Sejarah Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan Tarumanegara adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M. Lokasi Kerajaan Tarumanegara saat ini diperkirakan meliputi sebagian besar wilayah Jawa Barat dan Banten. Tarumanegara merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah. Di dalam catatan sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada saat itu Tarumanegara adalah kerajaan yang bercorak Hindu beraliran Wisnu.
Jika berdasarkan dari catatan sejarah atau pun peninggalan prasasti yang ada, tidak ada penjelasan atau catatan yang pasti mengenai siapakah yang pertama kali mendirikan Tarumanegara. Raja yang pernah berkuasa dan sangat terkenal dalam sumber sejarah yang ada adalah Purnawarman. Di dalam peninggalan prasasti disebutkan pada tahun 417 Raja Purnawarman memerintahkan untuk melakukan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga (Kali Bekasi).
Menurut penelusuran yang dilakukan oleh Poerbatjaraka (seorang ahli bahasa Sansakerta dan bahasa Jawa Kuno), kata Bekasi secara filologis berasal dari kata Candrabhaga; Candra berarti bulan (sasi dalam bahasa Jawa Kuno) dan Bhaga berarti bagian. Jadi Candrabhaga berarti bagian dari bulan. Pelafalan kata Candrabhaga kadang berubah menjadi Sasibhaga atau Bhagasasi. Di dalam pengucapannya sering disingkat Bhagasi, dan karena pengaruh bahasa Belanda sering ditulis Bacassie (di Stasiun KA Lemahabang pernah ditemukan plang nama Bacassie). Kata Bacassie ini kemudian berubah menjadi Bekasi sampai dengan sekarang.
Candrabhaga merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara, yang berdiri sejak abad ke-5 M. Terdapat 7 (tujuh) buah prasasti yang menyebutkan adanya kerajaan Tarumanagara yang dipimpin oleh Maharaja Purnawarman, yakni Prasasti Tugu (Cilincing, Jakarta), Prasasti Ciaruteun, Prasasti Muara Cianten, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Jambu, Prasasti Pasir Awi (ke enam prasasti ini ada di daerah Bogor), dan satu prasasti di daerah Bandung Selatan (Prasasti Cidanghiang). sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.
Bukti dari eksistensi keberadaan Tarumanegara diketahui dengan ditemukannya tujuh buah prasasti batu yang telah ditemukan. Ketujuh buah prasasti itu, Lima diantaranya terdapat di Bogor, satu di Jakarta dan satu di Lebak, Banten. Dari prasasti-prasasti ini diketahui bahwa kerajaan dipimpin oleh Rajadirajaguru Jayasinghawarman pada tahun 358 dan dia memerintah sampai tahun 382. Makam Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di sekitar sungai Gomati (wilayah Bekasi).
Latar Belakang Berdirinya Tarumanegara
Setelah peperangan yang terjadi di negeri India antara Kerajaan Maurya dengan koalisi Kerajaan Calankayana dan Kerajaan Pallawa dimenangkan oleh Kerajaan Maurya, para bangsawan kedua kerajaan (Kerajaan Calankayana dan Kerajaan Pallawa) mengungsikan diri ke beberapa tempat, termasuk ke negeri-negeri diseberang laut, yaitu ke daerah Semenanjung Tanah Melayu, Pulau Jawa, Pulau Sumatra, Yawana dan sebagainya.
Pada tahun 348 seorang Maharesi bernama Jayasingawarman yang berasal dari Kerajaan Calankayana beserta pengikutnya yang terdiri dari tentara, penduduk sipil tiba di Pulau Jawa dan mulai menetap. Jayasingawarman beserta para pengikutnya mendirikan pemukiman di sebelah barat Sungai Citarum yang diberinama Tarumadesya. Tarumadesya ini adalah wilayah yang menjadi daerah kekuasaan dari Dewawarman VIII, Raja Kerajaan Salakanagara. Oleh karena Kerajaan Calankayana adalah sekutu dari Kerajaan Pallawa, dan Kerajaan Pallawa sendiri banyak terdapat kerabat dari Kerajaan Salakanagara maka Jayasingawarman diperkenankan untuk mendirikan perdukuhannya di sana.
