Sejarah Asal-Usul Nama Indonesia
Sejarah Asal-Usul Nama Indonesia – Asal-usul nama Indonesia berawal dari Gagasan politis “Indonesia” (yakni bahwa ada satu negara yang mencakup satu kepulauan, dan bahwa Negara itu bisa punya bentuk selain jajahan satu negara kecil yang dingin dan basah di Laut Utara) dapat dikatakan terlambat dibandingkan dengan pemikiran serupa di Cina, India, atau Vietnam. Bahkan tak seorang pun tahu apa nama kawasan kepulauan ini hingga dasawarsa-dasawarsa pertama abad kedua puluh.
Indonesia yang kini sekarang dikenal, sebelumnya banyak memiliki nama sebutan. Sebut saja salah satunya berasal dari catatan bangsa Indonesia yang pernah menamai kawasan ini Nan-hai atau Kepulauan Laut Selatan. Sedangkan dalam catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara, Kepulauan Tanah Seberang, nama yang diturunkan dari kata Sansekerta, dwipa, yang berarti pulau dan antara yang berarti luar atau seberang.
Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Ramayang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa, Pulau Emas, yaitu Sumatra (sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara. Bangsa Arab menyebut Kepulauan Indonesia dengan sebutan Jaza’ir al-Jawi, Kepulauan Jawa. Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra.
Ketika bangsa Eropa mulai datang ke kepulauan Indonesia, mereka menyebutnya “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies , Indes Orientales. Ketika masa penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie atau Hindia Belanda, sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah Hindia Timur atau To-Indo. Di dalam artikel ini akan dijelaskan tentang sejarah asal-usul nama Indonesia gagasan Indonesia sebagai kesadaran baru dalam proses munculnya identitas nasional dan semangat kebangsaan.
Sejarah Asal-Usul Nama Indonesia: Gagasan Nama Indonesia
Gagasan atau ide adalah istilah yang dipakai baik secara populer maupun dalam bidang filsafat dengan pengertian umum “citra mental” atau “pengertian”. Gagasan mengenai nama Indonesia awalnya berasal dari tulisan dalam sebuah jurnal terbitan Singapura pada 1847 bernama Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel “On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations.” Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas, a distinctive name, sebab nama Hindia Tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama, Indunesia atau Malayunesia. Nesos, dalam bahasa Yunani berarti Pulau. Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis,
“… the inhabitants of the Indian Archipelago or malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.”
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia, Kepulauan Melayu, daripada Indunesia atau Kepulauan Hindia, sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago, Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan ini, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf “u” digantinya dengan huruf “o” agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan;
“Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia , which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago.”
Ketika mengusulkan nama Indonesia agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi.
Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918.
Negara Yang Sedang Terbentuk
Aspek pertama kemunculan Indonesia adalah penyebaran secara horizontal kekuasaan Belanda ke seantero Kepulauan Indonesia, sehingga dalam periode sekitar awal abad kedua puluh, bentang luas kepulauan Indonesia yang sebelumnya merdeka secara politis dari Belanda telah dimasukkan kedalam kekuasaan kolonial efektif. Istilah “Indonesia” membuat kemunculan Negara Hindia Timur Belanda yang tercipta pada seiring berjalannya waktu abad kedua puluh. Sebuah pandangan generalisasi yang ditolak oleh G. J. Resink;
“Pandangan bahwa Kepulauan Indonesia secara keseluruhan telah dijajah oleh Belanda selama berabad-abad itu tidak benar pada akhir abad kesembilan belas, bahkan sampai awal abad kedua puluh masih banyak orang Belanda diberbagai daerah yang menganggap diri mereka orang asing, dan mereka menganggap orang-orang didaerah di luar pulau-pulau wilayah luar asing yang merdeka.”
Aspek kedua kemunculan gagasan Indonesia adalah integrasi vertical seluruh wilayah Indonesia, sebagai akibat perkembangan sarana angkutan, terutama rel kereta dan jalan Hawa dan jalur pelayaran yang dijalin perusahaan kapal Belanda, Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM), kesamaan mata uang, serta sistem administratif, pajak, dan hukum yang tepusat.

