Sejarah Kerajaan Kediri
Kerajaan Kediri – Berdasarkan keterangan yang berhasil dihimpun di dalam arca Buddha Aksobhya atau yang biasa disebut dengan arca Joko Dolog atau prasasti wurara (1289 M), kitab Nagarakrtagama, dan kitab Calon Arang menyebutkan tentang pembagian kerajaan yang dilakukan oleh Raja Airlangga dengan memerintahkan seorang pendeta utama bernama Aryya Bharad. Ia telah membagi tanah Jawa menjadi dua dengan air sakti yang berasal dari kendi, yang mempunyai kemampuan untuk membelah tanah karena terdapat dua orang raja yang saling berhadapan bersiap untuk berperang. Oleh karena itu, terbentuklah Kerajaan Janggala (Jenggala) dan Panjalu (Pangjalu).
Pembagian kerajaan itu dilakukan oleh Arrya Bharad (Pu Bharada), seorang penganut agama Buddha Mahayana aliran Tantrayana, yang bertempat tinggal di Lemah Citra. Pu Bharada menerima perintah Raja Airlangga dengan menggunakan air kendi yang dituangkannya dari udara untuk membelah wilayah kerajaan Airlangga itu. Setelah kerajaan berhasil dibagi menjadi dua, Airlangga kemudian memutuskan untuk menjadi seorang petapa. Akan tetapi, tidak lama kemudian terjadi perang saudara antara Janggala dan Panjalu.
Mapanji Garasakan di Janggala dan Samarawijaya di Panjalu terlibat pertempuran yang tidak dapat dihindari. Hal ini disebebkan bahwa keduanya merasa memiliki hak waris yang sah atas seluruh wilayah kerajaan milik Airlangga itu. Pada tahun 1052 M terjadi peperangan diantara kedua bersaudara tersebut untuk memperebutkan kekuasaan. Pada perang tersebut Panji Garasakan berhasil mengalahkan Samarawijaya, sehingga Panji Garasakan berkuasa atas Panjalu. Di Jenggala kemudian berkuasa raja-raja pengganti Panji Garasakan. Pada tahun 1059 M yang memerintah adalah Samarotsaha. Akan tetapi setelah itu tidak terdengar berita mengenai Kerajaan Panjalu maupun Kerajaan Jenggala. Pada tahun 1104 M barulah muncul kembali Kerajaan Panjalu dengan rajanya yang bernama Jayawangsa.
Kemudian, kerajaan ini merubah namanya dan lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri (Kadiri) dengan ibukotanya yang terletak di Daha. Menghilangnya nama Kerajaan Jenggala, kemungkinan besar bahwa struktur administrasi pengelolaan kerajaan telah dileburkan ke dalam pemerintahan yang berpusat di Panjalu. Sehingga, Jenggala secara resmi telah menjadi bagian dari Kerajaan Panjalu.
Hal ini juga mengingat bahwa Panji Garasakan awal mulanya adalah raja di Jenggala yang berhasil mengalahkan Samarawijaya dari Panjalu. Sehingga Panji Garasakan beserta keturunannya tentulah memiliki otoritas untuk merubah struktur administrasi baik di Panjalu maupun di Jenggala. Selain itu, hal ini juga dilakukan untuk mencegah terjadinya dualisme kekuasaan diantara garis keturunan Panji Garasakan, yang dapat memunculkan potensi peperangan sebagaimana yang pernah dialami antara Panji Garasakan dan Samarawijaya.
Pada tahun 1117 M berdasarkan keterangan yang diberikan di dalam Prasasti Padlegan dan Panumbangan, Kerajaan Kediri diperintah oleh Bameswara. Di dalam kedua prasasti itu berisi keterangan sebagai berikut:
Penduduk daerah Panumbangan (Plumbangan) dengan lima desa yang masuk dalam wilayahnya, menghadap raja dan memberitahukan bahwa mereka pernah diberi anugerah prasasti di atas daun lontar (ripta) yang menetapkan daerahnya menjadi sima swatantra oleh raja yang dicandikan di Gajapada. Mereka itu mohon agar prasasti tersebut dipindahkan ke atas batu supaya langgeng anugerah raja almarhum kepada mereka itu. Oleh raja Bameswara permohonan itu dikabulkan, dan raja memberi tambahan anugerah berupa hak-hak istimewa kepada mereka, terutama para kabayan (pejabat sipil) dari lima desa yang masuk wilayah Panumbangan itu, yaitu kabayan dari Desa Palampitan, Kamburan, Padagangan, Byetan, dan kabayan dari daerah sebelah selatan pasar (Panumbangan?) yang bernama Anurida. Bahkan kabayan dari daerah di sebelah selatan pasar itu mendapat hak istimewa untuk menjabat jabatan kabayan turun-temurun tanpa boleh diselingi oleh orang lain. Di samping itu, ia menerima hak-hak istimewa yang lain lagi dan anugerah sima di Lilawan (?) yang meliputi tanah-tanah sawah pagagan, sungai, rawa-rawa, lembah, dan bukit semua.
Setelah pemerintahan raja Bameswara, pada tahun 1135 M, Kerajaan Kediri diperintah oleh Jayabhaya. Jayabhaya bergelar Sri Maharaja Sri Warmeswara Madhusudanawataranindita Suhrtsingha Parakrama Digjayottunggadewanama. Jayabhaya hanya meninggalkan tiga prasasti penting diantaranya Prasasti Hantang (Ngantang) 7 September 1135 M, Talan (24 Agustus 1136 M) dan Prasasti Desa Jepun (7 Juli 1144 M).
Di dalam Prasasti Hantang memuat tulisan pangjalu jayati, yang memiliki arti “Panjalu Menang”. Prasasti ini memperingati pemberian anugerah oleh Raja Jayabhaya kepada Desa Hantang dan 12 desa yang masuk dalam wilayahnya berupa prasasti batu yang memuat pemberian hak-hak istimewa kepada penduduk Desa Hantang sewilayahnya. Hal ini disebabkan pada suatu ketika penduduk Desa Hantang dengan 12 desa yang masuk dalam wilayahnya datang menghadap raja dengan perantaraan guru raja yaitu Mpungku Naiyayikadarsana dengan permohonan agar prasasti yang ada pada mereka sebagai anugerah raja yang di-dharma-kan di Gajapada dan di Nagapuspa yang ditulis di atas daun lontar dipindahkan ke atas batu, dan ditambahi dengan anugerah Raja Jayabhaya sendiri.
Permohonan itu dikabulkan raja mengingat bahwa penduduk Desa Hantang telah memperlihatkan kebaktiannya yang sungguh-sungguh terhadap raja dengan bukti bahwa mereka telah menyerahkan cancu tan pamusuh dan cancu ragadha dan bahwa pada waktu ada usaha memisahkan diri (Perang perebutan takhta?) mereka tetap setia memihak kepada raja Jayabhaya.
Prasasti Talan juga memuat keterangan bahwa penduduk Desa Talan yang termasuk wilayah Panumbangan (thani watek panumbangan) menghadap raja dan memperlihatkan prasasti di daun lontar yang kurang lebih isinya serupa dengan Prasasti Hantang.
Dengan petunjuk yang diberikan oleh prasasti-prasasti peninggalan Jayabhaya, dapat diperoleh suatu pemahaman bahwa Raja Jayabaya telah berhasil mengatasi berbagai kekacauan di internal Kerajaan Kediri. Selain keterangan yang diberikan di dalam prasasti, pada masa pemerintahan Jayabhaya juga telah digubah Kakawin Bharatayuddha oleh Pu Sedah yang dilanjutkan pekerjaan tersebut oleh Pu Panuluh.
Setelah Jayabhaya mangkat, penggantinya adalah Sri Maharaja Rakai Sirikan Sarwweswara Janarddhanawatara Wijayagrajasama Singhanadaniwaryyawiryya Parakrama Digjayotunggadewanama. Raja Sarwweswara memerintah sekitar tahun 1159 M – 1169 M dengan meninggalkan bukti berupa prasasti diantaranya; Prasasti Padlegan II (1159 M) dan Prasasti Kahyunan (1161 M). Tidak banyak yang diketahui tentang masa pemerintahan Raja Sarwweswara sebab keterangan dari kedua prasasti itu belum dapat dibaca.
Raja Kerajaan Kediri selanjutnya adalah Sri Maharaja Rakai Hino Sri Aryyeswara Madhusudanawatararijaya Mukha… Sakalabhuwana [Tustikarana] Niwaryya Parakramotunggadewanama. Raja Aryyeswara memerintah sekitar tahun 1169 M – 1171 M dengan meninggalkan dua buah prasasti yaitu prasasti dari Desa Meleri (1169 M) dan prasasti Angin (1171 M).
Penggantinya adalah Sri Maharaja Sri Kroncaryyadipa Handabhuwanamalaka Parakramanindita Digjayotunggadewanama Sri Gandra. Satu-satunya prasasti yang diterbitkan adalah Prasasti Jaring (1181 M). Prasasti ini memberikan petunjuk bahwa Kerajaan Kediri bukan hanya sekedar kerajaan yang mengandalkan ekonomi agraris dan cenderung pasif dalam konstelasi politik dan perdagangan internasional. Prasasti ini menyebutkan gelar Senapati Sarwwajala (panglima angkatan laut) yang menunjukkan bahwa Kerajaan Kediri mengembangkan teknologi pelayaran dan dunia kemaritiman secara umum.
Pada tahun 1182 M Kerajaan Kediri dipimpin oleh Sri Maharaja Sri Kameswara Triwikramawatara Aniwaryyawiryya Parakrama Digjayottungadewanama. Raja Kameswara hanya menerbitkan dua prasasti, yaitu prasasti dari Desa Semanding (17 Juni 1182 M) dan prasasti Ceker (11 September 1185 M). Hanya prasasti Ceker-lah yang sudah diterbitkan dan dapat dibaca. Prasasti ini berisi bahwa rakyat Desa Ceker sewilayahnya telah menghadap raja, dan memberitahukan bahwa mereka telah memperoleh anugerah dari raja yang memerintah sebelumnya dan mohon kepada raja agar anugerah itu dikukuhkan dengan prasasti di atas batu. Anugerah itu berupa pemberian hak-hak istimewa dan pembebasan dari kewajiban membayar pelbagai macam pajak.
Raja Kerajaan Kediri yang terakhir adalah Srengga atau Krtajaya (Kertajaya) dengan gelar Sri Maharaja Sri Sarwweswara Triwikramawataraninditan Srenggalanchana Digjayotunggadewanama. Kertajaya menghasilkan enam buah prasasti, namun yang baru dapat berhasil dibaca hanya tiga yaitu prasasti dari Desa Kemulan (31 Agustus 1194 M), prasasti Desa Sapu Angin (1190/1191 M), Prasasti Lawadan (18 November 1205 M). Pemerintahan Kertajaya berakhir setelah terjadi perlawanan yang dilakukan oleh Ken Angrok (Ken Arok) terhadap Kerajaan Daha dengan bantuan para Brahmana pada tahun 1222 M.
Struktur Birokrasi
Pada masa kekuasaan Kerajaan Kediri nampak tidak terlalu banyak perubahan yang terjadi di dalam struktur birokrasi kerajaan, di mana struktur birokrasi Kerajaan Kediri memiliki banyak kemiripan dengan struktur birokrasi Kerajaan Mataram hal ini disebabkan memang Kerajaan Kediri adalah warisan dari Airlangga yang merupakan penerus dari Kerajaan Mataram. Semisal adalah mengenai kedudukan rakyan mahamantri i hino sebagai “orang kedua” setelah raja.
Akan tetapi, yang menjadi perhatian di sini adalah telah disebutkan jabatan panglima angkatan laut (senapati sarwwajala) dalam prasasti Jaring. Meskipun tidak berarti bahwa masa sebelum Kerajaan Kediri tidak memiliki angkatan laut. Kemungkinan adanya penyebutan itu disebabkan bahwa peranan angkatan laut pada masa Kerajaan Kediri semakin besar jika dibandingkan dengan masa-masa sebelum Kerajaan Kediri.
Hal yang patut menjadi perhatian adalah adanya aspek demokrasi yang memungkinkan rakyat untuk mengajukan permohonan kepada raja. Meskipun hal-hal seperti ini juga sudah dikenal pada masa sebelum Kerajaan Kediri. Sebagian besar prasasti Kerajaan Kediri memuat permohonan rakyat kepada raja agar anugerah yang sudah diterima dari raja sebelumnya dikukuhkan dalam prasasti batu, dan ditambah lagi dengan anugerah dari raja yang sedang memerintah.
Pada masa Kerajaan Kediri terdapat jabatan samya haji atau raja bawahan/penguasa daerah. Meskipun sudah dikenal sejak periode sebelum Kerajaan Kediri, namun samya haji pada masa Kerajaan Kediricukup besar peranannya dalam pemerintahan pusat kerajaan, seperti yang disebutkan dalam prasasti Banjaran, samya haji di Banjaran mendorong raja Jenggala yang terusir untuk merebut kembali takhtanya. Kemudian dengan bantuan samya haji di Banjaran dan rakyat, raja Jenggala berhasil memperoleh kembali takhtanya.
Kehidupan Keagamaan
Berdasarkan peninggalan arkeologi yang ditemukan di wilayah Kerajaan Kediri, seperti Candi Gurah dan Candi Tondowongso berdasarkan jenis arca-arcanya menunjukkan latar belakang agama Hindu, khususnya adalah aliran Siwa. Pertirtaan Kepung kemungkinan besar juga bersifat Hindu. Sedangkan beberapa prasasti menyebut nama abhiseka raja yang berarti penjelmaan Wisnu (misalnya, Sri Sarwweswara Triwikarmawataranindita). Hal ini bukan berarti bahwa aliran Wisnu berkembang pada saat itu di Kerajaan Kediri. Karena landasan filosofis yang dikenal di Jawa pada masa itu selalu menganggap raja sama dengan dewa Wisnu dalam hal sebagai pelindung rakyat dan dunia.

Secara umum dapat dikatakan bahwa agama Hindu, khususnya pemujaan kepada Siwa mendominasi perkembangan agama pada masa Kadiri, dan bukan berarti Buddhisme tidak berkembang. Sebagaimana yang dituturkan oleh Pararaton bahwa telah ada bhujangga-bhujangga Buddhis di lingkungan keraton Kertajaya. Meskipun tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Buddhisme menjadi mayoritas, sebab tidak ada satu pun candi peninggalan Kerajaan Kediri yang bercorak Buddhis.
Kehidupan Ekonomi
Mata pencaharian yang terpenting dari kehidupan rakyat Kerajaan Kediri adalah sebagai petani, meskipun disisi lain juga Kerajaan Kediri mengembangkan perdagangan dan pelayaran. Pada awalnya kekuatan Kerajaan Kediri di bidang kemaritiman tidaklah terlalu besar. Namun, Kerajaan Kediri berhasil membangun armada lautnya yang pada saat itu dipimpin oleh Senopati Sarwajala (panglima angkatan laut).
Kebesaran armada laut Kerajaan Kediri juga mendapatkan pengakuan dari Kerajaan Sriwijaya, yang memang sedari awal, Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan yang memusatkan kegiatannya pada aktivitas kemaritiman. Barang perdagangan yang terdapat di Kerajaan Kediri adalah emas, perak, gading, kayu cendana, dan buah pinang. Selain itu, Kerajaan Kediri juga telah berhasil memberikan kesadaran kepada rakyatnya untuk taat di dalam pajak. Bahkan pembayaran pajak yang harus diberikan oleh rakyat pada saat itu pun sudah termasuk cukup tinggi.
Menurut keterangan yang diberikan di dalam berita Cina, di dalam kitab Ling-wai-tai-ta, diterangkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari orang-orang di Kerajaan Kediri menggunakan kain sampai di bawah lutut. Rambut mereka diurai. Rumah-rumah mereka bersih dan teratur, lantainya ubin yang berwarna kuning dan hijau. Dalam adat perkawinan, keluarga pengantin wanita menerima mas kawin berupa emas. Rajanya berpakaian sutera, memakai sepatu, dan perhiasan emas. Rambutnya disanggul ke atas. Kalau berpergian, Raja naik gajah atau kereta yang diiringi oleh 500 – 700 orang prajurit.
Perkembangan Kebudayaan
Di bidang kebudayaan, yang paling menonjol dari Kerajaan Kediri adalah perkembangan seni sastra dan pertunjukkan wayang. Selain itu yang unik dari Kerajaan Kediri adalah dikenalnya lakon wayang panji. Berikut ini adalah karya-karya sastra yang terkenal pada saat itu;
Kitab Bharatayuddha
Kitab Bharatayuddha ditulis pada zaman pemerintahan Raja Jayabhaya yang digubah oleh Pu Sedah dan Pu Panuluh, untuk memberikan gambaran terjadinya perang saudara antara Panjalu melawan Jenggala. Perang saudara itu digambarkan sebagaimana perang antara Kurawa dan Pandawa yang masing-masing adalah keturunan Barata.
Kitab Hariwangsa
Kitab Hariwangsa digubah oleh Pu Panuluh pada masa pemerintahan Raja Jayabhaya. Kitab Hariwangsa menceritakan tentang perkawinan antara Prabu Kresna dan Dewi Rukmini. Hal menarik di dalam kitab ini adalah Pu Panuluh menceritakan bahwa Pandawa dengan bantuan Kurawa memerangi Kresna. Perlu dipahami bahwa Pandawa adalah sekutu abadi Kresna sedangkan Kurawa adalah musuh bebuyutan dari para Pandawa.
Kitab Ghatotkacasraya
Kitab Ghatotkacasraya digubah oleh Pu Panuluh pada masa pemerintahan Raja Jayabhaya yang berisi tentang kisah percintaan antara Abhimanyu, putra Arjuna dengan Dewi Siti Sundari, putri Kresna. Di sisi lain Baladewa, kakak Kresna ingin menjodohkan Dewi Siti Sundari dengan Laksmanakumara, putra Duryudhana, yang merupakan murid dari Baladewa. Abhimanyu dengan dibantu oleh saudara sepupunya, Gatotkaca berhasil merebut Siti Sundari dan kisah berakhir dengan pernikahan antara Abhimanyu dengan Siti Sundari.
Kitab Smaradahana
Kitab Smaradahana ditulis pada zaman Raja Kameswari oleh Pu Darmaja. Isinya menceriterakan tentang sepasang suami-istri, Smara dan Rati yang menggoda Dewa Siwa yang sedang bertapa. Smara dan Rati terkena kutuk dan mati terbakar oleh api karena kesaktian yang dimiliki oleh Dewa Siwa. Akan tetapi, kedua suami istri itu dihidupkan kembali dan menjelma sebagai Kameswara dan permaisurinya.
Kitab Sumanasantaka
Kitab Sumanasantaka digubah oleh Pu Monaguna pada masa Raja Kameswara yang menceritakan Kalidasa tentang Pangeran Aja dan Putri Indumati yang dikisahkan dalam Raghuvamsa dalam konteks kehidupan di Jawa pada saat itu.
Kitab Bhomantaka
Kitab Bhomantaka tidak diketahui siapa penggubahnya, berisikan tentang peperangan antara Kresna dengan raksasa Bhoma yang dimenangkan oleh Kresna.
Kitab Kresnayana
Kitab Kresnayana ditulis oleh Pu Triguna pada zaman Raja Jayaswara. Isinya mengenai perkawinan antara Kresna dengan Dewi Rukmini.
Kitab Lubdaka
Kitab Lubdaka ditulis oleh Pu Tanakung pada zaman Raja Kameswara. Isinya tentang seorang pemburu bernama Lubdaka. Ia sudah banyak membunuh, dan pada suatu hari ia mengadakan pemujaan yang istimewa kepada Dewa Siwa, shingga rohnya yang semestinya masuk neraka, menjadi masuk surga.
Keruntuhan Kerajaan Kediri
Berdasarkan penuturan yang diberikan oleh kitab Pararaton, Raja terakhir dari Kerajaan Kediri adalah Kertajaya atau Dandang Gendis. Pada masa pemerintahannya, terjadi pertentangan antara Kertajaya dengan para bhujangga (para pendeta atau kaum brahmana dari agama Siwa maupun Buddha), karena Kertajaya berlaku sombong dan berani melanggar adat dan ajaran agama. Perilaku itu diperlihatkan dengan suatu hari Kertajaya meminta kepada para bhujangga untuk menyembah raja. Karena para bhujangga menolak, maka Kertajaya memperlihatkan kesaktiannya dengan memancangkan tombak di tanah dengan ujungya di atas, lalu duduk di atas ujung tombak dalam bentuk Bhatara Guru, berlengan empat dan bermata tiga. Para bhujangga tetap menolak untuk menyembah raja, lalu mereka meninggalkan Daha dan mencari perlindungan kepada Tumapel yang dipimpin oleh Ken Arok.
Pertentangan antara Kertajaya dan para bhujangga ini memperlemah pemerintahannya di Kerajaan Kediri. Para Brahmana yang tidak menyukai sikap dari Kertajaya kemudian mencari perlindungan kepada Ken Arok yang telah berhasil menjadi penguasa di Tumapel setelah sebelumnya Ken Arok berhasil mengalahkan Tunggul Ameutung. Di Tumapel para bhujangga merestui Ken Arok sebagai raja di Tumapel dengan negaranya bernama Singhasari, dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi. Setelah penobatan itu, maka Sri Ranggah Rajasa memutuskan untuk menyerang Daha (Kediri).
Pada tahun 1222 M, menurut penuturan kitab Negarakrtagama Sri Ranggah Rajasa (Ken Arok) yang bertakhta di Kutharaja, ibu kota kerajaan Tumapel di sebelah timur Gunung Kawi melakukan penyerangan terhadap raja Kerajaan Kediri yaitu Sri Kertajaya. Kertajaya kalah di dalam pertempuran itu dan melarikan diri ke tempat para ajar di lereng gunung yang sunyi. Semua pengikutnya terutama para prajurit yang tertinggal di kerajaan, dihancurkan.
Atas kerjasama diantara para brahmana dan Ken Arok, Tumapel menyerang dan berhasil mengalahkan Kerajaan Kediri yang dipimpin oleh Kertajaya. Setelah kekalahan Kertajaya, maka berakhirlah kekuasaan Kerajaan Kediri pada tahun 1222 M dan berakhirlah masa kekuasaan wangsa Isana yang didirikan oleh Pu Sindok pada abad ke-10 M.
Daftar Bacaan
- Boechari. 2013. Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- Groeneveldt. W. P. 2009. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Depok: Komunitas Bambu.
- Krom, N. J. 1954. Zaman Hindu. Djakarta: Jajasan Pembangunan.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Hindu. Jakarta: Balai Pustaka.