Sejarah Dan Ilmu-Ilmu Sosial

Sejarah Dan Ilmu-Ilmu Sosial – Sebagaimana telah dipahami bahwa sejarah adalah “art and science“. sejarah sebagai seni (art), sejarah dimasukkan ke dalam “sastra” karena penggunaan narasi yang dominan. Heredotus yang dikenal sebagai “bapak sejarah” sebenernya telah memulai sejarah itu sebagai “cerita” (story-telling) dan sejak itu sejarah dimasukkan ke dalam ilmu-ilmu kemanusiaan (humanities). Di dalam artikel ini akan diberikan penjelasan tentang sejarah dan ilmu-ilmu sosial.

Pendekatan Sejarah Dan Ilmu-Ilmu Sosial

Sejarah adalah “ilmu” karena mempunyai metodologi penelitian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Langkah-langkah heuristik, kritik-kritik sumber dan penulisan sejarah adalah metode-metode obyektif ilmiah yang umum sekali dalam penelitian sejarah. Kemudian sejarah sebagai ilmu, sejarah termasuk sebagai salah satu dari ilmu-ilmu sosial karena fokus kajiannya adalah manusia (sebagai individu maupun dalam kelompok masyarakat) seperti yang dikaji juga oleh sosiologi, psikologi, antropolgi, geografi, ekonomi, politik dan sebagainya. Bahkan sejarah juga termasuk “ilmu sosial tertua” yang embrionya telah ada dalam bentuk-bentuk mitos dan tradisi-tradisi manusia-manusia yang hidupnya paling sederhana.

Tentu saja cara pendekatan di dalam mengkaji manusia itu tidak sama meskipun harus diakui bahwa dalam perkembangan ilmu sejarah pada abad ke-20 – 21 ini antara sejarah dan ilmu-ilmu sosial sudah lebih saling mendekati (reapproachment). Malahan proses hubungan berdampingan (coexist) antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial ini, menurut sejarah Perancis Emmanuel Le Roy Ladurie, telah ada sejak pakar-pakar teori ilmu sosial seperti Karl Marx, Max Weber, Emile Durkheim, dan Sigmund Freud, di mana kedua belah pihak saling menukar konsep-konsep dan saling melewati perbatasan kajian masing-masing. Di dalam kerja sama ini ilmu-ilmu sosial pun menggunakan pendekatan historis untuk dapat mengungkapkan kecenderunga-kecenderungan serta pola-pola umum sebelum dapat melakukan ramalan-ramalan (prediksi) masa yang akan datang.

Sebenarnya sejarah mempunyai kedudukan unik di dalam rumpun ilmu-ilmu sosial. Meskipun sejarah termasuk sebagai salah satu dari ilmu-ilmu sosial, namun antara sejarah dan ilmu-ilmu sosial lainnya itu masih dapat dibedakan. Untuk itu di bawah ini digambarkan perbedaan antara sejarah dan ilmu-ilmu sosial lainnya;

SejarahIlmu Sosial
Masa lampau (past)Masa kini (present)
Temporal-spasialAtemporal-aspasial
DiakronikSinkronik
IdeografikNomotetik
PartikularistikGeneralistik
Terjadi sekaliTerjadi berulang-ulang (repetition)
Tidak teraturBeraturan
Tidak dapat dieksperimen dan diuji ulangDapat dilakukan eksperimen dan diuji ulang
Tidak untuk meramalDapat untuk meramal/memprediksi
Perbedaan sejarah dan ilmu-ilmu sosial

Kajian sejarah terikat pada waktu (temporal), terutama pada kelampauan (past). Faktor waktu ini yang amat membedakan sejarah dengan ilmu-ilmu sosial lain sehingga sering dikatakan bahwa sejarah adalah kajian yang berkaitan dengan manusia (individu dan masyarakat) pada masa sekarang (present). Tidak jarang kajian dari ilmu-ilmu sosial itu digunakan untuk kepntingan masa yang akan datang, atau untuk meramalkan (memprediksi) kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada masa-masa yang akan datang (future).

Akan tetapi, perlu ditegaskan disini bahwa dalam kajian masa lalu dari sejarah itu terkandung di dalamnya pengertian proses dan perspektif sejarah, artinya bukan masa lalu untuk kepentingan masa lalu melainkan masa lalu sebagai titik tolak untuk masa sekarang dan selanjutnya. Karena pengertian yang implisit ini seringkali sejarah dianggap dapat juga digunakan untuk memprediksi masa yang akan datang meskipun para praktisi sejarah sendiri tidak begitu peduli atau paling tidak hanya menunjukkan kecenderungan (trends).

