Penelitian manusia purba di Indonesia diawali dengan penemuan beragam fosil manusia purba yang ditemukan secara bersamaan dengan fosil tumbuhan dan hewan. Namun, penelitian secara ilmiah tentang fosil manusia purba baru dimulai pada akhir abad ke-19. Hal itu berkaitan dengan menanggapi hasil penemuan dan hipotesis Charles Darwin dalam bukunya yang bertajuk The Origins of Species tentang evolusi makhluk hidup.
Penelitian Manusia Purba Di Indonesia
Penelitian manusia purba di Indonesia yang disebut juga dengan penelitian paleoantropologi di Indonesia dibagi menjadi tiga tahap;
(1) 1889-1909
(2) 1931-1941
(3) 1952-sekarang
Eugene Dubois: Awal Mula Penelitian Paleoantropologi di Indonesia (1889-1909)
Penelitian paleoantropologi di sini boleh dikatakan dimulai oleh Eugene Dubois. Eugene Dubois menduga bahwa kehidupan hominidae pastilah ditemukan di daerah tropis. Hal ini karena perubahan iklim sepanjang sejarah tidak banyak, dan di sini pulalah monyet serta kera masih banyak hidup. Sesudah berhasil datang ke Indonesia (dulu Hindia-Belanda), Eugene Dubois memulai penyelidikannya di gua-gua Sumatra Barat. Akan tetapi, penyelidikannya hanya berhasil menemukan tulang-tulang hewan dan manusia sub-resen.
Penelitian manusia purba di Indonesia di awali dengan penemuan tengkorak manusia di Wajak, Tulungagung, dan Kediri pada tahun 1889. Hal ini menyebabkan Dubois memindahkan kegiatan penelitiannya ke Pulau Jawa. Kegiatan penelitian Dubois berakhir dengan penemuan sisa hominidae di Kedung Berubus dan Trinil. Sejumlah besar fosil, yang terkenal sebagai koleksi Dubois sampai sekarang disimpan di Leiden. Temuan Dubois yang pertama diumumkan yaitu fosil atap tengkorak Pithecantrophus Erectus dari Trinil, yang ditemukan pada tahun 1891. Temuan ini sangat penting dalam sejarah paleoantropologi, dan mengguncangkan dunia ilmu hayat pada saat itu. Tulang-tulang paha yang ditemukan di Trinil sampai sekarang masih menimbulkan perbedaan pendapat.
Penyelidikan dan ekskavasi beregu yang dipimpin oleh Selenka di Trinil pada tahun 1907-1908 memang tidak berhasil menemukan fosil manusia, tetapi fosil-fosil hewan dan tumbuhan yang ditemukan menambah pengetahuan tentang lingkungan hidup dari Pithecanthropus erectus. Pada tahun 1926 Tjokrohandojo, yang bekerja di bawah pimpinan Duyfejs, menemukan sebuah fosil tengkorak kanak-kanak di Perning, sebelah utara Mojokerto. Ini juga merupakan penemuan yang penting karena di sini pertama kali ditemukan fosil tengkorak kanak-kanak dan di lapisan Plestosen Bawah.
Penelitian Tahap Kedua (1931-1941)
Penelitian manusia purba di Indonesia tahap kedua memberi hasil terbanyak dalam waktu yang relatif singkat. Tengkorak dan tulang kering dari Pithecantrophus Soloensis ditemukan di Ngandong, Blora. Penemuan ini berdasarkan ekskavasi yang dipimpin oleh Haar, Oppenoorth, dan Koenigswald antara tahun 1931-1933. Penemuan itu dapat dikatakan penting karena menghasilkan suatu seri tengkorak yang besar jumlahnya dalam masa yang pendek di satu tempat yang tidak luas.
Penelitian manusia purba di Indonesia selanjutnya berlangsung terutama di daerah Sangiran antara tahun 1936-1941. Dalam penelitian ini Ralph von Koenigswald menemukan insitu fosil-fosil rahang, gigi, dan tengkorak manusia purba, disamping banyak fosil-fosil hewan. Pentingnya temuan di Sangiran ialah karena penemuannya terjadi baik di lapisan Plestosen Tengah maupun Plestosen Bawah di satu tempat. Selain itu penemuan di Sangiran telah memperlihatkan variasi morfologis, yang menurut berbagai ahli berbeda pada tingkat rasial, spesies, maupun genus.
Varian-varian itu berasal dari satu masa. Beberapa fragmen rahang dan gigi yang ditemukan berukuran besar dan digolongkan oleh Koenigswald ke dalam jenis Megantrophus Palaeojavanicus. Semua temuan dari tahapan pertama tersimpan di Leiden (Belanda) dan sebagian temuan dari tahapan kedua tersimpan di Frankfurt (Jerman). Ketiga tahapan diselingi oleh terjadinya Perang Dunia II, yang mengendurkan semangat kegiatan penelitian Palaeoantropologi.
Penelitian Tahap Ketiga (1945-Sekarang)
Penelitian manusia purba di Indonesia tahap ketiga dimulai sesudah Indonesia merdeka sehingga semua temuan tersimpan di negeri tempat ditemukannya fosil-fosil itu. Sebagian besar temuan dari tahapan terakhir ini berasal dari Sangiran.
Pentingnya tahapan ini di dalam penelitian manusia purba di Indonesia adalah karena ditemukan bagian-bagian tubuh, wajah, dasar tengkorak, dan tulang pinggul. Beberapa temuan memperlihatkan variasi yang sangat menarik dan menyimpang dari apa yang sudah-sudah. Dalam tahapan ini juga ditemukan fosil tengkorak di tempat yang baru, yaitu daerah Sambungmacan, Sragen.
Sesuai dengan kemajuan dalam ilmu palaeoantropologi, pada masa ini mulai dilakukan pertanggalan radiometrik. Penelitian interdisipliner sebagai pendekatan dalam penelitian manusia purba di Indonesia mulai dilakukan sehingga berbagai aspek kehidupan hominidae dapat dideskripsikan, meskipun memerlukan waktu yang panjang. Untuk pertama kali dalam tahapan ini tenaga-tenaga peneliti Indonesia mulai bekerja.
Diharapkan publikasi-publikasi yang akan datang akan membantu di dalam memahami tubuh manusia purba secara keseluruhan, sikap tubuh, beserta fungsinya, cara hidup dan lingkungannya, alat-alat budaya dan perilaku sosialnya, masa hidup dan distribusinya, serta evolusi dan hubungannya dengan manusia purba di tempat-tempat lain di Kepulauan Nusantara, Asia dan dunia. Karena situs Plestosen tidak banyak terdapat di dunia, sumbangan Indonesia dalam usaha besar memahami evolusi makhluk hidup tidaklah dapat diabaikan.
Daftar Bacaan
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia I: Zaman Prasejarah di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.