Pada tahun 358 Tarumadesya telah berkembang menjadi sebuah desa yang cukup ramai. Hal ini disebabkan oleh banyaknya penduduk dari desa-desa lain yang menetap di Tarumadesya. Perkembangan Tarumadesya inilah Kerajaan Tarumanegara didirikan oleh Jayasingawarman. Meskipun demikian, Tarumanegara statusnya tetap menjadi daerah bawahan dari Kerajaan Salakanagara. Setelah mendeklarasikan berdirinya Tarumanegara sebagai kerajaan, Jayasingawarman bergelar Jayasingawarman Gurudarmapurusa atau yang biasa dikenal juga dengan Rajadirajaguru.
Sumber Sejarah Kerajaan Tarumanegara
Di bawah ini adalah sumber-sumber sejarah Tarumanegara, baik berupa prasasti peninggalan, sumber-sumber asing maupun naskah-naskah kuno lokal;
Sumber-Sumber Asing Tentang Kerajaan Tarumanegara
Sumber-sumber asing tentang Tarumanegara terutama yang berasal dari berita Tiongkok antara lain:
- Berita Fa-Hsien, pada tahun 414 dalam bukunya yang berjudul Fa-Kao-Chi menceritakan bahwa di Ye-po-ti hanya sedikit dijumpai orang-orang yang beragama Buddha, sebagian banyak adalah orang-orang yang beragama Hindu dan sebagian masih animisme.
- Berita Dinasti Sui, menceritakan bahwa tahun 528 dan 535 telah datang utusan dari To- lo-mo yang terletak di sebelah selatan.
- Berita Dinasti Tang, juga menceritakan bahwa tahun 666 dan 669 telah datangutusaan dari To-lo-mo.
Dari tiga berita di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa istilah To-lo-mo ditranskripsikan sebagai Tarumanegara.
Prasasti Peninggalan Tarumanegara
Berikut adalah prasasti peninggalan Tarumanegara;
Prasasti Pasir Muara (Muara Cianteun)
Prasasti Pasir Muara terletak kira-kira 1 km dari batu prasasti Kebon Kopi I (Prasasti Tapak Gajah). ditemukan oleh N.W. Hoepermans pada tahun 1864. Prasasti ini ditemukan di Pasir Muara yang berada di persawahan, terletak di tepi Sungai Cisadane dan terletak ± 50 m ke muara Cianten. Prasasti terletak ± 600 m sebelah utara dari Prasasti Kebon Kopi, dengan keletakan tanah lebih rendah ± 10 m. Objek masih berada di tempat asal (insitu), berada 2 m dari tebing sebelah baratdaya Sungai Cisadane.
Prasasti Ciaruteun

Prasasti Ciaruteun ditemukan pada aliran Sungai Ciaruteun, kira-kira seratus meter dari pertemuan sungai tersebut dengan Sungai Cisadane, namun pada tahun 1981 prasasti ini diangkat dan diletakkan di dalam cungkup. Prasasti ini peninggalan Purnawarman, beraksara Palawa, berbahasa Sanskerta.
Prasasti Telapak Gajah/Prasasti Kebon Kopi I
Prasasti Kebonkopi I atau Prasasti Tapak adalah prasasti peninggalan Tarumanegara yang diperkirakan dibuat sekitar tahun 400 dan ditemukan di daerah Kampung Muara (sekarang: Desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Bogor) oleh para penebang hutan pada abad ke-19 ketika mereka akan membuka lahan untuk membudidayakan tanaman kopi milik Jonathan Rig.
Prasasti Pasir Koleangkak (Prasasti Jambu)
Di daerah Bogor, masih ada satu lagi prasasti lainnya yaitu prasasti batu peninggalan Tarumanagara yang terletak di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka. Prasasti pasir koleangkak ini pun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi dua baris.
Prasasti Cidanghiyang/Prasasti Munjul
Prasasti Cidanghiyang atau Prasasti Munjul, ditemukan di aliran Sungai Cidanghiyang yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, berisi pujian kepada Raja Purnawarman.
Prasasti Pasir Awi
Prasasti Pasir Awi atau Prasasti Cemperai adalah bukti peninggalan Tarumanegara yang juga ditemukan oleh N.W. Hoepermans pada tahun 1864. Prasasti ini ditemukan di lereng selatan bukit Pasir Awi, kawasan hutan perbukitan Cipamingkis, Sukamakmur, Bogor. Sama seperti Prasasti Muara Cianteun, Prasasti yang berada di atas bukit ini juga tak mengungkap sedikitpun sejarah Tarumanegara. Pasalnya, ia hanya berisi pahatan gambar dahan, ranting, daun, dan buah-buahan, serta sepasang telapak kaki.
