Penemuan Alat Serpih di Indonesia
Alat Serpih di Indonesia – Di dalam konteks perkembangan alat-alat batu pada masa Plestosen di Indonesia dan daerah-daerah sekitarnya di Asia Tenggara, alat serpih atau yang biasa disebut dengan flakes sering ditemukan secara bersamaan dengan penemuan kapak perimbas atau alat batu lainnya. Di beberapa tempat, alat serpih merupakan unsur yang dominan dan terkadang alat ini merupakan unsur pokoknya. Di bawah ini adalah penjelasan tentang penemuan alat serpih di Indonesia. Penemuan alat serpih di Asia Tenggara yang terdapat di Kepulauan Filipina, Malaysia Timur dan Indonesia sudah terdapat teknik pengolahan batu yang telah diserpih antara 30.000-40.000 tahun yang lalu. Jadi, perkiraan pembuatan alat serpih di Indonesia sudah ada sejak 30.000-40.000 tahun yang lalu.

Alat serpih, atau yang biasa juga disebut alat serpih-bilah atau yang biasa disebut juga dengan sebutan flakes adalah perkakas batu yang berukuran kecil di mana alat ini digunakan untuk melakukan pekerjaan memotong benda hingga digunakan untuk berburu binatang. Alat serpih memiliki sisi yang tajam seperti pisau dan terlihat bergerigi di beberapa sisi. Di dalam artikel ini akan dijelaskan tentang penemuan alat serpih di Indonesia.
Fungsi Alat Serpih atau Kegunaan Alat Serpih
Sebagaimana bentuknya, alat serpih ini memiliki fungsi yang sama dengan pisau terutama adalah untuk memotong suatu benda yang berukuran kecil. Selain itu, Kegunaan alat serpih sebagai alat untuk menguliti binatang buruan, sebagai alat serut, gurdi, mengikis, mengeruk, menggores dan terkadang juga digunakan untuk menggali umbi-umbian yang ada di dalam tanah. Sehingga alat serpih juga dapat dikatakan sebagai pisau dari masa pra-aksara.
Fungsi alat serpih sendiri tentu berbeda di setiap pembabakan waktu. Semisal pada masa berburu dan meramu, alat serpih tentu digunakan untuk mendukung aktivitas berburu binatang seperti menusuk, menguliti, memotong daging binatang buruan atau pun dalam mendukung aktivitas meramu (mengumpulkan makanan) alat serpih dapat digunakan untuk memotong ranting dedaunan maupun untuk menggali umbi-umbian.
Ketika manusia memasuki masa food producing atau memproduksi makanan dengan melakukan aktivitas pertanian, tentu alat serpih digunakan untuk mendukung aktivitas pertanian. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa fungsi-fungsi dasar daripada alat serpih ini adalah untuk memotong atau lebih mudahnya fungsi yang memiliki persamaan dengan pisau di masa sekarang.
Proses Pembuatan Alat Serpih
Alat serpih dibuat dengan cara menghancurkan atau membelah sebuah batu menjadi serpihan-serpihan yang mana serpihan inilah yang akan digunakan sebagai alat dan dikenal sebagai alat serpih. Setelah dibelah atau telah dipilih serpihan-serpihan itu, alat serpih biasanya langsung digunakan layaknya sebuah pisau. Namun, terkadang pula alat serpih ini juga diolah terlebih dahulu agar nyaman untuk digunakan dan tidak melukai tangan saat memegangnya.
Tempat ditemukannya Alat Serpih di Indonesia
Di wilayah Kepulauan Indonesia, tempat penemuan alat serpih yang sangat penting adalah penemuan alat serpih di daerah Punung (sering disebut dengan Kebudayaan Pacitan) dan Ngandong (Jawa Timur), Sangiran dan Gombong (Jawa Tengah), Budaya Toalian (Sulawesi), Mengeruda (Flores), Sangadat dan Wilayah Gasi Liu (Timor) serta di daerah Lahat (Sumatra Selatan). Penemuan alat serpih di Indonesia pertama kali dilakukan oleh von Koenigswald pada tahun 1934.
Penemuan Alat Serpih di Sangiran
Alat-alat serpih dikumpulkan dari permukaan tanah di Desa Ngebung di mana juga bersamaan lokasinya dengan penemuan fauna Trinil. Alat serpih yang ditemukan di situs Sangiran pada umumnya berukuran kecil (2-4 cm) dan dibentuk melalui teknik sederhana. Alat serpih ini biasanya digunakan sebagai serut, gurdi (pelubang kayu), pisau dan penusuk. Bahan utamanya adalah batuan kalsedon berwarna kuning tembus cahaya dan cokelat serta jaspis merah.
Penemuan Alat Serpih di Ngandong
Lokasi penemuan alat serpih di Indonesia salah satunya terletak di situs Ngandong berada di sekitar daerah ditemukannya juga fosil Pithecantrophus soloensis di undak-undak Sungai Bengawan Solo pada ketinggian lebih kurang 20 m di atas permukaan sungai. Diperkirakan bahwa Pithecantrophus soloensis ini adalah manusia pendukung kebudayaan Ngandong.
Penemuan Alat Serpih di Cabbenge
Pada tahun 1947 ekskavasi yang dilakukan oleh van Heekeren berhasil menemukan alat serpih di Cabbenge. Alat serpih ini juga ditemukan bersamaan dengan sisa-sisa fosil hewan di undak-undak ketiga dan keempat sebelah timur Sungai Wallanae. Alat serpih pada dasarnya menunjukkan teknik pembuatan Clacton, berukuran kecil dan tebal. Jenis-jenisnya meliputi bentuk serut dan lancipan. Sejumlah bilah juga ditemukan, di antaranya terdapat bilah-bilah pendek. Beberapa alat serpih memiliki faset-faset pada dataran pukulnya. Terdapat pula beberapa alat tanpa kerucut pukul, yang dibuat dari pecahan batu yang hanya dipangkas pada pinggirannya, secara umum, alat serpih yang ditemukan di Cabbange mempunyai banyak persamaan dengan alat serpih yang ditemukan di Sangiran.
Penemuan Alat Serpih di Flores
Pada tahun 1957-1958 di Flores ditemukan alat serpih oleh Verhoeven tepatnya di daerah Wangka, Soa dan Maumere. Jumlah alat serpih yang ditemukan bersama alat-alat batu lain di tempat-tempat tersebut cukup banyak. Alat serpih yang ditemukan berbentuk membulat, meruncing, atau berisi cekung dan berguna sebagai serut, penusuk dan gurdi. Alat serpih ini berbentuk kecil dan sebagian berujung konveks. Sebagian alat serpih yang berukuran kecil di temukan di Matumenge dalam lapisan pasir dan abu yang mengandung pula fosil tulang-tulang hewan.Dari beberapa temuan arkeologis di Flores, yang terpenting terutama adalah di daerah Mengeruda dan Olabula. Dari masing-masing tempat ini telah diumpulkan sejumlah alat batu, terutama alat serpih dari permukaan lapisan tanah yang mengandung fosil-fosil Stegodon.
Pada tahun 1961, 1963, dan 1968 Verhoeven mengadakan sejumlah ekskavasi di daerah Mengeruda: berturut-turut di daerah Boalesa, Matumenge dan Lembahmenge, langsung dalam lapisan tanah yang mengandung fosil tulang. Daerah Mengeruda dan Olabula terletak di bagian barat Flores Tengah, di sebuah dataran tinggi yang disebut Dataran Soa, pada ketinggian lebih kurang 500 m di atas permukaan air laut. Beragam alat serpih yang di ditemukan dari Mengeruda, mempunyai berbagai macam bentuk. Jenis-jenis alat serpih menunjukkan variasi-variasi dari jenis-jenis pokok, yaitu serut, lancipan, dan gurdi. Alat-alat bilah meliputi jenis-jenis pisau dan serut. Ciri-ciri sepih-bilah sangat dekat dengan alat-alat Sangiran.
Penemuan Alat Serpih di Timor
Alat serpih yang pernah ditemukan di Pulau Timor ini dapat digolongkan sebagai alat masif, karena berukuran besar dan tebal. Seperti pada tipe-tipe semacam ini di Flores, kerucut pukulnya tampak jelas dan melebar. Flakes (Alat serpih) ini terutama ditemukan di daerah Atambua, di dataran Belu sebelah utara. Alat-alat serpih itu diduga berasal dari kala Plestosen mengingat keletakannya dalam lapisan kerikil Ainaro, yang ternyata mengandung fosil Stegodon.

Tradisi alat-alat serpih yang berkembang sejak periode Plestosen Tengah menghasilkan bentuk alat-alat sederhana. Selama masa Plestosen tradisi ini bergandengan dengan tradisi kapak perimbas sebagai unsur yang dominan, atau pula tradisi ini berdiri sendiri. Bergantung pada tradisi alat serpih-bilah menjadi sangat penting dan jika mengamati tipe alat-alatnya merupakan jenis perkakas utama dalam menunjang kehidupan sehari-hari. Bermacam-macam bentuk mulai diciptakan melalui teknik pembuatan yang lebih maju. Peranannya terutama tampak dalam kehidupan di gua-gua dan pada waktu batuan obsidian mulai digunakan sebagai bahan pembuatan alat-alat. Itulah deskripsi tentang penemuan alat serpih di Indonesia.
Daftar Bacaan
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia I: Zaman Prasejarah di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.