Selain faktor waktu, kajian sejarah terikat pada tempat (spasial) tertentu. Suatu peristiwa atau kejadian-kejadian yang berhubungan dengan manusia pasti terjadi di suatu tempat tertentu. Jika ditanyakan kapan dan di mana terjadi peristiwa Prokalamasi Kemerdekaan Indonesia, jawaban lengkapnya pasti tanggal 17 Agustus 1945, hari Jumat, pukul 10.00, bertepatan dengan bulan Ramadhan di Jakarta. Sebenarnya kajian ilmu-ilmu sosial lain bukanlah tidak memperhatikan masa lampau atau tempat tertentu. Hanya kelampauan dan tempat khusus ini tidak terlalu dihiraukan. Bagi ilmu-ilmu ssial peristiwa proklamasi seperti di Indonesia (Jakarta) itu dapat terjadi di mana saja dan kapan saja.

sejarah dan ilmu-ilmu sosial

Selanjutnya antara sejarah dan ilmu-ilmu sosial lain berbeda dalam pendekatan atau perspektif. Jika sejarah menggunakan prespektif diakronik, maka ilmu-ilmu sosial menggunakan perspektif sinkronik. Perbedaan antara pendekatan atau perspektif antara diakronik dan sinkronik dapat diumpamakan bahwa diakronik penampang bujur (vertikal) sedangkan sinkronik penampang lintang (horizontal).

Kajian sejarah meskipun tidak identik dengan kronik, tetapi kaitan kronologis (dalam urutan atau konteks waktu) dari kejadian-kejadian sangat penting sehingga seperti garis vertikal. Untuk fenomena sejarah yang hendak ditandai secara utuh diperlukan suatu pendekatan yang diakronik. Sebaliknya ilmu-ilmu sosial mencoba melihat fenomena peristiwa-peristiwa yang hampir sama pada tempat-tempat yang berbeda atau pada waktu yang berbeda-beda sehingga kelihatannya sebagai garis mendatar atau horizontal.

Dengan analisis, pendekatan sinkronik dapat ditandai dengan tepat. Untuk lebih jelasnya dapat diambil dari contoh perbandingan sejarah revolusi-revolusi Amerika (1776), Perancis (1789), Rusia (1917) maupun Indonesia (1945). Sejarah akan melihat bahwa Revolusi Amerika (disebut juga perang kemerdekaan) akan berbeda dengan Revolusi Prancis, Revolusi Russia, maupun Revolusi Indonesia. Perbedaan itu bukan saja karena perbedaan waktu dan tempat, melainkan juga sebab dan para pelakunya. Oleh sebab itu sejarah akan mempelajari secara “individual” setiap revolusi itu. Jadi sejarah melihat asal-mula (genesis) dari revolusi ke masa-masa sebelumnya serta perkembangan selanjutnya seperti melihat “ke dalam” (vertikal, diakronik) dari masing-masing revolusi itu.

Baca Juga  Sejarah Sebagai Humaniora

Pada gilirannya ilmu-ilmu sosial lain akan mencoba melihat “persamaan” dari semua revolusi itu tanpa terlalu mempertimbangkan “perbedaan” waktu dan tempat terjadinya revolusi-revolusi itu. Ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu politik atau sosiologi, akan mengkaji fenomena atau proses politik atau sosial yang sama seperti revolusi-revolusi atau perang kemerdekaan yang dapat saja terjadi di mana saja atau kapan saja (horizontal) jika situasi atau kondisinya serupa dengan yang terjadi di Amerika, Rusia, Prancis maupun Indonesia.

Ilmu sosial melihat bukan pada “perbedaan” waktu dan tempat melainkan pada “persamaan” adanya situasi atau kondisi konflik kepentingan yang menyebabkan timbulnya revolusi atau perang kemerdekaan. Di Amerika ada konflik kepentingan antara para kolonis yang ingin melepaskan diri dan merdeka dengan negeri induk Inggris yang tetap ingin mempertahankan koloninya; di Prancis terjadi konflik kepentingan antara rezim lama yang absolut dan golongan borjuasi (menengah) yang ingin berkuasa secara politis; di Rusia terjadi konflik perebutan kekuasaan antara bolsheviki yang Marxis-Komunis dengan golongan yang non-komunis; di Indonesia sendiri terjadi konflik antara Belanda yang ingin kembali berkuasa dengan bangsa Indonesia yang baru merdeka dan ingin mempertahankan kemerdekaannya.