Prasasti Tugu
Prasasti Tugu, ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, sekarang disimpan di museum di Jakarta. Prasasti tersebut dipahat sehubungan dengan selesainya pembangunan Sungai Candrabaga dan Gomati. Prasasti Tugu menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati sepanjang 6112 tombak atau 12 km oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya.
Kehidupan Politik dan Perkembangan Wilayah Kerajaan Tarumanegara
Struktur Birokrasi Kerajaan Tarumanegara
Struktur birokrasi Kerajaan Tarumanegara dapat diketahui dari keterangan prasasti dan sumber-sumber lokal seperti yang diungkapkan di dalam Pustaka Praratvan I Bhumi Jawadwipa di mana Raja sebagai pusat tertinggi dari kekuasaan. Raja memiliki hak absolut dalam menentukan garis kebijakan negeri yang ditunjukkan dengan keinginan Purnawarman memindahkan ibukota kerajaan ke Sundapura. Raja bertindak pula sebagai brahmana sebagaimana yang ditunjukkan dengan gelar-gelar yang diperoleh oleh raja-raja Tarumanegara sejak Jayasinghawarman (sebagaimana diketahui, Jayasinghawarman adalah seorang resi).
Pada masa pemerintahan Purnawarman, Tarumanegara memberlakukan sistem pemerintahan yang terpusat (sentralistik). Raja Purnawarman, digambarkan sebagai raja yang bertangan besi dengan tidak segan-segan memberikan hukuman bagi siapapun yang berbuat kesalahan maupun mengganggu ketertiban negara. Purnawarman mengedepankan penggunaan kekuatan hukum negara dan militer dibandingkan dengan pendekatan diplomatik. Meskipun demikian, Raja Purnawarman mampu menjaga hubungan diplomatik terhadap kerajaan lainnya diluar kekuasaan Tarumanegara.
Raja Purnawarman pun sangat terlihat jelas dalam memberikan penghargaan maupun hukuman terhadap warga maupun pejabat-pejabat Tarumanegara. Ketika Purnawarman berhasil membangun sebuah proyek tertentu, ia akan memberikan berbagai macam hadiah kepada penduduk setempat yang membantu proses pembangunan dan begitu juga kepada para brahmana. Purnawarman juga membangun tempat-tempat suci bagi di wilayah Indraprahasta. Sehingga hubungan antara Purnawarman dengan para brahmana pun dapat dikatakan berjalan dengan baik.
Sistem pemerintahan yang sentralistik pada masa pemerintahan Purnawarman mulai berubah pada masa pemerintahan Wisnuwarman, putra Purnawarman. Wisnuwarman mulai memberlakukan kebijakan pemerintahan yang desentralistik. Di mana otonomi daerah diberikan kepada wilayah-wilayah kekuasaan Tarumanegara. Pemberlakuan kebijakan ini disebabkan pada masa pemerintahan Wisnuwarman terjadi pemberontakan pada tahun 437 yang dilakukan oleh Cakrawarman (panglima angkatan perang Tarumanegara, adik Purnawarman).
Wisnuwarman dianggap lebih bijak dalam memperlakukan raja bawahan dan perlakuannya terhadap para pemberontak. Kebijakan otonomi daerah secara besar-besaran diberikan oleh pengganti Wisnuwarman, Indrawarman ketika kerajaan berada dalam kondisi politik yang stabil. Kebijakan ini dianggap memperbaiki sifat pemerintahan Purnawarman yang bertangan besi. Kebijakan yang diberlakukan oleh Indrawarman ini diabadikan pada prasasti Pasir Muara yang menyebutkan tentang upaya pemulihan kerajaan.
Raja-Raja Yang Memerintah di Kerajaan Tarumanegara
Berikut ini adalah daftar nama Raja-Raja yang memerintah di Tarumanegara berdasarkan sumber prasasti, catatan sejarah dan karya-karya lokal;
Jayasingawarman (Jayasinghawarman) adalah pendiri Tarumanegara yang memerintah antara 358-382. Jayasingawarman adalah seorang maharesi dari Kerajaan Calankayana yang berada di India. Jayasingawarman mengungsi ke Kepulauan Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magadha. Oleh karena Kerajaan Calankayana masih memiliki hubungan politik dengan Kerajaan Salakanagara, maka Jayasingawarman memilih untuk mengungsi di wilayah Kerajaan Salakanegara.
Dharmayawarman/Dharmayawarmanguru (382-395 M)
Dharmayawarman adalah raja kedua Tarumanegara yang memerintah antara tahun 382-395. Dharmayawarman adalah putra sulung dari Raja Jayasingawarman pendiri Tarumanegara. Pada tahun 395, setelah meninggalnya raja Jayasingawarman, Dharmayawarman dinobatkan menjadi raja kedua Tarumanegara.
Purnawarman dilahirkan pada tahun 372 dan telah dinobatkan sebagai raja Tarumanegara pada tanggal 13 bagian terang bulan Caitra tahun 317 Saka atau tahun 393 Masehi saat berusia 21 tahun untuk menggantikan ayahnya, Rajaresi Dharmayawarmanguru. Rajaresi Dharmayawarmanguru kemudian memilih mengundurkan diri dari takhta Tarumanegara untuk memilih hidup di pertapaan menempuh manurajasunya (bertapa setelah turun takhta sampai menunggu ajal tiba). Purnawarman secara resmi memerintah setelah ayahnya meninggal pada tahun 395.
Wisnuwarman atau Raja Wisnuwarman adalah Raja Tarumanegara yang ke-4. Wisnuwarman memerintah Tarumanegara menggantikan ayahnya, Purnawarman yang mangkat pada tahun 434. Wisnuwarman dinobatkan menjadi raja Tarumanegara pada tanggal 14 bagian terang bulan Posya tahun 355/356 Saka atau 434.
Indrawarman naik takhta sebagai raja Tarumanegara menggantikan Raja Wisnuwarman yang mangkat pada tahun 377 Saka atau sekitar tahun 455. Setelah Raja Wisnuwarman meninggal, takhta Tarumanegara jatuh kepada putra laki-lakinya yang tertua yaitu Indrawarman. Raja Indrawarman secara resmi dinobatkan sebagai raja Tarumanegara pada tahun 455 dengan gelar Sri Maharaja Indrawarman Sang Paramarta Sakti Mahaprabawa Lingga Triwikrama Bunatala.
Candrawarman adalah anak dari Raja Indrawarman, raja kelima Tarumanegara. Raja Candrawarman mulai memerintah di Tarumanagara sebagai raja keenam sejak tahun 515 hingga tahun 535. Candrawarman bergelar Sri Maharaja Candrawarman Sang Hariwangsa Purusakti Suralagawageng Paramarta.
Suryawarman adalah raja Tarumanegara yang dinobatkan pada tahun 535 menggantikan ayahnya, Sang Candrawarman. Setelah dinobatkan sebagai raja di Tarumanegara, Suryawarman bergelar Sri Maharaja Suryawarman Sang Mahapurusa Bimaparakrama Hariwangsa Digwijaya.
Kretawarman naik takhta sebagai raja Tarumanegara untuk menggantikan ayahnya, Sri Maharaja Suryawarman Sang Mahapurusa Bimaparakrama Hariwangsa Digwijaya. Raja Kretawarman dinobatkan sebagai raja Tarumanegara pada tahun 561 dengan gelar Sri Maharaja Kretawarman Mahapurusa Hariwangsa Digwijaya Salakabumandala. Kondisi Tarumanegara di bawah Kretawarman sedang mengalami kemunduran,sebagaimana yang diawali dari berpindahnya pusat kekuasaan Tarumanegara dari Sundapura ke Cirebon pada masa pemerintahan Raja Suryawarman.
Sudawarman (sudhawarman) mulai memerintah menggantikan kakaknya, Raja Kretawarman yang meninggal pada tahun 561. Sudawarman sendiri adalah seorang resi (brahmana) yang tinggal di India. Setelah mengetahui kabar kakaknya telah meninggal dan tidak memiliki seorang pun anak, maka takhta Tarumanegara secara resmi jatuh kepada Sudawarman.
Hariwangsawarman adalah raja Tarumanegara yang memerintah paling singkat hanya dalam tempo satu tahun. Hariwangsawarman adalah putera dari Raja Sudawarman yang mangkat pada tahun 639. Hariwangsawarman atau Dewamurti dinobatkan sebagai raja di Tarumanegara dengan gelar Sri Maharaja Dewamurtyatma Hariwangsawarman Digwijaya Bimaparakrama. Saudara perempuannya yang bernama Dewi Mahasari diperistri oleh Raja Kerajaan Cupunagara yang bernama Nagajaya.
Nagajayawarman adalah Raja Tarumanegara yang kesebelas yang dilantik pada tahun 640. Nagajayawarman menduduki takhta Tarumanegara setelah berhasil menggantikan Sang Dewamurti atau Raja Hariwangsawarman yang hanya berkuasa selama satu tahun. Nagajayawarman sebenarnya adalah seorang raja dari Kerajaan Cupunagara yang menikahi saudara perempuan Hariwangsawarman yang bernama Dewi Mahasari. Asal-usul Nagajayawarman yang berasal dari Kerajaan Cupunagara diketahui dari gelar yang diperolehnya ketika dinobatkan sebagai Raja di Tarumanegara yaitu Sri Maharaja Nagajayawarman Darmasatya Cupujayasatru.
Pada tahun 666, Linggawarman, putera Raja Nagajayawarman dilantik sebagai penguasa Tarumanegara. Linggawarman dilantik sebagai raja Tarumanegara dengan gelar Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirtabumi. Setelah dinobatkan sebagai raja Tarumanegara, Linggawarman mengirimkan utusan ke beberapa negara. Utusan Linggawarman itu terutama ke negeri Cina yang selama pemerintahan pendahulu-pendahulunya, Tarumanegara juga berkali-kali mengirimkan utusan ke negeri Cina terutama setelah pelantikan raja yang baru.
Raja Tarusbawa adalah raja terakhir dari Tarumanegara yang berkuasa sejak tahun 669 untuk menggantikan mertuanya, Raja Linggawarman. Sebagaimana diketahui, bahwa Tarusbawa sebenarnya adalah raja dari Kerajaan Sunda Sembawa yang berpusat di ibukota Tarumanegara dahulu pada masa Raja Purnawarman, yakni Sundapura. Tarusbawa menikahi putri dari Raja Linggawarman yang bernama Dewi Minawati.
Kondisi Ekonomi Kerajaan Tarumanegara
Masyarakat Tarumanegara dalam aktivitas perekonomiannya melakukan beberapa cara seperti berburu, menangkap ikan, pertambangan, perdagangan, peternakan dan tentu yang menjadi utama adalah aktivitas pertanian. Aktivitas perekonomian masyarakat ini berdasarkan pada letak Kerajaan Tarumanegara yang dapat mendorong aktivitas perekonomian berbasis agraris dan juga maritim.
Aktivitas perburuan yang dilakukan oleh masyarakat Tarumanegara didasari pada berita Cina yang menyebutkan adanya perdagangan cula badak dan gading gajah. Di mana kedua hewan tersebut adalah hewan liar yang tentu saja untuk mendapatkan bagian tubuh dari hewan itu harus dilakukan dengan cara berburu. Selain perburuan juga terdapat aktivitas perikanan yang dimaksudkan adalah penangkapan terhadap penyu untuk dijual kulitnya (cangkangnya). Hal ini juga berdasarkan keterangan yang diperoleh dari berita Cina di mana para saudagar-saudagar Cina amatlah menggemari kulit penyu ini.
Masyarakat juga melakukan aktivitas pertambangan seperti emas dan terutama adalah perak. Hal ini berdasarkan keterangan yang diberikan oleh berita Cina dan diperkuat oleh keterangan yang diberikan oleh Claudius Ptolomeus yang menyebutkan bahwa Tarumanegara ini sebagai penghasil perak. Wilayah kekuasaan Kerajaan Tarumanegara yang strategis di daerah Selat Sunda menyebabkan Tarumanegara tentu saja terlibat aktif dalam kegiatan pelayaran dan perniagaan. Meskipun hingga sekarang tidak diketahui secara pasti teknologi pelayaran dan perkapalan yang dimiliki oleh Tarumanegara.
Sumber utama dari mata pencaharian rakyat di Tarumanegara terutama adalah dalam sektor pertanian. Aktivitas pertanian ini dapat terlihat dari keterangan yang diberikan oleh Prasasti Tugu di mana Raja Purnawarman meresmikan dua buah sungai yakni Chandrabraga dan Gomati yang tentu saja bertujuan untuk menunjang aktivitas pertanian. Perlu diketahui, masa pemerintahan Purnawarman inilah merupakan masa kejayaan Kerajaan Tarumanegara. Di mana luas wilayah Kerajaan Tarumanegara mencakup Banten dan sebagian besar Jawa Barat sekarang.
Kehidupan Sosial-Budaya Kerajaan Tarumanegara
Kehidupan sosial-budaya Kerajaan Tarumanegara terutama bagi kalangan istana sangatlah erat kaitannya dengan budaya dan tradisi ajaran agama Hindu. Menurut keterangan yang diberikan oleh Fa-Hsien ketika berkunjung ke Tarumanegara menyatakan bahwa masyarakat Tarumanegara masih sangat dipengaruhi oleh kepercayaan asli. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam struktur sosial masyarakat terbagi menjadi dua bagian, kalangan istana dan kalangan non-istana. Meskipun terdapat pemisahan yang berkaitan dengan status sosial, dalam kenyataannya antara kalangan istana dan non-istana tidak benar-benar terpisah sama sekali.
Kehidupan Keagamaan Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan Tarumanegara dipengaruhi oleh ajaran agama Hindu. Hal ini dibuktikan dengan penemuan arca, prasasti dan juga candi yang mendukung bahwa Tarumanegara menjadikan agama Hindu sebagai agama kerajaannya. Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh prasasti Tugu, Purnawarman yang meresmikan kedua terusan (Chandrabraga dan Gomati) menghadiahi para Brahmana sebanyak seribu ekor sapi. Di mana Brahmana ini sangatlah kental dengan ajaran agama Hindu.
Prasasti Ciaruteun juga menunjukkan bahwa Hindu menjadi agama resmi di Tarumanegara. Di dalam prasasti Ciaruteun ini terdapat dua telapak kaki yang diyakini sebagai telapak kaki Raja Purnawarman. Telapak kaki Raja Purnawarman ini diyakini memiliki kesamaan dengan telapak kaki milik Dewa Wisnu dan terdapat pula tulisan vikkranta yang memiliki arti menyerang. Kata ini dikaitkan dengan triwikrama, atau tiga langkah Dewa Wisnu untuk mengelilingi dunia.
Sedangkan pada Prasasti Jambu, Raja Purnawarman disamakan dengan Dewa Indra yang dikenal sebagai Dewa Perang dan juga Purnawarman memiliki sifat-sifat Dewa Surya (Matahari). Dari keterangan-keterangan ini menunjukkan bahwa Tarumanegara adalah Kerajaan yang bercorak agama Hindu.
Berdasarkan keterangan yang dihimpun oleh Fa-Hsien saat mengunjungi Tarumanegara pada abad ke-5. Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Fa-Hsien, Kerajaan Tarumanegara menjadikan ajaran agama Hindu sebagai agama resmi kerajaannya, sedangkan dikalangan penduduk Tarumanegara terdapat pula penganut ajaran agama Buddha yang jumlahnya sangatlah sedikit, sedangkan sebagian besar penduduk Tarumanegara masih menganut kepercayaan lokal.
Keruntuhan Kerajaan Tarumanegara
Runtuhnya Tarumanegara disebabkan oleh beberapa faktor;
- Invasi yang dilakukan oleh Kerajaan Sriwijaya. Fakta ini didasari pada diterbitkannya prasasti Kota Kapur di akhir abad ke-7 oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa yang hendak menaklukan Bhumi Jawa. Bukti yang mendukung adanya penyerangan yang dilakukan oleh Kerajaan Sriwijaya terhadap Kerajaan Tarumanegara adalah dengan berhentinya berita kedatangan utusan-utusan yang berasal dari to-lo-mo (Tarumanegara) ke negeri Cina.
- Naiknya Tarusbawa sebagai raja Tarumanegara pada tahun 669 yang memindahkan pusat kekuasaan kembali ke Sundapura. Tarusbawa juga menjadikan Kerajaan Sunda Sembawa (selanjutnya disebut Kerajaan Sunda) sebagai pusat dari kekuasaannya pada tahun 670 dan merubah nama Kerajaan Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda. Hal ini menyebabkan protes dari raja Kerajaan Galuh, Wretikandayun yang menginginkan memisahkan diri dan tidak ingin menjadi negeri bawahan dari Kerajaan Sunda. Dengan demikian, Kerajaan Tarumanegara terpecah menjadi dua yakni Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.

Daftar Bacaan
- Groeneveldt. W. P. 2009. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Depok: Komunitas Bambu.Â
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Hindu. Jakarta: Balai Pustaka.