Kerajaan Aceh Darussalam
Kerajaan Aceh (Kesultanan Aceh) adalah salah satu kerajaan bercorak Islam yang berdiri di utara Pulau Sumatra sejak akhir abad ke-15. Berdirinya Kerajaan Aceh di Utara Pulau Sumatra tidak terlepas dari aktivitas perdagangan yang memuncak di kawasan Selat Malaka. Berdirinya kerajaan-kerajaan bercorak Islam di Sumatra pun tidak terlepas dari inspirasi berdirinya Kerajaan Samudra Pasai sejak akhir abad ke-13. Berdasarkan sumber-sumber Cina maupun hikayat-hikayat serta legenda-legenda dan berita Portugis yang dicatat oleh Tome Pires, bahwa sebelum Kerajaan Aceh menunjukkan eksistensinya, telah ada kerajaan-kerajaan di Sumatra bagian utara. Menurut berita Cina dari Chau-Ju-Kua dan kitab Negarakrtagama karya Pu Prapanca, Lambri atau Lamuri adalah suatu kerajaan yang pada abad ke-13-14 berada di bawah pengaruh Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit.
Kerajaan Aceh mengalami puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda di mana Kerajaan Aceh berkembang dengan pesat dengan memanfaatkan letak Kerajaan Aceh yang strategis dekat dengan rute pelayaran dan perniagaan internasional. Ramainya aktivitas perniagaan inilah yang kemudian mendorong Kerajaan Aceh menuju puncak kejayaannya. Di bawah ini akan dijelaskan sejarah singkat tentang Kerajaan Aceh.
Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh dirintis oleh Mudzaffar Syah pada abad ke-15 di mana pada perkembangan selanjutnya pusat Kerajaan Aceh dibangun diatas puing-puing kerajaan Lamuri, seberah barat Samudra Pasai. Status kerajaan penuh diraih semasa pemerintahan Ali Mughayat Syah sebagai hasil penyatuan dua kerajaan, yakni Kerajaan Lamuri dan Dar al-Kalam serta berhasil mengalahkan dan menguasai Kerajaan Samudra Pasai pada tahun 1521.
Ketika bangsa Portugis mulai melakukan pelayarannya di Kepulauan Nusantara, di Pulau Sumatra terdapat dua pelabuhan dagang besar yang dijadikan sebagai tempat transit (singgah) bagi para pedagang, yaitu Pelabuhan Pasai dan Pedir. Di tengah berkembangnya dua pelabuhan besar ini, berdasarkan catatan yang diberikan oleh Tome Pires, menyebutkan mulai tumbuh kekuatan baru yang disebutnya sebagai Regno dachei (ditranskripsikan sebagai Kerajaan Aceh).
Aceh berdiri sekitar abad ke-16, dimana saat itu jalur perdagangan lada yang semula melalui Laut Merah, Kairo, dan Laut Tengah diganti menjadi melewati sebuah Tanjung Harapan dan Sumatra. Hal ini membawa perubahan besar bagi perdagangan Samudra Hindia, khususnya Kerajaan Aceh Para pedagang yang rata-rata merupakan pemeluk agama Islam kini lebih suka berlayar melewati utara Sumatra dan Malaka.
Selain pertumbuhan dari komoditas ladanya yang subur, di sini para pedagang mampu menjual hasil dagangannya dengan harga yang tinggi, terutama pada para saudagar dari Cina. Namun kondisi inilah yang kelak justru dimanfaatkan oleh bangsa Portugis untuk menguasai Malaka dan sekitarnya. Dari situlah pemberontakan rakyat pribumi mulai terjadi, khususnya di wilayah Aceh.
Pada saat itu Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim, berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pedir pada tahun 1520. Dan pada tahun itu pula Kerajaan Aceh berhasil menguasai daerah Daya hingga berada dalam kekuasaannya. Dari situlah Kerajaan Aceh mulai melakukan peperangan dan penaklukan untuk memperluas wilayahnya serta berusaha melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa Portugis.
Sejak Portugis berhasil menguasai Malaka pada 1511 di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque, Pelabuhan Aceh mulai tampil menjadi pesaing Malaka dalam aktivitas perdagangan internasional. Kemunculan Pelabuhan Aceh sebagai pesaing Portugis di Malaka tidak terlepas dari keberhasilan Kerajaan Aceh dalam memanfaatkan situasi politik dari mundurnya Kerajaan Samudra Pasai. Sejak berhasil dideklarasikan sebagai sebuah kerajaan yang merdeka oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1521 setelah melepaskan diri dari Kerajaan Pedir, Kerajaan Aceh mulai melakukan berbagai penaklukan di beberapa wilayah di Pulau Sumatra bagian utara.
Setelah keberhasilan ini, Kerajaan Aceh mulai membangun bandar utamanya, yaitu Banda Aceh sebagai salah satu pelabuhan yang dapat mengimbangi kepopuleran Malaka yang telah jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Setelah berhasil membangun pelabuhannya, Pelabuhan Aceh telah berkembang menjadi pusat perdagangan terutama bagi pedagang-pedagang muslim yang sebelumnya singgah di Malaka.
Setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, para pedagang muslim enggan untuk singgah di Malaka, sehingga mencari pelabuhan lain yang dianggap strategis dan dikuasai oleh kekuatan politik bercorak Islam. Hal inilah yang nampaknya dijadikan sebagai kesempatan bagi Kerajaan Aceh untuk mengembangkan pelabuhannya dan mendapatkan keuntungan dari para pedagang yang singgah untuk membangun kekuatan politiknya.
Sultan Ali Mughayat Syah sejak tahun 1523 telah membangun hubungan politik dengan Kerajaan Johor untuk berkoalisi menyerang Malaka yang telah dikuasai oleh Portugis. Di sisi lain, Portugis menganggap Kerajaan Aceh sebagai ancaman terhadap posisi mereka di Malaka. Maka, pada 1523 Portugis memutuskan untuk menyerang Kerajaan Aceh.
Sebelum berkonsentrasi menghadapi Portugis di Malaka, Kerajaan Aceh melakukan konsolidasi kekuatannya terlebih dahulu untuk meminimalisir ancaman yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Hal ini dilakukan dengan cara menguasai beberapa kerajaan di pesisir pantai utara Pulau Sumatra. Kerajaan Aceh berhasil menguasai Pedir dan juga sisa-sisa wilayah Kerajaan Samudra Pasai dalam tempo yang sangat singkat pada tahun 1524. Setelah keberhasilan itu, Kerajaan Aceh secara siap untuk menghadapi Portugis di Malaka.
Pada tahun 1529 Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah tersebut juga mampu mengalahkan kapal Portugis yang dipimpin oleh Simao de Souza Galvao di Bandar Aceh. Setelah memiliki kapal yang berhasil dirampas dari Bandar Aceh ini, Sultan Ali Mughayat Syah mulai bersiap-siap untuk melakukan penyerangan terhadap Malaka yang dikuasai oleh Bangsa Portugis. Namun, rencana penyerangan yang dilakukan oleh Sultan Ali Mughayat Syah itu menemui kegagalan.
Kegagalan itu disebabkan oleh karena ketika perjalanan menuju Malaka, awak kapal dari armada Kerajaan Aceh tersebut justru berhenti sejenak di sebuah kota. Di sana mereka dijamu dan dihibur oleh rakyat sekitar, sehingga secara tak sengaja sang awak kapal membeberkan rencananya untuk menyerang Malaka yang dikuasai Portugis. Hal tersebut didengar oleh rakyat Portugis yang bermukim di sana, sehingga ia pun melaporkan rencana tersebut kepada Gubernur daerah Portugis. Sehingga Portugis dapat bersiap untuk menghadapi gempuran yang akan dilakukan oleh Kerajaan Aceh.
Setelah kegagalan menyerang Portugis di Malaka, Sultan Ali Mughayat Syah kembali ke Kerajaan Aceh. Pada tahun 1530 Sultan Ali Mughayat Syah meninggal dunia setelah diracun oleh salah seorang istrinya yang berasal dari Kerajaan Daya. Istrinya membalas dendam atas perlakuan Sultan Ali Mughayat Syah kepada saudara laki-laki sang istri, Raja Daya. Dengan kematian Sultan Ali Mughayat Syah maka serangan terhadap Portugis di Malaka dibatalkan. Setelah Sultan Ali Mughayat Syah meninggal, posisi raja Kerajaan Aceh digantikan oleh Sultan Alauddin Syah.
Perkembangan Kerajaan Aceh
Ditengah semakin melemahnya eksistensi kerajaan-kerajaan di Semenanjung Tanah Melayu dipertengahan abad ke-16 akibat dominasi Portugis di Selat Malaka, nyatanya Kerajaan Aceh tetap bertahan menghadapi persaingan dagang dari Portugis. Perdagangan antara Sumatra dan India sangat ramai terutama perdagangan lada yang mulai diambil alih oleh Kerajaan Aceh sejak tahun 1534.
Setelah meninggalnya Sultan Ali Mughayat Syah, bukan berarti permusuhan dengan Portugis berakhir. Pada masa pemerintahan Sultan Salahudin (1530-1537) Kerajaan Aceh memfokuskan diri pada urusan internal untuk mempersiapkan diri dengan lebih matang menghadapi peperangan dengan Portugis. Usaha dari Sultan Salahudin dilanjutkan oleh Sultan Alaudin Riayat Syah al-Kahar (1537-1571), namun dengan kebijakan yang lebih banyak tertuju pada bidang militer.
Pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Ri’ayat Syah al-Kahar, Kerajaan Aceh mulai dengan serius mengembangkan militernya. Selain di bidang militer, Kerajaan Aceh juga menjalin hubungan kerjasama yang baik dengan Kekaisaran Turki, Abysinia dan Mesir. Dari kerjasama inilah Kerajaan Aceh berhasil memperoleh persenjataan yang cukup baik terutama dari Turki. Pada tahun 1539 Sultan Alaudin Ri’ayat Syah al-Kahar berupaya untuk menaklukan Kerajaan Aru, namun menemui kegagalan karena Kerajaan Aru mendapatkan bantuan tentara dari Kerajaan Johor, Perak dan Siak.
Wilayah Kekuasaan dan Pengaruh Kerajaan Aceh

Selain memfokuskan kebijakannya pada bidang militer Sultan Alaudin Ri’ayat Syah al-Kahar juga mengembangkan hubungan dagang dengan negara-negara disekitaran Laut Merah. Hal ini terbukti dengan keberadaan kapal-kapal Aceh di Laut Merah yang membawa rempah-rempah sejak tahun 1540. Dengan banyaknya kapal-kapal Aceh di Laut Merah, Portugis berupaya untuk menghambat aktivitas kapal-kapal dagang itu dengan mengirimkan armadanya sepanjang tahun 1554-1555 ke Laut Merah untuk dapat menangkap kapal-kapal Aceh. Namun, usaha ini tidak mencapai keberhasilan.
Orang-orang Aceh terkenal sebagai orang yang sangat piawai dalam pelayaran. Ketangkasan militer yang cukup tinggi dan sangat tangkas. Kepiawaian inilah yang menurut orang-orang Portugis menyebabkan perdagangan di Selat Malaka menjadi tidak aman akibat keberadaan orang-orang Aceh di sepanjang jalur Selat Malaka. Selain itu, pelayaran Portugis menuju Pulau Jawa pun seringkali mendapatkan tantangan dari kapal-kapal Aceh. Sejak pertengahan abad ke-16, Kerajaan Aceh telah menjadi ancaman yang serius bagi kedudukan Portugis di Malaka. Sehingga Portugis selalu mencemaskan apabila sewaktu-waktu Kerajaan Aceh menyerang Malaka.
Kembali kepada upaya penaklukan Kerajaan Aru yang gagal oleh Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahar yang menemui akibat adanya bantuan dari Johor, Siak dan Perak pada tahun 1539. Kegagalan dalam penaklukan Kerajaan Aru membuat Sultan Alaudin Ri’ayat Syah al-Kahar mengirimkan utusan ke Turki pada tahun 1563 untuk meminta bantuan terutama untuk memerangi Portugis dan menghadapi Johor. Pada tahun 1564 Kerajaan Aceh menyerang Kerajaan Johor dan berhasil menawan Sultan Alauddin Syah dari Johor.
Upaya permintaan bantuan kepada Turki ini juga diketahui oleh Raja Muda Portugis di Goa bahwa utusan Kerajaan Aceh meminta pengeriman meriam-meriam, pembuat senjata api dan penembak. Utusan Kerajaan Aceh ini membawa banyak emas, lada dan memberikan gambaran akan kekayaan dan keuntungan yang akan didapatkan oleh Turki apabila berhasil mengusir Portugis dari Malaka.
Permintaan Sultan Alaudin Ri’ayat Syah al-Kahar mengenai permintaan bantuan kepada Turki, baru dipenuhi oleh Turki dengan mengirimkan teknisi-teknisi yang handal dibidang kemiliteran pada tahun 1565. Bantuan itu pun hanya dua buah kapal dengan 500 orang Turki yang memiliki keahlian membuat senjata api, penembak dan ahli-ahli di bidang teknik yang baru tiba di Aceh pada kisaran tahun 1566-1567. Kedatangan para teknisi itu tidak langsung secara terburu-buru dimanfaatkan Sultan Alaudin Ri’ayat Syah al-Kahar untuk memerangi Portugis. Namun, ia lebih memilih untuk menguasai daerah-daerah lain di Pulau Sumatra seperti Batak, Aru, dan Barus.
Setelah berhasil menaklukan daerah pedalaman, pada tahun 1568, Kerajaan Aceh kembali menyerang Portugis di Malaka. Penyerangan ini tidak hanya terdiri dari tentara Kerajaan Aceh, melainkan juga tentara Turki dengan dibekali oleh sejumlah meriam berukuran kecil dan besar. Namun, serangan ini gagal lantaran kekuatan militer Portugis lebih tangguh. Kegagalan serangan Kerajaan Aceh ini coba dimanfaatkan oleh Portugis untuk melakukan serangan balik terhadap Kerajaan Aceh pada 1569, namun upaya ini dapat digagalkan oleh Kerajaan Aceh. Kerajaan Aceh terus melakukan perlawanan kepada Portugis yang memonopoli perdagangan dan pelayaran di Selat Malaka.
Tindakan Kerajaan Aceh ini benar-benar membuat orang-orang Portugis pusing bukan main. Seorang uskup, Jorge Temudo yang tinggal di Gowa menyarankan kepada Raja Portugal untuk melakukan blokade terhadap pelabuhan Aceh selama tiga tahun berturut-turut. Menurut Jorge Temudo, orang-orang Aceh terlalu cerdik dan selalu dapat mengatasi strategi yang dilakukan oleh orang-orang Portugis. Oleh sebab itu, Jorge Temudo menganggap bahwa Aceh adalah musuh yang paling berbahaya di Asia.
Demi menjalankan rencananya ini maka dibutuhkan armada sebanyak dua kali lipat. Kapal-kapal ini kemudian ditempatkan di Malaka yang dapat menghadapi setiap kapal Aceh yang akan mengadakan perdagangan di Laut Merah begitu juga kapal-kapal Turki yang melintas. Strategi ini nampaknya berjalan dengan baik di mana Portugis berhasil mengepung Kerajaan Aceh. Namun, yang terjadi bukanlah Portugis yang menyerang Kerajaan Aceh, yang terjadi justru adalah sebaliknya Kerajaan Aceh secara agresif menyerang kapal-kapal Portugis.
Setelah gagal beberapa kali dalam menguasai Malaka, pada 28 September 1571 Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahar meninggal dunia. Posisinya sebagai raja Kerajaan Aceh digantikan oleh Sultan Ali Ri’ayat Syah yang merupakan anak bungsu dari Sultan Ali Mughayat Syah. Sultan Ali Ri’ayat Syah, mengikuti jejak Sultan Alauddin Syah, kakaknya sendiri dengan kembali melakukan penyerangan terhadap Malaka dan Perak sepanjang tahun 1573-1575.
Serangan Sultan Ali Ri’ayat Syah menuai keberhasilan dalam menguasai Perak pada tahun 1573 dengan menawan Sultan Mansyur dan keluarganya untuk dibawa ke Kerajaan Aceh. Meskipun sebagai tawanan, Sultan Mansyur dan keluarganya mendapatkan perlakuan yang baik. Putra Sultan Mansyur kemudian dinikahkan dengan putri Sultan Ali Ri’ayat Syah. Setelah itu, Sultan Mansyur kemudian dipulangkan kembali ke Kerajaan Perak untuk kembali memimpin negerinya, namun masih berada di bawah kendali Kerajaan Aceh.
Pada tahun 1575 Sultan Ali Ri’ayat Syah menjalin hubungan dengan Ratu Kalinyamat dari Jepara untuk memperkuat armada lautnya. Pada tahun 1575 Sultan Ali Ri’ayat Syah meninggal dan digantikan oleh Sultan Sri Alam. Sepanjang pemerintahan Sultan Sri Alam (1575-1576) dan Sultan Zain al-Abidin (1576-1577) tidak banyak perubahan yang cukup signifikan dari Kerajaan Aceh.
Pada tahun 1577 Sultan Alauddin Mansyur Syah, anak dari Sultan Mansyur dari Kerajaan Perak sekaligus menantu dari Sultan Ali Ri’ayat Syah diangkat sebagai raja Kerajaan Aceh. Sultan Alauddin Mansyur Syah banyak menghabiskan pemerintahannya dalam perkembangan agama Islam. Menurut Hikayat Bustan as-Salatin, ia adalah seorang yang sangat baik, jujur dan mencintai para ulama. Karena itulah banyak para ulama baik dari nusantara maupun luar negeri yang datang ke Kerajaan Aceh. Kedatangan para ulama itu juga diiringi dengan semakin banyaknya kedatangan para pedagang terutama pedagang muslim ke pelabuhan-pelabuhan Aceh.
Kondisi ini semakin menambah tingkat ancaman Kerajaan Aceh terhadap Portugis dalam upaya memonopoli perdagangan rempah-rempah. Untuk dapat mengalahkan Aceh, Portugis mulai membuat peta Pelabuhan Banda Aceh yang merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Aceh. Peta ini dibuat secara teliti termasuk penempatan meriam-meriam di Pelabuhan Banda Aceh. Portugis berasumsi bahwa kekuasaan mereka tidak akan dapat berkembang apabila Kerajaan Aceh belum dapat ditaklukan.
Pada tahun 1585 Sultan Alaudin Mansyur Syah meninggal dan digantikan oleh Sultan Alauddin Ri’ayat Syah ibn Sultan Munawar Syah yang memerintah hingga tahun 1588. Sejak tahun 1588, Kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Alauddin Ri’ayat Syah ibn Firman Syah. Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Ri’ayat Syah ibn Firmansyah, orang-orang Eropa seperti Inggris dan Belanda sempat diterima baik oleh Kerajaan Aceh untuk membeli lada. Orang-orang Inggris mengunjungi Kerajaan Aceh dipimpin oleh James Lancaster pada tahun 1599 dan 1602. Sedangkan orang-orang Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman pada tahun 1599.
Sultan Alauddin Ri’ayat Syah ibn Firmansyah meninggal pada tahun 1604 dan digantikan oleh Sultan Muda yang memerintah hingga tahun 1607. Setelah Belanda datang ke Aceh tahun 1599, Kedudukan Portugis di Malaka mulai melemah akibat serangkaian manuver politik Kerajaan Aceh yang cukup merepotkan. Terutama adalah sikap agresi Kerajaan Aceh ke negara-negara tetangga. Sikap ini membuat Portugis kewalahan dan terkepung oleh Kerajaan Aceh yang wilayahnya semakin meluas.
Memasuki akhir abad ke-16 permusuhan antara Kerajaan Aceh dan Portugis mulai terjadi penurunan intensitas sebab tidak ada satupun penyerangan yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Meskipun begitu, Portugis nampak tidak mampu lagi menahan perdagangan rempah-rempah Aceh menuju Laut Merah. Namun, disisi lain Kerajaan Aceh mengalami kemunduran terutama akibat banyak daerah yang mulai melepaskan diri.
Puncak Kejayaan
Kerajaan Aceh mengalami puncak kekuasaan di bawah pemerintahan Iskandar Muda (1607-1636). Pada masa Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengalami peningkatan dalam berbagai bidang, yakni dalam bidang politik, ekonomi-perdagangan, hubungan internasional, memperkuat armada perang Kerajaan Aceh, serta mampu mengembangkan dan memperkuat kehidupan agama Islam. Bahkan kedudukan Bangsa Portugis di Malaka pun semakin terdesak akibat perkembangan yang sangat pesat dari Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda.
Kemajuan di bidang politik luar negeri pada era Sultan Iskandar Muda, beberapa diantaranya yaitu Kerajaan Aceh menjalin hubungan dengan Kekhalifahan Turki, Inggris, Belanda dan Prancis. Ia pernah mengirimkan utusannya ke Turki dengan memberikan sebuah hadiah lada sicupak atau lada sekarung, lalu dibalas dengan kesultanan Turki dengan memberikan sebuah meriam perang dan bala tentara, untuk membantu Kerajaan Aceh dalam peperangan. Bahkan pemimpin Turki mengirimkan sebuah bintang jasa pada sultan Aceh.
Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan dan ilmu agama, Kerajaan Aceh telah melahirkan beberapa ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan utama dalam bidang masing-masing, seperti Hamzah Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi Ma’rifati al-U Adyan, Syamsuddin al-Sumatrani dalam bukunya Mi’raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin Al-Raniri dalam bukunya Sirat al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam bukunya Mi’raj al-Tulabb Fi Fashil.
Dalam hubungan ekonomi-perdagangan Kerajaan Aceh juga menjalin hubungan dagang dengan Mesir, Turki, Arab, juga dengan Prancis, Inggris, Afrika, India, Cina, dan Jepang. Komoditas-komoditas yang diimpor antara lain: beras, guci, gula (sakar), sakar lumat, anggur, kurma, timah putih dan hitam, besi, tekstil dari katun, kain batik mori, pinggan dan mangkuk, kipas, kertas, opium, air mawar, dan lain-lain yang disebut-sebut dalam Kitab Adat Aceh. Komoditas yang diekspor dari Kerajaan Aceh sendiri antara lain kayu cendana, saapan, gandarukem (resin), damar, getah perca, obat-obatan.
Di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda kendali kerajaan berjalan dengan aman, tenteram dan lancar. Terutama daerah-daerah pelabuhan yang menjadi titik utama perekonomian Kerajaan Aceh, dimulai dari pantai barat Sumatra hingga ke Timur, hingga Asahan yang terletak di sebelah selatan. Hal inilah yang menjadikan Kerajaan Aceh ini menjadi kaya raya, rakyat makmur sejahtera, dan sebagai pusat pengetahuan dan kekuatan politik yang paling menonjol di Asia Tenggara.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, ia hanya memberikan izin kepada salah satu bangsa asing untuk dapat berdagang di pelabuhan-pelabuhan Aceh. Bangsa asing yang berupaya untuk berdagang di Kerajaan Aceh pada saat itu hanyalah Inggris dan Belanda. Sultan Iskandar Muda dengan sangat teliti mempertimbangkan keuntungan yang dapat diperoleh dari salah satu bangsa asing tersebut. Diantara keduanya, yang paling menguntungkan bagi Kerajaan Aceh-lah yang berhak untuk berdagang.
Diantara kedua bangsa itu (Belanda dan Inggris), Inggris-lah yang rupa-rupanya berhasil menawarkan keuntungan yang lebih tinggi bagi Kerajaan Aceh. Hal ini terbukti dari sikap bersahabat Sultan Iskandar Muda kepada orang-orang Inggris seperti Thomas Best yang diberikan gelar Orang Kayo Putih oleh Sultan Iskandar Muda. Dengan Belanda, nampaknya Sultan Iskandar Muda masih mengingat peristiwa terlibatnya Belanda membantu Johor saat penyerangan yang dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda pada 1613-1615.
Sultan Iskandar Muda tidak mempermudah Inggris dalam menjalankan perdagangannya. Bea Cukai pun tetap dikenakan dan berbagai peraturan yang menguntungkan bagi Kerajaan Aceh dan Inggris pun memenuhi peraturan itu. Sultan Iskandar Muda dapat dikatakan telah berhasil menekan perdagangan yang dilakukan oleh bangsa Eropa. Kemunduran Sultan Iskandar Muda terkait dengan penyerangan yang dilakukannya pada tahun 1629 terhadap kedudukan Portugis di Malaka yang mengalami kegagalan.
Perang Aceh Melawan Portugis Pada Masa Pemerintahan Sultan Iskandar Muda
Sultan Iskandar Muda memperluas wilayah teritorialnya dan terus meningkatkan perdagangan rempah-rempah menjadi suatu komoditi ekspor yang berpotensial bagi kemakmuran masyarakat Kerajaan Aceh. Di dalam upaya perluasan wilayah teritorial Kerajaan Aceh, Kerajaan Aceh mampu menyerang Johor dan Melayu hingga Singapura sekitar tahun 1613 dan 1615 di mana kedua wilayah ini akhirnya mengakui superioritas Kerajaan Aceh.
Sultan Iskandar Muda juga berhasil menguasai Pahang tahun 1618, daerah Kedah tahun 1619, serta Perak yang kembali ditaklukan pada tahun 1620, dimana daerah tersebut merupakan daerah penghasil timah. Keberhasilan yang dicapai oleh Sultan Iskandar Muda pun membuat dirinya diberi gelar Iskandar Agung dari Timur. Sultan Iskandar menganggap daerah pantai barat Pulau Sumatra sangat penting bagi perdagangan lada dan emas. Sehingga wilayah ini pun tidak luput dari penyerangan Sultan Iskandar Muda.
Sultan Iskandar Muda melakukan penyerangan terhadap Portugis pada tahun 1629 dan mampu membuat Portugis kewalahan. Kerajaan Aceh telah mempersiapkan armada lautnya yang terdiri dari 500 kapal yang masing-masing kapal itu mampu mengangkut hingga mencapai 800-1200 orang. Total kekuatan pasukan Aceh dalam penyerbuan ini mencapai 60.000 orang. Armada laut itu berangkat dari pantai barat dan timur Sumatra untuk mengepung Malaka. Meskipun berhasil mengepung Malaka, namun usaha itu tetap belum mampu mengusir Portugis.
Sultan Iskandar Muda dalam upaya menyerang kedudukan Portugis di Malaka juga melakukan blokade perdagangan terhadap Portugis dengan harapan kekuatan Portugis dapat digoyahkan. Namun, upaya itu nampaknya menemui kegagalan oleh karena terdapat raja-raja daerah yang melakukan perdagangan gelap dengan Portugis.
Kegagalan penyerangan Sultan Iskandar Muda melawan Portugis di Malaka menyebabkan Sultan Iskandar Muda dengan terpaksa mengadakan perjanjian dagang dengan Belanda dan memberikan izin kepada para pedagang Belanda untuk berdagang di seluruh Kerajaan Aceh dan terbebas dari bea cukai serta mendapatkan izin untuk ikut perdagangan timah di Perak.
Pada masa akhir pemerintahan Sultan Iskandar Muda, di daerah pantai barat Sumatra, pemerintahan di daerah mulai merasakan adanya kelonggaran dari pengawasan yang dilakukan dari pusat. Sehingga para pemerintah daerah dan pejabat militer setempat mulai mengambil keuntungan bagi diri sendiri dalam mengadakan perdagangan-perdagangan dengan para pedagang asing.
Kesukaran-kesukaran yang dialami oleh para pedagang Belanda dalam melakukan perdagangan di pantai barat Sumatra, dijadikan alasan untuk menuntut kepada Sultan Iskandar Muda memberi penjelasan tentang sikap pemerintah daerah dan pejabat militer di daerah yang tidak sejalan dengan izin yang diberikan oleh Sultan Iskandar Muda. Akan tetapi, mereka tidak mendapatkan jawaban yang mereka inginkan. Sultan Iskandar Muda telah memalingkan persahabatannya kini kepada orang-orang Portugis karena orang-orang Belanda memberikan bantuan kepada Johor yang menjadi musuh utama Kerajaan Aceh selain Portugis.
Keadaan inilah yang menjadi pemicu bagi Belanda untuk menyerang Malaka pada tahun 1641. Serangan ini memetik keberhasilan yang menyebabkan perginya Portugis dari Malaka dan melemahnya hegemoni dagang dan peran politik Kerajaan Aceh di sekitar Selat Malaka. Dengan begitu, secara bertahap Kerajaan Aceh mulai mengalami kemundurannya.
Situasi dan Kondisi Politik
Kerajaan Aceh tumbuh secara cepat menjadi kerajaan besar karena didukung oleh beberapa faktor salah satunya adalah letak Kerajaan Aceh yang dinilai strategis dan memiliki pelabuhan berskala Internasional. Sehingga Kerajaan Aceh menjalin hubungan dengan beberapa kekuatan politik di dunia. Hubungan politik dengan negeri-negeri di Timur Tengah semakin ditingkatkan seperti Turki, Abysinia, Persia dan Mesir. Kerajaan Aceh memiliki sistem birokrasi dan peraturan hukum yang dicantumkan di dalam Adat Makeuta Alam atau Kanun Makeuta Alam.
Kemajuan di bidang politik luar negeri pada era Sultan Iskandar Muda, salah satunya yaitu Aceh yang bergaul dengan Turki, Inggris, Belanda dan Prancis. Ia pernah mengirimkan utusannya ke Turki dengan memberikan sebuah hadiah lada sicupak atau lada sekarung, lalu dibalas dengan kesultanan Turki dengan memberikan sebuah meriam perang dan bala tentara, untuk membantu Kerajaan Aceh dalam peperangan. Bahkan pemimpin Turki mengirimkan sebuah bintang jasa pada Sultan Aceh.
