masa feudal biasanya berdinding tebal yang dapat melindungi kota dari serangan musuh, atau yang biasa disebut dengan benteng. Oleh karena itu, terkadang Abad Pertengahan disebut pula sebagai ‘zaman benteng’. Sebab pada masa ini banyak dibangun benteng-benteng untuk melindungi kota. Kebutuhan akan berbagai macam barang dicukupi oleh organisasi yang disebut dengan gilda.
Gilda adalah serikat pengrajin yang dibentuk untuk memantau kegiatan usaha atau perniagaan mereka di daerah tertentu. Di dalam gilda terdapat usaha melakukan pekerjaan tangan untuk melayani pesanan. Setiap jenis gilda menjalankan jenis kegiatan produksi tertentu. Gilda sendiri pertama kali berkembang pada masa Kekaisaran Romawi. Serikat ini adalah sebuah perhimpunan yang bersifat sukarela dan beranggotakan penguasaha-pengusaha yang bergelut di bidang yang sama. Serikat ini bergerak di bidang angkutan laut jarak jauh yang berpusat di Ostia, Roma.
Gilda-gilda Romawi itu mengalami keruntuhan dan bubar setelah Kekaisaran Romawi mengalami keruntuhan pada tahun 476. Pada Abad Pertengahan, gilda merupakan serikat pengrajin yang menggeluti bidan yang sama. Pada prinsipnya gilda Abad Pertengahan terbagi menjadi dua jenis; (1) gilda saudagar, (2) gilda pengrajin. Di mana kedua jenis gilda ini dibentuk demi kepentingan bersama. Gilda kemudian dijadikan sebagai suatu perkumpulan persaudaraan yang saling membantu.
Kehadiran gilda dimanfaatkan oleh kalangan bangsawan untuk memonopoli perdagangan yang menjadi cikal-bakal dari lahirnya semangat merkantilisme. Sistem gilda seperti ini bertahan hingga abad ke-14 dengan munculnya perpecahan diantara gilda itu sendiri yang terbagi menjadi dua kelompok; gilda berpunya (besar) dan gilda tak berpunya (kecil).
Perseteruan antar gilda yang paling sengit terjadi adalah perseteruan antara gilda-gilda yang bersifat konservatif dengan golongan saudagar yang melalui penguasaan alat-alat produksi. Gilda sendiri bekerjasama dengan pemerintah kota untuk mendapatkan keuntungan. Gilda mulai hancur setelah terjadinya revolusi industri pada abad ke-17.
Organisasi gilda diatur rapi dan diawasi oleh pemerintah kota untuk menjamin kualitas barang buatannya. Jika ada serangan, setiap jenis gilda harus mempertahankan bagian dinding kota tertentu. Dengan demikian organisasi gilda juga diikutsertakan dalam bidang pertahanan dan keamanan.
Daftar Bacaan
- Adams, George B. 1914. Civilization During The Middle Ages: Especially in Relation to Modern Civilization. New York, Chicago, Boston: Charles Scribner’s Sons.
- Church, R. W. 1914. The Beginnings of The Middle Ages. London, New York, Bombay and Calcutta: Longmans, Green, and Co. 39 Paternoster Row.
- Hoyt. 1967. Life and Thought in Early Middle Ages. Twin: The University of Minnesota Press.