Pertempuran Lima Hari Semarang

Sejarah Pertempuran Lima Hari Semarang

Pertempuran Lima Hari Semarang – Pertempuran Lima Hari Semarang adalah salah satu bentuk respon rakyat Semarang terhadap proklamasi kemerdekaan Indonesia. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, banyak daerah yang memberi sambutan terhadap peristiwa ini, berita proklamasi tersebar dengan cepat melalui surat kabar-surat kabar dan radio.

Di Pulau Jawa berita proklamasi kemerdekaan Indonesia ini langsung tersebar luas. Salah satunya di kota Semarang, berita proklamasi di Semarang diterima tanggal 17 Agustus 1945 melalui kantor berita Domei. Semua orang menyambut gembira dengan menyanyikan lagu Indonesia raya, mengibarkan bendera merah putih dan mengucapkan salam nasional “Merdeka!”. Di kota Semarang diadakan rapat raksasa membicarakan pemindahan kekuasaan ke tangan Republik Indonesia. Rapat ini diikuti dengan pawai di jalan Pandanaran, Karangturi, Purwodinata, pasar Johar, alun-alun, Jalan Bojong hingga gedung Kempeitai.

Proklamasi kemerdekaan Indonesia tidaklah semudah itu saja, dari pihak Belanda yang ingin menegakkan kembali kekuasaannya atau bentrokan dengan pihak Jepang. Berbagai peristiwa perlawanan muncul di berbagai daerah seperti di Surabaya, Medan, Bandung dll. Di Jawa Tengah juga terjadi perlawanan terhadap pihak asing seperti pertempuran Ambarawa, peristiwa Tiga Daerah, Pertempuran Lima Hari Semarang. 

Latar Belakang Pertempuran

Pertempuran Lima Hari Semarang terjadi pada tanggal 14-19 Oktober 1945 ini merupakan salah satu peristiwa revolusi sebagai upaya bangsa Indonesia melawan hal-hal yang akan menghalangi kemerdekaan Indonesia. Pertempuran Lima Hari Semarang ini merupakan pertempuran pihak Indonesia melawan Jepang. 

Setelah kemerdekaan, karena tentara Sekutu belum datang ke Indonesia, Jepang dimandatkan untuk menjaga keamanan tawanan perang sekutu dan menyerahkan Indonesia dalam keadaan dibekukan secara politik kepada sekutu. Sebab-sebab dan meletusnya pertempuran Lima Hari Semarang:

Pelucutan Senjata

Salah satu persoalan utama dalam pertempuran Lima Hari Semarang ini adalah pelucutan senjata. Makna senjata bagi orang Jepang yang pertama adalah alat untuk melaksanakan perintah sekutu untuk menjaga keamanan dan mengawal tawanan perang sekutu. Apabila mereka tidak melaksanakan perintah sekutu, hal ini menyebabkan terhalangnya pemulangan mereka ke Jepang. Dan yang kedua, bagi Jepang senjata juga merupakan benda suci, lambang loyalitas yang telah dipercayakan oleh Kaisar. Sedangkan bagi pihak Indonesia, senjata adalah lambang dari pemindahan kekuasaan dan lambang untuk mempertahankan kemerdekaan. Salah satu tujuan utama mereka memperoleh senjata dari Jepang sebelum Belanda mendarat agar tidak dijajah kembali oleh pihak asing.

Peristiwa pelucutan senjata ini dilakukan pada tanggal 4 Oktober 1945 yang sebelumnya telah dirundingkan oleh pihak Jepang diwakili oleh Mayor Jenderal Nakamura dan Mayor Kido sedangkan dari Semarang diwakili oleh Gubernur Wongsonegoro. Hasil perundingan yaitu Jepang akan memberikan senjatanya kepada pihak Indonesia tetapi  kemudian pihak Jepang tidak memberikan seluruh senjatanya, hanya senjata tentara PETA yang sempat mereka lucuti, diserahkan kembali kepada pihak Indonesia. Pemerintah Jepang menolak memberikan senjata lebih banyak lagi. Sebab ini berkaitan dengan tugas mereka dalam menjalankan perintah sekutu.

Pertemuan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI)

Pada tanggal 13 Oktober 1945 diadakanlah pertemuan Angkatan Muda Republik Indonesia, dalam pertemuan ini mereka membahas mengenai penolakan Mayor Kido memberikan senjata. Penolakan ini yang membuat mereka marah dan bertekad melakukan penahanan terhadap orang Jepang dan Belanda.. Bagi penduduk Semarang, usaha Jepang mempertahankan status quo seolah-olah membantu sekutu, terutama Belanda yang berusaha menduduki kembali Indonesia. Rasa anti terhadap Belanda dan Jepang semakin kuat.

Menurut catatan Jepang, bahwa sebuah konferensi Angkatan Muda Republik Indonesia atau pertemuan AMRI ini telah memutuskan untuk mengadakan tiga tingkat tindakan terhadap Jepang yang terdiri dari; 

  1. Merampas seluruh senjata yang dipegang tentara Jepang;
  2. Merampas semua hak milik resmi dan pribadi yang dimiliki tentara Jepang serta
  3. Menangkap, menahan dan membunuh semua orang Jepang.

Ibnu Parna dan S. Karna selaku pemimpin golongan muda yang juga bergerak aktif dalam gerakan bawah tanah menentang pemerintahan militerisme Jepang menekankan pentingnya melucuti senjata tentara Jepang sebelum sekutu dan tiba di Semarang. Maka pecahlah peristiwa penangkapan dan penahanan terhadap orang Jepang dan Belanda.

Penangkapan terhadap orang-orang Jepang oleh para pemuda

Penganiayaan dan pembunuhan pun terjadi atas motif balas dendam terhadap tentara Jepang. Salah satu pembunuhan yang terjadi adalah peristiwa di penjara Bulu pada tanggal 14 Oktober 1945. Bagi Jepang peristiwa ini merupakan peristiwa pembunuhan massal terhadap orang-orang Jepang secara kejam. Sedangkan bagi pihak Indonesia, peristiwa ini merupakan tindakan heroik guna mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Menurut catatan Jepang, peristiwa Bulu ini merupakan hasil dari pertemuan AMRI sebelumnya. Setelah mengetahui adanya peristiwa Bulu ini, situasi memanas sementara Mayor Kido dan pasukan Jepang semakin membabi buta, hal ini nampak dengan tindakan tentara Jepang yang membunuh setiap pemuda yang ditemuinya.

Pemberontakan orang Jepang dari Cepiring

Orang-orang Jepang dari Cepiring ini melakukan pemberontakan dan melarikan diri bergabung dengan pasukan Kido Butai. Ada berbagai pendapat yang menyatakan alasan mereka kabur. Mr. Wongsonegoro berpendapat bahwa mereka berontak karena tidak diberi makan yang cukup, Tanaka berpendapat bahwa mereka dianiyaya dan mendengar kabar bahwa orang-orang Jepang disiksa dan dibunuh para Pemuda seperti yang terjadi di Benteng Pendem, Semarang Barat. 

Pendapat yang sinkron dan mendekati kebenaran yaitu sumber-sumber menyatakan bahwa penganiayaan dan pembunuhan terhadap orang Jepang inilah yang menyebabkan pemberontakan orang Jepang dari Cepiring. Pada tanggal 14 Oktober 1945 Mayor Kido menerima kabar bahwa seluruh angkatan bersenjata pertahanan pusat dibawah komando Jenderal Nakamura dilucuti oleh orang Indonesia dan Jenderal Nakamura ditahan membuat Mayor Kido semakin membabi buta.

Terbunuhnya dr. Kariadi

Pada tanggal 14 Oktober 1945 sore hari, dr. Kariadi pergi ke Candi Baru untuk memeriksa sumber air di candi baru karena tersiar kabar bahwa Jepang telah meracuni sumber air tersebut. Di tengah jalan mobil yang ditumpangi dr. Kariadi dicegat oleh tentara Jepang yang menembaki mobilnya hingga dr. Kariadi tewas. Peristiwa terbunuhnya dr. Kariadi menjadi salah satu penyulut kemarahan orang Indonesia karena dr. Kariadi adalah orang yang amat penting saat itu, ia menjabat sebagai kepala rumah sakit Purusara.

Sebab-sebab diataspun semakin menyebabkan memanasnya hubungan Jepang dan Indonesia. Hal ini membuat semakin berkobarnya pertempuran dan balas membalas antara pihak Jepang dan Indonesia.

Jalannya Pertempuran Lima Hari Semarang

Pertempuran diawali dari pergerakan Kido Butai dari markasnya di Jatingaleh masuk ke kota Semarang. Dalam pertempuran ini, tergabunglah kesatuan Mayor Yagi dari Irian Barat yang sebelumnya hendak berangkat dari Irian Jaya ke Jakarta, tetapi mengalami masalah logistik ditengah jalan sehingga bergabung dengan Mayor Kido di Semarang. Mayor Kido memerintahkan kesatuan Mayor Yagi sebesar 3 kompi, sebagai sayap kiri bergerak dari Jatingaleh menuju jalan Bojong lewat Candibaru. Sayap kanan bergerak ke Jombang dengan sasaran penjara mlaten, Grand Theater dan kantor polisi di Pandean.

pertempuran lima hari semarang
Pertempuran Lima Hari Semarang

Pasukan Jepang berhasil merebut gedung-gedung penting di kota Semarang seperti gedung Jawatan Kereta Api, gedung gubernuran, kantor PLN, gedung Balaikota, Hotel Du Pavillon, markas BKR, penjara Mlaten dan Grand Theater. Lokasi pertempuran adalah di jalan Pandanaran, Simpang Lima, jalan Bojong (jalan Pemuda), sekitar Pasar Johar terutama meletus di Hotel Du Pavillon. Di tempat-tempat ini terjadi baku tembak, karena keadaan yang terjepit, para pemuda melakukan hambatan ringan berupa tembakan lalu menghilang. Pemuda-pemuda ini banyak yang lari memasuki perkampungan sehingga Jepang merazia kampung-kampung di Semarang, bila menemui ada pemuda disebuah rumah Jepang akan langsung menembaknya.

Mayor Kido juga menahan Mr. Wongsonegoro karena para pemuda telah menahan Jenderal Nakamura. Bantuan-bantuan dari luar kota pun berdatangan seperti Solo, Purwodadi, Magelang, Yogyakarta, Salatiga, Ambarawa, Banyumas.

Akhir Pertempuran

Berakhirnya Pertempuran Lima Hari Semarang diawali dengan dikirimnya misi perdamaian oleh pemerintah Republik Indonesia yang dipimpin oleh Mr. Sartono dan Mr. Kasman Singodimedjo yang mewakili pihak Indonesia sedangkan pihak Jepang diwakili oleh Letnan Kolonel Nomura. Jenderal Nakamura dan R.P. Soedarsono mengirim surat berupa seruan gencatan senjata. Sementara di Semarang, Mayor Kido membebaskan Mr. Wongsonegoro kemudian diadakan perundingan diantara keduanya, akhirnya pada tanggal 17 Oktober 1945 pukl 14.00 tercapai persetujuan gencatan senjata. Melalui pemancar radio, Mr. Wongsonegoro memerintahkan para pemuda untuk menghentikan pertempuran.

Pada tanggal 20 Oktober 1945 pasukan sekutu mendarat di kota Semarang, pasukan Jepang digiring oleh tentara sekutu sebagai tawanan perang. Dengan begitu, berakhirlah pertempuran Lima Hari di Semarang.

error: Content is protected !!