Raja-Raja Kerajaan Aceh
Berikut ini adalah raja-raja yang memerintah di Kerajaan Aceh;
- Sultan Ali Mughayat Syah (1511-1530)
- Sultan Salahuddin (1530-1539)
- Sultan Alaudin Riayat Syah II, terkenal dengan nama AL Qahhar (1539-1571)
- Sultan Husain Alaudin Riayat Syah III, (1571-1579)
- Sultan Muda Bin Husain Syah, usia 7 bulan, menjadi raja selama 28 hari (1579)
- Sultan Mughal Seri Alam Pariaman Syah, (1579) selama 20 hari
- Sultan Zainal Abidin, (1579-1580)
- Sultan Aialidin Mansyur Syah, (1581 -1587)
- Sultan Mugyat Bujang, (1587-1589)
- Sultan Alaidin Riayat Syah IV, (1589-1604)
- Sultan Muda Ali Riayat Syah V (1604-1607)
- Sultan Iskandar Muda Dharma Wangsa Perkasa Alam Syah (1607-1636)
- Sultan Mughayat Syah Iskandar Sani, (1636-1641)
- Sultanah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat, (1641-1671)
- Sultanah Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (anak angkat Safiatuddin), (1675-1678)
- Sultanah Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (putri dari Naqiatuddin) (1678-1688)
- Sultanah Sri Ratu Kemalat Syah (anak angkat Safiatuddin) (1688-1699)
- Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamalul Lail (1699-1702)
- Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtoi Bin Syarif Ibrahim. (1702 -1703)
- Sultan Jamalul Alam Badrul Munir Bin Syarif Hasyim (1703-1726)
- Sultan Jauharul Alam Imaduddin (1729)
- Sultan Syamsul Alam Wandi Teubeueng
- Sultan Alaidin Maharaja Lila Ahmad Syah (1727-1735H)
- Sultan Alaidin Johan Syah (1735-1760)
- Sultan Alaidin Mahmud Syah (1760-1781)
- Sultan Alaidin Muhammad Syah (1781-1795)
- Sultan Husain Alaidin Jauharul Alamsyah, (1795-1823)
- Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah (1823-1836)
- Sultan Sulaiman Ali Alaidin Iskandar Syah (1836-1870)
- Sultan Alaidin Mahmud Syah(1870-1874)
- Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah, (1884 -1903)
Situasi dan Kondisi Ekonomi
Hubungan politik Kerajaan Aceh dengan negeri-negeri di Timur Tengah semakin ditingkatkan dan demikian pula hubungan perdagangan. Selain sebagai pelabuhan dagang internasional, Kerajaan Aceh juga memiliki beberapa barang komoditas perekonomian yang tercatat di dalam Kitab Adat Aceh, diantaranya Komoditas yang diimpor; gula, beras, guci, anggur, kurma, timah, besi, katun, mangkuk, kipas, kertas, opium, air mawar dan lain-lain. Sedangkan komoditas ekspor; cendana, damar, getah perca, lada, kapur barus, bunga lawang, lada, gading, lilin, sutra, porselin, pakaian, minyak dan emas.
Sehingga dengan hal ini dapat dikatakan bahwa Kerajaan Aceh telah mengalami kemajuan yang pesat dalam bidang perekonomian (perdagangan) sebelum kedatangan orang Inggris dan Belanda. Akan tetapi, setalah kedatangan Inggris dan belanda, politik dan sistem perdagangan Kerajaan Aceh mengalami perubahan karena sistem perdagangan bangsa Barat melalui perantara dan pedagang-pedagang asing tidak paham dengan cara perdagangan setempat. Iskandar Muda sendiri diberitakan sebagai seorang raja yang terkaya dari hasil keuntungan perdagangannya, penghasilan dari pajak dan sebagainya.
Kehidupan Sosial dan Keagamaan
Kehidupan Sosial masyarakat Kerajaan Aceh tergambar dengan jelas pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda Karena rakyat Aceh terdiri dan beberapa kaum dan sukee, maka Sultan Iskandar Muda mengangkat dan menetapkan pimpinan adat pada masing-masing kelompok sukee yang ada. Selain untuk menyatukan mereka, pengangkatan pimpinan adat ini juga dimaksudkan untuk mempermudah penerapan berbagai program pemerintahannya.
Untuk menjamin langgengnya kerajaan Aceh di bawah panji-panji persatuan, kedamaian dan kemakmuran Sultan Iskandar Muda kemudian menyusun tata negara atas empat bagian;
- Segala persoalan yang menyangkut tentang adat maka kebijaksanaannya diserahkan kepada sultan, penasehat dan orang-orang besarnya.
- Segala urusan hukum diserahkan kepada para ulama yang pada masa Syekh Nuruddin Ar-Raniry diangkat sebagai qadhi malikuladil.
- Urusan qanun, majelis adab, sopan santun dan tertib dalarn pergaulan hidup bermasyarakat, termasuk mengenai berbagai upacara adat diserahkan kepada kebijaksanaan Maharani (Putroe Phang).
- Sedangkan urusan reusam (pertahanan dan keamanan) berada dalam kekuasaan Panglima Kaum atau Bentara pada masing-masing daerah.
Setelah menetapkan orang-orang yang bertanggungjawab mengatur masing- masing urusan tersebut, Sultan Iskandar Muda kemudian menyusun dan mengeluarkan berbagai qanun yang akan dijakdikan pegangan. Mengenai aturan yang menentukan martabat, hak dan kewajian segala Uleebalang serta pembesar kerajaan tertuang dalam sebuah qanun yang dikenal dengan adat meukota alam.
Menurut naskah Adat Aceh, dalam menyusun qanun tersebut Sultan Iskandar Muda melibatkan para Syaikhul-Islam, Orang Kaya Sri Maharaja Lela, Penghulu Karkun Raja Setia Muda, Katibul Muluk Sri Indra Suara dan Sri Indra Muda beserta para perwira- perwira Balai Besar untuk membuat dan menyusun qanun (peraturan) yang sesuai dengan tatakerama dan maklumat Raja. Di dalamnya memuat sebanyak sembilan fasal. Pada bagian pertama sangat jelas menggambarkan watak kewibawaan Sultan sebagai penguasa, di mana di dalamnya menguraikan tentang perintah segala raja-raja.
Selain itu, qanun yang dibuat pada masa Sultan Iskandar Muda juga dapat ditemukan dalam beberapa bagian dari naskah Tajus-Salatin yang ditulis oleh Bukhari Al- Jauhari. Bahkan beberapa bab dalam naskah ini secara khusus membahas secara manusiawi tentang bagaimana hubungan yang baik antara raja dengan rakyat termasuk masyarakat non muslim dan begitu juga sebaliknya. Dalam naskah ini juga ditetapkan mengenai pegawai raja, pemimpin perang, penghulu dan uleebalang. Dalam naskah Mahkota Raja-raja pada bagian ketiga secara khusus membahas tentang adat majelis raja-raja.
Dari beberapa naskah kuno peninggalan abad ke-16 menunjukan bahwa Sultan Iskandar Muda memiliki kebijakan yang luar biasa dalam menetapkan berbagai qanun (peraturan) yang menjamin kelangsungan hidup kerajaan Aceh.Sultan Iskandar Muda juga menetapkan rencong sebagai lambang kehormatan dan cap sebagai lambang kekuasaan tertinggi. Tanpa rencong berarti tidak ada pegawai yang mengaku bertugas menjalankan perintah raja.
Setiap pegawai istana yang bertugas menyambut tamu asing wajib mengenakan rencong. Demikian pula halnya sebuah qanun (peraturan) yang dikeluarkan oleh raja akan mempunyai kekuatan setelah dibubuhi cap, tanpa cap peraturan itu tidak dapat dijadikan pegangan. Salah satu bentuk cap yang masih tersisa dari masa Kesultanan Aceh adalah Cap Sikureueng (cap sembilan). Pada lingkaran bagian tengah dari cap ini tertera nama raja yang sedang memerintah, sedangkan pada bagian sekeliling pinggirnya tertera nama delapan orang pendahulunya yang besar-besar.
Selain itu, Sultan Iskandar Muda juga menetapkan qanun seuneubok lada yang memuat tentang berbagai peraturan mengenai pertanian dan peternakan. Dalam hal ini Sultan Iskandar Muda menetapkan beberapa sumber pajak penghasilan sebagai pemasukan devisa kerajaan. Sebagian besar kekayaan negara pada masanya berasal dari hasil sumber daya alam, baik berupa pajak sumbangan hasil pertanian, perikanan maupun dari hasil tambang.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Sultan Iskandar Muda juga mendukung perkembangan keagamaan yang diajarkan oleh ulama-ulama terutama sufisme atau tasawuf Wandatul Wujud atau Wujudiyyah, pemikiran mistiko-filosofis yang diajarkan oleh Hamzah al-Fansuri.
Ajaran Tasawuf tersebut mendapat pengaruh ajaran Ibn’-Arabi dan Al-Jili. Tasawuf ini bukan hanya di Kerajaan Aceh, melainkan juga ke Semenanjung Melayu. Setelah Iskandar Muda wafat, kemudian Kerajaan dilanjutkan oleh Iskandar Thani (1636-1641), ajaran tasawuf Wujudiyyah itu terdesak oleh ajaran tasawuf Wandatul Suhud yang diajarkan Nur-al-Din al-Raniri yang kembali ke Aceh pada tahun 1636 M. Ajarannya didukung oleh Iskandar Thani. Ajaran al-Raniri adalah neosufisme yang menitikberatkan kepada syariah Islam, dan diikuti oleh ulama-ulama lainnya yang menjadi muridnya antara lain Abd Al-Rauf Al-Sinkili dan Muhammad Yusuf Al-Magasari.
Al-Raniri selain memiliki banyak karya keagamaan juga membuat karya sastra sejarah seperti Bustan-as-Salatin dan Taj-us-Salatin. Setelah Iskandar Thani wafat ia digantikan oleh istrinya yang bergelar Taj Al-Alam Safiatuddin Syah (1641-1675) dengan kekuasaan Kerajaan Aceh yang mulai terbatas. Setelah itu ia digantikan oleh seorang perempuan dengan gelar Nur Al-Alam Naqiat ad-Din Syah (1676-1678).
Dalam Bustan as-Salatin diceritakan pada masa pemerintahannya Masjid Bait ar-Rahman dan istana mengalami kebakaran. Pada tanggal 1678 ia wafat dan digantikan oleh seorang perempuan bergelar Inayat Syah Zakiat ad-Din Syah (1678-1688) dan kemudian digantikan oleh Kamalat Syah (1688-1699). Setelah itu Kerajaan Aceh diperintah oleh orang-orang keturunan Arab dan Bugis (1699-1735).
Kemunduran Kerajaan Aceh
Kemunduran Kerajaan Aceh dimulai setelah meninggalnya Sultan Iskandar Muda dan digantikan oleh Sultan Iskandar Thani. Pada Masa pemerintahan Sultan Iskandar Thani, pengaruh hegemoni politik dan ekonomi bangsa Barat mulai masuk dan mencampuri urusan internal Kerajaan Aceh yang tetap bertahan hingga periode abad ke-19.
Berikut merupakan faktor yang mengakibatkan Kerajaan Aceh mengalami kemunduran;
- Kekalahan perang yang dialami oleh Kerajaan Aceh saat melawan dominasi Portugis di Malaka pada tahun 1629.
- Krisis kepemimpinan pasca-Sultan Iskandar Muda.
- Permusuhan yang hebat diantara kaum ulama yang menganut ajaran Syamsuddin al-Sumatrani dan penganut ajaran Nur ad-Din ar-raniri.
- Daerah-daerah yang jauh dari pemerintahan pusat mulai melepaskan diri dari Kerajaan Aceh oleh karena adanya krisis kepemimpinan di internal Kerajaan Aceh.
- Pertahanan Kerajaan Aceh mulai lemah sehingga bangsa-bangsa Eropa berhasil mendesak dan menggeser daerah perdagangan Aceh. yang menyebabkan perekonomian Kerajaan Aceh menjadi melemah.
Aceh abad ke-19 dan Perang Aceh
Pada awal abad ke-19 Kerajaan Aceh terus-menerus mengalami ancaman kolonialisme Belanda yang terus-menerus meluaskan kekuasaan politiknya, tetapi diberbagai daerah di Nusantara tetap melakukan perlawanan. Di Aceh perang meletus sejak tahun 1873-1904 yang didorong dengan motivasi keagamaan melawan kafir yang dikenal dengan Perang Sabil. Dalam peperangan tersebut Jenderal Kohler berhasil ditembak pada 14 April 1873.
Pada tanggal 9 Desember 1873 tentara Belanda kembali mendarat di Aceh dan berhasil menguasai Banda Aceh. Sultan Aceh beserta keluarganya serta Panglima Polim berhasil meloloskan diri. Tentara Belanda di bawah pimpinan Letnan Jenderal J. van Swieten, mengumumkan bahwa pada tanggal 11 Januari 1874 Banda Aceh telah dikuasai oleh Pemerintah Hindia-Belanda. Namun kenyataannya, pasukan-pasukan Aceh tetap mengadakan serangan-serangan terhadap kedudukan militer Belanda, baik yang ada di Aceh Besar maupun diluarnya.
Serangan pasukan-pasukan Aceh dipimpin oleh para uleebalang dan ulama, antara lain Panglima Polim, Habib Abdurrahman, Teuku Cik Ditiro, Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien. Di Kampung Tunga, pasukan Aceh dapat mengalahkan tentara Belanda hingga pimpinannya Jenderal Pel ditembak mati pada tahun 1878.
Pada tahun 1880 tentara Belanda merasa kedudukannya tidak aman, lalu mundur. Akan tetapi, pada tahun 1884 mereka kembali melakukan serangan-serangan yang lambat laun dirasakan tidak berhasil dengan pengerahan-pengerahan besar tentaranya.
Dengan politik barunya atas nasihat orang Belanda yang telah berhasil mempelajari Islam dan adat istiadat Aceh, Snouck Hugronje, pemerintah Hindia-Belanda mengubah politiknya dengan cara memisahkan kesatuan kekuatan antara kaum bangsawan dan ulama Aceh. Belanda merasakan mulai berhasil dengan adanya perpecahan di antara pemimpin pasukan Kerajaan Aceh.
Satu per satu pemimpin pasukan Aceh berhasil ditangkap dan dibunuh seperti Teuku Cik Ditiro, Muhammad Syaman, dan Teuku Umar. Meskipun Teuku Umar dapat ditangkap, kemudian ia berhasil mengelabui Belanda dan segera bergabung dengan Panglima Polim dan Teuku Usen.
Penyerangan tentara Belanda di bawah pimpinan Jenderal Hazeu, yang menggantikan kedudukan van Vliet sebagai Gubernur Militer dan Sipil, bulan Maret 1898 semakin berhasil mendesak pasukan Aceh. Teuku Umar berhasil ditembak pada 11 Februari 1898 ketika menyerang Meulaboh. Dengan tertangkapnya istri sultan dan anaknya pada tanggal 26 November 1902 dan Panglima Polim dengan istrinya pada tanggal 6 September 1903, akhirnya Sultan Muhammad Daud Syah menyerah serta menandatangani perjanjian perdamaian tanggal 10 Januari 1904.
Peninggalan Kerajaan Aceh
- Masjid Raya Baiturrahman
Peninggalan Kerajaan Aceh yang pertama dan yang paling dikenal adalah Masjid Raya Baiturrahman. Masjid yang dibangun Sultan Iskandar Muda pada sekitar tahun 1612 berada di pusat Kota Banda Aceh. Saat Agresi Militer Belanda II tahun 1948, Masjid Baiturrahman sempat dibakar. Namun 4 tahun kemudian, Belanda membangunnya kembali untuk meredam amarah rakyat Aceh akibat pembakaran tersebut.
- Benteng Indrapatra
Peninggalan Kerajaan Aceh yang selanjutnya adalah Benteng Indrapatra. Benteng ini merupakan benteng pertahanan yang sudah mulai dibangun sejak masa kekuasaan Kerajaan Lamuri, kerajaan Hindu tertua di Aceh, tepatnya sejak abad ke 7. Benteng yang kini terletak di Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar ini pada masanya memiliki peranan penting dalam melindungi rakyat Aceh dari serangan meriam yang diluncurkan kapal perang Portugis.
- Gunongan
Gunongan adalah peninggalan Kerajaan Aceh yang berupa sebuah taman, lengkap dengan bangunan keratonnya. Berdasarkan sejarahnya, taman ini merupakan bukti cinta Sultan Kerajaan Aceh pada permaisurinya yang sangat cantik. Permaisuri yang tak diketahui namanya ini merupakan putri raja Kerajaan Pahang yang ditawan karena kerajaannya kalah perang. Sang Sultan jatuh cinta dan mempersuntingnya, permaisuri tersebut meminta dibuatkan sebuah taman yang sama persis dengan istana kerajaannya, untuk mengobati rasa rindunya pada kerajaannya yang terdahulu. Gunongan saat ini terletak tak jauh dari Masjid Raya Baiturrahman. Tepatnya berada di Desa Sukaramai, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh.
- Makam Sultan Iskandar Muda
Peninggalan Kerajaan Aceh yang selanjutnya adalah Makam dari Raja Kerajaan Aceh yang paling ternama, Sultan Iskandar Muda. Makam yang terletak di Kelurahan Peuniti, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh ini sangat kental dengan nuansa Islami. Ukiran dan pahatan kaligrafi pada batu nisannya sangat indah dan menjadi salah satu bukti sejarah masuknya Islam di Indonesia.
- Meriam Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh telah mampu membuat sarana persenjataannya sendiri. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan meriam-meriam tua yang kini berjajar di benteng Indraparta dan museum Aceh. Awalnya meriam-meriam tersebut dianggap pembelian yang berasal dari Kerajaan Turki, namun setelah diteliti ulang, ternyata teknisi-teknisi Kerajaan Aceh yang membuatnya, berbekal ilmu yang mereka pelajari dari kerajaan Turki Ustmani. Peranan meriam-meriam ini sangat penting dalam perlawanan dan perang terhadap para penjajah dan kapal-kapal perang musuh yang hendak bersandar ke dermaga tanah rencong.
- Uang Emas
Kerajaan Aceh berada di jalur perdagangan dan pelayaran yang sangat strategis. Berbagai komoditas yang berasal dari penjuru Asia berkumpul di sana pada masa itu. Hal ini membuat Kerajaan Aceh tertarik untuk membuat mata uangnya sendiri. Uang logam yang terbuat dari 70% emas murni kemudian dicetak lengkap dengan nama-nama raja yang memerintah Aceh. Koin ini masih sering ditemukan dan menjadi harta karun yang sangat diburu oleh sebagian orang. Koin ini juga bisa dianggap sebagai salah satu peninggalan Kerajaan Aceh yang sempat berjaya pada masanya.
Itulah penjelasan tentang sejarah singkat Kerajaan Aceh, semoga bermanfaat.