Pembentukan semacam kesatuan politis juga membahayakan, mengabaikan, atau membongkar bentuk ulang hubungan-hubungan ekonomi dan budaya yang telah ada. Menginjak dasawarsa abad kedua puluh, Hindia sudah lebih merupakan Negara ketimbang koloni yang tergantung, jauh lebih dikenal dengan entitas politik yang berdiri sendiri.
Bersamaan dengan menguatnya identitas, muncullah pembahasan mengenai perlunya mendirikan dewan di Hindia. “yang bersifat perwakilan”, untuk membahas anggaran dan memberi saran umum kepada pemerintahan Hindia. Dewan itu terwujud berupa “Dewan Rakyat” yang diberinama Volksaard. Scidmore, ketika membahas penduduk berbagai pulau, mengatakan “semua orang Indonesia sebagaimana adanya, dibawah pemerintahan satu gubernur jenderal Hindia Belanda, mewakili ratu kecil di Den Haag.” Kemunculan nama Indonesia/Indonesian/Indonesie/Indonesien/Indonesier/Indonesiers/Indonesiersch muncul di dua puluh jurnal antara tahun 1911 dan 1925, dibandingkan dengan penggunaan kata Inlander/Inlanders/Inlandsch pada periode yang sama.
Identitas Pribumi Baru
Pendidikan Barat yang mulanya diterima dengan curiga oleh kaum elit Indonesia karena berpotensi menimbulkan ketercabutan dari budaya-memberi alat analitis untuk membentuk kembali kesadaran pribumi yang baru serta sarana menghadapi dan menguasai modernitas, betapapun membingungkan dan mengucilkannya. Tanda-tanda hadir pertumbuhan identitas pribumi di Hindia dirangsang walau bukan oleh Imperialisme Belanda. Sikap mawas diri dan gairah untuk mengubah keadaan terwujud dan disebaluaskan ole media cetak baru seperti Bintang Hindia, Retno Doemilah dan Pewarta Prijaji.
Masuknya pengaruh pendidikan Belanda di Indonesia merupakan sebuah langkah awal akan terjadinya sebuah kesadaran akan budaya dan rasa untuk mempertahankan identitas. Lahirnya Boedi Oetomo mewujud dalam latar belakang budaya Jawa yang mereka akrabi, yang juga diperkuat dan diperjelas oleh penelitian arkeologi dan filologi Belanda atas warisan social dan Budaya Jawa. Mereka mencari cara untuk memperkuat dan membanggakan budaya sendiri. Meskipun sudah ada tujuan, kesatuan yang memberi kekuatan baru ditemukan diantara mereka dalam hal budaya dan tempat yang tidak lebih luas.
Pembentukan Sarekat Islam yang juga merupakan sebuah lembaga yang lahir akibat kebutuhan yang amat dirasakan untuk membentuk kembali Hindia dalam jalur Modernisasi. Sarekat Islam yang mula-mula didirikan oleh Raden Mas Tirto Adhisuryo yang sangat yakin dengan pendidikan Barat dan gagasan baru, serta pentingnya pers untuk menyebarkan keduanya. Raden Mas Tirto Adhisuryo tahun 1903 mendirikan koran pribumi pertama dan terkenal karena mendirikan koran mingguan Medan Prijaji di Bandung tahun 1907 serta pengaruhnya kepada pemikiran kaum intelektual sesudah dia seperti Mas Marco Kartodikromo.
Sarekat Islam yang dipegang oleh Tjokroaminoto sejak 1912, menggunakan Islam sebagai penanda solidaritas nasional dan melarang orang Kristen diterima sebagai anggota Sarekat Islam dan menghimpun segala unsur masyarakat pribumi. Laffan mengingatkan;
“Sarekat Islam adalah gerakan massal pertama yang mengaku punya anggota diseluruh Hindia”
Namun pada kenyataannya gerakan tersebut tidak pernah menjadi wahana dengan satu tujuan Nasionalis.
Penyusun Konsep Bangsa Baru yang Modern
Pandangan baru terhadap bangsa Indonesia setelah gagalnya Douwes Dekker mendorong Boedi Oetomo menjadi lebih radikal, yakni dengan membentuk Indische Partij bersama Soewardi Soerjaningrat dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Tjipto Mangoenkoesoemo dengan menulis dan mengingatkan akan kejayaan pra-islam Majapahit yang agung berpusat di Jawa, sedangkan Soewardi Soerjaningrat menulis “Andai Aku Seorang Belanda”. Douwes Dekker mengeluarkan gagasan;
“Nasionalisme terkait dengan bangsa, bukan dengan tanah, dan… didasarkan kepada budaya bangsa tersebut”.
Pecahnya Perang Dunia I membentuk “Indie Weerbar”, orang-orang Indonesia menganggap bahwa keikutsertaan mereka dalam milisi pertahanan harus ditanggapi pemerintah dengan member imbalan berupa pendirian forum, parlemen, dan milisi pribumi, agar kepentingan bangsa Indonesia bisa terwakili dan terakomodasi dalam lingkungan pemerintahan-diri yang umum. Indie Weerbar menimbulkan kontroversi dan agitasi kaum sosialis radikal muda Indonesia seperti Semaoen yang dipengaruhi oleh H. J. Sneevliet dan memperjuangkan kemerdekaan politik sebagai bagian kemenangan sosialisme dalam skala lebih besar telah mendorong SI menjadi radikal secara politis.
Sumbangan Penting: Mahasiswa Indonesia di Belanda
Indische Vereeniging terbentuk sebagai kelompok penyokong mahasiswa Indonesia, mengembangkan konsep lebih luas mengenai Hindia sebagai suatu Negara, penduduknya diatas satu bangsa di atas pengelompokkan suku yang menyusunnya. Indische Vereeniging bertukar publikasi dengan Budi Utomo dan menjalin hubungan dengan orang-orang Belanda terkemuka yang punya minat terhadao Hindia seperti, Abendanon, Snouck, van Deventer dan van Heutz yang membantu perjuangan Indische Vereeniging secara moral maupun uang.
Kedatangan Douwes Dekker, Soewardi dan Tjjipto yang “dibuang” ke Belanda tahhun 1913 menjadi rangsangan bagi Indische Vereeniging untuk mencoba jalan baru yang sebelumnya pasif dan moderat. Tahun yang sama Soewardi mendirikan Biro Pers Indonesia di Den Haag, untuk mengumpulkan dan menyebarluaskan berita mengenai gerakan politik di Hindia. Tahun 1916 setelah perlahan pulih dari masa kelmahan, kekecewaan dan kemerosotan dibawah kepemimpinan konservatif Noto Soeroto, Indische Vereeniging kemudian mencoba untuk sadar politik dan berhubungan lebih kuat dengan organisasi-organisasi serta gagasan-gagasan sosial politik di Hindia. Pada Maret 1916 mulai menerbitkan jurnal bulanan Hindia Poetra.
Hindia Poetra yang mengalami krisis, dihidupkan kembali pada Agustus 1918 oleh IVS (Indonesisch Verbon van Studeerenden) dan menyatukan semua organisasi yang mempunyai jalur karier serupa yang sudah sangat politis dan satu perkumpulan mahasiswa Tionghoa Indonesia, Chung Hwa Hui. Pada masa ini pertama kali nama Indonesia digunakan dalam kaitan dengan satu organisasi, meski organisasi itu tidak murni Indonesia. Maka Soewardi menyatakan;
“Siapapun yang menganggap Hindia atau Indonesia sebagai tanah airnya, tanpa peduli ia orang Indonesia totok, atau keturunan Tionghoa, Belanda, atau Eropa. Siapa pun warga Negara Indonesia adalah orang Indonesia.”
Istilah Indonesia
Pada pertengahan 1918, Soeryopoetro mengatakan;
“…tanah Indonesia harus dikembalikan kepada bangsa Indonesia, yang memusatkan perhatian kepada Negara Indonesia yang terwujud….Nasionalisme Indonesia adalah tujuan utama mereka yang mengaku sebagai Hindia Poetra, dan republic adalah bentuk kesatuan Hindia Poetra.”
Labberton, tahun 1918 mengatakan:
“…bahwa Indonesia merujuk kepada penduduk pribumi Hindia. Suatu tanda pendapatnya bahwa kelak hanya akan ada pembicaraan mengenai Hindia secara umum bukan lagi politik bangsa Jawa.”
Tjipto saat kembali ke Hindia dengan menuliskan suku-suku yang ada di Hindia menggunakan kata Indonesia. Kata-kata sebelumnya seperti Insulinde, Inland telah mulai memudar karena dianggap kurang khas dan canggung. Pada April 1921 van Hinloopen Labberton, mengajukan amandemen Volksaard atas revisi konstitusi Hindia-Belanda untuk menggantikan kata “Hindia-Belanda” menjadi “Indonesia”.
Kesatuan Indonesia di bangun diatas dua kaidah yang saling bersaing. Disatu sisi, ada mereka yang mengutamakan kesatuan budaya pribumi Indonesia, seperti Soeryopoetro di Belanda. Dipihak lain versi Tjipto mengenai nasionalisme antar pulau Indonesia dibangun diatas landasan yang berbeda;
“…tak peduli seberapa besar perbedaan antara budaya dan sejarah suku-suku … satu ikatan besar mempersatukan mereka semua, yakni kesamaan penjajahan ekonomi dan politik oleh kekuatan asing.”
Dalam satu tulisannya Bung Hatta menegaskan;
“Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut Hindia Belanda. Juga tidak Hindia saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”
Sementara itu, di tanah air dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij).
Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama Indonesia. Akhirnya nama Indonesia dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini disebut dengan Sumpah Pemuda. Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad, Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”. Akan tetapi, Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah namun masukkanya Jepang pada tanggal 8 Maret 1942 membuat Hindia-Belanda ‘lenyap’ dan pada akhirnya tergantikan dengan Republik Indonesia.
Kesadaran Nasionalisme
Nasionalisme adalah manifestasi kesadaran bernegara atau semangat bernegara. Sebelum kedatangan bangsa barat, negara ini sudah dikemudikan oleh orang-orang Indonesia sendiri. Negara-negara tersebut adalah Majapahit, Sriwijaya, Mataram, dan negara-negara lain yang pernah jaya pada masa kuno. Kesadaran nasional sudah ada. Mereka ingin memajukan keadaan dalam negerinya, dan juga akan menjaga negerinya dari ancaman luar. Pada hakikatnya itulah wujud dari sebuah nasionalisme negara merdeka.
Pada masa penjajahan nasionalisme terbentuk dari keinginan untuk terlepas dari belenggu penjajahan, akibat persamaan sama-sama dijajah Belanda. Tujuannya adalah untuk mencapai kemerdekaan. Dengan kemerdekaan itu mereka ingin mengatur negerinya sendiri dengan cara sendiri.
Dalam pandangan Elson setidaknya kita dapat melihat arah perkembangan pemahaman mengenai gagasan ke Indonesiaan dalam 3 bentuk yang cukup signifikan:
- Dalam historisitasnya perjalanan dan pergerakkan politik nasional mulai diwarnai dengan “gagasan baru” terkait dengan ide tentang Indonesia. Dalam pengertian lain. Dinamika perpolitikkan nasional sengaja memberikan ruang baru dengan maksud untuk menggantikan pengalaman periode pergerakan “anti-kolonial” dan “anti-feodal” atau dalam terminologi yang jauh lebih modern memberikan ruang untuk berkembangnya “modernisasi” dan “westernisasi”. Hal ini tentunya memberikan suatu angin segar dari keterkungkungan tradisi feodal yang sangat kolot, dan rasialis masyarakat kolonial.
- Timbulnya pergerakkan kelompok-kelompok etnis dalam pembukaan ruang publik tersebut dalam wujud suatu ruang politis baru, yang menawarkan pilihan baru dalam berserikat. Dalam pengertian lain, menerima ide Indonesia berarti pula penerimaan kalangan pergerakan untuk melepaskan diri dari persoalan-persoalan daerah, lokal, dan parokial.
- Dan yang terakhir, ruang politik baru itu berimplikasi pada keharusan terhadap suatu bentuk kompromi di antara banyak kekuatan-kekuatan politik yang berbeda untuk sebisa mungkin mereduksi kepentingan golongan untuk mewujudkan suatu kepentingan yang lebih luas dan mampu memfasilitasi terwujudnya suatu negara bangsa yang besar dan solid.
Peran Demokrasi dalam Mewujudkan Gagasan Baru Indonesia yang Modern
Dalam perjalanan mengarahkan masyarakat Indonesia pada suatu bentuk pengorganisasian yang terstruktur adalah bukan perkara mudah. Kondisi ini akan terus bersinggungan dan berbenturan dengan ciri khas bangsa yang terdiri atas berbagai macam suku, ras, dan agama. Kondisi ini tak lain meripakan sebab dari suatu ideologi yang terus coba dikembangkan di Indonesia oleh para kaum intelektual muda Indonesia yaitu demokrasi.
Demokrasi diwujudkan sebagai sebuah institusi yang dapat mempertahankan gagasan tentang Indonesia seperti pernah dicetuskan pada periode awal pembentukannya, dan dapat menopang pelaksanaannya secara praktis. Beberapa contoh kegagalan proses institusionalisasi demokrasi ini digadang-gadang menjadi penyebab ketegangan dan kekecewaan yang melahirkan banyak penentangan atas Indonesia yang sebelumnya pernah dicetuskan pada masa-masa sebelumnya.
Namun, sejatinya kondisi ini tidak kita jadikan suatu hal yang terus menyudutkan proses dinamika demokrasi dalam kerangka SARA. Wujud demokratisasi dalam perjalanan Indonesia nyatanya dapat memberikan kontribusi positif dalam proses nation building, seperti kesungguhan dari pemerintahan baru untuk membangun dan memperluas lembaga-lembaga pendidikan melalui pendirian gedung-gedung sekolah formal, termasuk pelatihan guru-guru yang siap mengisi infrastruktur pendidikan massal tersebut.
Hal ini nyatanya memberikan dampak positif yang cukup signifikan dengan bukti pada dekade awal tahun 1950-an jumlah orang Indonesia yang bisa baca-tulis diperkirakan hanya sebesar 10 persen dari total jumlah penduduk, maka dalam dekade selanjutnya kita mendapatkan angka perkiraan jumlah penduduk yang mampu baca-tulis mencapai 80 persen dari seluruh penduduk. Dapat dikatakan, sekolah-sekolah dasar hampir tersebar secara merata di setiap pelosok kampung di Indonesia.
Tidak hanya dalam sektor pendidikan, demokratisasi juga memberikan pembelajaran yang cukup berharga terkait dengan pendidikan politik. Partai politik adalah instrumen penting dalam menanamkan budaya baru Indonesia. Pembentukan parlemen dan pelaksanaan pemilihan umum pertama pada 1955 adalah sebuah indikator penting tentang bagaimana masyarakat dari seluruh pelosok Indonesia yang terpisah oleh jarak dan kendala geografis berpartisipasi dalam sebuah dinamika pertarungan politik bersifat nasional.
Partai politik nyatanya mampu membuat Indonesia belajar lebih banyak perihal bagaimana seharusnya bangsa ini dikelola. Dimulai dengan peran partai politik di masa awal yang cukup signifikan seagai instrumen untuk menggantikan kekosongan organisasi-organisasi sosial masyarakat yang terhambat oleh penindasan kolonial. Dan di lain sisi partai politik menjadi instrumen penting dalam upaya mengisi proses pembangunan bangsa dengan program dan agenda kegiatan ekonomi dan politik yang nyata.
Pada akhirnya Elson memberikan penjelasan bahwa proses menjadi suatu negara bangsa memerlukan dukungan dari seluruh masyarakat. Proses nation building di fasilitasi dengan baik oleh demokrasi dalam wujud perpolitikkan untuk menjadi penghubung jutaan massa rakyat di pelosok perdesaan dengan program-program pembangunan sosial, politik, ekonomi, dan budaya di tingkat nasional. Dalam kaitan itulah arti penting institusi demokrasi dalam mempercepat tumbuhnya kesadaran berbangsa setelah Indonesia merdeka. Dan pada hakikatnya benang merah yang ingin ditarik dari buku the Idea of Indonesia adalah terinternalisasinya paham keadilan, demokrasi, dan toleransi untuk mewujudkan negara bangsa Indonesia di seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Daftar Bacaan
- Elson, Robert Edward. 2010. The Ideas of Indonesia. Jakarta: Serambi.
- Muljana, Slamet. 2008. Kesadaran Nasional. Jakarta: LKiS.