Sejarah Partai Indonesia Raya (Parindra)
Parindra – Berdirinya Partai Indonesia Raya (Parindra) tidak terlepas dari sosok dr. Soetomo, dimana sebelum mendirikan Parindra beliau adalah seorang tokoh pendiri Budi Utomo. Pada akhir tahun 1935 di kota Solo, Jawa Tengah, Soetomo berusaha untuk menggabungkan antara PBI (Persatuan Bangsa Indonesia), PBI sendiri merupakan klub studi yang didirikan oleh Soetomo pada tahun 1930 di Surabaya, Jawa timur. Selain itu Soetomo juga menyatukannya dengan organisasi Serikat Celebes, Serikat Sumatera, Serikat Ambon, dan Budi Utomo. Maka dengan upaya Soetomo inilah lahir organisasi sebagai tanda berakhirnya fase kedaerahan ke dalam pergerakan kebangsaan menjadi Parindra (Partai Indonesia Raya).
Latar Belakang
Pada Bulan Agustus 1933 Soekarno yang telah keluar dari penjara dan menjadi pemimpin Partindo kembali ditangkap oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda. Kali ini tidak ada pemeriksaan pengadilan umum terhadap Soekarno, kemudia dia diasingkan ke Flores, tetapi pada tahun 1938 Soekarno dipindahkan ke Bengkulu dimana keadaannya lebih menyenangkan. Pada bulan Februari 1934 Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, dan pimpinan-pimpinan PNI-Baru lainnya ditangkap dan kemudian diasingkan di ke Boven Digul (pada tahun 1936 Hatta dan Sjahrir diindahkan ke Banda).
Dengan hilangnya pemimpin-pemimpin mereka dan semakin meningkatnya gangguan dari pihak kepolisian maka semakin melemah pulalah gerakan-gerakan nasionalis “sekuler”. Partindo, PNI-Baru dan gerakan-gerakan Islam yang anti penjajahan seperti Permi dan PSII. Dengan meninggalnya Cokroaminoto pada bulan Desember 1934 maka gerakan politik Islam kehilangan pemimpinnya yang pertama dan terkemuka, serta mulai mengalami fenomerna terpecah-pecah menjadi lebih banyak kelompok lagi.
Setelah tahun 1934 gerakan anti-kolonialisme radikal yang didasarkan pada asas non-kooperasi benar-benar padam, tetapi metode-metode yang bersifat kooperasi belum sepenuhnya tertutup. Latar belakang berdirinya Parindra atau Partai Indonesia Raya diawali pada bulan Desember 1935 di mana partai-partai moderat yang pada dasarnya bersifat Jawa sentris; Persatuan Bangsa Indonesia dan Budi Utomo, berfusi membentuk Parindra (Partai Indonesia Raya) dengan kantor pusat di Surabaya, yang bertujuan kemerdekaan.
Saat pembentukan Parindra ini, yang menjadi ketua terpilih pada kongres penggabungan organisasi Partai Indonesia Raya (Parindra) adalah Soetomo, Wuryaningrat sebagai wakilnya, M. H. Thamrin dan tokoh-tokoh lain turut bergabung. Parindra pada dasarnya merupakan organisasi kaum konservatif yang bersifat sekuler dan beberapa pemimpinnya mulai memandang keberhasilan yang telah dicapai oleh Jepang sebagai model dari pergerakan mereka.
Pada tahun 1937 Parindra telah mempunyai anggota lebih dari 4.600 orang dan pada akhir tahun 1939 sekitar 11.250 orang, sebagian besar di Jawa timur. Pada bulan mei 1941 Parindra menyatakan telah mempunyai anggota sekitar 19.500 orang. Dengan munculnya fasisme di Eropa dan Jepang, maka banyak pemimpin Indonesia yang condong ke kiri juga mulai merasa bahwa mereka harus bergabung dengan Belanda untuk melawan musuh yang sama, yaitu fasisme.
Perkembangan Parindra
Sikap perjuangan Parindra adalah bekerjasama dengan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda atau bersifat kooperatif. Program yang diterima oleh Parindra pada kongresnya di solo pada 24-25 Desember 1935. Isinya terdiri dari 7 pasal yang mana ini adalah bagian dari visi misi Parindra atau Partai Indonesia Raya:
- Tiap-tiap manusia mempunyai hak dan kewajiban atas kebahagiaan tanah airnya dan berjuang untuk kebahagiaan rakyatnya. Syarat yang terpenting untuk mencapai tujuan itu ialah kemakmuran rakyat. Karena itu Parindra akan bekerja untuk Indonesia mulia;
- Pembentukan Indonesia Raya harus dikerjakan sendiri oleh rakyatnya;
3. Parindra yakin, bahwa untuk mencapai kemuliaan Indonesia raya, bangsa Indonesia harus bersatu jiwa dan harus selalu mengutamakan persatuan, baik dalam lapangan politik maupun ekonomi; - Untuk menentukan syarat-syarat bagi kemakmuran, gerakan harus diorganisasi dan segala tenaga dari rakyat harus disatukan;
5. Parindra berpendapat, bahwa hak-hak politik dan syarat-syarat lain untuk kemuliaan negri tak diberi oleh kelas yang berkuasa atau lain pihak. Parindra yakin, bahwa mencapai Indonesia Raya hanya dapat dicapai oleh tenaga dan kegiatan rakyat. Oleh karena itu Parindra harus memperkuat tenaga rakyat dalam ikatan organisatoris dan berusaha memakai pengaruh gerakan rakyat;
6. Parindra tak berjuang di ranah keagamaan dan tak membedakan pendirian agama dari anggota-anggotanya;
7. Parindra menghargai kebudayaan, adat istiadat segala bangsa Indonesia dan memandang kebudayaan ini sebagai milik seluruh bangsa Indonesia, meskipun partai ini tidak berjuang di ranah kebudayaan.
Dalam anggaran dasar Parindra tertulis, bahwa yang menjadi tujuan Parindra yang utamanya adalah “Mencapai Indonesia Raya” dan sebagai usaha-usahanya adalah “memperkuat jiwa kesatuan, berusaha mendapat segala hak-hak politik dengan jalan pemerintahan rakyat atas dasar nasional dan demokrasi, perbaikan keadaan ekonomi dan sosial bangsa Indonesia”. Sebagai anggota yang aktif, dapatlah diterima bangsa Indonesia yang berumur mulai 18 tahun. Keputusan-keputusan dalam daerah-daerah dan kongres-kongres hanya diterima dengan suara terbanyak.
Berdasarkan hal itulah kiranya dapat terlihat usaha dari pihak burgerlijk-nasional untuk mencapai persatuan dan dengan demikian mendaat pengaruh dikalangan massa. Organisasi-organisasi yang menggabungkan diri pada konsentrasi ini adalah Partai Sarekat Celebes (sulawesi), Sarekat Sumatra, Kaum Betawi, Tirtojoso (intelektual-intelektual Banten) dan Timors Verbond (dengan sekolah-sekolah dan koperasi).

Konsentrasi yang meluas sampai beberapa bagian dari Indonesia dan sebagai pasal pertama dalam programnya jalan usaha mencapai Indonesia Raya dengan hak-hak politik sendiri. PNI (pada masa kepemimpinan Sjahrir menjadi Pendidikan Nasional Indonesia) yang mengkritik sifat Burgerlijk dari Parindra akhirnya menyanggupi juga kerja sama di beberapa lapangan. Beberapa anggota dari PNI-Baru ini justru memilih untuk masuk menjadi anggota.
Sebagian dari Indo Europees Verbond (IEV) juga sanggup kerja sama dengan mereka, dan yang lebih aneh lagi partai tionghoa dan orang-orang arab menyatakan simpatinya. Parindra bercita-cita akan mengadakan perbaikan sosial, ekonomi dan oto-aktivitas. Untuk itu didirikan organisasi-organisasi kecil misalnya, koperasi kredit, sekolah-sekolah diantaranya sekolah tenun, rumah yatim dan rumah miskin, organisasi pelaut Indonesia, tukang-tukang perahu, adviesbiro, dan sebagainya. Selain itu juga didirikan organisasi wanita dan pemuda, organisasi wanita umumnya menunjukkan sifat yang progresif, karena mereka melawan ikatan dari adat istiadat kolot.
Pengaruh Parindra semakin besar dan ia memperluas dasarnya ketika Soetomo datang dari perjalanannya dari Eropa dan Jepang. Pada Kongres Parindra yang diselenggarakan di Jakarta pada 15 dan 17 Mei 1937 dicantumkan usaha menuju Indonesia Mulia. Untuk keperluan itu rakyat harus dididik sosial dan ekonomis.
Diusahakan dibentuknya pemerintahan yang demokratis dengan badan perwakilan yang anggota-anggotanya dipilih, dan alat-alat pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan rakyat dibawah pimpinan bangsa Indonesia sendiri. Pendidikan nasional, hak mendapat perlindungan dalam pekerjaan dan sosial mulai dituntunkan, serta diusahakan tercapainya kedudukan yang sama antara penduduk Indonesia dengan hak dan kewajiban yang sama pula.
Dalam kongres Parindra tahun 1937 itu muncullah Koesoemo Oetojo yang dalam Volksraad termasuk wakil nasionalis kanan dan paling setia pada pemerintahan dan Thamrin, yang belakangan ini dalam kongres tersebut mengadakan pandangannya mengenai hak-hak tanah, dan dialah yang menggantikan kedudukan Soetomo sebagai pemimpin setelah ia wafat pada 1938.
Selama tahun 1934, Parindra melakukan propaganda sangat banyak. Diantara propaganda-propaganda yang dilakukan oleh Parindra ialah untuk memperbaiki perekonomian rakyat, Parindra membentuk organisasi rukun tani, membentuk sarikat-sarikat sekerja, menganjurkan swadesi ekonomi, dan mendirikan “Bank Nasional Indonesia”. Pada bulan juli 1938 Rukun Tani sudah mampu mengadakan konfrensi yang pertama di Lumajang. Konfrensi Rukun tani Parindra ini dimeriahkan juga dengan pasar malam yang mendapat perhatian dari segala lapisan masyarakat. Hadir dalam kofprensi tersebut anata lain gebernur Jawa Timur Van der Plas.
Di dalam sambutan Van der Plas, dia mengatakan simpatinya terhadap Rukun Tani. Di harapkan juga oleh Van der Plas agar supaya Rukun Tani menjauhkan dari soal-soal politik.harapan dari Van der Plas tersebut tentunya cukup didengar saja, sebab bagaimanapun juga Rukun Tani Parindra didirikan oleh kaum pergerakan nasional, jadi jelas sedikit banyak tentu berbau politik. Di dalam diri Parindra didirikan juga koperasi Tani yang disebut Loemboeng cooperatie (lumbung koperasi).
Pembentukan badan Kosentrasi Nasional (GAPI)
Pada Kongres kedua Parindra yang dilaksanakan di Bandung pada 24-27 Desember 1938, Kongres memilih K. R .M. Wuryaningrat untuk menjadi ketua Parindra . Hal ini dikarenakan Soetomo sebagai ketua Parindra telah meninggal dunia. Di dalam Kongres itu diambil keputusan-keputusan, antara lain: tidak menerima peranakan (Indo) menjadi anggota, berusaha keras mengurangi pengangguran, dan meningkatkan transmigrasi guna memperbaiki kesejahteraan. Sepak terjang Parindra setelah kongres kedua ini dilakukan dengan sangat begitu gencar.
Parindra menjadi pelopor pembentukan Fraksi Nasional, bahkan dengan kegagalan Petisi Soertarjo, Parindra mengambil inisiatif untuk menggalang persatuan politik, menuju pembentukan Badan Konsentrasi Nasional. Badan Konsentrasi Nasional itu terbentuk pada Mei 1939, yang disebut dengan Gabungan Politik Indonesia (GAPI).