Jadi fenomena (gejala) konflik yang lebih menjadi kepedulian utama dari pada sejarah asal-usul timbulnya revolusi. Adapun data sejarah dari masing-masing negara yang dipergunakan oleh ilmu-ilmu sosial itu adalah sekadar alat untuk memperkuat argumentasi bagi “hukum” (laws) yang ingin ditarik atau disimpulkannya. Inilah yang disebut dengan kajian sinkronik.

Masih dengan menggunakan contoh revolusi-revolusi di atas, sejarah akan lebih menekankan pada kekhasan atau kekhususan dari masing-masing revolusi atau perang kemerdekaan. Semisal revolusi Amrika dikaji lebih mendalam mengenai sebab-musabab serta perkembangan revolusi sehingga tampak kekhasannya jika seandainya dibandingkan dengan revolusi yang terjadi di negara-negara lain. Oleh sebab itu, sejarah disebut juga kajian ideografik atau partikularistik, kekhasan (singularizing, specific, particular).

Sejarah melukiskan dan menafsirkan suatu peristiwa yang hanya satu kali saja terjadi. Sebaliknya kajian ilmu sosial akan menekankan kepada fenomena yang sama di semua negara sehingga dapat ditarik suatu “hukum” yang dapat berlaku umum seperti contoh konflik di atas. Oleh sebab itu, kajian ilmu-ilmu sosial disebut juga kajian nomotetik atau generalistik, keumuman (generalizing, universal, general). Ilmu-ilmu sosial mencoba mencari hukum-hukum yang berlaku umum sehingga kalau misalnya ada gejala-gejala konflik politik atau sosial yang terjadi dalam suatu negara atau masyarakat, maka dapat “diramalkan” suatu revolusi atau perang akan dapat terjadi.

Perlu ditambahkan atau ditekankan lagi, jika sejarah hanya memperhatikan peristiwa individual yang hanya sekali terjadi (enmailig) atau tidak teratur, seperti Proklamasi 17 Agustus 1945, ilmu-ilmu sosial lain menyoroti peristiwa yang terjadi berulang-ulang (repetition) atau beraturan (regularity) seperti peristiwa proklamasi dapat terjadi (lama ataupun baru) tidak dapat diulang kembali sebagai eksperimen berkali-kali dalam laboratorium dan di test, pada ilmu-ilmu sosial lain dapat dilakukan percobaan-percobaan dan ditest ulang. Berkaitan dengan yang terakhir ini, jika sejarah tidak dapat digunakan untuk meramal (kecuali dala pengertian proses dan perspektif ke depan), ilmu-imu sosial lain dapat digunakan untuk prediksi.

Dikotomi (pembagian dua) di atas yaitu antara sejarah yang diakronik-ideografik-partikularistik dengan ilmu-ilmu sosial lain yang sinkronik-nomotetik-generalistik mempunyai kelemahan-kelemahan yang mendasar yaitu terlalu mengkotak-kotakkan ilmu-ilmu yang ada seolah-olah satu sama lain tidak memiliki keterkaitan. Kenyatannya tidak demikian sebab kedua belah pihak saling memerlukan seperti apa yang telah dilakukan oleh ahli-ahli teori ilmu sosial seperti Max Weber, Emile Durkheim dan lain-lain. Apalagi sejarah bukan tidak mengenal generalisasi.

Dalam membuat deskripsi, narasi atau analisis mengenai sebab-musabab dari revolusi yang khusus terjadi di Amerika, misalnya, sejarah juga membuat kesimpulan-kesimpulan akhir. Begitu juga dalam sejarah dari revolusi-revolusi di Prancis, Rusia maupun di Indonesia. Meskipun kesimpulan-kesimpulan itu akan menunjukkan kekhasan dari masing-masing revolusi, namun materi-materi sejarah tulah yang digunakan oleh para ilmuwan sosial untuk mengambil kesimpulan umum dan merumuskan generalisasi atau “teori” atau “hukum umum” yang dapat dipergunakan untuk “meramalkan” peristiwa-peristiwa politik atau sosial atau ekonomi pada masa-masa yang akan datang.

Bagi ahli filsafat seperti Karl Popper, meskipun sejarah tidak menemukan “hukum-hukum umum”, namun sejarah menerapkan hukum-hukum itu. Jika sains atau ilmu-ilmu pengetahuan lain menggunakan kekhususan-kekhususan (particulars) untuk menarik generalisasi-generalisasi, sebaliknya sejarah menggunakan generalisasi-generalisasi itu untuk menjelaskan kehususan-kekhususan.

Persoalannya yang terjadi adalah seringnya mempersamakan generalisasi atau hukum-hukum yang berlaku umum (general laws) seperti pada ilmu-ilmu alam padahal keduanya berbeda. Bagaimanapun setiap disiplin melakukan generalisasi sebab jika tidak konsep-konsep akan tinggal terpasung sendiri-sendiri dan ilmu tidak bisa berkambang. Adanya perbedaan ekstrim antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial lain semula berpangkal pada perbedaan antara sejarah dengan ilmu-ilmu alam yang membagi para sejarawan sendiri ke dalam dua kubu yang berlawanan selama abad ke-19.

Baca Juga  Sejarah Sebagai Ilmu

Dua Aliran Cara Pandang Dalam Mengkaji Sejarah

Sebagian besar dari ahli-ahli ilmu sosial cenderung memihak kepada ilmu-ilmu alam karena ingin mempertahankan “kemurniannya” dan melihat sejarah sebagai sains “lunak”. Perbedaan itu diwakili oleh para ahli filsafat sejarah dengan fokus perdebatan: apakah sejarah harus mengkaji manusia sama dengan kajian terhadap fenomena alam lainnya dan apakah sejarah itu “science”? Ada dua pihak yang mempermasalahkan isu ini yaitu aliran positivisme dan liberalisme.

Aliran Positivisme

Aliran positivisme melihat kesatuan metodologis dari semua bentuk disiplin ilmu manusia dan alam. Sejarah harus menggunakan prosedur-prosedur yang sama dengan ilmu-ilmu alam dan hasil kajiannya diukur menurut tandar ilmiah. Pengetahuan sejarah itu hanya berlaku (valid) jika sesuai dengan metode ilmiah.

Adapun dasar dari pengetahuan yang ilmiah itu ialah pengamatan yang cermat dan teliti terhadap kenyataan oleh pengamat yang “netral”, dan hasil dari pengamatan atas fenomena yang berulang-ulang sama adalah berupa generalisasi atau “hukum” yang sesuai dengan fakta-fakta yang diketahui dan menjelaskan pengulangan yang diamati. Menurut metode “induktif” ini, generalisasi-generalisasi ditarik secara logis dari data, dan bahwa para ilmiawan melakukan tugas-tugasnya itu tanpa prasangka dan tanpa keterlibatan moral.

Para pengikut aliran positivisme ini menghendaki sejarah melakukan prosedur ilmiah demikian jika ingin disebut sains. Menurut mereka tugas utama sejarawan ialah menghimpun pengetahuan faktual. Fakta-fakta ini diverifikasi dengan menggunakan metode kritis terhadap sumber-sumber pertama. Kemudian fakta-fakta ini menetapkan bagaimana masa lalu itu dijelaskan atau ditafsirkan. Kepedulian utama ialah pada fakta-fakta dan generalisasi-generalisasi, sedangkan kepercayaan atau nilai-nilai yang dianut oleh sejarawan tidak boleh mencampurinya.

Auguste Comte pada abad ke-19 yakin benar bahwa para sejarawan pada akhirnya akan menemukan “hukum-hukum” perkembangan sejarah. Dalam perkembangan kemudian pada abad ke-20 ini para pengikut aliran filsafat ini yang disebut neo-positivis telah melakukan modifikasi tertentu seperti: kajian sejarah tidak dapat menghasilkan hukum-hukumnya sendiri; bahwa esensi dari penjelasan sejarah terletak pada penerapan generalisasi-generalisasi yang tepat yang berasal dari disiplin-disiplin lainyang telah menggunakan metode-metode ilmiah seperti ilmu ekonomi, sosiologi dan psikologi.

Aliran Idealisme

Aliran idealisme menolak dasar-dasar pendapat aliran positivisme. Peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan manusia (sejarah), menurut aliran ini, harus dibedakan dengan peristiwa-peristiwa alam karena dalam hubungan antara peneliti dengan objek yang diteliti pada peristiwa kemanusiaan lebih terbuka untuk pemahaman yang lebih lengkap daripada peristiwa-peristiwa alam.

Maksudnya jika persitiwa-peristiwa alam dapat dipahami dari “luar” (karena peneliti netral, bebas nilai, tidak punya ikatan emosional dengan objek yang diteliti, misalnya), pada peristiwa-peristiwa kemanusiaan pemahaman dapat terjadi dari “dalam” karena melibatkan perasaan, emosi, motivasi dan mentalitas para pelaku (sejarawan dengan pelaku sejarah). Jadi realitas sejarah itu dapat dipahami dengan intuisi, imajinasi, atau empati, hal-hal yang diabaikan dalam metode sains. Oleh karena itu menurut aliran idealis ini, pengetahuan sejarah itu pada dasarnya “subjektif”.

Dasar dari aliran idealis ini bertolak pada pikiran G.W.F. Hegel yang tidak dapat menerima pendekatan sejarah harus disamakan dengan pendekatan ilmu alam karena keduanya berbeda. Meskipun keduanya menjalani proses, proses alam bukan sejarah karena alam tidak mengenal sejarah. Oleh sebab itu proses alam yang non-historis itu harus dibedakan dengan proses sejarah dari kehidupan manusia.

Pergantian berturut-turut periode-periode geologis, misalnya bukanlah pergantian yang benar-benar historis karena perbedaannya dengan sejarah, sejarawan menghidupkan kembali (re-enact) dalam pikirannya (mind) sendiri pikiran-pikiran, motif-motif, maksud-maksud para pelaku sejarah yang tindakan-tindakan mereka di masa lalu diceritakan oleh sejarawan itu; peristiwa yang silih-berganti bukan sejarah kecuali jika terdiri atas tindakan-tindakan yang motif-motifnya dapat dihidupkan (re-enact) kembali. Geologi menyajikan serangkaian peristiwa (events), tetapi sejarah bukanlah sejarah jika tidak menyajikan serangkaian tindakan (act).

Hegel menegaskan tidak ada sejarah kecuali sejarah kehidupan manusia; bukan semata-mata kehidupan melainkan kehidupan rasional, kehidupan dari makhluk yang berpikir. Melanjutkan pendapat ini meskipun dalam beberapa hal tidak sependapat dengan Hegel, semisal R.G. Collingwood menyimpulkan bahwa “semua sejarah adalah sejarah pikiran” (all history is the history of thought). Selama tindakan-tindakan manusia itu hanya berupa peristiwa-peristiwa saja, sejarawan tidak akan memahaminya. Sejarawan baru akan memahaminya jika semuanya itu merupakan ekspresi ke luar dari pikiran-pikiran. Sejarah menampilkan perkembangan diri dari akal dan proses sejarah itu berada pada dasar dari proses logika.

Kedekatan Sejarah Dengan Ilmu-Ilmu Sosial Lain

Kepesatan ilmu-ilmu sosial lain disusul pula oleh perkembangan kajian sejarah, terutama bagi yang terakhir ini dalam metodologinya. Perkembangan metodologi sejarah ini erat sekali hubungannya dengan usaha-usaha saling mendekat (reapproachment) antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial. Sejarah tidak mentabukan penggunaan konsep-konsep yang umum digunakan dalam beberapa ilmu sosial jika dianggap relevan. Selama penggunaan itu untuk kepentingan analisis sehingga menambah kejelasan dalam eksplanasi dan/atau interpretasi sejarah, maka penggunaan ilmu-ilmu sosial itu adalah wajar saja. Hal ini dapat ditandai dalam perkembangan historiografi pada abad ke-20 sampai dengan abad ke-21 ini.

Baca Juga  Konsep Perubahan Dan Keberlanjutan Dalam Sejarah

Perluasan secara horizontal (keluasan) maupun vertikal (kedalaman) subyek sejarah yang harus dikaji dan diteliti menuntut pula peningkatan dan penyempurnaan metodologi sejarah sehingga menghasilkan historiografi yang bervariasi dalam segi tema-tema. Penggunaan konsep-konsep ilmu sosial membuat banyak pertanyaan-pertanyaan penelitian yang bisa diajukan yang pada gilirannya jawaban-jawaban yang bisa diberikan.

Penulisan sejarah tidak lagi semata-mata mengutamakan kekhususan meskipun ini mustahil ditinggalkan sama sekali, tetapi sudah tidak segan-segan menggunakan konsep-konsep ilmu-ilmu sosial lain, bahkan jika memang relavan menggunakan teori, hipotesis atau generalisasi-generalisasi. Pada gilirannya ilmu-ilmu sosial pun menggunakan pendekatan atau metode sejarah.

Pendekatan antara sejarah dan ilmu-ilmu sosial ini ada hubungannya dengan ketidakpuasan para sejarawan sendiri dengan bentuk-bentuk historiografi lama yang ruang cakupannya terbatas. Historiografi baru membuka ruang cakupan yang lebih luas. Tetapi untuk itu diperlukan penyempurnaan metodologi yaitu penggunaan konsep-konsep ilmu sosial dalam analisis-analisisnya. Sehubungan dengan ini untuk lebih jelas dibedakan antara apa yang disebut dengan “sejarah lama” (The Old History) dan “sejarah baru” (The New History) dapat dilihat berdasarkan tabel di bawah ini:

Sejarah Lama
(The Old History)
Sejarah Baru
(The New History)
Sejarah konvensional; sejarah tradisionalSejarah baru: sejarah ilmiah (scientific history atau social-scientific history); sejarah total (total history)
Orientasi peristiwaOrientasi problema
Ruang cakupan terbatasRuang cakup luas; segala aspek pengalaman dan kehidupan manusia pada masa lalu
Tema terbatas (sejarah politik, sejarah militer, sejarah diplomasi, atau sejarah ekonomi lama)Tema luas dan beragam: sejarah politik baru, sejarah ekonomi baru, sejarah sosial, sejarah agraria (sejarah petani, sejarah pedesaan), sejarah kebudayaan, sejarah pendidikan, sejarah intelektual, sejarah mentalitas, psikohistori, sejarah lokal, sejarah etnis (etno history)
Para pelaku sejarah terbatas pada raja-raja, orang-orang besar, pahlawan, atau jenderal (Teori orang besar, great men theory)Para pelaku sejarah luas dan beragam: segala lapisan masyarakat (vertikal atau horizontal; top down atau bottom up)
Paparan deksriptif-naratifPaparan analisis-kritis
Tema pendekatan ilmu-ilmu sosial (mono atau unidimensional)Menggunakan pendekatan interdisiplin dan/atau multidimensional ilmu-ilmu sosial (ilmu politik, ekonomi, sosiologi, antropologi, geografi, demografi, psikologi, dan lain-lain); pendekatan komparatif.
Perbedaan antara Sejarah Lama dan Sejarah Baru

Istilah “The New History” mulai populer ketika digunakan oleh sejarawan Amerika James Harvey Robinson. Mazhab Annales di Perancis termasuk juga dalam “Sejarah Baru” apalagi setelah diterbitkan La Nouvelle Histoire pada tahun 1978. “Sejarah Baru” ini merupakan reaksi terhadap “sejarah lama” (sejarah konvensional, sejarah tradisional) yang terlalu membatasi diri pada sejarah politik.

Sejarawan baru harus memperluas cakrawala perhatian dan pokok-pokok kajiannya dengan menggunakan “semua penemuan yang telah dibuat mengenai kemanusiaan oleh para pakar antropologi, ekonomi, psikologi, dan sosiologi.” Dibandingkan dengan “sejarah lama” yang konvensional (tradisional), berdimensi tunggal (mono atau uni-dimensional), berorientasi pada peristiwa-peristiwa (sumber-sumber), ruang cakup terbatas dengan tema yang terbatas pada sejarah politik (diplomasi, sejarah ekonomi model lama yang kualitatif), dan para pelaku sejarah yang terbatas pada individu-individu seperti raja, orang-orang besar, jenderal, atau pahlawan terkenal, dengan pemaparan yang dekriptif-naratif tanpa menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial lain dalam analisisnya.

“Sejarah baru” disebut juga sejarah imiah (scientific history), atau karena pada umumnya lebih menekankan pada sejarah sosial disebut sejarah ilmiah sosial (social scientific history), atau karena ingin membahas semua dimensi kehidupan manusia pada masa lalu disebut sejarah total (total history atau integral history).

Kemudian karena berorientasi pada problema dan banyak segi sosial dikaji, “sejarah baru” ini disebut mulitdimensional; dengan ruang cakup yang luas, segala aspek pengalaman hidup manusia di masa lalu dikaji. Konsekuensinya tema sejarah menjadi luas dan beragam dengan para pelaku sejarah dari berbagai lapisan masyarakat.

