Sejarah Sebagai Humaniora

Sejarah Sebagai Humaniora – Pada perkembangan awalnya, sejarah dimasukkan ke dalam humaniora (humanities) atau ilmu tentang kemanusiaan. Di dalam perkembangan selanjutnya, sejarah kemudian dianggap sebagai salah satu dari cabang ilmu sosial. Sebagai humaniora, sejarah dilihat sebagai res gestae (past events), peristiwa-peristiwa di masa lalu dan historia rerum gestarum (narrative about past events) narasi tentang peristiwa-peristiwa di masa lalu. Sedangkan di sisi lain, sejarah juga dianggap ke dalam kelompok ilmu sosial (social sciences). Meskipun begitu, keduanya (humaniora maupun ilmu sosial) menempatkan manusia sebagai objek kajiannya. Di dalam artikel ini akan dijelaskan tentang sejarah sebagai humaniora.

Pengertian Humaniora

Sebelum memahami mengapa sejarah dianggap sebagai ilmu humaniora, ada perlunya diketahui apa yang dimaksud dengan humaniora itu. Sebenarnya belum ada definisi yang tegas mengenai apa yang dimaksud dengan humaniora atau ilmu kemanusiaan itu. Ralph Barton Perry yang mengutip Webster’s New International Dictionary menyebutkan bahwa ilmu-ilmu kemanusiaan itu adalah cabang-cabang dari pengetahuan “santun” (polite learning) seperti bahasa-bahasa Yunani dan Latin (klasik kuno), sastra (belles-lettres), bahkan pengetahuan sekuler sebagai lawan dari pengetahuan teologi.

sejarah sebagai humaniora

Begitu pula apa yang dikutip Perry dari kamus Education and Instructions menyebutkan bahwa ilmu-ilmu kemanusiaan itu terdiri dari cabang-cabang kajian tertentu yang mempunyai kecenderungan untuk “memanusiakan” (humanize) manusia sebagai lawan dari ilmu-ilmu fisika yang memiliki kecenderungan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan intelektual manusia. Kamus yang sama juga menyebutkan bahwa ilmu-ilmu kemanusiaan itu termasuk dalam “pendidikan liberal” (liberal education) sebagai lawan dari “pendidikan praktis” (practical education).

Ilmu-Ilmu Humaniora

Pada dasarnya ilmu-ilmu kemanusiaan mempelajari sejarah dari apa yang telah dibuat, atau dipikirkan, atau diharapkan, atau bahkan kegagalan manusia melalui penelitian objek-objek yang dibentuk oleh pengalaman dan imajinasi manusia. Pokok-pokok kajian humaniora ialah filsafat, interpretasi tentang sastra dan sejarah, kritik dan seni, musik, dan teater yang semuanya membahas tentang batas-batas, kedalaman-kedalaman, dan kapasitas-kapasitas dari semangat manusia.

Humaniora Dalam Pendidikan

Sejarah dari ilmu-ilmu kemanusiaan erat sekali hubungannya dengan pendidikan, bahkan dipergunakan untuk kepentingan pendidikan. Konsepsi klasik tentang humaniora berasal dari tradisi Hellenistik paidagogia (training) yang diperlukan bagi pendidikan umum untuk mengembangkan pribadi seseorang agar tumbuh harmonis dan seimbang. Kemudian orang-orang Romawi melanjutkan pengertian paidagogia ini untuk konsepsi mereka tentang pendidikan karena berdasarkan gagasan Yunani pendidikan merupakan kepedulian keluarga dan masyarakat.

Sejarah humaniora berasal dari retorik Socrates, seorang juru pidato dan guru pidato bangsa Yunani. Oleh orang-orang Romawi, konsepsi retorik Socrates ini dimasukkan dalam Artes liberales atau pendidikan liberal sebagai suatu seni diskusi yang sesuai untuk membahas tentang pemerintahan dan etika. Jika ahli filsafat Yunani, Plato tidak begitu percaya kepada peranan bahasa dan memandang metafisika sebagai bentuk akal manusia yang lebih tinggi dari pada seni berargumentasi, maka Socrates justru menandai bahasa sebagai esensi kemanusiaan yang mampu mengekspresikan hubungan-hubungan sehingga dapat memberikan aturan dan arti bagi pengalaman manusia.

Baca Juga  Masalah Objektivitas dan Subjektivitas Sejarah

Perkembangan selanjutnya dari humaniora di Eropa terjadi pada Abad Pertengahan. Pengetahuan ketika itu dibagi atas dua kelompok; pertama, quadrivium yaitu arithmatika (ilmu berhitung), geometrika, astronomi, dan musik, dan kedua trivium yaitu gramatika (tata bahasa), dialektika, dan retorika yang dikenal juga dengan artes liberales.

Di dalam perkembangannya kemudian yang termasuk ke dalam humaniora adalah bahasa (termasuk sastra dan komposisi atau retorik), filsafat, musik, seni-seni visual, sejarah. (termasuk sastra dan komposisi atau retorik), filsafat, musik, seni-seni visual, dan sejarah. Semuanya ini dipisahkan dengan matematika, sains atau ilmu-ilmu alamiah serta ilmu-ilmu sosial yang baru berkembang kemudian.

Penekanan Humaniora

Keunikan Manusia Dalam Alam

Manusia sendiri melalui intelegensinya mampu mengontrol perkembangan fisik dan mental; juga menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar tentang eksistensi, menemukan pola-pola dasar dari kehidupan, menikmati suatu pelepasan kreatif dari emosi-emosi.

Pencarian Manusia Akan Nilai-Nilai (Values)

Di dalam pencarian ini manusia menggunakan daya-daya kreatifnya. Salah satu nilai terpenting yang ditekankan oleh humaniora adalah individualitas. Konsep ini acap kali di bangun ke dalam struktur dari suatu program humaniora dan mengajarkan siswa-siswa akan pentingnya perbedaan-perbedaan manusia disamping persamaan-persamaan.

Konsekuensinya proyek-proyek kreatif acapkali membentuk suatu bagian yang penting dalam program-program ilmu kemanusiaan. Setiap siswa menyatakan dirinya (ekspresi) dengan menggubah musik atau mengarang sastra, dengan membuat patung dan melukis, dengan menghasilkan fotografi-fotografi seni, atau dengan membaca karya-karya sejarah atau belajar menulis sejarah, paling sedikit adalah yang menulis sejarah dengan membuat laporan-laporan.

Pendekatan Humaniora

Mengenai alasan (rationale) dilakukan pendekatan humaniora dalam pendidikan di sekolah-sekolah berpangkal pada kebutuhan-kebutuhan hidup modern yang mutakhir dari masyarakat yang sudah sangat industrialis. Di dalam masyarakat ini, ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan penghasilan material manusia per kapita. Produksi, distribusi, dan konsumsi barang-barang telah mencapai suatu ketinggian puncak. Masyarakat modern adalah pemakai-pemakai (konsumer) produk yang tidak banyak bertanya, tetapi pada waktu yang sama sebagai anggota masyarakat ia dapat menjadi seorang pemberontak terhadap kemapanan nilai-nilai keluarganya, sekolah, lingkungan hidup dan keagamaannya.

Di dalam peranannya sebagai konsumer ia dapat digalakkan dan dipengaruhi oleh iklan, tekanan dari kelompok-kelompok setingkatnya, serta cara-cara bertingkah laku yang harus disesuaikan dengan standar-standar keluarga dan selera-selera populer di sekitarnya. Tetapi dalam peranannya sebagai pemberontak, personalitasnya yang menonjol mendesaknya untuk bertindak, merasa, berpikir, dan percaya kepada visi pribadinya tentang dunia.

Karena keadaan ambivalensi terhadap masyarakat ini, para peserta didik acapkali menolak tujuan-tujuan dan isi dari mata pelajaran-mata pelajaran yang diberikan. Mereka memerlukan suatu pengetahuan tradisional yang relevan sebagai tambahan terhadap pengetahuan “know-how” (ilmu-ilmu non-humaniora) yang diberikan setiap hari sebagai tuntutan untuk dapat hidup layak dalam suatu masyarakat industri. Demikianlah alasan utama dan sederthana dari humaniora ialah bahwa humaniora dapat mengisi kebutuhan pengetahuan tradisional dan mengingatkan mereka bahwa dalam zaman mesinpun, mereka adalah tetap manusia.

Enam Dasar Fundamental Yang Perlu Diperjuangkan Oleh Manusia

Sebagai alasan tambahan kepada pendekatan ilmu-ilmu kemanusiaan berasal dari kebutuhan untuk mendidik orang-orang untuk hidup dalam masyarakat demokratis. Earl C. Kelley menyebutkan terdapat enam dasar fundamental yang perlu diperjuangkan oleh manusia diantaranya adalah (1) manusia memerlukan orang lain; (2) manusia memerlukan komunikasi antara yang muda dan yang tua; (3) manusia juga harus menikmati hubungan kasih sayang (cinta kasih) dengan sesama; (4) setiap orang memerlukan suatu konsep kerja tentang jati diri (self); (5) untuk mengembangkan seluruh potensinya, maka setiap manusia memerlukan kemerdekaan; dan (6) setiap individu patut mendapat kesempatan untuk berkreasi. Di bawah ini akan dijelaskan secara singkat tentang enam dasar fundamental tersebut;

Baca Juga  Interpretasi Sejarah

Manusia Memerlukan Orang Lain

Manusia sendiri, melalui intelegensianya, mampu mengontrol perkembangan fisik dan mental; juga menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar tentang eksistensi, menemukan pola-pola dasar dari kehidupan, menikmati suatu pelepasan kreatif dari emosi-emosi.

Manusia Memerlukan Komunikasi Antara Yang Muda Dan Yang Tua

Komunikasi itu tidak sekedar cukup dengan perbuatan orang dewasa mentransmisikan informasi kepada yang muda tetapi juga mencakup pengertian penerimaan informasi itu oleh yang muda. Hubungan timbal balik ini adalah penting.

Manusia Juga Harus Menikmati Hubungan Kasih Sayang (Cinta Kasih) Dengan Sesama

Cinta, penghormatan yang tertinggi seorang individu kepada yang lain, adalah lawan dari paksaan. Cinta kasih adalah prinsip kerja terkuat dalam pendidikan.

Setiap Orang Memerlukan Suatu Konsep Kerja Tentang Jati Diri (Self)

Hanya kalau seseorang dapat berpikir baik tentang dirinya, ia dapat bekerja efektif di sekolah atau di dunia pada umumnya.

Untuk Mengembangkan Seluruh Potensinya, Maka Setiap Manusia Memerlukan Kemerdekaan

Kemerdekaan tidak dapat disalahartikan sebagai izin berbuat (lisensi) sesuka hati atau pemilikan hak-hak istimewa (privelese). Kemerdekaan adalah suatu kebutuhan bagi suatu bangsa di mana manusia hidup berdekatan satu sama lain.

Setiap Individu Patut Mendapat Kesempatan Untuk Berkreasi

Kreativitas tidak selalu berarti membuat barang-barang (objek-objek) bagus dalam seni keindahan, tatapi juga tercakup pengertian penemuan (invention) cara-cara baru untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan manusia.

Jika alasan-alasan (rationale) dari pendekatan humaniora dalam pendidikan ini dapat dinyatakan sebagai kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, maka tujuan-tujuan yang ingin dicapai (goals) dari humaniora ilah hasil-hasil tingkah laku (behavior) dan sikap-sikap (atitudes) apa diharapkan dari para siswa yang telah menggunakan sebagian waktunya untuk mengikuti program ilmu-ilmu kemanusiaan.

Tujuan-tujuan humaniora membantu anak-anak muda menyadari potensi dalam hidupnya adalah penting. Adapun mata pelajaran humaniora yang efektif mencoba mencapai tujuan-tujuan ini:

  1. Menyimpulkan bahwa ia manusia dan karena itu ia penting. Ia harus melihat bahwa dalam semua sifat (nature), ia unik karena akalnya (intelegensinya). Tanpa menghiraukan persamaan-persamaan rasial atau bahkan kekeluargaan, siswa harus menyadari individualitas atas dasar kemauannya, tujuan-tujuan dalam hidupnya, dan kemampuannya untuk mencapai sesuatu.
  2. Mengenal bahwa ia adalah bagian dari masyarakat dan harus mencari tempatnya dalam sistem yang berlaku; mengubah apa yang dapat dilakukannya dan menyesuaikan diri dengan apa yang tidak dapat dirubahnya. Pada waktu sastra dan hiburan populer terus-menerus menonjolkan tema keterasingan (alienation) dan ketercabutan dari akar-akarnya siswa harus mencari pada masa lalu yaitu sejarah untuk melihat dari mana ia berasal dan harus mengaitkan kemajuan ini dengan posisinya sekarang.
  3. Menunjukkan bahwa ia kreatif, bukan saja dalam menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari tetapi juga dalam mengalami atau membuat sesuatu yang belum ada sebelumnya dalam musik, seni plastis atau dalam sastra. Pengalaman terutama dalam seni, adalah kualitas yang diketahui melalui kesadaran individual; suatu bukti yang seringkali lebih kuat dari pada kebenaran-kebenaran yang dialami secara kognitif dalam sains dan matematika.
  4. Menimbang bahwa semua pengetahuan berhubungan satu sama lain. Kompartementalisasi pendidikan harus dipertanyakan sehubungan dengan pembagian dalam ilmu-ilmu pengetahuan.
  5. Harus menemukan dirinya sendiri dengan pertanyaan-pertanyaan besar bersifat filosofis seperti: “siapa saya ini?” “Apa artinya hidup ini?” “Ke mana tujuan hidup saya?” “Apa tanggung jawab saya kepada diri saya sendiri dan kepada masyarakat?” Tujuan-tujuan sebelumnya di atas yang menekankan suatu kesatuan visi tentang kehidupan dapat tercakup dalam jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.
  6. Mengidentifikasi kebutuhan akan nilai-nilai dalam suatu masyarakat bebas (a free society). Dapat dikatakan bahwa suatu nilai adalah suatu sikap yang permanen, suatu standar untuk membuat pilihan-pilihan yang menyangkut seorang individu, komunitasnya, dan bangsanya. Jadi suatu perasaan (sense) apa yang penting sebagai suatu pedoman untuk perbuatan sehari-hari adalah hasil yang paling signifikan dalam ilmu-ilmu kemanusiaan.
Baca Juga  Heuristik Di Dalam Penelitian Sejarah

Fungsi Sejarah Dalam Humaniora

Seringkali sejarah disebut sebagai “seni dan ilmu” (art and science). Sebagai “seni” sejarah termasuk humaniora, sedangkan sebagai “ilmu” sejarah termasuk salah satu dari ilmu-ilmu sosial. Sejarah sebagai “seni” memerlukan suatu penjelasan khusus, lebih dari apa yang sudah dijelaskan dengan gamblang mengenai humaniora yang pada umumnya sejarah merupakan salah satu dari komponen ilmunya.

Objek kajian sejarah adalah manusia. Sejarah adalah hasil rekonstruksi sejarawan mengenai pengalaman masa lampau manusia berdasarkan atas sumber-sumber tercatat (tertulis, lisan, karya-karya seni), atau relik-relik. Pengumpulan sumber-sumber (heuristik), kritik-kritik terhadap sumber-sumber itu (kritik intern dan ekstern) adalah merupakan kegiatan-kegiatan ilmiah (scientific).

Dalam dua kegiatan yang berikutnya yaitu penafsiran dan penulisan sejarah itu sendiri yang disebut juga historiografi, sejarawan harus menggunakan bahasa, retorika. Pemerian (deskripsi) tentang peristiwa-peristiwa, tentang pelaku-pelaku sejarah (historical actors) semuanya menggunakan media bahasa sehingga menghasilkan suatu narasi sejarah yang menarik dan bermakna.

Penggunaan retorika membuat sejarah erat sekali hubungan dengan sastra sehingga sejarah erat sekali hubungan dengan sastra sehingga sejarah dianggap sebagai suatu “seni” dan karena itu termasuk ke dalam humaniora atau artes liberales. Hanya berbeda dengan seni sastra murni yang merupakan produk dari fantasi pengarang, sejarah bukanlah hasil rekaan fantasi fiktif sejarawan melainkan merupakan produk rekonstruksi sejarawan atas dasar sumber-sumber sejarah yang memang ada. Memang, di dalam menyusun rekonstruksi sejarah itu, sejarawan menggunakan imajinasinya.

Sejarah Sebagai Humaniora

Kegunaan praktis sejarah sebagai humaniora dalam pendidikan tidak saja mempunyai arti besar bagi pengembangan identitas pribadi para individu-individu, tetapi juga bagi kesadaran identitias suatu bangsa secara keseluruhan. Bangsa-bangsa Afrika yang lama dijajah oleh bangsa-bangsa Barat, misalnya, menggunakan sejarah sebagai instrumen untuk membangkitkan identitas nasional dan kebanggaan kepada kebudayaan Afrika.

Sejarah Indonesia dengan sendirinya mengajarkan tentang perjalanan panjang dan sulit suatu bangsa yang semula berasal dari ratusan kelompok etnis dan kebudayaan yang terpecah-pecah yang akhirnya menuju kepada suatu integrasi nasional menjadi suatu bangsa yang satu, yang mempunyai cita-cita kemajuan, kebudayaan, dan kemanusiaan yang sama dalam menyambut masa depan.

Daftar Bacaan

  • Deighton, Lee C (ed). The Encyclopedia of Education (vol. 4). The Macmillan Company. The Free Press.
  • Gee, Wilson. 1950. Social Science Research Methods. New York: Aplleton-Century-Crofts, Inc.
  • Grumet, M. R. 1985. “Humanities Education” in The International Encyclopaedia of Education. Research and Studies (IV). Oxford: Pergamon Press: 141-158.
  • Marwick, Arthur. 1973. The Nature History. London and Basingstoke: The Macmillan Ltd.
  • Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
  • Topolski, Jerzy. 1976. Methodology of History (terj.). Olgierd Wojtasiewicz. Dodrecht/Boston: Reidel Publishing Company.

Beri Dukungan

Beri dukungan untuk website ini karena segala bentuk dukungan akan sangat berharga buat website ini untuk semakin berkembang. Bagi Anda yang ingin memberikan dukungan dapat mengklik salah satu logo di bawah ini:

error: Content is protected !!

Eksplorasi konten lain dari Abhiseva.id

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca