Sejarah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
KNIP – KNIP secara resmi dibentuk pada 22 Agustus 1945 sebagai agenda awal dari sidang PPKI yang ketiga. Setelah disepakatinya penunjukkan secara aklamasi Soekarno sebagai presiden dan Moh. Hatta sebagai wakil presiden Indonesia pada 18 Agustus 1945 pada sidang PPKI yang pertama, Langkah yang ditempuh selanjutnya adalah membentuk badan yang dapat membantu kerja presiden dan wakil presiden dalam menjalankan pemerintahan. Oleh sebab itu pada 19 Agustus 1945 dalam sidang PPKI Kedua ditetapkanlah akan dibentuknya Komite Nasional sebagai badan legislatif sementara dengan anggota sebanyak 60 orang.
Kiranya pembahasan tentang pembentukan Komite Nasional itulah yang menjadi pembahasan awal dalam sidang PPKI ketiga 22 Agustus 1945. Di dalam sidang ketiga PPKI, Komite Nasional Indonesia akan dibentuk di tingkat pusat dan tingkat daerah. Sesuai dengan penjelasan Soekarno, bahwa tujuan Komite Nasional antara lain yaitu mempersatukan semua lapisan dan bidang pekerjaan agar tercapai solidaritas dan kesatuan nasional yang erat dan utuh, membantu menenteramkan rakyat dan melindungi keamanan serta membantu para pemimpin untuk mewujudkan cita-cita bangsa.
Pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI) di tingkat pusat yang kemudian diberi nama Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) diresmikan pada malam hari, tanggal 29 Agustus 1945 di Gedung Komidi, Pasar Baru, Jakarta. Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat ditunjuk dengan jumlah anggota sebanyak 137 orang. Setelah ditentukan anggotanya, KNIP segera melaksanakan sidangnya yang pertama dan dipimpin oleh Kasman Singodimedjo sebagai ketua Panitia Eksekutif.
Di dalam pembukaan sidang pertama KNIP, Kasman Singodimedjo menyatakan bahwa dirinya siap sedia menjalankan perintah presiden dan kekuasan adalah di tangan presiden. Pelantikan KNIP dilakukan di dalam sidang pertamanya di mana Kasman Singodimedjo diangkat sebagai ketua KNIP dan dibantu oleh tiga wakil ketua yaitu Sutarjo Kartohadikusumo (Wakil Ketua I), Johannes Latuharhary (Wakil Ketua II) dan Adam Malik (Wakil Ketua III). Dengan dibentuknya Komite Nasional Indonesia Pusat maka berakhirlah tugas PPKI.
Pembentukan KNIP dengan cepat diikuti oleh pembentukan Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID). Sejak awal bulan September 1945 KNID telah dibentuk di berbagai daerah dari tingkat keresidenan sampai tingkat desa. Pembentukan KNIP dan keanggotaannya didasari pada penunjukkan yang diusulkan oleh tokoh-tokoh politik yang aktif dalam pergerakan nasional serta gabungan dari anggota PPKI. Rumitnya, keanggotaan KNIP jumlahnya selalu berbeda-beda.
Tugas Komite Nasional tertuang di dalam Pasal IV Aturan Peralihan UUD ’45; Komite Nasional adalah sebuah badan yang bertugas untuk membantu presiden menjalankan kekuasaan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung sebelum lembaga-lembaga tersebut terbentuk.
Berdasarkan Pasal VI Aturan Peralihan fungsi KNIP yakni: menyatakan kemauan rakyat Indonesia untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka, mempersatukan rakyat dari segi lapisan dan jabatan, supaya terpadu pada segala tempat di seluruh Indonesia, persatuan kebangsaan yang bulat dan erat, membantu menentramkan rakyat dan turut menjaga keselamatan umum dan membantu pemimpin dalam meyelenggarakan cita-cita bangsa Indonesia dan di daerah membantu pemerintah daerah untuk kesejahteraan umum.
Fungsi KNIP pada saat itu untuk membantu Presiden tampaknya menimbulkan masalah baru yakni munculnya dualisme dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan sehari-hari. Misalnya, KNIP bertindak sebagai juru penerangan padahal kementrian penerangan sudah terbentuk. Dari masalah yang timbul pada saat itu mengenai fungsi dan kedudukan KNIP muncul kritik-kritik terhadap Pasal VI Aturan Peralihan UUD, yang menurut mereka menggambarkan kekuasaan tidak terbatas pada Presiden/Pemerintah, cermin dari fasisme Jepang. Oleh sebab itu mereka mendesak untuk mengubah kedudukan dan fungsi KNIP menjadi lembaga yang perpijak atas dasar demokrasi secara nyata.
Pada awal Oktober 1945, Sukarni, Subadio, Ir. Sakiman, Supeno, Ki Sarmidi Mangunsarkoro serta seluruh anggota KNIP mulai membuat rencana untuk mengubah sistem presidensial menjadi sistem parlementer dengan kekuasaan legislatif berada di tangan KNIP dan nantinya kabinet bertanggungjawab kepada KNIP, bukan kepada presiden. Para anggota KNIP ini berencana menjatuhkan kabinet sebelumnya (kabinet presidensial) dengan mengajukan veto tidak percaya. Setelah kabinet sebelumnya dijatuhkan, mereka akan mendukung Sutan Sjahrir untuk menjadi perdana menteri dan sebagai formatur kabinet yang baru.
Selanjutnya, langkah yang ditempuh oleh mereka adalah untuk mengubah KNIP dari badan penasehat menjadi badan legislatif dengan fungsi dan kedudukan yang sesungguhnya. Pada 7 Oktober 1945 kelompok pemuda yang terdapat di dalam KNIP mengajukan petisi yang ditandatangani oleh lima puluh orang dari jumlah 150 orang anggotanya untuk menyusun petisi menuntut perubahan kepada Presiden Soekarno agar KNIP diberi wewenang legislatif. Soekarno dan Moh. Hatta tidak menentang petisi itu dan keduanya memenuhi tuntutan petisi yang diajukan oleh para pemuda KNIP.
Berdasarkan petisi 7 Oktober 1945, pada tanggal 16 Oktober 1945 KNIP mengadakan sidang bersama Wakil Presiden Moh. Hatta. Di dalam sidang KNIP 16 Oktober 1945 atas nama Soekarno dan dirinya sendiri, Wakil Presiden Moh. Hatta mengeluarkan Maklumat No. X yang berisi bahwa sebelum MPR dan DPR terbentuk, KNIP diberi kekuasaan legislatif dan ikut serta menentukan garis-garis besar haluan negara bersama presiden.
Dinyatakan pula bahwa tugas sehari-hari KNIP dijalankan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) yang beranggotakan 15 orang. Hasil sidang KNIP 16 Oktober 1945 ini bersesuaian dengan usulan KNIP pada 7 Oktober 1945. Berdasarkan sidang ini, BP-KNIP diwajibkan untuk bersidang setidaknya 10 hari sekali, dan KNIP setahun sekali.
Dengan demikian fungsi KNIP berkembang menjadi fungsi legislatif yang mempunyai fungsi untuk turut menentukan Undang-Undang dan mengawasi atau mengontrol pelaksanaan Undang-Undang bersama Presiden. Selain itu KNIP juga berusaha mengurus berbagai masalah yang menyangkut kepentingan umum baik yang ada di dalam negeri atau yang menyangkut kepentingan Indonesia dengan negara luar seperti Belanda, untuk melaksanakan tugasnya sehari-hari KNIP dibantu oleh Badan Pekerja KNIP atau BP-KNIP.
Pada tanggal 17 Oktober 1945 atas desakan golongan pemuda di dalam KNIP, segera mengadakan pemilihan pimpinan baru yang sebelumnya dijabat oleh Kasman Singodimedjo. Di dalam pemilihan itu memilih Sutan Sjahrir sebagai Ketua KNIP dan Amir Syarifuddin sebagai Wakil Ketua KNIP. Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin juga sekaligus menjabat sebagai ketua dan wakil ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) dengan jumlah anggota sebanyak 15 orang. Sedangkan, jabatan wakil ketua II dan wakil ketua III dihapuskan.
Selaku ketua dan wakil ketua KNIP, Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin memiliki hak untuk memilih 13 anggota lainnya. Semua anggota yang dipiluih adalah pendukung kuat mereka dan mayoritas pernah aktif dalam gerakan bawah tanah anti-Jepang. Di bawah ini adalah anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP);
- Sutan Sjahrir;
- Mr. Amir Sjarifuddin;
- Mr. Suwandi;
- Mr. Sjafruddin Prawiranegara;
- K. H. Wachid Hasjim;
- Mr. R. Hendromartono;
- Dr. R. M. Sunario Kolopaking;
- Dr. A. Halim;
- Subadrio Sastrosatomo;
- Mr. Tam Ling Djie;
- Supeno;
- S. Mangunsarkoro;
- Adam Malik;
- Tadjaludin;
- Dr. Sudarsono
Pada waktu yang bersamaan ini pula, KNIP meminta Presiden Soekarno untuk menambah jumlah anggotan KNIP dari 150 menjadi 188 orang, sehingga beberapa pemimpin berpengaruh yang belum termasuk ke dalam keanggotaan komite tersebut dapat ditambahkan ke dalamnya. Soekarno mengabulkan permintaan tersebut dan beberapa orang dari 38 orang anggota baru KNIP ditunjuk secara paksa karena Sutan Sjahrir menginginkan orang-orang itu untuk menjadi anggota dari BP-KNIP.
Setelah dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No. X yang sebelumnya fungsi KNIP mengacu pada pasal IV Aturan Peralihan yang memberikan kekuasaan Presiden tidak terbatas yang merupakan cerminan dari fasisme Jepang tetapi setelah dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden terjadilah pengurangan kekuasaan Presiden dengan tanpa mengubah ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan itu sendiri, baik mengubah secara langsung ataupun mengubah secara amandemen.
Dekrit presiden yang dikeluarkan pada 17 Oktober 1945 bersamaan Maklumat Wakil Presiden No. X maka Badan Pekerja berkewajiban dan berhak:
- Turut menetapkan garis-garis besar haluan negara. Ini berarti bahwa badan pekerja bersama-sama dengan presiden menetapkan garis-garis besar haluan negara. Badan pekerja tidak berhak campur dalam kebijaksanaan (dagelijks beleid) pemerintah sehari-hari. Kebijaksanaan ini tetap berada ditangan Presiden.
- Menetapkan bersama-sama dengan Presiden Undang-Undang yang boleh mengenai segala macam urusan pemerintahan. Yang menjalankan Undang-Undang ini ialah Pemerintah. Artinya, Presiden dibantu oleh menteri-menteri dan pegawai-pegawai yang ada dibawahnya.
Untuk menghindari salah pengertian atas status dan fungsi dari BP-KNIP, pada 20 Oktober 1945, badan tersebut mengeluarkan ‘penjelasan’ perihal kedudukannya sebagaimana yang dituturkan dalam Dekrit Presiden dan Maklumat Wakil Presiden no. X yang tertuan di dalam kedua poin di atas. Dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No. X pada sidang KNIP 16 Oktober 1945 itu maka kekuasaan presiden berkurang. Sebab, undang-undang dan garis-garis besar haluan negara harus dibuat oleh presiden bersama KNIP.
Setelah secara resmi bertugas pada 17 Oktober 1945, KNIP mulai menjalankan fungsi legislatifnya. Terdapat dua langkah yang kemudian ditempuh oleh KNIP dalam menjalankan fungsinya itu;
1) Langkah pertama yang dilakukan adalah memastikan apabila pemerintah pusat melakukan pengawasan yang cukup terhadap KNID serta menyelaraskan aktivitas pemerintah pusat dengan KNID. Berdasarkan undang-undang yang diajukan pemerintah pusat pada 30 Oktober 1945, KNID diketuai oleh pemimpin setempat yang ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat.
Berdasarkan undang-undang 30 Oktober 1945 itu, KNID harus memiliki Badan Pekerja sendiri yang terdiri atas maksimal lima orang anggota yang dipilih dari KNID. Ketua badan-badan pekerja KNID adalah orang yang ditunjuk oleh pemerintah pusat sebagai ketua KNI secara keseluruhan. Dengan demikian, semakin kecil kemungkinan bagi unsur-unsur yang ingin memanfaatkan KNID sebagai basis kekuatan anti-pemerintah.
Prosedur pemilihan KNI Daerah diserahkan kepada kebijakan masing-masing komunitas dengan keberagaman yang semakin banyak. Di beberapa daerah, terutama daerah-daerah yang sering kali mengalami pertempuran, maka pemilu tidak akan dimungkinkan oleh kondisi semacam itu. Akan tetapi, pemilu untuk memilih perwakilan dapat diadakan untuk separuh jumlah KNID di Jawa, Madura dan Sumatra.
Hak dan kewajiban pejabat KNID tetap sama, mereka boleh merasa berhak menguasai seluruh wilayah legislatif yang belum terjangkau oleh pemerintah pusat tetapi undang-undang yang dikeluarkan kemudian oleh pemerintah pusat selalu lebih didahulukan dibandingkan peraturan yang dikeluarkan oleh KNID. Demikian pula undang-undang yang dikeluarkan oleh salah satu KNID di tingkat provinsi harus diutamakan dibandingkan peraturan KNID tingkat distrik dan kota.
2) Langkah kedua adalah pengajuan rancangan undang-undang berikutnya yang diajukan pada 30 Oktober 1945. Rancangan Undang-Undang (RUU) itu menyarankan agar sistem partai tunggal diganti dengan sistem multipartai di mana semua aliran politik yang penting memiliki perwakilan.
Presiden Soekarno kemudian menyetujui RUU tentang partai politik yang diajukan oleh BP-KNIP dengan catatan partai-partai itu sudah dibentuk sebelum pemilu untuk memilih perwakilannya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mana DPR akan menggantikan peran KNIP yang sifatnya sementara dan tidak didasarkan pada hasil pemilu. Pemilu ini rencananya akan dilaksanakan pada Januari 1946.
Usulan pembentukan sistem multi partai ini disetujui oleh Wakil Presiden Moh. Hatta dan secara resmi mengeluarkan Maklumat Pemerintah 3 November 1945 di Jakarta. Maklumat 3 November 1945 adalah jawaban atas tuduhan yang dilakukan oleh Belanda dengan dalih menggunakan pasal Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 dan menyebarluaskan kepada dunia bahwa Pemerintah Indonesia bersifat diktator fasisme buatan Jepang yang harus dicegah dan diberantas. Belanda menganggap bahwa kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 adalah hasil pemberian maupun sebagai warisan dari Pemerintah Militerisme Jepang.
Maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945 menyerukan pembentukan parta-partai politik yang mana keputusan itu didasari pada;
“Berhubung dengan usul Badan Pekerja Komite Nasional Pusat kepada pemerintah, supaya memberikan kesempatan pada rakyat yang seluas-luasnya untuk mendirikan partai-partai politik dengan restriksi (batasan), bahwa partai-partai itu hendaknya memperkuat perjuangan kita mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat…”.
Dikeluarkannya Maklumat 3 November menunjukkan bahwa KNIP memiliki peranan yang besar di dalam pemerintahan. Usulan BP-KNIP selanjutnya pada 11 November 1945 adalah tentang pertanggungjawaban menteri yang bukan lagi kepada presiden, tetapi bertanggung jawab kepada lembaga perwakilan rakyat (KNIP). Kondisi ini mencerminkan arah sistem pemerintahan yang sebenarnya mulai berubah dari sistem presidensial ke sistem parlementer. Konsep pertanggung jawaban menteri kepada parlemen hanya terdapat dalam konsep parlementer, sedangkan dalam konsep sistem presidensial menteri bertanggung jawab pada presiden.
Usulan yang dilakukan oleh BP-KNIP pada 11 November 1945 disetujui oleh Soekarno dan direalisasikan pada 14 November 1945 yang kemudian dikeluarkan Maklumat Pemerintah atau yang dikenal juga dengan Konvensi Sjahrir 14 November 1945 menjadi dasar berubahnya sistem pemerintahan dari sistem presidensil ke sistem parlementer. Hal ini ditunjukkan dengan dibentuknya kabinet pertama parlementer dengan Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri.
Dibentuknya Kabinet Sjahrir menimbulkan kontroversi dengan Kabinet Presidensil yang menganggap bahwa mereka masih sah sebagai kabinet. Kontroversi itu diakhiri oleh Soekarno dengan mempertemukan kedua kabinet dan menyatakan bahwa Kabinet Sjahrir-lah kabinet yang sah. Setelah Sutan Sjahrir diangkat sebagai Perdana Menteri Indonesia, Ketua BP-KNIP dijabat oleh Soepeno. Sidang KNIP yang dilaksanakan di Jakarta pada 25-27 November 1945 memperlihatkan kesetujuan mereka apabila kabinet mulai bertanggung jawab kepada KNIP dan perwakilannya, yaitu BP-KNIP. Di dalam sidang ini Sjahrir dan kabinetnya memperoleh kepercayaan dari anggota KNIP.
KNIP kemudian memutuskan agar Badan Pekerja anggotanya diperbesar dari 15 orang menjadi 25 orang, sehingga berbagai aliran politik yang ada dalam KNIP dapat sepenuhnya terwakili oleh badan perwakilannya yang berukuran lebih kecil. Sejumlah 17 anggota Badan Pekerja akan mewakili kelompok-kelompok sisial utama dan akan dipilih langsung oleh KNIP. Selanjutnya, mereka harus memilih delapan anggota lainnya (satu orang dari setiap provinsi) berdasarkan calon-calon yang telah diajukan oleh Gubernur dan KNID masing-masing.
Memasuki tahun 1946 kerja BP-KNIP dengan Presiden lebih banyak membicarakan soal pembaharuan lembaga negara. Sebab lembaga negara Indonesia paling banyak mendapatkan sorotan baik dari dalam maupun luar negeri terutama menyoal peran KNIP. Oleh sebab itu, seiring waktu KNIP mulai memperbaiki keanggotaan dan sistem yang ada di dalamnya. Pembaharuan lembaga KNIP ini pun mendapat perhatian Presiden maupun para anggota KNIP sendiri.
Pada tanggal 3 Maret 1946 Presiden Soekarno di dalam sidang pleno KNIP di Solo secara resmi membubarkan Kabinet Sjahrir yang dianggap gagal dalam masalah perundingan Linggarjati. Di dalam sidang ini juga dilakukan pembahasan terkait pembaharuan susunan keanggotaan KNIP. Pada tanggal 18 April 1946 Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1946 tentang Pembaharuan KNIP.
Akan tetapi Peraturan Pemerintah tersebut dibatalkan setelah Rancangan Undang-Undang (RUU) No. 12 Tahun 1964 tentang pembaharuan susunan KNIP yang dimajukan oleh pemerintah disetujui oleh BP-KNIP dalam sidangnya tanggal 7 Juni 1946 untuk menjadi Undang-Undang. Undang-Undang itu tidak dapat dilaksanakan Badan Pekerja sehingga terjadi perdebatan dan mengusahakan diamandemenkan Undang-Undang itu, tetapi usaha itu tidak pernah mencapai penyelesaian terakhir. Setelah itu Presiden mengeluarkan dekrit pada 29 Desember 1946 dengan Peraturan Presiden Tahun 1946 No. 6 menetapkan penambahan anggota KNIP sebanyak 250 % dari 200 menjadi 514 orang.
Dekrit Presiden 29 Desember 1946 menghendaki agar jumlah anggota KNIP yang baru sebanyak 314 orang itu, 93 diantaranya akan mewakili partai politik, 40 orang mewakili kelompok petani, 40 mewakili kelompok buruh, 78 orang mewakili wilayah-wilayah luar Jawa dan Madura, dan 5 orang mewakili kelompok minoritas. Sementara 121 orang sisanya dipilih atas dasar kedudukan sosialnya secara umum atau sebagai perwakilan dari partai politik kecil dan organisasi bersenjata tidak tetap.
Mengenai Peraturan Presiden No.6 Tahun 1946 ini juga tidak menyelesaikan persoalan dan perdebatan yang berkesudahan. Maka, pada sidang Badan Pekerja pada tanggal 6 Januari 1947 merupakan perdebatan antar anggota yang pro dan kontra terhadap Peraturan Pemerintah No.6 tahun 1946.
Pada 6 Januari 1947, dalam rapat Badan Pekerja pasca-Dekrit 29 Desember 1946, para anggota PNI dan Masyumi mulai menentang Dekrit Presiden 29 Desember 1946. Pada 17 Januari 1947, kabinet mengumumkan keyakinannya bahwa pengeluaran dekrit adalah hak istimewa presiden. Namun, Badan Pekerja menganggap dekrit itu tidak lebih kuat tanpa persetujuan dari Badan Pekerja.
Pada sidang pleno KNIP di Malang pada 25 Februari-6 Maret 1947 terjadi perdebatan kembali mengenai Peraturan Pemerintah No.6 tahun 1946. Di dalam sidang pleno itu selain membicarakan tentang persoalan jumlah anggota KNIP yang hendak ditambah menjadi 514 orang dan dianggap inkonstitusional, juga membicarakan masalah Perjanjian Linggarjati.
Perdebatan yang terjadi di sidang pleno KNIP di Malang terutama berdasarkan perhitungan; di dalam KNIP sebelum dekrit, PNI menduduki 45 kursi dari 200 kursi yang ada yang berarti setara dengan 22,5 % kursi. Sementara di dalam KNIP pasca-dekrit PNI akan menduduki jumlah kursi yang sama, yakni 45 kursi dari 514 kursi atau hanya menjadi 8,8% kursi. Maka dapatlah dipahami bahwa dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 29 Desember 1946 tidak memuaskan para pemimpin PNI.
Selain PNI, hal yang sama juga dirasakan oleh Masyumi meskipun perwakilan dari mereka akan ditingkatkan, dari 35 kursi menjadi 60 kursi, bahwa mereka menuntut agar kekuata Masyumi disesuaikan dengan kenaikan jumlah anggota KNIP yang mencapai 514 orang. Meskipun kelompok Benteng Republik menduduki 80 kursi dari 129 kursi yang disediakan untuk partai politik di dalam KNIP pra-dekrit. Di dalam Dekrit Presiden 29 Desember 1946 ini yang paling diuntungkan adalah golongan petani dan pekerja yang sebelumnya tidak memiliki kursi di dalam KNIP menjadi masing-masing mendapatkan jatah 40 kursi.

Perdebatan sengit di dalam sidang KNIP Malang terjadi antara anggota KNIP yang berjumlah 200 orang itu. Setelah perdebatan sejak 25 Februari-27 Februari 1947 anggota KNIP terbagi menjadi dua kelompok, kelompok pro dan kontra keputusan Badan Pekerja. Dalam keadaan seperti itu, Hatta selaku Wakil Presiden menyatakan;
“Bilamana tidak puas dengan pimpinan Presiden dan Wakil Presiden hendaknya mencari Presiden dan Wakil Presiden yang baru”.
Setelah pernyataan Hatta, KNIP kemudian memberikan dukungannya kepada Dekrit Presiden 29 Desember 1946. Hal itu membuat Badan Pekerja menarik kembali sikap oposisi mereka terhadap pemerintah. Sehingga perdebatan berakhir dan perubahan KNIP disetujui oleh seluruh anggota KNIP. Pada 2 Maret 1947, orang-orang pilihan baru disumpah sebagai anggota KNIP dengan jumlah yang telah ditambah. Sidang KNIP di Malang ditutup pada 5 Maret 1947 dengan memberikan dukungan kepada Kabinet Sjahrir III untuk meratifikasi Perundingan Linggarjati yang secara resmi telah disetujui oleh pemerintah Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia pada 25 Maret 1947.
Pasca ratifikasi Perundingan Linggarjati, tidak banyak hal yang dapat dilakukan oleh KNIP sepanjang pertengah periode 1947-1949. Hal ini dapat dimaklumi bahwa sepanjang periode ini Indonesia harus menghadapi serangkaian ancaman terutama menyambut Agresi Militer Belanda II dan Gerakan Madiun tahun 1948 yang teramat menyita perhatian. Dengan bersusah payah, elemen-elemen masyarakat dan militer berupaya untuk mengatasi hal ini dan terlebih tidak kurang-kurang juga usaha yang diberikan oleh para delegasi memperjuangkan eksistensi Republik Indonesia.
Setelah disepakatinya Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 2 November 1949 yang menghasilkan keputusan tentang pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) membuat situasi politik dalam negeri Indonesia semakin ruwet dan jelimet. Pemerintah RIS dan RI, pada 19 Mei 1950 setelah perundingan beberapa minggu mencapai kesepakatan mengenai pembentukan negara kesatuan. Setelah persetujuan kembali ke negara kesatuan, Dewan Perwakilan RIS bersama KNIP mengerjakan Rancangan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan.
Pada 20 Juli 1950 mereka menyelesaikan tugas tersebut dan mengajukannya ke hadapan Dewan Perwakilan dan Senat RIS, serta BP-KNIP untuk meminta persetujuan. Sudah disepakati bahwa badan-badan tersebut tidak dapat mengubah rancangan, tetapi hanya dapat menyetujui atau menolaknya. Setelah diadakan pembicaraan, maka pada 14 Agustus 1950 Senat RIS menerima konsep itu, begitu juga dengan Dewan RIS dan BP-KNIP.
Pada 15 Agustus 1950, Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia yang dipilih kembali menandatangani RUU tersebut dan ditandatangani pula oleh Soepomo selaku Menteri Kehakiman RIS, UU itu diresmikan sebagai Undan-Undang Dasar Sementara (UUDS) Republik Indonesia. UUDS ini pada dasarnya adalah perbaikan konstitusi RIS sehingga lebih selaras dengan UUD 1945, Piagam Persetujuan 19 Mei 1950 antara pemerintah RIS dengan Republik Indonesia.
Perubahan terpenting di dalam UUDS ini adalah keputusan agar presiden tidak menunjuk tambahan anggota Dewan Perwakilan, melainkan menggabungkan anggota Senat RIS dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), serta Badan Pekerja KNIP. Dengan meleburnya KNIP ke dalam Dewan Perwakilan maka pada 16 Agustus 1950 KNIP dibubarkan dan sebagai gantinya Presiden Soekarno melantik Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS)