Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO/North Atlantic Treaty Organization)
NATO – NATO adalah salah satu bentuk pakta pertahanan militer yang berkembang sejak kondisi politik dunia memasuki era Perang Dingin. Memasuki periode Perang Dingin (1945-1990) Amerika Serikat dan Uni Soviet telah memulai babak baru dalam upaya mempertahankan pengaruhnya dalam perpolitikan dunia sebagai dua negara adidaya yang muncul sebagai pemenang pasca Perang Dunia II. Di dalam upaya untuk mempertahankan pengaruh itu, kedua negara pun berlomba di dalam membentuk suatu pakta pertahanan militer di berbagai wilayah.
Pembentukan pakta pertahanan itu tidak hanya menyoal tentang bagaimana cara mereka mempertahankan pengaruh saja, melainkan pula bertujuan untuk melebarkan sayap ideologi yang mereka jadikan sebagai landasan dalam membentuk suatu tatanan baru politik dunia.
Menyadari akan berbahayanya penyebaran paham komunis di Eropa, maka Amerika Serikat, Kanada, dan beberapa negara Eropa Barat yang termasuk ke dalam sekutunya membentuk suatu pakta pertahanan militer dengan harapan dapat membendung pengaruh dari penyebaran paham komunis di Eropa dan melindungi diri dari ancaman yang diberikan oleh Uni Soviet. Di dalam artikel ini akan dideskripsikan tentang latar belakang kemunculan Pakta Pertahanan Atlantik Utara dan perkembangan organisasi ini selama periode Perang Dingin.
Latar Belakang Berdirinya NATO
Perang Dunia II telah membawa akibat yang mengerikan bagi sebagian besar benua Eropa yang dapat dikatakan menuju ambang kehancuran. Perang Dunia II setidaknya telah menyebabkan lebih kurang 36,5 juta orang Eropa tewas di dalam konflik tersebut, dan 19 juta orang di antara jumlah tersebut adalah warga sipil. Pemandangan seperti kamp pengungsian dan penjatahan atau pembatasan kebutuhan sehari-hari telah menjadi hal yang lumrah dan biasa.
Di beberapa daerah di Eropa, angka kematian bayi sangatlah tinggi, di mana diperkirakan satu dari empat bayi tidak dapat terselamatkan. Pemandangan lainnya adalah jutaan anak menjadi yatim piatu dan berkeliaran di bekas kota metropolis yang telah terbakar habis. Bahkan di kota Hamburg, Jerman, dinyatakan hampir setidaknya setengah juta orang telah kehilangan tempat tinggal mereka.
Selain daripada jumlah kerugian dan bertebarannya korban pasca Perang Dunia II, perkembangan ideologi komunis yang dikampanyekan oleh Uni Soviet telah menjadi ancaman yang serius bagi setiap pemerintahan di seluruh Eropa. Sepanjang tahun 1947–1948, serangkaian peristiwa di Eropa telah menyebabkan negara-negara Eropa Barat menjadi khawatir tentang keamanan dan politik mereka akibat maneuver yang dilakukan oleh Uni Soviet.
Hal ini yang menyebabkan Amerika Serikat sebagai salah satu negara adidaya menjadi lebih terlibat dengan urusan-urusan di Eropa. Kecemasan itu mulai nampak nyata pada perang saudara yang sedang berlangsung di Yunani, dan ketegangan di Turki. Selain itu pada Februari 1948, Partai Komunis Cekoslowakia, yang dengan dukungan dari Uni Soviet, telah berhasil menggulingkan pemerintahan yang dipilih secara demokratis dan sah di negara itu.
Beberapa persitiwa yang terjadi di Eropa sepanjang tahun 1947-1948 ini telah membuat Presiden Amerika Serikat, Harry S. Truman menegaskan bahwa Amerika Serikat akan memberikan bantuan ekonomi dan militer kepada kedua negara (Yunani dan Turki terutama), serta negara lain di Eropa yang membutuhkan bantuan untuk merekonstruksi stabilitas politik dan ekonomi yang hancur pasca Perang Dunia II.
Selain itu, untuk merespon tindakan yang dilakukan oleh Uni Soviet, Amerika Serikat berupaya untuk memberikan bantuan bagi negara-negara Eropa yang diberikan melalui program kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, George Marshall yang kelak kebijakan itu dikenal dengan kebijakan Marshall Plan dan juga Amerika Serikat akan menggunakan cara-cara lainnya untuk membentuk stabilisasi ekonomi dan politik di Eropa pasca Perang Dunia II.
Kendati daripada itu, negara-negara Eropa masih membutuhkan kepercayaan akan keamanan mereka, sebelum mereka memulai pembicaraan tentang suatu persekutuan dan menjalankan perdagangan antara satu sama lain. Oleh karena itulah kiranya perlu dibentuk suatu kerja sama di bidang militer dan keamanan.
Sebagai jawaban atas permasalahan itu (militer dan keamanan) maka Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization atau NATO/l’Organisation du traite de l’Atlantique nord atau OTAN) didirikan pada tahun 1949, sebagai tindak lanjut terhadap Persetujuan Atlantik Utara yang telah ditandatangani di Washington DC pada 4 April 1949 oleh Amerika Serikat, Kanada, Belgia, Luksemburg, Belanda, Perancis, Inggris, Norwegia, Portugal, Italia, Denmark, dan Belanda.
Persetujuan Atlantik Utara yang menjadi kesepakatan tersebut terdapat pada Pasal V, yang kurang lebih pasal ini diberlakukan agar jika salah satu anggota dari Pakta Warsawa atau pun Uni Soviet beserta sekutunya melancarkan serangan kepada salah satu anggota dari NATO baik di Eropa maupun Amerika Utara maka akan dianggap sebagai serangan terhadap seluruh anggota. Meskipun penandatanganan Perjanjian Atlantik Utara telah membentuk sebuah persekutuan, hal itu belum mampu menciptakan suatu struktur dalam kemiliteran yang dapat secara efektif mengkoordinasikan tindakan-tindakan mereka. Namun semua ini berubah ketika muncul kekhawatiran yang berkembang tentang adanya aktivitas bom atom milik Uni Soviet sejak tahun 1949 dan pecahnya Perang Korea pada tahun 1950.
Secara umum NATO tidaklah berbeda dari persekutuan-persekutuan tradisional di masa lalu yang menekankan persekutuan pada peningkatan kekuatan militer bagi negara-negara anggotanya. Namun NATO memiliki tujuan yang lain yaitu memelihara stabilitas politik dan ekonomi di antara negara-negara anggotanya dan penyelenggaraan hubungan-hubungan yang lebih erat di antara negara-negara anggota di pelbagai bidang, dan berupaya untuk mencapai tujuan ini melalui organisasi multinasional yang rumit.
Tujuan organisasi ini memberikan pengarahan yang terpusat pada kebijakan militer dan ekonomi anggota-anggotanya berdasarkan persetujuan-persetujuan yang telah disepakati oleh negara anggotanya. NATO sebagai sebuah organisasi telah melampaui batas dari suatu persekutuan tradisional yang mengarah pada organisasi internasional jenis baru.
NATO dipimpin oleh Dewan Atlantik Utara, yang terdiri dari petugas kabinet yang berasal dari masing-masing negara anggota. Dewan tersebut adalah penguasa tertinggi NATO; dewan inilah yang menetapkan jadwal-jadwal produksi masing-masing anggota, keperluan-keperluan anggaran belanja, kualitas dan kuantitas dari kontribusi militer dan lain-lainnya. Dewan tersebut dibantu oleh staf internasional yang diketuai oleh seorang Sekretaris Jenderal, di mana melalui Sekretaris Jenderal itulah yang benar-benar merupakan badan internasional yang bekerja semata-mata untuk organisasi itu sendiri. Inilah yang disebut dengan birokrasi sipil tetap NATO.

Di bawah Dewan Atlantik Utara bekerja sejumlah lembaga sipil dan militer. Organisasi militer NATO dipimpin oleh Komisi Militer, yang terdiri dari kepala-kepala staf negara-negara anggota. Komisi Militer memberikan nasihat kepada Dewan mengenai persoalan militer, rencana-rencana tindakan militer untuk pertahanan bersama, dan dibantu oleh staf militer internasional.
NATO bertanggung jawab terhadap strategi pertahanan Atlantik Utara dan memberikan bimbingan serta instruksi-instruksi kepada para pimpinan NATO. Para pimpinan ini terdiri dari Markas Besar Tertinggi, Kekuatan Gabungan, SHAPE (Supreme Headquarters Allied Powers Europe) terutama adalah yang terpenting. Di bawah Komandan Tertinggi di Eropa, NATO mengatur kekuatan militer terpadu di kawasan Eropa Barat.
Ancaman yang diberikan oleh Uni Soviet menjelang periode tahun 1950 membuat NATO membentuk struktur komando yang terkonsolidasi dengan Markas Besar Sekutu di Eropa atau SHAPE dengan Jendral Eisenhower sebagai Komandan Tertinggi Sekutu Eropa, atau SACEUR (Supreme Allied Commander Europe). Setelah itu, Sekutu kemudian mendirikan secretariat sipil yang permanen di Paris dan mengangkat Lord Ismay dari Inggris sebagai Sekretaris Jenderal NATO yang pertama.
Peran NATO Selama Perang Dingin
Setelah dibentuknya NATO dengan jangkauan kebijakan militer dan ekonomi negara-negara anggota, maka stabilitas politik secara bertahap mulai dapat dipulihkan di Eropa Barat dan perbaikan serta pembangunan ekonomi pasca perang dapat dimulai. Sekutu NATO yang selanjutnya bergabung adalah Yunani dan Turki pada tahun 1952, dan Jerman Barat pada tahun 1955. Integrasi politik di Eropa yang dilakukan oleh NATO pada mulanya berjalan dengan penuh kehati-hatian dan disertai dengan keragu-raguan.
Hal itu dapat terlihat dari reaksi atas penguasaan NATO terhadap Jerman Barat disertai dengan Uni Soviet dan negara klien Eropa Timur-nya yang segera membentuk Pakta Warsawa pada tahun 1955. Dengan terbentuknya NATO dan Pakta Warsawa menyebabkan Eropa dan bahkan dunia mulai memasuki perselisihan yang mana hal ini tidak mudah untuk diakhiri. Perselisihan itu disimbolkan dengan pembangunan Tembok Berlin pada tahun 1961.
Periode 1960-an memang dianggap sebagai salah satu fase yang rumit dan harus dialami pada periode Perang Dingin. Nikita Kruschev dari Uni Soviet dan John F. Kennedy dari Amerika Serikat, keduanya harus melibatkan diri pada kasus yang terjadi di Kuba dan juga Vietnam yang semakin meningkat pada dasawarsa itu. Namun keduanya enggan untuk “terlibat” secara langsung dengan apa yang terjadi di daerah konflik itu. Hal ini yang menyebabkan keduanya mulai merencanakan pembangunan ekonomi dan politik bagi negara-negara anggotanya, baik bagi NATO dan juga Pakta Warsawa.
Pada Maret tahun 1967, NATO dan SHAPE memindahkan markasnya ke Casteau, dan kemudian pindah ke Brussel pada Oktober 1967. NATO bekerja dengan menggunakan prinsip fleksibilitas. Di mana prinsip ini tidak seperti Uni Soviet yang mana dapat terlihat dari tindakan Uni Soviet pada tahun 1953 di Berlin, 1956 di Hungaria dan Agustus 1968 yang melakukan invasi ke Cekoslowakia dengan menakhiri periode liberalisasi politik di negara itu dan menekankan pada realisasi dari Doktrin Brezhnev.
NATO, melalui pernyataan yang dikeluarkan oleh Menteri Luar Negeri Belgia, Pierre Harmel pada Desember 1967 kepada Dewan Atlantik Utara memberikan pandangannya bahwa NATO haruslah dapat memberikan kebebasan dan menghormati pemikiran warga negara masing-masing anggota dan oleh karenannya perlu diadakan kemudian suatu dialog antara NATO dengan Pakta Warsawa yang mana hal itu terealisasi dari Konferensi Helsinki tahun 1973. Di dalam Konferensi Helsinki, NATO dan Pakta Warsawa melakukan relaksasi dengan menyepakati untuk memberikan kebebasan bagi warga negaranya, termasuk dalam pemikiran, pilihan, keagamaan dan juga keyakinan. Dengan ditandatanganinya perjanjian ini maka intensitas politik antara kedua kubu dapat mereda setidaknya dalam jangka beberapa tahun ke depan.
Pada tahun 1979 Uni Soviet melakukan invasi ke Afghanistan dan penyebaran rudal balistik SS-20 Sabre oleh Uni Soviet di Eropa menyebabkan penangguhan dari perjanjian yang telah disepakati pada tahun 1973. Untuk melawan aksi yang dilakukan oleh Uni Soviet, Sekutu membuat keputusan dengan memberlakukan kebijakan “dual track” yaitu dengan meluncurkan Pershing II berkapasitas nuklir dan rudal jelajah yang diluncurkan dari darat di Eropa Barat sambil melanjutkan negosiasi dengan Uni Soviet. Pada tahun 1982 terjadi penambahan anggota baru di dalam NATO, yakni Spanyol.
Karena negosiasi dengan Uni Soviet tidak mencapai kesepakatan yang diharapkan, anggota NATOmulai mengalami perselisihan internal ketika penyebaran persenjataan dimulai pada tahun 1983. Menyusul naiknnya Mikhail Gorbachev sebagai Perdana Menteri Uni Soviet pada tahun 1985, Amerika Serikat dan Uni Soviet menandatangani Perjanjian Intermediate-Range Nuclear Forces (INF) pada tahun 1987, di mana perjanjian ini berisi tentang menghapuskan semua rudal balistik dan jelajah nuklir yang diluncurkan dengan jarak menengah. Perjanjian ini dianggap sebagai indikasi awal bahwa Perang Dingin akan segera berakhir.
Pada pertengahan tahun 1980-an, sebagian besar pengamat internasional percaya bahwa Uni Soviet dengan komunisme-nya telah kalah dalam pertempuran intelektual dengan negara-negara Barat. Kemunculan para aktivis demokrasi yang berada di negara-negara Eropa Timur dan Uni Soviet sendiri mulai melakukan tuntutan pembongkaran rezim komunis dan menuntut hak independen. Pada saat ini, sistem ekonomi komando yang digunakan oleh Pakta Warsawa sedang hancur. Uni Soviet menghabiskan anggaran untuk pertahanan dan ekonomi tiga kali lebih banyak jika dibandingkan dengan Amerika Serikat.
Situasi yang terjadi di Uni Soviet, dengan terpilihnya Mikhail Gorbachev sebagai Perdana Menteri telah berniat melakukan reformasi pada sistem komunis secara mendasar. Ketika Jerman Timur mulai runtuh pada tahun 1989, Uni Soviet tidak lagi melakukan intervensi, dan tidak lagi memberlakukan Doktrin Brezhnev. Melainkan, Uni Soviet memilih reformasi jangka panjang daripada kontrol jangka pendek sebab hal itu semakin di luar kemampuan mereka. Keputusan inilah yang nantinya menggerakkan serangkaian peristiwa yang menyebabkan pecahnya Pakta Warsawa. Runtuhnya Tembok Berlin pada tanggal 9 November 1989 sepertinya telah membuka era baru bagi sistem pasar terbuka, demokrasi dan perdamaian, yang mana Sekutu sangat bergembira ketika para demonstran secara berani telah berhasil menggulingkan pemerintahan Komunis di Eropa Timur.
Peran NATO Pasca Perang Dingin
NATO dapat bertahan karena Uni Soviet tidak ada lagi, tujuan NATO yang masih dipertahankan pasca runtuhnya Uni Soviet adalah untuk mencegah bangkitnya nasionalisme militan dan untuk memberikan dasar keamanan kolektif yang akan mendorong demokratisasi dan integrasi politik di Eropa. Pada tahun 1991 sebagaimana yang terjadi pada tahun 1949, NATO akan menjadi landasan bagi pembentukan keamanan pan-Eropa yang lebih besar.
Pada bulan Desember 1991, Sekutu membentuk Dewan Kerjasama Atlantik Utara, yang kemudian berganti nama menjadi Dewan Kemitraan Euro-Atlantik pada tahun 1997. Forum ini mempertemukan Sekutu dengan negara-negara di Eropa Tengah, Eropa Timur, dan Asia Tengah untuk melakukan konsultasi dan diskusi secara bersama-sama. Banyak dari negara-negara yang baru “dibebaskan” dari pengaruh komunis ini menganggap bahwa hubungan dengan NATO sebagai hal mendasar dan penting bagi mereka untuk menjaga stabilitas, menerapkan iklim demokrasi, dan integrasi terutama bagi Eropa.
Pada tahun 1994, NATO mendirikan Dialog Mediterania dengan enam negara Mediterania yang bukan bagian dari anggota NATO, diantaranya: Mesir, Israel, Yordania, Mauritania, Maroko dan Tunisia, di mana Aljazair juga ikut bergabung dalam dialog ini pada tahun 2000. Dialog tersebut berupaya untuk memberikan kontribusi bagi keamanan dan stabilitas di kawasan Mediterania melalui cara yang lebih baik dan dengan rasa saling pengertian.
Kerja sama yang masih muda ini segera diuji. Dengan runtuhnya komunisme telah membuka jalan bagi kebangkitan nasionalisme dan munculnya kekerasan etnis, khususnya di bekas wilayah Yugoslavia. Pada awalnya, Sekutu ragu-ragu untuk ikut campur tangan dalam apa yang dianggap sebagai perang saudara Yugoslavia. Belakangan, konflik tersebut dilihat sebagai perang agresi dan pembersihan etnis, dan NATO memutuskan untuk mengambil tindakan. Awalnya, NATO menawarkan dukungan penuh kepada upaya PBB untuk mengakhiri kejahatan perang, termasuk tindakan militer langsung dalam bentuk melakukan embargo angkatan laut.
NATO melakukan kampanye melalui udara selama sembilan hari pada bulan September 1995 yang mana kampanye ini memainkan peran utama dalam mengakhiri konflik di bekas wilayah Yugoslavia. Pada bulan Desember 1995, NATO mengerahkan pasukan multinasional sebanyak 60.000 tentara sebagaimana yang diamanatkan PBB untuk membantu melaksanakan Perjanjian Perdamaian Dayton. Pada tahun 2004, NATO menyerahkan peran ini kepada Uni Eropa.
Konflik Yugoslavia dan konflik kontemporer lainnya di Nagorno Karabakh, Georgia, dan tempat lain – memperjelas bahwa kekosongan kekuasaan pasca-Perang Dingin adalah sumber ketidakstabilan yang sangat berbahaya. Mekanisme kemitraan harus diperkuat sedemikian rupa sehingga memungkinkan negara-negara non-NATO untuk bekerja sama dengan NATO dalam mereformasi institusi demokrasi dan militer.
Sebagai bagian dari upaya yang terus berkembang ini, Sekutu menciptakan program Kemitraan untuk Perdamaian, atau The Partnership for Peace (PfP), pada tahun 1994. Dengan membangun The Partnership for Peace memungkinkan negara-negara non-NATO, atau “Mitra”, untuk berbagi informasi dengan Sekutu NATO dan untuk memodernisasi militer mereka sejalan dengan standar demokrasi modern. Mitra dapat memilih tingkat keterlibatan mereka sendiri dengan NATO. Sedangkan status keanggotaan NATO akan tetap terbuka bagi negara-negara yang meninginkannya.
Proses ini sebagaimana yang dapat terlihat pada KTT Washington 1999 ketika tiga mantan Mitra – Polandia, Republik Ceko, dan Hungaria – yang mendapatkan status mereka sebagai anggota NATO setelah mereka menyelesaikan program reformasi politik dan militer. Melalui perluasan keanggotaan dan manuvernya, NATO telah memainkan peran penting dalam mengkonsolidasikan demokrasi dan stabilitas politik dan ekonomi di Eropa.
Pada akhir tahun 1998, lebih dari 300.000 orang Kosovo dan Albania telah meninggalkan rumah mereka selama konflik antara separatis Albania di Kosovo dengan polisi dan militer Serbia. Menyusul kegagalan dari upaya internasional untuk menyelesaikan krisis, NATO melakukan serangan udara selama 78 hari dengan melakukan 38.000 serangan mendadak dengan tujuan agar pasukan penjaga perdamaian multinasional memasuki Kosovo dan menghentikan pembersihan etnis di wilayah tersebut.
Pada tanggal 4 Juni 1999, NATO menghentikan kampanye udaranya setelah mengkonfirmasikan bahwa penarikan tentara Serbia dari Kosovo telah dimulai, dan pengerahan Pasukan Kosovo (KFOR) yang dipimpin NATO segera menyusul kemudian. Saat ini, pasukan KFOR masih dikerahkan di Kosovo untuk membantu menjaga lingkungan yang aman dan terjamin serta memberikan kebebasan bagi semua warga negara, terlepas dari mana asal-usul etnis mereka.
Pengalaman NATO di Bosnia dan Kosovo memperlihatkan apakah NATO akan menegakkan perdamaian di Eropa masih menjadi perbincangan dan perdebatan: berbagai peristiwa yang terjadi telah memaksa NATO untuk turun tangan. Sebelum runtuhnya Tembok Berlin pada 1989, NATO telah menjadi organisasi yang keberadaannya dirasa cukup untuk menghalangi ambisi Uni Soviet. Intervensi Balkan telah memulai transformasi NATO menjadi organisasi yang lebih dinamis dan responsif.
Oleh karena itu, NATO mengadopsi konsep strategis baru yang menjelaskan tujuan dan prioritasnya. Pada tahun 1991, NATO telah mengeluarkan konsep yang tidak dapat diklasifikasikan setelah keruntuhan Uni Soviet. Sedangkan konsep NATO yang dikeluarkan pada tahun 1999, menyatakan bahwa sejak akhir Perang Dingin, dunia telah menghadapi “resiko baru yang kompleks terhadap perdamaian dan keamanan Euro-Atlantik, termasuk penindasan, konflik etnis, tekanan ekonomi, runtuhnya tatanan politik, dan proliferasi senjata pemusnah massal. “
Serangan teroris 11 September 2001 di World Trade Center dan Pentagon menunjukkan kepada NATO bahwa kekacauan politik di belahan dunia yang jauh dari lingkup mereka dapat menimbulkan konsekuensi yang mengerikan di dalam negeri, terutama bagi Amerika Serikat sebagai aktor utama dari persekutuan ini.
Kelompok teroris al-Qaeda – telah menjadikan Afghanistan sebagai basis untuk mengekspor ketidakstabilan ke dalam dunia industri, melakukan pembajakan pesawat yang dijadikan sebagai senjata pemusnah massal yang mana telah diimprovisasi untuk tujuan membunuh ribuan warga sipil. Serangan selanjutnya, termasuk pemboman sistem kereta komuter Madrid pada 11 Maret 2004 dan sistem transportasi umum di London pada 7 Juli 2005, memperjelas bahwa ekstremis brutal bertekad untuk menjadikan penduduk sipil sebagai target mereka.
Setelah serangan 9/11 (11 September), NATO beserta sekutunya mulai melakukan intervensi militer di Afghanistan yang dimulai pada musim gugur tahun 2001. Tujuan dari misi tersebut atau yang biasa dikenal dengan Operation Enduring Freedom (OEF), adalah untuk menolak operasi yang dilakukan oleh al-Qaeda dan menahan sebanyak mungkin pemimpin al-Qaeda. Pada bulan Desember 2001, setelah penggulingan rezim Taliban, Resolusi Dewan Keamanan PBB 1386 mengesahkan penempatan Pasukan Keamanan dan Bantuan Internasional (ISAF/ International Security Assistance Force), sebuah pasukan multilateral yang ditempatkan di dalam dan sekitar Kota Kabul untuk membantu mengawasi dan menstabilkan negara serta mempertahankan perdamaian. Pada Agustus 2003, NATO mengambil alih komando dan koordinasi ISAF.
Sementara NATO terus menerima anggota baru dan membangun kemitraan baru. Dewan NATO-Rusia dibentuk pada tahun 2002 sehingga masing-masing negara anggota NATO dan Rusia dapat bekerja sebagai mitra yang setara dalam masalah keamanan yang menjadi kepentingan bersama. Pada tahun 2004, Aliansi meluncurkan Istanbul Cooperation Initiative sebagai cara untuk menawarkan kerja sama keamanan bilateral ke negara-negara di kawasan Timur Tengah yang lebih luas. Akhirnya, perluasan berikutnya membawa lebih banyak Sekutu ke dalam keanggotaan NATO diantaranya; Rumania, Bulgaria, Slovakia, Slovenia, Latvia, Estonia, dan Lituania pada tahun 2004, serta Kroasia dan Albania pada tahun 2009.
Di Afghanistan, seperti di Bosnia dan Kosovo, NATO telah menyadari bahwa kekuatan militer tidak lagi cukup untuk mengamankan kemenangan secara nyata. Menjaga perdamaian menjadi hal yang paling diutamakan dibandingkan dengan menciptakan perdamaian. Selama tahun-tahun Perang Dingin, keamanan Sekutu mencakup pertahanan Sekutu di Atlantik Utara; sekarang definisi “keamanan” telah berkembang dengan mencakup kebebasan individu dari kekerasan ekstremisme yang ditimbulkan oleh ketidakstabilan dan kegagalan suatu negara-bangsa.
Misalnya, banyak perhatian dunia pada tahun 2011 difokuskan pada krisis di Libya di mana NATO memainkan peran penting dalam membantu melindungi warga sipil Libya yang diserang oleh pemerintah mereka sendiri. Tingkat kekerasan yang digunakan aparat keamanan Libya terhadap pengunjuk rasa pro-demokrasi dilakukan sedemikian rupa sehingga masyarakat internasional sepakat untuk melakukan suatu aksi kolektif. Dan dapat dikatakan bahwa operasi NATO telah membantu mengakhiri krisis Libya dan memberikan harapan bahwa rekonstruksi dan rekonsiliasi dapat segera dilakukan.
Pemeliharaan perdamaian yang sukses tidak hanya sekedar soal keamanan saja, tetapi juga membantu dalam pembangunan modernitas itu sendiri. Tugas ini sebenarnya di luar tujuan NATO yang sesungguhnya. NATO tidak dapat menjadi badan rekonstruksi sipil, tetapi NATO dapat memberikan kontribusi yang signifikan asalkan itu adalah bagian dari tanggapan internasional yang koheren.
Dengan cara ini, upaya NATO harus dapat bekerjasama dengan pihak lain, di mana NATO harus bekerjasama dengan negara dan organisasi yang dapat menyediakan sumber daya dan keahlian dalam melakukan rekonstruksi sipil. Untuk mencapai perdamaian di Kabul, Pristina, atau Sarajevo, NATO membutuhkan kerja sama dari organisasi internasional lainnya yang dapat mewujudkan kemampuan rekonstruksi dan pembangunan masyarakat sipil yang lebih unggul.
Dalam Konsep Strategis baru yang disepakati pada tahun 2010, NATO berkomitmen untuk menangani “semua tahap krisis – sebelum, selama, dan setelah” – prinsip yang mencakup semua secara tersirat menyatakan bahwa NATO memiliki peran yang lebih besar untuk kerjasama dibidang keamanan. Ide ini merupakan inti dari “pendekatan komprehensif”. Ketidakstabilan geopolitik menuntut pemulihan kompleks yang menggabungkan kekuatan militer, diplomasi, dan stabilisasi pasca-konflik.
Oleh karena itu, NATO tidak hanya mengembangkan kemitraan keamanan dengan negara-negara di seluruh Mediterania, kawasan Teluk, dan bahkan kawasan Pasifik, tetapi juga menjangkau sesama organisasi internasional dan organisasi non-pemerintah yang memiliki mandat di bidang-bidang seperti pembangunan institusi, tata kelola, pembangunan, dan reformasi peradilan. Misalnya, kerja sama PBB-NATO selama krisis 2011 di Libya menunjukkan dialog dan koordinasi antar lembaga di bidang-bidang utama. Selama operasi, NATO juga melakukan kontak yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan Liga Arab, yang mana dukungan Liga Arab terhadap upaya internasional secara keseluruhan sangat penting dalam operasi di Libya.
Sejak didirikan pada tahun 1949, fleksibilitas dari NATO, yang terdapat dalam Perjanjian aslinya, telah memungkinkannya untuk bergerak secara fleksibel dari waktu ke waktu. Pada 1950-an, Aliansi ini adalah organisasi yang bersifat defensif. Pada 1960-an, NATO menjadi instrumen politik untuk relaksasi Perang Dingin. Pada 1990-an, NATOsebagai alat untuk melakukan stabilisasi Eropa Timur dan Asia Tengah melalui penggabungan Mitra dan penerimaan Sekutu baru.
Sekarang NATO memiliki misi baru: memperluas perdamaian melalui proyeksi strategis keamanan. Misi baru NATO di abad ke-21 ini bukanlah hanya sekedar sebuah pilihan tetapi karena kebutuhan. Kegagalan negara-bangsa dan kemunculan ekstremisme mungkin menjadi ancaman yang menentukan di paruh pertama abad ke-21. Oleh karena itu perlu adanya tanggapan internasional yang terkoordinasi dengan kuat yang dapat mengatasinya.
Daftar Bacaan
- North Atlantic Treaty Organization. 2012. “A short history of NATO”. NATO Public Diplomacy Division (2012): 1-8.
- Brian L. Davis. 1988. NATO Forces: An Illustrated Reference to their Organization and Insignia. London: Blandford Press.
- Morgenthau, Hans J. 2010. Politik Antar Bangsa. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.