Dalam pemaparan, tekanan terbesar pada analisis-analisis yang kritis dengan menggunakan pendekatan interdisiplin yaitu konsep-konsep ilmu-ilmu sosial lain seperti sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi dan lain-lain. Berkenaan dengan ini pula berkembang pendekatan komparatif (comparatice approach) yaitu dengan jalan melakukan bandingan (compare) dan pembedaan (contrast) peristiwa-peristiwa sejarah sejenis lintas waktu dan/atau ruang seperti umum yang dilakukan dalam sosiologi sejarah (historical sociology).

Ketika mencoba membandingkan dengan revolusi-revolusi Amerika, Prancis, Russia, dan Indonesia misalnya, sekaligus pula dapat melihat revolusi-revolusi itu sebagai suatu bentuk konflik dalam interaksi sosial dari ilmu sosial (sosiologi) dan keunikan dari masing-masing revolusi itu di berbagai tempat dan jaman dari ilmu sejarah.

Sejarah Di Tengah Konsep-Konsep Ilmu-Ilmu Sosial Lain

Di dalam perkembangan penelitian dan penulisan sejarah terutama pada abad ke-20 dan abad ke-21 ini para sejarawan telah membiasakan diri mengenal dan menggunakan sejumlah konsep-konsep, baik yang dikenal dari dalam lingkungan sejarah sendiri maupun yang diangkat dari ilmu-ilmu sosial lain. Ketika menganalisis berbagai peristiwa atau fenomena masa lalu, sejarawan menggunakan konsep-konsep dari berbagai ilmu sosial tertentu yang relevan dengan pokok kajiannya, Ini dikenal dengan pendekatan interdisiplin atau multidimensional yang memberikan karakteristik “ilmiah” kepada sejarah.

Penggunaan berbagai konsep disiplin ilmu sosial lain ini memungkinkan suatu masalah dapat dilihat dari berbagai dimensi sehingga pemahaman tentang masalah itu, baik keluasan maupun kedalamannya, akan semakin jelas. Revolusi Amerika atau Perang Kemerdekaan Amerika, misalnya, tidak cukup dipahami dipermukaan saja sebagai konflik atau perang biasa antara Inggris dan kolonis-kolonis Amerika.

Revolusi Amerika itu dapat dilihat dari dimensi-dimensi lain: perspektif politik melihat sebagai suatu perebutan kekuasaan; perspektif ekonomis melihat sebagai ketergantungan Inggris pada koloninya; perspektif sosiologis melihat sebagai interaksi yang tidak simetris antara orang-orang Inggris di negeri induk dengan para kolonisnya; perspektif antropologisnya berupa etnosentrisme dan tradisionalisme Anglo-Saxon yang terancam kemurniannya. Belum lagi perspektif geografis (dan demografis) antara negeri Inggris yang “liliput” menguasai koloni Amerika yang “raksasa”, misalnya.

Di bawah ini ditunjukkan secara skematis posisi sejarah dengan contoh konsep-konsepnya dalam hubungannya dengan ilmu-ilmu sosial lain bersama contoh konsep-konsepnya yang dapat digunakan oleh sejarawan setiap waktu jika memang relevan dengan pokok masalah yang dikaji. Ini menunjukkan suatu “simbiose mutualistis” antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial lain.

Daftar Bacaan

  • Ankersmith, F.R. 1987. Refleksi Tentang Sejarah. Pendapat-Pendapat Modern Tentang Filsafat Sejarah. Jakarta: PT Gramedia.
  • Conkin, Paul K. & Stormberg, Roland N. 1971. The Heritage and Challenge of History. New York: Dodd, Mead & Company.
  • Gee, Wilson. 1950. Social Science Research Methods. New York: Aplleton-Century-Crofts, Inc.
  • Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Ladurie, E.L.R. 1979. The Territory of the Historian. Sussex: Harvester.
  • Tosh, John. 1984. The Pursuit of History. Aims, Methods and New Directions in the Study of Modern History. London and Newyork: Longman.

Beri Dukungan

Beri dukungan untuk website ini karena segala bentuk dukungan akan sangat berharga buat website ini untuk semakin berkembang. Bagi Anda yang ingin memberikan dukungan dapat mengklik salah satu logo di bawah ini:

error: Content is protected !!

Eksplorasi konten lain dari Abhiseva.id

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca