Sejarah Singkat Budi Utomo
Budi Utomo – Untuk memahami kebangkitan nasionalisme Indonesia, maka sebagian besar pandangan tertuju pada organisasi Budi Utomo yang lahir pada 20 Mei 1908. Sebermula Budi Utomo lahir atas upaya dr. Wahidin Soedirohoesodo dalam menghimpun beasiswa bagi kalangan priyayi pribumi dalam bentuk “dana belajar” atau studie fond. Dalam mewujudkan keinginannya dr. Wahidin Soedirohoesodo melakukan kampanye ke beberapa wilayah di Jawa sepanjang tahun 1906-1907.
Kampanye yang dilakukan oleh dr. Wahidin Soedirohoesodo juga diketahui oleh para pelajar di STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen). Sutomo sebagai seorang pelajar di STOVIA berusaha untuk memperluas jangkauan cita-cita dr. Wahidin Soedirohoesodo yang pada awalnya ingin mendirikan “dana belajar” menjadi sebuah organisasi sosial, pendidikan dan kebudayaan.
Budi Utomo di dalam perkembangannya sebagian besar dipusatkan pada bidang sosial, pendidikan dan kebudayaan. Meskipun pada akhirnya Budi Utomo pun juga bergerak di bidang politik. Budi Utomo pun juga dianggap sebagai organisasi pertama yang menginisiasi lahirnya pergerakan nasional di Indonesia dan sebagai pelopor bangkitnya nasionalisme Indonesia. Berikut ini adalah penjelasan tentang sejarah singkat Budi Utomo.
Latar Belakang Munculnya Kebangkitan Nasional
Di dalam tradisi Hindu-Jawa, raja dipandang sebagai penguasa alam semesta; dunia berputar di sekeliling takhta kerajaannya. Sama halnya dengan yang terjadi dengan Kerajaan Mataram Islam. Dalam pertengahan abad ke-17 ada usaha yang gagal oleh Raja Amangkurat I untuk menundukkan kepala-kepala daerah inti di bawah takhta pusat, kesatuan kerajaan selalu dalam kondisi yang rawan. Dalam struktur sosial, masyarakat Jawa memahami terdapat dua tingkatan di dalam masyarakat; priyayi dan rakyat. Kalangan priyayi ini berada pada posisi teratas di dalam struktur masyarakat yang terdiri atas kalangan aristokrasi. Sedangkan kelompok terbesar di dalam masyarakat adalah rakyat yang terdiri dari para petani, orang desa dan kampung.
Situasi sosial masyarakat di Indonesia terutama di Jawa mulai mengalami perubahan ketika datangnya pedagang-pedagang Belanda di perairan Indonesia sebagai tempat berpijak kokoh yang mereka (para pedagang Belanda) peroleh di daerah-daerah jauh di luar wilayah mereka sendiri. Kedatangan para pedagang Belanda ini dengan sendirinya menjadi tantangan yang berat bagi raja-raja Mataram Islam.
Semula para pedagang Belanda (VOC) datang ke Hindia dengan maksud hendak menguasai perdagangan (monopoli perdagangan) yang menguntungkan dari daerah tersebut, namun hingga makin lama VOC menjadi ikut mencampuri urusan politik di Jawa untuk memungkinkan pertumbuhan perdagangan Belanda lebih lanjut yaitu dengan usaha-usaha menentramkan daerah pantai hingga selanjutnya ke daerah pedalaman Jawa.
Pada perkembangannya dapat dikatakan memasuki dasawarsa akhir abad ke-17 VOC sudah mulai mantap menanamkan kekuasaannya di Pulau Jawa dengan pusat di Batavia serta berhasil membatasi kekuasaan-kekuasaan kerajaan-kerajaan tradisional (Mataram, Cirebon dan Banten). Di dalam menerapkan praktik kekuasaannya, VOC menjadikan orang-orang Belanda berhasil membawa perubahan dalam struktur sosial masyarakat. Di mana orang-orang Belanda menduduki kelas tertinggi yang sesungguhnya berasal dari rasa “keunggulan bangsa kulit putih” yang dimiliki oleh Belanda.
Belanda menerapkan prinsip-prinsip rasial dengan membagi masyarakat kolonial ke dalam empat tingkat lapisan; lapisan pertama yang paling tinggi diduduki oleh orang Belanda atau Eropa; lapisan kedua adalah golongan timur asing (Arab dan Cina); lapisan ketiga adalah para priyayi sedangkan rakyat jelata menempati posisi yang paling bawah.
Pada masa kekuasaan VOC, para priyayi mendapatkan tempat yang istimewa dan cukup menguntungkan secara ekonomi dari kebijakan-kebijakan yang diberlakukan oleh VOC. Para priyayi menjadi “mitra bisnis” VOC untuk meraup keuntungan dari sumber daya alam yang dihasilkan dari daerah-daerah di Indonesia. Namun, setelah VOC dibubarkan (1799), dibawah kekuasaan Daendels, Daendels cenderung melecehkan kedudukan para bupati (bupati ini terdiri dari para priyayi). Perubahan besar politik Belanda atas Jawa, yaitu mengubah para bupati itu menjadi pejabat pemerintahan. Politik Daendels ini dilanjutkan oleh Raffles, letnan gubernur Jawa selama pemerintahan peralihan Inggris dari tahun 1811 sampai 1816.
Selama pemerintahannya, Raffles membedakan antara golongan masyarakat yang istimewa dan golongan rakyat kecil, dan menyatakan bahwa tujuan pemerintahannya di Jawa yaitu untuk mengangkat derajat kaum tani. Johannes van den Bosch, diangkat sebagai gubernur jenderal Hindia-Belanda untuk mengawasi pelaksanaan politik baru, yaitu Cultuurstelsel yang mulai diberlakukan sejak 1830. Salah satu dari perubahan-perubahan terpenting dalam politik di bawah van den Bosch ialah pemulihan kedudukan bupati dan pembesar-pembesar pribumi lainnya pada kedudukan istimewa mereka seperti semula.
Masuknya kebudayaan Barat di Jawa, menimbulkan hilangnya pujangga dari keraton. Selain itu, berkembangnya kawin campur untuk percampuran antara kebudayaan Belanda dengan Indonesia. Akibatnya, dapat menyentuh aspek kehidupan mereka hingga timbullah hasrat yang semakin mendalam untuk mempelajari bahasa dan kebudayaan Belanda. Perubahan-perubahan ini nampak kentara pada kehidupan masyarakat yang terdapat di daerah perkotaan di mana kehidupan kota telah mulai condong bercorak Barat, jauh dari keeratan, kerukunan dan solidaritas hidup sebagaimana yang terjadi dilingkungan pedesaan. Kehidupan masyarakat di perkotaan ini mengikuti segi-segi kehidupan Barat, namun bersifat dangkal.
Memasuki awal abad ke-20, Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda secara resmi menerapkan kebijakan Politik Etis yang diharapkan dapat membawa perubahan bagi terpuruknya kondisi kehidupan masyarakat Indonesia terutama di Pulau Jawa akibat daripada praktik kebijakan sebelumnya (cultuur stelsel, sistem ekonomi liberal). Namun, perubahan itu tidak banyak terjadi pada seluruh lapisan masyarakat. Hanya para priyayi yang mengalami perubahan oleh karena semakin bertambahnya kedatangan golongan profesional dan intelektual yang datang dari Belanda untuk mengisi posisi-posisi sebagai pegawai administratif baik dikantor-kantor maupun diperkebunan-perkebunan swasta.
Kedatangan orang-orang Eropa dalam jumlah besar telah membuat posisi para priyayi yang selama ini dipercaya dan dibutuhkan jasanya menjadi tergeser. Kondisi yang demikian memaksa para priyayi untuk melakukan perubahan bagi kaumnya (kaum priyayi). Para priyayi kemudian memanfaatkan politik etis untuk mendapatkan pendidikan dengan konsep-konsep Barat mengenai negara dan masyarakat.
Disisi lain, rakyat kebanyakan tidak begitu banyak mendapatkan pengaruh dari adanya politik etis ini. Rakyat kebanyakan hanya terjebak dalam kehidupan yang konyol. Oleh karena tidak berpendidikan, mereka mudah dibohongi, dirampok haknya dan tidak tahu bagaimana cara untuk memperbaiki nasib. Rakyat hanya terjebak pada prinsip-prinsip pasrah dengan keadaan, takdir Illahi tidak dapat diubah, kecuali Tuhan yang menghendaki. Kondisi yang seperti ini menyebabkan tuntutan hidup rakyat sangat rendah, terbatas pada kebutuhan pokok saja, makan kenyang, memiliki pakaian meski sederhana dan memiliki tempat tinggal meskipun hanya sekedar dapat berteduh. Kondisi ini menjauhkan pikiran rakyat terhadap usaha persamaan kedudukan dengan Belanda terlebih lagi dapat memimpin negerinya sendiri.
Berdasarkan kenyataan diatas, Belanda menganggap rakyat Indonesia sebagai inlander yang identik dengan kebodohan, kemelaratan, kemiskinan, atau dengan perumpamaan lainnya dianggap sebagai kuli, kacung, babu, jongos. Hal ini ditambah dengan rasa superior yang dimiliki Belanda yang menciptakan masyarakat kolonial yang rasialistik. Tindakan ini adalah tindakan diskriminatif yang sengaja dilakukan oleh Belanda untuk menghambat kemajuan dari masyarakat Indonesia agar tetap berada pada lapisan yang paling rendah.
Sistem politik dan ekonomi liberal yang diberlakukan sejak tahun 1860 telah menyadarkan pengusaha swasta pada kenyataan bahwa kemiskinan pribumi harus diatasi terlebih dahulu, sebelum menumbuhkan tanah jajahan menjadi sebuah pasar yang lebih menguntungkan, karena pengejaran keuntungan oleh para pengusaha Eropa menyebabkan perekonomian pribumi porak-poranda, disamping dengan seiring cepatnya perkembangan penduduk Jawa.
Sebuah karangan yang ditulis oleh C. Th. Van Deventer tahun 1899 mengenai “Utang Budi” itu mengemukakan, bahwa bangsa Belanda berutang kepada Hindia oleh keuntungan-keuntungan yang diperolehnya selama dasawarsa-dasawarsa yang lalu. Hingga Ratu Wilhelmina pada tahun 1901 mengumandangkan bermulanya zaman baru dalam politik kolonial, yaitu Politik Etis. Tujuan politik etis, yaitu:
(1) Meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi, dan;
(2) Berangsur-angsur menumbuhkan otonomi dan desentralisasi politik di Hindia Timur Belanda.
Desentralisasi dan ekspansi birokrasi kolonial ke dalam lapangan-lapangan baru menciptakan diri di dalam tubuh pemerintahan. Pemerintah kolonial berharap mengisi jabatan itu dengan para pembesar pribumi dan bawahan mereka yang masih bekerja, karena hanya merekalah orang-orang di Jawa yang benar-benar bisa menjalankan pekerjaan birokrasi.
Peran serta dalam pembaharuan sebagian besar datang dari golongan priyayi. Pada sekitar pergantian abad ini, kaum priyayi telah berkembang, dari kedudukan sebagai hamba pembesar pribumi menjadi pejabat pribumi untuk pemerintah kolonial.
Budi Utomo Sebagai Pelopor Organisasi Pergerakan Nasional

Asal mula berdirinya organisasi Budi Utomo yaitu karena semangat dr. Wahidin Soedirohoesodo, mantan ketua redaksi Retnodhoemilah yang memainkan peranan penting dalam menggalakan pendidikan dan penyadaran terhadap orang Jawa khususnya priyayi, dan juga menjadi penganjur utama berdirinya Budi Utomo. dr. Wahidin Soedirohoesodo prihatin atas kondisi yang dialami oleh masyarakat pribumi dengan pendidikan rendah dan banyak pelajar yang memiliki bakat dan kecerdasan namun tidak dapat melanjutkan sekolah karena biaya yang sangat tinggi.
Berdasarkan pada kenyataan di atas dr. Wahidin Soedirohoesodo berusaha untuk meletakkan dasar bagi penyelenggaraan beasiswa yang diperjuangkannya yang menjadi titik tolak untuk melancarkan propaganda tentang kebangkitan Jawa, karena menurut pendapatnya pendidikan merupakan kunci kemajuan. Oleh sebab itu, dr. Wahidin Soedirohoesodo mulai melakukan pengumpulan dana serta melakukan kampanye keliling Jawa untuk merealisasikan keinginannya tersebut.
Pendirian dari dr. Wahidin Soedirohoesodo adalah bahwa pendidikan merupakan kunci dari kemajuan, dengan melihat latar belakang pribumi yang sebagian besar belum mendapatkan pendidikan Barat, dr. Wahidin Soedirohoesodo mulai melancarkan propaganda besar-besaran tentang pemberian beasaiswa bagi anak-anak pribumi yang pandai dan sebagai sasasran pokok dari kegiatan dr. Wahidin Soedirohoesodo adalah pegawai pemerintah pribumi.
Perjalanan kampanye dan propaganda tentang pentingnya penyelenggaraan pendidikan Barat bagi kaum pribumi tidak berjalan mudah. Namun, semangat dan kata-kata dr. Wahidin Soedirohoesodo yang meyakinkan itulah yang membuat dua orang siswa STOVIA, Soetomo dan Soeradji tergerak dengan kata-kata dan gagasan yang dilontarkan oleh dr. Wahidin Soedirohoesodo. Soetomo dan Soeradji kemudian mendirikan suatu perkumpulan di dalam STOVIA yang bernama Budi Utomo pada 20 Mei 1908.
Nama Budi Utomo mempunyai arti; “budi” artinya pikir dan “utama/utomo” artinya baik. Sehingga Budi Utomo berarti “pikir yang baik” berharap semua yang baik atas diri bumiputera di tanah Jawa. Di dalam pendiriannya, Budi Utomo yang dideklarasikan oleh Soetomo secara resmi diumumkan di aula STOVIA yang dihadiri oleh siswa-siswa dari sekolah pertanian dan kehewanan yang terletak di Bogor, sekolah Pamong Praja pribumi di Magelang dan Probolinggo, siswa-siswa sekolah menengah petang di Surabaya dan sekolah-sekolah pendidikan guru pribumi di Bandung, Yogyakarta dan Probolinggo.
Gagasan Soetomo dan Soeradji kemudian disambut dengan semangat oleh Goenawan Mangoenkoesoemo untuk menyebarluaskan pengaruh dari Budi Utomo. Dengan demikian, semakin lama perkumpulan itu semakin besar, dan tidak hanya di dalam STOVIA melainkan keseluruh penduduk pribumi Jawa. Organisasi Budi Utomo kemudian mulai tersebar dan berdirilah cabang-cabang Budi Utomo di Pulau Jawa dengan berpusat di Batavia (Jakarta).
Organisasi Budi Utomo yang didirikan pada 20 Mei 1908 itu memiliki susunan kepengurusan sebagai berikut:
Ketua : Soetomo
Wakil Ketua : M. Soeleman
Sekretaris I : Soewarno
Sekretaris II : Goenawan Mangoenkoesoemo
Bendahara : M. Angka
Komisaris : M. Soewarno dan Mohammad Saleh
Tujuan Budi Utomo dapat diketahui dari tugas pokok Budi Utomo yang bertujuan untuk merintis jalan bagi kemajuan yang harmonis bagi bangsa Jawa. Harmonis mempunyai arti hidup yang serasi atau seimbang dalam berbagai aspeknya; material dan spiritual, fisik dan mental, emosional dan rasional, juga terkandung didalamnya keserasian antara hidup individual dan sosial. Kemajuan dalam tujuan Budi Utomo mempunyai makna dalam pendidikan, Budi Utomo menghendaki pendidikan rakyat sehingga dapat terangkat derajat mereka.
Berdasarkan pernyataan di atas maka diketahui meskipun berdirinya Budi Utomo berawal dari semangat menyelenggarakan beasiswa, namun tujuan Budi Utomo jauh dari sekedar soal beasiswa, karena siswa-siswa ini berpendapat bahwa organisasi baru harus berusaha memecahkan setiap masalah yang dihadapinya. Oleh sebab itulah, maka harus diadakan sebuah kongres untuk membicarakan hal-hal yang menjadi landasan pergerakan Budi Utomo. Soewarno sebagai Sekretaris 1 mengumukan bahwa sidang Budi Utomo akan diselenggarakan pada bulan Oktober di Yogyakarta.
Sebagai upaya untuk berjalannya kongres/sidang pertama di bulan Oktober 1908 itu, para siswa STOVIA mulai membuka hubungan dengan para tokoh-tokoh kalangan pribumi dan elit bangsawan. Langkah-langkah yang ditempuh para siswa STOVIA tidak berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh dr. Wahidin Soedirohoesodo yaitu melakukan pendekatan kepada mereka yang dianggap sebagai priyayi tinggi yang tergugah hatinya.
Selain itu, juga telah diputuskan bahwa kongres terbuka untuk umum dan akan mengutus seorang wakil untuk memberitahu kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda akan adanya kongres itu dan diharapkan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda mau memberikan pengakuan terhadap organisasi Budi Utomo. Sedangkan telah diputuskan bahwa Kongres Pertama Budi Utomo akan diketuai oleh dr. Wahidin Soedirohoesodo.
Kongres pertama Budi Utomo diselenggarakan dari tanggal 3 sampai 5 Oktober 1908, di sekolah pendidikan guru di Yogyakarta. Selama jalannya kongres, penyampaian pikiran (pembicara) dari kaum muda maupun tua silih berganti, menimbulkan banyak sekali perdebatan sehingga jalannya kongres sangat menarik. Mulai dari dr. Wahidin Soedirohoesodo sendiri selaku ketua kongres, Mas Mangoenoesodo selaku dokter keraton dari Surakarta, dr. Radjiman Wedyodiningrat selaku dokter Jawa, Tjipto Mangoenkoesoemo selaku dokter dari Surakarta. Dari pihak STOVIA yaitu Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soetomo.
Setelah kongres pertama Budi Utomo, sudah nampak terlihat jelas bahwa Budi Utomo bukan lagi perkumpulan atau organisasi yang digerakkan dan dipimpin oleh pemuda terpelajar. Kepemimpinan Budi Utomo diambil alih oleh golongan tua. Gerakan Budi Utomo mulai didominasi oleh golongan tua yang tidak sesuai dengan cita-cita para pemuda terpelajar yang menggelorakan semangat kebangkitan. Budi Utomo mulai menjelma menjadi organisasi priyayi yang lamban dalam menerima perubahan-perubahan di abad ke-20. Dengan demikian, menyebabkan banyak anggota Budi Utomo yang mengundurkan diri, termasuk dr. Tjipto Mangoenkoesoemo.
Hubungan Dengan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda
Sejak awal-mula pemerintah kolonial Hindia-Belanda telah menunjukan minatnya yang besar terhadap Budi Utomo. Karena itu minat paling besar kalangan pejabat kolonial adalah siapa kiranya yang akan memangku jabatan ketua organisasi. Bahkan sebelum R.A. Tirtokoesoemo mengumumkan keputusannya untuk menerima jabatan ketua itu, gubernur jenderal sangat bergembira mendengar jabatan ketua Budi Utomo ditawarkan kepada orang seperti bupati Karanganyar itu.
Gubernur jenderal juga berpendapat jika bupati menerima kedudukan ketua itu, diharapkan agar ia mampu mengemudikan organisasi ke arahnya yang benar, dan jika perlu memberikan jaminan kerja sama antara pemerintah dengan badan pengurus Budi Utomo. Tirtokoesoemo menerima jabatan itu dengan senang hati, dan secara resmi menerima pengangkatan tersebut pada bulan Desember 1908.
Sementara itu, badan pengurus telah mencurahkan perhatiannya pada penyusunan anggaran dasar organisasi yang semula direncanakan hendak mengajukan naskah terakhir anggaran dasar itu agar disahkan sidang pengurus tanggal 29 Mei 1909, dan selanjutnya mengajukannya kepada pemerintah untuk pengakuannya. Isi naskah bersih anggaran dasar yang mencantumkan tujuan Budi Utomo, yaitu:
(1) kepentingan pendidikan dalam arti seluas-luasnya;
(2) perbaikan pertanian, peternakan, dan perdagangan;
(3) perkembangan teknik dan industri;
(4) menumbuhkan kembali kesenian dan tradisi pribumi;
(5) menjunjung tinggi cita-cita umat manusia pada umumnya;
(6) hal-hal lain yang bisa membantu meningkatkan kesejahteraan bangsa.
Kongres kedua Budi Utomo diadakan di Gedung “Mataram” Yogyakarta pada malam hari, tanggal 10 dan 11 Oktober 1909. Lebih dari tiga ratus orang Jawa, Cina, dan Eropa hadir pada sidang ini. Namun, suasana umum persidangan kali ini, tanpa banyak berati, oleh karena menurunnya semangat organisasi yang mencolok. Maksudnya, jika kongres tahun 1908 memberikan kesempatan pertama kepada orang-orang Jawa terpelajar untuk memperbincangkan masalah-masalah mereka secara bebas dan spontan, kongres kedua ini sedikit banyak hanya memberikan hierarki baru, lebih terorganisasi tetapi kurang gairah.
Pada tanggal 10-11 Mei 1909 Budi Utomo kembali melaksanakan kongres kedua dengan semangat organisasi yang telah menurun. Beberapa pembicara di dalam kongres kedua Budi Utomo adalah Dwidjosewojo, Mohammad Tahir dan Sastrowidjono. Dwidjosewojo sebagai sekretaris 1 hanya menyampaikan laporan keuangan organisasi Budi Utomo, Mohammad Tahir hanya berbicara tentang kebijakan guru-guru Belanda yang hanya memberikan kesempatan bagi anak-anak pribumi yang lebih cerdas dibandingkan anak-anak Belanda serta berbicara tentang bantuan keuangan yang diberikan oleh orang-orang Belanda yang tidak tepat. Sedangkan Satrowidjono membicarakan soal bagaimana memajukan penduduk Jawa dan mengemukakan bahwa kemajuan ekonomi tidak akan terjadi tanpa adanya semagat dagang.
Kedua kongres Budi Utomo telah membahas panjang lebar setiap masalah yang bisa dipikirkan yang menyangkut kebudayaan dan pendidikan. Arti penting pendapat Sastrowidjono adalah bahwa untuk pertama kali dikemukakan hubungan esensial antara kemajuan perekonomian dengan kemampuan mencapai cita-cita pendidikan.
Peserta kongres umumnya menyambut jalan pembaharuan masyarakat Jawa secara berangsur-angsur. Kongres ditutup, dan pada tanggal 18 Oktober 1909 badan pengurus akhirnya mengajukan anggaran dasar organisasi kepada pemerintah Kolonial untuk mendapatkan pengesahannya. Gubernur jenderal menyatakan Budi Utomo sebagai organisasi sah dengan Keputusan Pemerintah No.52, 28 Desember 1909. Sekitar satu setengah tahun sesudah rapat pertama di STOVIA Mei 1908, Budi Utomo secara resmi diberi izin melakukan kegiatannya.
Kepemimpinan R.A.A. Tirtokusumo
Lahirnya Budi Utomo menjadi pendorong berdirinya organisasi-organisasi. Oleh karena itu, Bupati tinggi/priyayi luhur membuat organisasi sendiri. Karena mereka memandang Budi Utomo mayoritas diisi oleh priyayi cilik/kecil, sehingga tidak terpikir oleh mereka untuk ikut dalam kegiatan tersebut. Mereka juga memandang sebagai pemimpin sejati bangsa Jawa. Kedua organisasi itu nantinya saling bersaing mengaku sebagai organisasi yang benar-benar mewakili bangsa Jawa. Karena itu, tantangan bagi badan pengurus Budi Utomo yaitu menampung sokongan atau membawa organisasi menjadi lebih menarik bagi priyayi tinggi.
Sebagai upaya untuk menarik simpatik dari para priyayi tinggi langkah yang dimulai adalah dengan merebut hati penduduk Batavia yang penduduk pribuminya memeluk Islam dengan taat, yang tidak tertarik sama sekali kepada Budi Utomo. Begitu salehnya penduduk Batavia itu, sehingga banyaknya orang-orang yang ke mesjid, sehingga Mohammad Tahir menyarankan, agar Budi Utomo bisa merebut hati penduduk Batavia, hendaknya masjid-masjid di sana (Batavia) dapat diberi bantuan keuangan.
Andai kata Budi Utomo berhasil diterima kalangan muslim yang saleh itu, maka pertumbuhan organisasi di seluruh Jawa akan sangat dipermudah. Kelompok beragama kedua yang berpengaruh terhadap Budi Utomo adalah Himpunan Teosofi, melalui tokoh wakil sekretarisnya di Hindia, yaitu seorang Belanda bernama D. Van Hinloopen Labberton.
Hubungan yang sangat berbeda, yang terjadi selama tahun-tahun pertama ini, adalah antara Budi Utomo dengan kelompok beragama ketiga, yaitu suatu gerakan pembaharu Islam: Muhammadiyah. Hadji Achmad Dachlan, calon pemimpin Muhammadiyah masa depan, berharap dengan menjalin kontak di kalangan anggota Budi Utomo yang kebanyakan guru sekolah negeri dan pejabat pemerintahan itu, akan terbuka kemungkinan baginya untuk memberikan pelajaran tentang gagasan-gagasan pembaharuan keagamaannya di sekolah-sekolah.
Selama periode awal berdirinya Budi Utomo, Budi Utomo memperjuangkan usaha untuk memajukan pendidikan. Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda di sisi lain terus mendirikan sekolah-sekolah, namun masalah jaminan pendidikan Barat bagi anak-anak pribumi semakin memburuk, terutama hal ini terjadi pada tingkatan sekolah dasar. Kesadaran para pembesar pribumi tradisional mengenai kemajuan masa depan melalui pendidikan semakin membuat mereka mengirimkan anak-anaknya ke kota-kota besar, terutama Batavia agar bisa bersekolah di sekolah dasar Eropa.
Semakin meningkatnya minat akan sekolah, sedangkan kapasitas yang tersedia terbatas menyebabkan pemerintah membatasi penerimaan siswa-siswa pribumi. Anak-anak pribumi yang belum bisa berbahasa Belanda dikesampingkan untuk dapat bersekolah. Bagi pribumi sendiri, adanya pembatasan itu merupakan tantangan besar sebab mereka yang berusia enam maupun tujuh tahun tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut. Langkah yang diambil kemudian adalah menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah swasta meskipun dengan biaya yang sangat besar.
Beban biaya bagi priyayi kalangan atas yang kaya, hal ini tentu tidaklah menyusahkan, namun bagi priyayi cilik hal ini sangat memberatkan. Hal inilah yang mendorong adanya tuntutan agar pemerintah membuka sekolah-sekolah menengah Eropa. Berdasarkan kenyataan inilah Budi Utomo mengeluarkan petisi pada tanggal 23 Mei 1910. Budi Utomo di dalam petisinya menuntut kepada pemerintah agar priyayi cilik juga mendapatkan jaminan pendidikan. Pemerintah menanggapi petisi itu dengan bersahabat dan mempertimbangkannya.
Sebagai upaya untuk memperkuat keuangan, Budi Utomo menerbitkan surat kabar. Pada 1 Juli 1910 secara resmi surat kabar Budi Oetomo terbit dalam bahasa Melayu yang berisi tentang pelbagai masalah politik kolonial, khususnya pendidikan, kejadian-kejadian yang ada di Hindia-Belanda dan Belanda begitu juga di negara-negara lain. Selain Budi Oetomo juga diterbitkan majalah Goeroe Desa yang berisi nasihat tentang bagaimana menggarap sawah, mengelola perdagangan, pemeliharaan ternak dan unggas serta lebah.
Pada bulan Oktober 1910, awalnya direncanakan kongres ketiga Budi Utomo, namun demi alasan keuangan dan keorganisasian, maka badan pengurus Budi Utomo membatalkan penyelenggaraan tersebut. Budi Utomo kemudian mengusulkan petisinya yang kedua pada tanggal 31 Desember 1910 meminta izin untuk menyelenggarakan undian untuk mengumpulkan dana mendirikan Sekolah Frobel dan Sekolah dasar untuk anak-anak pribumi. Namun, petisi ini ditolak oleh pemerintah karena tidak diperkenankan suatu kegiatan untuk tujuan amal.
Selama masa pemerintahan R.A.A. Tirtokusumo, Budi Utomo bergerak secara lamban, namun yang menjadi tujuannya di dalam bidang pendidikan dan mengembangkan organisasi dapat dikatakan cukup berhasil. Hal ini dapat dilihat dari disetujuinya petisi yang dikeluarkan pada 23 Mei 1910 dengan diresmikannya Hollandsch-Inlandsche School (HIS) pada tahun 1913. Selain itu, pemerintah juga menyetujui pengajaran bahasa Belanda sejak kelas satu. Di sisi lain, R.A.A. Tirtokusumo juga berhasil menerbitkan surat kabar Boedi Oetomo dan majalah Goeroe Desa yang menjadi sumber terpenting bagi keuangan Budi Utomo.
Cabang-cabang Budi Utomo di bawah kepemimpinan R.A.A. Tirtokusumo juga mendirikan koperasi, mendirikan tempat pemondokan pemuda pelajar Jawa dan menyelenggarakan sebuah ruangan perhimpunan sebagai pertemuan anggota serta disediakan perpustakaan. Meskipun disisi lain, jumlah anggota Budi Utomo semakin berkurang.
Kepemimpinan K.P.H. Notodirodjo
Ditengah kondisi keanggotaan yang semakin berkurang, R.A.A. Tirtokusumo digantikan oleh K.P.H. Notodirodjo pada tanggal 25 Agustus 1912. Namun, pergantian kepemimpinan ini dibarengi dengan krisis keuangan yang melanda organisasi Budi Utomo. Pada masa kepemimpinan K.P.H. Notodirodjo arah pergerakan organisasi Budi Utomo dilanjutkan ke arah pendidikan. K.P.H. Notodirodjo mempropagandakan pentingnya pendidikan Barat bagi pribumi. Hal inilah yang diperjuangkan oleh Budi Utomo.
Propaganda Budi Utomo akan pentingnya pendidikan Barat mendapatkan sambutan yang baik dari kalangan atas (Priyayi) di Surakarta dan Yogyakarta. Hal ini menyebabkan berdirinya organisasi Neutraal Onderwijs (pendidikan sekuler) yang didirikan di Surakarta dan Yoyakarta yang kemudian didirikan tiga buah sekolah lagi dalam waktu singkat; satu sekolah di Surakarta dan dua sekolah di Yogyakarta.
Pada tahun 1913 tuntutan dari petisi yang dikeluarkan oleh Budi Utomo pada 23 Mei 1910 pada masa kepemimpinan R.A.A. Tirtokusumo dipenuhi oleh pemerintah, sekolah Kelas Satu kini diberi nama baru Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Sedangkan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar diajarkan sejak kelas satu. Hal ini menyebabkan jumlah murid yang masuk HIS semakin bertambah banyak.
K.P.H. Notodirodjo tidak memiliki pengaruh yang cukup kuat untuk mengembangkan organisasi Budi Utomo sebagai organisasi yang paling berpengaruh pada dasawarsa pertama abad ke-20. Pada tahun 1911-1912, munculnya organisasi-organisasi yang ternyata berpengaruh kuat dan akhirnya menutupi Budi Utomo. Organisasi itu ialah Sarekat Islam dan Indische Partij . Seperti Budi Utomo, Sarekat Islam menekankan perlunya kemajuan, tetapi alasan fundamental di balik gagasan ini sangat berbeda dari Budi Utomo.
Sarekat Islam menekankan aksi, dan tidak sekedar berbicara. Saingan besar kedua dalam hal dukungan massa ialah Indische Partij yang didirikan oleh E.F.E. Douwes Dekker pada tanggal 6 September 1912. Tujuan partai ini ialah mempersatukan mereka dalam kerja sama atas dasar asas persamaan politik, untuk menciptakan kemakmuran bagi tanah air Hindia, dan menuju satu negara nasional yang merdeka.
Pada tanggal 25 Oktober 1913 Badan Pengurus Budi Utomo memutuskan untuk mendirikan sebuah organisasi beasiswa dengan tujuan amal yang diberi nama Darmoworo. Organisasi Darmoworo ini diakui oleh pemerintah pada tanggal 29 Juli 1914. Tujuan Darmoworo adalah membantu para siswa yang pandai agar dapat meneruskan sekolahnya, baik di negeri Belanda maupun di Hindia-Belanda. Namun, kenyataannya anggaran beasiswa Darmoworo hanya mampu untuk mengirim seorang siswa ke Belanda dan membiayai siswa-siswa lainnya di sekolah-sekolah yang terdapat di Hindia-Belanda. Biaya untuk melaksanakan program ini diambil dari beban keuangan rutin Budi Utomo, hal ini mendorong pengurus setiap kali mengajukan petisi kepada pemerintah agar diijinkan mengadakan undian untuk mencari dana. Pada akhirnya tanggal 26 September 1916 pemerintah menyetujui petisi ini.
Menuju Panggung Politik: Di bawah kepemimpinan dr. Radjiman Wedyodiningrat
Pada tahun 1914 K.P.H. Notodirodjo meletakkan jabatannya sebagai pemimpin Budi Utomo dan digantikan oleh dr. Radjiman Wedyodiningrat. Hingga memasuki tahun 1914 Budi Utomo tidak ada tanda-tanda akan terjun ke dunia politik dan memperjuangkan kemerdekaan tanah air. Hal yang menjadi kegiatan utama dari Budi Utomo adalah mengenai pendidikan.
Selama tahun-tahun menjelang Perang Dunia 1, pemerintah kolonial sangat mengutamakan pembangunan pertahanan laut di Hindia Belanda. Ketika pemerintah gusar terhadap kemungkinan terjadinya serangan militer, barulah disadari bahwa akan sia-sialah usaha mempertahankan wilayah yang sedemikan luasnya, dengan jumlah pasukan yang tersedia. Karena itu, masalah pertahanan ini menjadi perdebatan tentang milisi pribumi, yang akan terdiri atas pasukan non-reguler yang direkrut dari kalangan penduduk pribumi. Masalah ini dikenal sebagai Indie Weerbaar (kesanggupan Hindia membela diri).
Pimpinan Budi Utomo mulai membahas pertahanan ini selama satu bulan sesudah perang pecah. Langkah pertama yang diambil oleh dr. Radjiman Wedyodiningrat ialah menyerukan akan diadakannya rapat seluruh Jawa di Semarang pada tanggal 13 September 1914, dibawah perlindungan Budi Utomo. Masalah utama yang dibahas ialah “bagaimanakah sikap penduduk pribumi yang tepat terhadap pemerintah pada saat yang penting, yang ditimbulkan oleh pecahnya Perang Besar di Eropa, yang juga berpengaruh terhadap tanah air kita?”. Pengurus Pusat Budi Utomo mengusulkan, agar diambil keputusan yang menyatakan, bahwa “tanah air akan memihak pada pemerintah dalam berperang melawan penyerbu yang mungkin datang”.
Gagasan mendahului dukungan terhadap rencana milisi dengan seruan untuk dibentuknya sistem parlementer ini agaknya mempunyai pengaruh mendalam dikalangan anggota Budi Utomo yang bersidang di Bandung, tanggal 5-6 Agustus 1915. Tuntutan agar sistem parlementer, dimana rakyat Hindia dapat menyatakan pendapat mereka dengan bebas, baik sebagai imbalan sesudah atau sebelum diberlakukannya sistem milisi.
Akhirnya, dari sidang itu, sampai pada satu kesimpulan bersama, yaitu bahwa kesediaan tertentu untuk mendengarkan suara rakyat adalah sangat penting bagi hari depan Jawa. Hal ini menjadi bagaimana Budi Utomo yang tadinya bergerak di bidang pendidikan, tetapi memasuki kiprah politik sebagai akibat dari terjadinya Perang Dunia 1.
Untuk dapat merealisasikan masalah pertahanan Hindia oleh organisasi pribumi, pada bulan Juli 1916 Comite Indie Weerbar atau Komite Pertahanan Hindia dibentuk beranggotakan wakil-wakil dari organisasi Budi Utomo, Sarekat Islam dan Perhimpunan Bupati. Di dalam rapat komite tanggal 31 Agustus 1916 diusulkan agar dikirim delegasi ke negeri Belanda dengan maksud menyampaikan tuntutan komite kepada Ratu Belanda tentang milisi dan parlemen.
Delegasi yang dipilih untuk menyampaikan tuntutan kepada Ratu Belanda antara lain adalah Pangeran Ario Koesoemodiningrat (Perhimpunan daerah Kerajaan). R.T. Danoesoegondo (Perhimpunan Bupati). R.M.Ng. Dwidjosewojo (Budi Utomo) dan Abdoel Moeis (Centraal Sarekat Islam). Sedangkan D. van Hinloppen Labberton, direktur Himpunan Teosofi ditunjuk sebagai kepala delegasi dan Gubernur Jenderal yang telah pensiun, Idenburg bertugas untuk membantu delegasi selama di Belanda.
Delegasi-delegasi tersebut menyampaikan pandangan-pandangan tentang milisi dan parlemen, dalam penyampaian pandangan mengalami kegagalan karena pendapat-pendapat yang bersifat kontroversial dari pimpinan pribumi yang dianggap mengacaukan serta tidak adanya rasa saling pengertian diantara anggota delegasi mengenai tujuan mereka di negeri Belanda, sehingga mengurangi keberhasilan dari delegasi. Diantara para delegasi tidak berbicara atas nama delegasi, melainkan demi kepentingan sendiri.
Pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh delegasi mengenai masalah milisi kurang menarik bagi Belanda. Hal ini disebabkan oleh adanya keraguan tentang kegunaan pokok sistem milisi jika dilakukan dan faktor oposisi partai-partai sayap kiri yang berada di dalam Staaten Generaal yang tidak tertarik terhadap pertahanan Hindia. Dengan demikian usul mengenai milisi ditolak oleh Parlemen Belanda. Sedangkan usulan mengenai parlemen dapat diterima oleh Staaten General karena menjamin terbentuknya parlemen sendiri bagi rakyat Hindia-Belanda. Pada tanggal 11 Desember 1916 dibentuk Volksraad (Dewan Rakyat) sebagai parlemen bagi rakyat Hindia-Belanda.
Kiprah Budi Utomo di dalam Volksraad
Bahkan sebelum delegasi pertahanan Hindia dari Negeri Belanda, berita pengesahan undang-undang didirikannya Volksraad oleh Staten Generaal telah sampai di Hindia. Kabar bahwa dalam parlemen baru itu akan terdapat 15 anggota pribumi, 10 dipilih dan 5 diangkat dari 38 anggota seluruhnya, langsung menarik perhatian penduduk pribumi. Budi Utomo segera mengambil prakarsa membentuk komite nasional, yang beranggotakan pimpinan berbagai organisasi pribumi terkemuka, dengan maksud membahas masalah Volksraad dan mempersiapkan diri untuk pemilihannya pada masa datang.
Sidang pertama komite nasional diadakan tanggal 31 Maret 1917 di Batavia. Pimpinan badan baru ini, yaitu ketua dan sekretaris keuangan masing-masing adalah R. M. A. Woerjaningrat dan Sastrowidjono. Semua organisasi peserta, kecuali CSI (Centraal Sarekat Islam) cenderung bersifat Jawa-sentris, dan di bawah pengaruh kuat Budi Utomo. Hingga sampai Komite Nasional dibubarkan karena kecendrungan Budi Utomo kepada Komite tersebut.
Pada November 1917, masing-masing organisasi telah menyusun daftar calon mereka, daftar dari sejumlah organisasi telah dibagi-bagikan kepada para pemilih untuk dewan-dewan daerah, dengan harapan mendapatkan dukungan mereka.
Pemilihan berlangsung pada bulan Januari 1918. Pada tanggal 21 Januari, Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum memberitahukan tentang hasil pemungutan suara. Hasil pemilihan tersebut, sedikit saja persamaannya dengan daftar calon-calon yang dikemukakan mana pun. Tiga dari lima selebihnya yaitu tokoh terkemuka dari perhimpunan bupati.
Dengan adanya empat anggota Budi Utomo dan tiga bupati, dari jumlah sepuluh anggota semuanya, maka hasil ini sangat mendekati apa yang dikhawatirkan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pada bulan Juli lalu, bahwa “anggota-anggota pribumi yang dipilih ternyata adalah bupati, wedana, dan sebangsanya”.
Kondisi ini tentu dapat dimengerti, bahwa hasil pemilihan itu tidak menggembirakan gubernur jenderal. Satu-satunya alternatif yang diambil oleh gubernur jenderal, yaitu harus menggunakan kekuasaannya untuk mengangkat lima anggota pribumi selebihnya, agar keseimbangan bisa dicapai di antara berbagai kelompok etnis, dan keagamaan di kalangan penduduk pribumi. Gubernur jenderal menyimpulkan, ialah mengangkat anggota dari kalangan penduduk yang belum terwakili di dalam pemilihan.
Tahun 1918
Peristiwa kebetulan yang menarik terjadi, yaitu bahwa perayaan hari jadi ke-10 Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1918, berlangsung di dalam minggu pembukaan Volksraad. Di tengah suasana perayaan itu, bahwa popularitas Budi Utomo pada saat ultah ke-5 itu tidak hanya karena Budi Utomo merupakan salah satu usaha pertama bangsa Jawa untuk bersatu, tetapi juga karena organisasi ini akhirnya dipandang sebagai semacam simbol persatuan bagi penduduk pribumi.
Sepanjang lima tahun kedua, walaupun tidak mampu merebut massa dan mempertahankan netralitas keagamaannya, dari sudut semangat persatuan ini Budi Utomo masih menarik bagi penduduk pribumi. Keikutsertaan Serekat Islam dan Indische Partij pada perayaan tahun 1913 menunjukkan dukungan moril yang diterima Budi Utomo dari semua organisasi di Hindia yang hakikatnya terbesar pada saat itu.
Dari 372 orang pemimpin cabang yang tertera, 251 orang diketahui kedudukan sosial mereka. Beberapa ciri organisasi dapat disimpulkan, ialah;
- Ciri pertama, pimpinan cabang Budi Utomo umumnya pejabat pemerintah dari dinas ini atau itu;
- Ciri kedua, besarnya pengaruh priyayi rendah, karena kebanyakan pimpinan cabang terdiri dari juru tulis;
- Ciri ketiga, ialah pangkat seseorang dalam birokrasi pribumi sangat berpengaruh terhadap hierarki kepengurusan cabang;
- Ciri keempat, lapangan yang umumnya ada hubungannya dengan pimpinan cabang Budi Utomo ialah dunia pendidikan;
- Ciri kelima, bahwa anggota Budi Utomo tidak lagi berasal dari generasi muda.
Sebutan “Jawa muda” atau “Orang Jawa muda”, yang selama tahun-tahun sesudah 1908 dipakai untuk menamakan Budi Utomo, sekarang tidak lagi membangkitkan keistimewaan apapun melainkan sebutan untuk orang Jawa yang sadar pada umumnya. Hal ini, disebabkan karena keluarnya anggota-anggota dari kalangan generasi muda. Perlu diperhatikan, bahwa lima ciri keanggotaan Budi Utomo tersebut diatas mengalami sedikit perubahan selama periode sesudah tahun 1918.
Tahun-Tahun Pertama Volksraad
Volksraad dibuka secara resmi oleh Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum pada tanggal 18 Mei 1918. Suasana umum yang terasakan ialah, bahwa pembukaan Volksraad ketika itu merupakan pertanda bagi permulaan zaman baru. Namun, sebuah masalah yang kontroversial dan mengancam keutuhan harus dihadapi badan ini, yaitu tentang bahasa resmi Volksraad. Djajadiningrat dan Van Hinloopen Labberton menyampaikan sebuah mosi, agar kedua bahasa Melayu dan belanda ditetapkan sebagai bahas resmi Volksraad.
Alasan dibalik mosi ini yaitu jika wakil-wakil pribumi mendapat kesempatan sama untuk menyatakan pendapat mereka di depan Volksraad, maka mereka haruslah diizinkan membahas persoalannya dengan bebas di dalam bahasa ibu mereka sendiri. Gubernur Jenderal setuju, dan mayoritas hasil pemungutan suara menyetujui mosi Djajadiningrat, yaitu agar mengubah dekrit kerajaan, yaitu pada sidang-sidang umum, baik bahasa Belanda maupun Melayu boleh digunakan.
Wakil-wakil Budi Utomo di Volksraad selama sidang pertama itu lebih banyak berbicara mengenai masalah pendidikan. Khususnya Radjiman yang menegaskan arti politik di dalam pendidikan bagi rakyat pribumi. Radjiman juga mengemukakan perlunya pendidikan untuk meletakkan dasar-dasar pembangunan masyarakat, yaitu menekankan pentingnya penduduk Hindia diajar sejarah pribumi.
Pendapat wakil-wakil Budi Utomo, Dwidjosewojo mengemukakan analisis mengenai sistem pendidikan di Jawa. Sastrowidjono menyesali keadaan, bahwasanya Volksraad tidak mempunyai kekuasaan legislatif, dan mengajukan pendapatnya agar setidak-tidaknya hak bertanya diakui. Bagi Budi Utomo, Volksraad dipandang sebagai suatu tempat Timur dan Barat bertemu, dan saling memahami satu sama lain; dan bukannya tempat untuk berkonfrontasi antara anggota-anggota yang pribumi dan yang Eropa.
Sidang pertama Volksraad ditutup tanggal 31 Juli 1918. Musim gugur tahun 1918 menyaksikan berakhirnya Perang Dunia 1, dengan akibat timbulnya krisis politik di Negeri Belanda, yang berdampak luas pula di Hindia. Yaitu dengan partai ISDP mengajukan sebuah mosi pada tanggal 16 November, menuntut untuk pembaharuan Volksraad. Bahkan Budi Utomo pun memutuskan bergabung dengan C.S.I. Dan Insulinde untuk membentuk front persatuan mengenai mosi tersebut.
Mosi untuk meningkatkan program penerimaan keanggotaan Budi Utomo dikemukakan dalan rapat cabang di Klaten, Jawa Tengah, tanggal 1 Januari 1919, oleh Kartosoehardjo. Alasan pokok yang dikemukakannya sebagai penunjuang mosi ini adalah, agar Budi Utomo membebaskan diri dari reputasinya sebagai partai yang khusus untuk penjabat pemerintahan saja.
Keputusan yang di ambil saat itu, dengan maksud untuk menolak kritik bahwa Budi Utomo hanyalah memperhatikan kepentingan para ningrat atau bangsawan Jawa, yaitu dengan merumuskan sebuah rencana untuk meningkatkan hubungan partai dengan massa luas penduduk pribumi.
Pada tahun 1921, dalam batas tertentu, waktu telah habis bagi Van Limburg Strimum dan harapannya, bahwa Budi Utomo akan memberikan corak kepemimpinan moderat. Jabatan gubernur jenderal digantikan oleh D. Fock.
Politik Fock, bersikap kurang toleran terhadap organisasi pribumi namun perhatian utamanya bukanlah menghalangi organisasi-organisasi pribumi, melainkan memantapkan kondisi perekonomian di Hindia. Untuk mengatasi kesulitan keuangan yang semakin memuncak, maka pemerintah kolonialnya mengurangi anggaran untuk kesejahteraan, pendidikan, dan dinas pemerintahan.
Pada tahun 1935, Budi Utomo bergabung dengan Persatuan Bangsa Indonesia, dan beberapa organisasi lokal lainnya, untuk membentuk sebuah partai besar yang terkenal sebagai Partai Indonesia Raja atau Parindra. Adapun pimpinan organisasi baru ini adalah Soetomo. Namun disimpulkan, bahwa peranan federasi baru Parindra ini akan sama terbatasnya seperti peranan Budi Utomo.
Daftar Bacaan
- Kartodirjo, Sartono. 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru II: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia.
- Nagazumi, Akira. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918. Jakarta: Grafiti.
- Neil, Robert van. 1984. Munculnya Elit Modern Indonesia. (terj.) Zahara Deliar Noer. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. 2010. Sejarah Nasional Indonesia V: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia-Belanda. Jakarta: Balai Pustaka
- Rachman, Darsjaf. 1975. Kilasan petikan Sejarah Budi Utomo. Jakarta: Yayasan Idayu.
- Sagimun, M. D. 1989. Peranan Pemuda dari Sumpah Pemuda sampai Proklamasi. Jakarta: Bina Aksara
- Scharer, Savitri Prastiti. 2012. Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-Pemikiran Priyayi-Priyayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX. Depok: Komunitas Bambu.