VOC di Indonesia didirikan pada tahun 1602 di Ambon. VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) adalah kongsi dagang milik Belanda yang bertugas untuk melaksanakan aktivitas monopoli perdagangan di Asia terutama di India Timur. Sebagai sebuah kongsi dagang, sebagian besar aktivitas VOC di Indonesia berkaitan dengan aktivitas ekonomi. Namun, VOC sebagai sebuah kongsi dagang juga memiliki hak istimewa yang membuat kongsi dagang itu layaknya sebuah negara.
Sejarah Terbentuknya VOC
Setelah terjadinya Renaissans di Eropa sepanjang abad ke-15, bangsa Eropa mulai melakukan penjelajahan samudra untuk mencari Dunia Timur. Penjelajahan samudra yang dilakukan oleh bangsa Eropa nampaknya mulai membuahkan hasil pada abad ke-16 dengan mengontrol dan menguasai aktivitas perdagangan di dunia Timur, terutama oleh Portugis dan Spanyol yang telah menguasai pelayaran ke Asia serta menguasai perdagangan rempah-rempah antara Asia dengan Eropa, khususnya perdagangan rempah.
Di dalam perkembangan selanjutnya di Eropa, Raja Portugal memiliki kekuasaan tunggal atas pengangkutan dan pembelian hasil bumi dari Asia. Semua aktivitas jual-beli hasil bumi ditentukan harganya oleh Raja Portugal. Orang-orang Belanda yang dikenal sebagai pedagang merasa dirugikan oleh tindakan Portugal tersebut, dan akhirnya berusaha mencari jalan sendiri untuk menghindari monopoli perdagangan Portugal.
Atas inisiatif yang dikeluarkan oleh Dewan Rakyat (Staten-Generaal) pada tanggal 20 Maret 1602 didirikan perusahaan dagang yang diberi nama VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) di Amsterdam, yang kemudian berkembang di berbagai kota lainnya di negeri Belanda. Sebagai perusahaan dagang, Saham VOC dipegang oleh Para pedagang besar Belanda dan juga masyarakat yang membeli saham perusahaan tersebut. Dalam waktu hanya lima tahun setelah didirikan, VOC telah berhasil memiliki 15 armada yang terdiri dari 65 kapal dan dapat memulai pelayarannya dari pelabuhan-pelabuhan Rotterdam, Amsterdam, Middelburg, Vlissingen, Veere, Delft, Hoorn dan Enkhuizen.
Sebelum terbentuknya VOC, ekspedisi Belanda pertama ke Asia telah melakukan tiga kali pelayaran antara tahun 1594 – 1596 namun dapat dikatakan mengalami kegagalan. Para pelaut banyak yang jatuh sakit karena keracunan makanan yang telah membusuk. Kapal pertama Belanda mendarat di Banten pada tahun 1596, akan tetapi tidak mendapatkan rempah-rempah seperti yang diharapkan. Pelayaran selanjutnya adalah menuju Maluku (kapal “De Houtman” dan “Van Beuningen”) mengalami kegagalan juga. Hal ini dikarenakan terjadi bentrokan fisik antara awak kapal dengan penduduk setempat sehingga banyak pelautnya yang tewas. Pada tahun 1597 tiga dari empat kapal kembali ke Belanda dan dari 249 awak kapal hanya tinggal 90 orang saja yang masih hidup.
Ekspedisi kedua dilakukan pada tahun 1598 dengan delapan buah kapal dibawah komando kapten kapal Jacob van Neck dan Wybrand van Warwijk yang telah berhasil sampai ke Pelabuhan Banten dan berhasil kembali ke negeri Belanda dengan membawa rempah-rempah dalam jumlah besar dari kepulauan Maluku terutama dari Kepulauan Banda, Ambon dan Ternate.
Keberhasilan Jacob van Neck dan Wybrand van Warwijk telah memotivasi perusahaan-perusahaan di Belanda untuk ikut serta memberangkatkan armadanya menuju Kepulauan Nusantara. Setidaknya dalam periode menjelang tahun 1600 telah terdapat 14 perusahaan Belanda yang telah memberangkatkan sebanyak 62 armadanya menuju Kepulauan Nusantara untuk mencari rempah-rempah.
Menyadari bahwa telah muncul benih-benih persaingan antara perusahaan-perusahaan Belanda, Johan van Oldenbarnevelt mengusulkan untuk membentuk sebuah perusahaan gabungan yang disebut dengan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) pada tanggal 20 Maret 1602. Tujuan pembentukan VOC adalah untuk menghindarkan persaingan antar-perusahaan (pengusaha) Belanda serta mampu menghadapi persaingan dengan bangsa lain terutama Spanyol dan Portugis.
Hak Oktroi VOC
Kepemimpinan VOC dipegang oleh dewan yang beranggotakan 17 orang yang berkedudukan di Amsterdam. Tujuh belas Dewan yang memimpin VOC ini disebut juga Heeren Zeventien (Heeren XVII). Oleh Pemerintah Kerajaan Belanda, VOC diberikan hak istimewa (Ooctroi). Di bawah ini adalah hak oktroi yang diberikan kepada VOC antara lain:
- Dianggap sebagai wakil Pemerintah Kerajaan Belanda di Asia;
- Melaksanakan monopoli perdagangan;
- Mencetak dan mengedarkan uang sendiri;
- Mengadakan perjanjian;
- Melakukan perang dengan negara lain;
- Menjalankan kekuasaan kehakiman;
- Pemungutan pajak;
- Memiliki angkatan perang sendiri; dan,
- Mengadakan pemerintahan sendiri.
VOC merupakan perusahaan multinasional yang pertama di dunia yang tersebar di banyak negara, dan dalam melaksanakan kegiatan perdagangannya tidak segan-segan melakukan tindakan-tindakan yang tidak beradab, termasuk pembunuhan terhadap penduduk dan memperlakukan penduduk asli sebagai budak tanpa rasa perikemanusiaan khususnya di Indonesia.
Persaingan di dalam aktivitas perdagangan rempah-rempah yang terjadi antara Belanda dan Portugis di kepulauan Maluku berakhir ketika VOC berhasil membangun permukiman tetap dengan mengusir Portugis pada tgl 23 Februari 1605. Secara umum dapatlah dikatakan bahwa Belanda berhasil menggantikan posisi Portugis mendapatkan sumber hasil bumi dari kepulauan Nusantara. Selama dua abad menguasai bumi Indonesia, VOC telah bertindak dan memerintah dengan menggunakan kekuasaan militer menekan dan mengadu-domba (devide et impera) kerajaan-kerajaan setempat, memberlakukan hukumnya sendiri di seluruh Indonesia, memiliki pengadilan sendiri dan melakukan perdagangan monopoli yang sangat merugikan rakyat.
Keberadaan VOC telah memberikan nilai tambah yang sangat besar kepada rakyat Belanda, dan karena alasan itu Kementerian Pendidikan Belanda memprakarsai peringatan dan perayaan 400 tahun VOC yang pelaksanaannya dilakukan oleh swasta di seluruh negeri. Selain itu, VOC juga dianggap telah membawa kemakmuran serta kekayaan bagi negara Belanda secara ekonomi ataupun kultural, bahkan dianggap membawa cakrawala baru karena berhasil “menguasai” kawasan-kawasan dunia baru. VOC dinilai berhasil mendorong berbagai perkembangan kemasyarakatan, dan dengan mengarungi lautan telah memperkaya bangsa Belanda belajar tentang bangsa-bangsa lain. Untuk itu generasi muda Belanda harus mengetahui tentang apa arti dan bagaimana perwujudan VOC sebagai bagian dari karya nyata dan kejayaan bangsa Belanda di masa lalu.
Peringatan dan perayaan 400 tahun VOC akan dilakukan di 6 kota dan dipusatkan di Ridderzaal melalui pameran dan penyediaan informasi tentang VOC sepanjang tahun 2002. Pihak Belanda juga telah melakukan pendekatan kepada pemerintah Afrika Selatan, Sri Lanka dan India agar ikut serta mengambil bagian memperingat dan merayakan 400 tahun VOC. Karena dianggap akan mengandung kepekaan politik, panita VOC tidak mengajak Hindia-Belanda (Indonesia), walaupun Belanda menyadari bahwa sebagian besar kegiatan dan keuntungan yang diraup VOC justru berasal dari Hindia-Belanda.
Kekuasaan VOC Di Indonesia
Gerrit Knaap di dalam tulisannya yang berjudul “Dutch Perception of Indonesian History, Anno 2001” mengatakan:
“…kenyataan bahwa VOC di Indonesia tidak lebih dan tidak kurang dari sebuah negara kolonial. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan di dalam piagam ketika VOC didirikan pada tahun 1602, di mana ditetapkan oleh pemerintah bahwa perusahaan ini tidak hanya menjadi organisasi yang aktivitasnya untuk berdagang di daerah antara Tanjung Harapan dan Tanjung Hoorn, tetapi juga memiliki hak untuk berperang, berdamai dan membangun benteng di daerah itu. Menyatakan Perang, membuat perdamaian, dan membuat benteng adalah atribut-atribut sebuah negara, bukan pedagang”.
Gerrit Knaap
Jadi dapatlah dikatakan bahwa VOC adalah sebuah negara bukan sekedar sebuah perusahaan dagang. Lebih ekstrim lagi dapat dikatakan bahwa VOC adalah negara di dalam negara. Selanjutnya Knaap menambahkan di dalam tulisan yang sama bahwa:
“… VOC adalah organisasi dengan dua wajah, di satu sisi adalah sebagai pedagang di sisi lain adalah negarawan”.
Gerrit Knaap
Bahkan Knapp pun mengkhawatirkan tentang adanya sikap orang-orang di Belanda bahwa seolah-olah VOC hanya melaksanakan aktivitas perdagangan saja di Indonesia, ternyata yang dilakukan oleh VOC ternyata lebih dari sekedar berdagang. VOC telah berubah menjadi sebuah negara kolonial yang mengurusi berbagai macam persoalan layaknya sebuah negara.
Peran VOC Di Indonesia
Sementara ilmuwan Belanda maupun Indonesia cukup banyak yang memiliki kesimpulan sama tentang peran VOC di Indonesia pada abad ke-16 dan 17 yaitu tidak terlepas dari politik kolonialisme Belanda, namun di pihak lain sampai sekarang masih cukup banyak pihak-pihak di Belanda yang beranggapan bahwa kolonialisme Belanda di Hindia-Belanda (Indonesia) memiliki misi khusus, yang mereka sebutkan sebagai “misi suci” antara lain:
- men-civilized-kan orang-orang Hindia-Belanda (Indonesia) yang masih primitif;
- memberi kemakmuran kepada orang-orang Hindia-Belanda (Indonesia) yang masih terbelakang,
- mempersatukan orang-orang Hindia-Belanda (Indonesia) yang selalu bertikai antar-mereka,
- memberi pendidikan dan kemajuan rakyat Hindia-Belanda (Indonesia), dan
- kedatangan VOC ke Hindia-Belanda (Indonesia) semata-mata hanya untuk berdagang.
Cara VOC Mendapatkan Monopoli Perdagangan Di Indonesia
Bagaimana cara VOC memperoleh monopoli perdagangan di Indonesia? Berikut ini adalah cara yang dilakukan VOC untuk memonopoli perdagangan di Indonesia:
- Melakukan pelayaran hongi (hongi tochten) untuk memberantas penyelundupan. Tindakan yang dilakukan VOC adalah merampas setiap kapal penduduk yang menjual langsung rempahrempah kepada pedagang asing seperti Inggris, Perancis dan Denmark. Hal ini banyak dijumpai di pelabuhan bebas Makasar.
- Melakukan Ekstirpasi (Extirpatie) yaitu penebangan tanaman, milik rakyat. Tujuannya adalah mepertahankan agar harga rempah-rempah tidak merosot bila hasil panen berlebihan;
- Perjanjian dengan raja-raja setempat terutama yang kalah perang wajib menyerahkan hasil bumi yang dibutuhkan VOC dengan harga yang ditetapkan VOC. Penyerahan wajib yang disebut dengan Verplichte Leverantie;
- Rakyat wajib menyerahkan hasil bumi sebagai pajak, yang disebut dengan istilah Contingenten.
- Seiring dengan perubahan permintaan dan kebutuhan di Eropa dari rempah-rempah ke tanaman industri yaitu kopi, gula dan teh maka pada abad 18 VOC mengalihkan perhatiannya untuk menanam ke tiga jenis barang komoditi tersebut. Misalnya tanaman tebu di Muara Angke (sekitar Batavia), kopi dan teh yang dilaksanakan di daerah Priangan.
Di dalam melaksanakan pemerintahan VOC banyak mempergunakan tenaga Bupati pribumi. Sedangkan VOC mempercayai orang-orang Tionghoa untuk melakukan pemungutan pajak dengan cara menyewakan desa untuk beberapa tahun lamanya.
Kemunduran VOC
Pada pertengahan abad ke 18 VOC mulai mengalami kemunduran. Di bawah ini adalah faktor penyebab kemunduran VOC;
- Banyak pegawai VOC yang curang dan melakukan korupsi;
- Banyak pengeluaran untuk biaya peperangan di Kepulauan Nusantara;
- Banyaknya gaji yang harus dibayar karena kekuasaan yang luas membutuhkan pegawai yang banyak dan gaji yang besar;
- Pembayaran devident (keuntungan) bagi pemegang saham turut memberatkan setelah pemasukan VOC mengalami kekurangan;
- Bertambahnya saingan dagang di Asia terutama Inggris melalui EIC (East India Company) dan Perancis (Compagnie francaise pour le commerce des Indes orientales).
- Perubahan politik di negeri Belanda dengan berdirinya Republik Bataaf pada tahun 1795 yang demokratis dan liberal menganjurkan perdagangan bebas.
- Berdasarkan faktor-faktor diatas VOC kemudian secara resmi dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799 dengan meninggalkan warisan hutang sebanyak 136,7 juta gulden. Sedangkan kekayaan yang ditinggalkan berupa kantor dagang, gudang, benteng, kapal serta daerah kekuasaan di Hindia-Belanda (Indonesia).
Timeline Aktivitas VOC Di Indonesia
Di bawah ini adalah timeline aktivitas VOC di Indonesia sejak abad ke-17 sampai dengan akhir abad ke-18:
Abad Ke-17
- Maret 1602 – Belanda berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah dengan membentuk suatu kongsi dagang bernama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie).
- 1602 – Sir James Lancaster kembali ditunjuk oleh Kerajaan Inggris untuk memimpin pelayaran yang armadanya berisi orang-orang The East India Company dan tiba di Pelabuhan Aceh untuk selanjutnya menuju Pelabuhan Banten.
- 1603 – VOC telah membangun pusat perdagangan pertama yang tetap di Pelabuhan Banten. Namun hal ini tidak menguntungkan kerena persaingan dengan para pedagang Tionghoa dan Inggris.
- 1604 – Pelayaran yang ke-2 maskapai Inggris yang dipimpin oleh Sir Henry Middleton, Pelayaran ini berhasil mencapai Ternate, Tidore, Ambon dan Banda. Akan tetapi kedatangan mereka mendapatkan perlawanan yang keras dari VOC.
- Februari 1605 – Armada VOC bersekutu dengan Hitu menyerang kubu pertahanan Portugis di Ambon dengan imbalan VOC berhak sebagai pembeli tunggal rempah-rempah di Hitu.
- 1609 – VOC membuka kantor dagang di Sulawesi Selatan namun niat tersebut dihalangi oleh raja Gowa. Raja Gowa tersebut telah menjalin kerjasama dengan pedagang-pedagang dari Inggris, Prancis, Denmark, Spanyol dan Portugis.
- 1610 – Ambon dijadikan pusat VOC dan dipimpin oleh seorang-gubernur jendral. Akan tetapi selama kepemimpinan 3 orang gubernur-jendral, Ambon tidak begitu memuaskan untuk dijadikan markas besar karena jauh dari jalur-jalur utama perdagangan Asia.
- 1611 – Inggris berhasil mendirikan kantor dagangnya di bagian Indonesia lainnya, di Sukadana (Kalimantan barat daya), Makassar, Jayakerta, Jepara, Aceh, Priaman, Jambi.
- 1618 – Kerajaan Banten mengambil keputusan untuk menyerang Jayakarta dan VOC dan memaksa Inggris untuk membantu mereka. Kekuatan Inggris ini dipimpin oleh laksamana Thomas Dale.
- 1619 – Ketika VOC akan menyerah kepada Inggris, secara tiba-tiba muncul tentara Banten untuk menghalangi tujuan Inggris. Karena Banten tidak menginginkan pos VOC di Batavia diisi oleh Inggris. Akibatnya Thomas Dale melarikan diri dengan kapalnya yang menyebabkan Banten berhasil menduduki kota Batavia.
- 12 Mei 1619 – Pihak Belanda mengambil keputusan untuk memberi nama baru bagi Jayakarta sebagai Batavia.
- Mei 1619 – Jan Pieterszoon Coen, melakukan pelayaran ke Banten dengan kekuatan 17 kapal.
- 30 Mei 1619 – Setibanya Jan Pieterszoon Coen di Banten, ia melakukan penyerangan terhadap Banten dan berhasil memukul mundur tentara Banten. Jan Pieterszoon Coen membangun Batavia sebagai pusat militer dan administrasi yang relatif aman bagi pergudangan dan pertukaran barang-barang, karena dari Batavia cenderung mudah mencapai jalur-jalur perdagangan ke Indonesia bagian timur, timur jauh, dan dari Eropa. Hal ini sangat bertolak belakang dengan posisi di Ambon.
- 1619 – Jan Pieterszoon Coen diangkat menjadi gubernur-jendral VOC yang berpusat di Batavia. Jan Pieterszoon Coen menggunakan kekerasan, untuk memperkuat kekuasaannya dan menghancurkan semua yang dapat menghalanginya. Jan Pieterszoon Coen menjadikan Batavia sebagai tempat bertemunya kapal-kapal dagang VOC.
- 1619 – Jan Pieterszoon Coen melakukan kebijakan untuk menghidupkan perekonomian di Batavia dengan cara mendatangkan orang-orang Tionghoa ke Batavia. VOC mendatangkan sebanyak mungkin pedagang-pedagang Tionghoa yang ada di berbagai pelabuhan seperti Banten, Jambi, Palembang dan Malaka ke Batavia. Bahkan ada juga yang langsung datang dari Tiongkok. Di sini orang-orang Tionghoa sudah menjadi suatu bagian penting dari perekonomian di Batavia. Mereka aktif sebagai pedagang, penggiling tebu, pengusaha toko, dan tukang yang terampil.
- 1620 – Berdasarkan perkembangan kondisi politik yang terjadi di Eropa, VOC terpaksa bekerjasama dengan pihak Inggris dengan memperbolehkan Inggris mendirikan kantor dagangnya di Ambon.
- 1620 – Dalam rangka mengatasi masalah penyeludupan di Maluku, VOC melakukan pembuangan, pengusiran bahkan pembantaian seluruh penduduk Pulau Banda dan berusaha menggantikannya dengan orang-orang Belanda pendatang dan mempekerjakan tenaga kerja kaum budak.
- 1623 – VOC melanggar kerjasama dengan Inggris, dengan membunuh dua belas agen perdagangan Inggris, sepuluh orang Inggris, sepuluh orang Jepang, sedangkan terdapat satu orang Portugis dipotong kepalanya.
- 1630 – Belanda telah mencapai banyak kemajuan dalam meletakkan dasar-dasar militer sebagai modal untuk mendapatkan hegemoni perniagaan laut di Indonesia.
- 1637 – VOC yang telah cukup lama di Maluku tidak mampu memaksakan monopoli atas produksi pala, bunga pala, dan yang terpenting, adalah monopoli terhadap cengkeh. Penyeludupan cengkeh semakin berkembang, selain itu muncul kelompok-kelopmpok yang anti dengan VOC. Gubernur-Jendral Antonio van Diemen melakukan serangan terhadap para penyeludup dan pasukan-pasukan Ternate di Hoamoal.
- 1638 – Antonio Van Diemen datang kembali ke Maluku untuk membuat perjanjian dengan raja Ternate dimana VOC bersedia mengakui kedaulatan raja Ternate atas wilayah Seram dan Hitu serta menggaji raja sebesar 4.000 real/tahun dengan imbalan bahwa penyeludupan cengkeh akan dihentikan dan VOC diberi kekuasaan de facto atas Maluku. Akan tetapi persetujuan ini gagal.
- 1643 – Arnold de Vlaming mengambil kesempatan kekalahan Ternate dengan memaksa raja Ternate Mandarsyah ke Batavia dan menandatangani perjanjian yang melarang penanaman pohon cengkeh di semua wilayah kecuali Ambon atau daerah lain yang dikuasai VOC. Hal ini disebabkan pada masa itu Ambon mampu menghasilkan cengkeh melebihi kebutuhan untuk konsumsi dunia.
- 1656 – Seluruh penduduk Ambon yang tersisa dibuang. Semua tanaman rempah-rempah di wilayah Hoamoal dimusnahkan dan akibatnya daerah tersebut tidak didiami oleh manusia kecuali jika ekspedisi Hongi melintasi wilayah itu untuk mencari pohon-pohon cengkeh liar yang harus dimusnahkan.
- 1660 – Armada VOC yang terdiri dari 30 kapal menyerang kerajaan Gowa dan menghancurkan kapal-kapal Portugis.
- Agustus-Desember 1660 – Sultan Hasanuddin, raja Kerajaan Gowa dipaksa untuk menerima persetujuan perdamaian dengan VOC, namun persetujuan ini tidak berhasil mengakhiri permusuhan diantara mereka.
- 18 November 1667 – Atas bantuan Raja Bone, Aru Palaka untuk menggempur Kerajaan Gowa, VOC memaksa Sultan Hasanuddin untuk menandatangani perjanjian Bongaya, akan tetapi Sultan Hasanuddin kembali mengobarkan pertempuran.
- April 1668 dan Juni 1669 – VOC yang dibantu oleh Bone kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Kerajaan Gowa dan setelah pertempuran ini perjanjian Bongaya benar-benar dilakukan.
- 1669 – Kondisi keadaan Kepulauan Nusantara bagian timur semakin memprihatinkan, kehidupan ekonomi dan administrasi tidak terkendalikan lagi.
- 1670 – VOC berhasil menancapkan kekuasaannya di wilayah Indonesia Timur dan mulai melakukan konsolidasi untuk memperkuat pengaruhnya. Meskipun begitu VOC masih tetap menghadapi pemberontakan-pemberontakan tetapi dengan kekuatan yang tidak begitu besar.
- 1670 – VOC melakukan kebijakan ekstirpasi (pemangkasan) tanaman rempah-rempah yang tidak dapat diawasi, Hoamoal tidak dihuni lagi, Orang Bugis dan Makassar mulai meninggalkan kampung halamannya. Banyak orang-orang Eropa dan sekutu-sekutu VOC yang tewas, semata-mata hanya untuk mencapai tujuan VOC untuk memonopoli rempah-rempah.
- 1674 – Pulau Jawa berada dalam kondisi yang memprihatinkan, kelaparan merajalela, berkembangnya wabah penyakit, Gunung Merapi meletus, gempa bumi, gerhana bulan, dan hujan yang tidak turun pada musimnya.
- 1680 – Di Jawa Barat, kerajaan Banten pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa mengalami masa kejayaannya, Banten memiliki suatu armada yang dibangun menurut model Eropa. Kapal-kapalnya berlayar memakai surat jalan untuk melakukan perdagangan yang aktif di Nusantara. Atas bantuan Inggris Denmark, dan juga Tiongkok, orang-orang di Banten dapat berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Tiongkok, Filipina dan Jepang. Banten merupakan penghasil lada yang sangat kaya.
- 1680 – VOC pada dasarnya hanya terbatas menguasai dataran-dataran rendah tertentu saja di Pulau Jawa. Sedangkan untuk daerah pedalaman seperti daerah pegunungan seringkali tidak berhasil dikuasai dan daerah ini dijadikan tempat persembunyian bagi kelompok-kelompok yang anti-VOC. Tidak dapat dihindarkan lagi perlawanan-perlawanan yang dilakukan itu dapat mengakibatkan kesulitan dan menguras dana VOC.
- 1682 – Pasukan VOC yang dipimpin Francois Tack dan Isaac de Saint Martin berlayar menuju pelabuhan Banten untuk menguasai perdagangan di Banten. VOC merebut dan memonopoli perdagangan lada di Banten. Orang-orang Eropa yang merupakan saingan VOC diusir. Orang-orang Inggris melarikan diri ke Bengkulu dan Sumatera Selatan yang merupakan satu-satunya pos mereka yang masih ada di Indonesia.
- 1683-1710 – VOC mengalami permasalahan keuangan yang sangat berat di wilayah Asia. Di antara 23 kantornya hanya tiga yang mampu memberikan keuntungan; sembilan diantaranya menunjukkan kerugian setiap tahun termasuk Ambon, Banda, Ternate, Makassar, Banten, Cirebon dan wilayah pesisir Jawa. VOC telah mengeluarkan dana yang sangat besar akibat perlawanan yang dilakukan diberbagai tempat. Di samping pengeluaran pribadi VOC yang tidak efesien, kebejatan moral, korupsi yang merajalela. VOC juga menuntut semakin banyak kepada rakyat Jawa, yang mengakibatkan pemberontakan yang terus berlanjut dan pengeluaran VOC bertambah tinggi.
- 1684 – Gubernur Jendral Speelman meninggal. Terbongkarlah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Speelman memerintah tanpa mempertimbangkan nasihat Dewan Hindia dan banyak melakukan pembayaran dengan uang VOC yang pada dasarnya tidak pernah ada untuk pekerjaan yang tidak pernah dilakukan. Selama masa kekuasaan Speelmen jumlah penjualan tekstil menurun 90%, monopoli candu tidak efektif. Speelman juga banyak melakukan penggelapan uang negara dan pada 1685 semua penunggalan Speelman disita negara.
- 8 Februari 1686 – Dengan kelihaian dari Surapati berhasil membunuh Francois Tack dalam suatu pertempuran. Tack tewas dengan dua puluh luka di tubuhnya.
- 1690 – Belanda berusaha membalas kekalahan yang dialami Tack tetapi gagal karena Surapati menguasai teknik-teknik militer Eropa dengan baik.
Abad Ke-18
- 1702 – Jumlah kekuatan serdadu militer VOC berkebangsaan Eropa di Hindia-Belandahanya tinggal sedikit. Administrasi VOC semakin memburuk.
- 1706 – Di dalam melakukan perlawanan terhadap VOC, Surapati tewas di Bangil.
- 1721 – VOC mengumumkan apa yang dinamakan dengan komplotan orang-orang Islam yang bermaksud melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Eropa di Batavia dan juga orang-orang Tionghoa.
- 1722 – Perlakuan terhadap orang-orang Tionghoa bertambah kejam. Walaupun demikian jumlah orang Tionghoa semakin meningkat. VOC melakukan sistem kuota untuk membatasi penduduk yang masuk, tetapi kapten-kapten kapal Tionghoa mampu menghindarinya dengan bantuan dari para pejabat VOC yang korup. Orang-orang Tionghoa pendatang yang tidak mendapatkan pekerjaan sebagian besar dari mereka bergabung menjadi gerombolan-gerombolan penjahat di sekitar Batavia.
- 1727 – Posisi ekonomi orang Tionghoa semakin penting di satu pihak dan sering terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh orang Tionghoa, Hal ini telah menimbulkan perasaan tidak senang terhadap orang Tionghoa. Rasa tidak senang menjadi semakin tebal di kalangan penduduk di Batavia, Orang-orang Belanda mulai tidak dapat menandingi kekuatan ekonomi orang-orang Tionghoa. Atas dasar hal ini kemudian muncul rasa permusuhan dan sikap rasial terhadap orang-orang Tionghoa.
- 1727 – VOC mengeluarkan peraturan bahwa semua orang Tionghoa yang telah tinggal 10 – 12 tahun di Batavia dan belum memiliki surat izin akan dikembalikan ke Tiongkok.
- 1729 – VOC memberikan kesempatan selama 6 bulan kepada orang Tionghoa untuk mengajukan permohonan izin tinggal di Batavia dengan membayar 2 ringgit.
- 1730 – VOC mengeluarkan larangan bagi orang Tionghoa untuk membuka tempat penginapan, tempat pemadatan candu dan warung-warung baik di dalam maupun di luar Batavia.
- 1736 – VOC mengadakan pendataan bagi semua orang Tionghoa yang tidak memiliki surat izin tinggal.
- 1740 – Berdasarkan pendataan yang dilakukan pemerintah telah terdapat 2.500 rumah orang Tionghoa di dalam tembok Batavia sedangkan jumlah orang Tionghoa di kota dan di daerah sekitarnya diperkirakan mencapai angka 15.000 jiwa. Jumlah ini setidak-tidaknya merupakan 17% dari keseluruhan penduduk di Batavia. Ada kemungkinan bahwa orang-orang Tionghoa sebenarnya merupakan penduduk yang cukup besar. Ada pula orang-orang Tionghoa di kota-kota pelabuhan Jawa dan Kartasura walaupun jumlahnya jauh lebih sedikit.
- 1740 – Terjadi penangkapan terhadap orang-orang Tionghoa, yang dilakukan pemerintah dan tidak kurang dari 1.000 orang Tionghoa dipenjarakan. Dengan kejadian ini, orang-orang Tionghoa menjadi gelisah lebih-lebih setelah sering terjadi penangkapan, penyiksaan, dan perampasan hak milik Tionghoa.
- 4 Februari 1740 – Segerombolan orang Tionghoa melakukan perlawanan dan penyerbuan terhadap pos penjagaan untuk membebaskan orang-orang yang ditahan.
- Juni 1740 – VOC mengeluarkan lagi peraturan bahwa semua orang Tionghoa yang tidak memiliki izin tinggal akan ditangkap dan diangkut ke Sailan (Sri Lanka). Peraturan ini dilaksanakan oleh VOC dengan sewenang-wenang.
- September 1740 – Tersiar kabar bahwa sekelompok orang Tionghoa di daerah pedesaan sekitar Batavia bergerak mendekati pintu gerbang Batavia.
- 7 Oktober 1740 – Pasukan bantuan yang dikirim ke Tangerang oleh VOC diserang oleh orang-orang Tionghoa, sebagian besar dari pasukan tersebut tewas.
- Oktober 1740 – Berdasarkan bukti yang didapatkan oleh VOC dapat ditarik kesimpulan bahwa orang-orang Tionghoa sedang merencanakan sebuah pemberontakan.
- 8 Oktober 1740 – VOC mengeluarkan maklumat, antara lain perintah menyerahkan senjata kepada kompeni. Selain itu VOC juga mengeluarkan kebijakan Jam malam diadakan.
- 9 Oktober 1740 – Dimulainya penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang Tionghoa secara besar-besaran. Pembunuhan ini dilakukan oleh orang-orang Eropa dan para budak. Dan pada akhirnya diperkirakan sekitar 10.000 orang Tionghoa yang tewas. Perkampungan orang Tionghoa dibakar selama beberapa hari. Kekerasan yang dilakukan terhadap orang Tionghoa ini berhenti setelah orang Tionghoa memberikan uang premi kepada serdadu-serdadu VOC.
- 10 Oktober 1740 – Pertahanan VOC di Tangerang diserang oleh sekitar 3.000 orang Tionghoa.
- Mei 1741 – Orang-orang Tionghoa yang berhasil lolos dari pembantaian di Batavia melarikan diri ke daerah timur menyusuri sepanjang daerah pesisir. Mereka melakukan perebutan pos di daerah Juwana. Selain itu Markas besar VOC dikepung dan pos-pos lainnya juga terancam.
- Juli 1741 – Pos VOC di Rembang dihancurkan oleh orang-orang Tionghoa dan membunuh seluruh personel VOC.
- Juli 1741 – Prajurit Kesultanan yang berada di Kartasura menyerang pos garnisun VOC. Komandan VOC di Kartasura, yaitu Kapten Johannes van Velsen dan beberapa serdadu VOC tewas. Serdadu yang selamat ditawari pilihan beralih ke agama Islam atau mati dan banyak yang memilih untuk pindah agama.
- November 1741 – Pakubuwana II mengirimkan pasukan artileri ke Kota Semarang. Pasukan tersebut bersatu dengan orang-orang Tionghoa untuk mengadakan pengepungan terhadap pos VOC. Pos VOC di Semarang ini dikepung oleh 20.000 orang Jawa dan 3.500 orang Tionghoa dengan 30 buah meriam. Orang Jawa dan Tionghoa bersatu melawan VOC.
- Desember 1741 – awal 1742 – VOC merebut kembali daerah-daerah yang terancam.
- 13 Februari 1755 – VOC menyepakati Perjanjian Giyanti yang isinya VOC mengakui Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwana I, sebagai penguasa separuh wilayah Jawa Tengah.
- September 1789 – VOC menerima kabar bahwa raja-raja Jawa akan melakukan penangkapan dan juga pembunuhan terhadap orang-orang Eropa. VOC kemudian mengutus Andries Hartsick dengan menggunakan pakaian adat Jawa untuk menghadiri pertemuan rahasia di Istana Jawa.
- 1 Januari 1800 – VOC secara resmi dibubarkan, kemudian didirikan sebuah dewan untuk urusan jajahan Asia. di Eropa, setelah meletusnya Revolusi Perancis yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte telah menyebabkan Belanda kalah perang dan dikuasai Perancis. Wilayah-wilayah yang dimiliki oleh Belanda pun menjadi milik Perancis.
Pembubaran VOC
Faktor penyebab VOC Dibubarkan pada tahun 1799 dapat diketahui dari perkembangan VOC di Indonesia sepanjang abad ke-17 sampai dengan abad ke-18. VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) adalah perusahaan dagang milik Belanda yang didirikan pada awal abad ke-17. Hal ini tidak terlepas dari upaya para pengusaha Belanda untuk memaksakan hegemoni atas monopoli perdagangan yang ada di Kepulauan Indonesia dan berupaya memperlemah kekuasaan negara-negara tradisional.
Meskipun memasuki abad ke-18 nyatanya VOC telah berhasil mencapai puncak kejayaannya dan berhasil memaksakan hegemoninya terhadap negara-negara tradisional, namun pada saat yang bersamaan pula VOC mengalami fase kemundurannya hingga akhirnya beberapa kejadian sepanjang abad ke-18 menjadi faktor yang menyebabkan VOC dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799.
Faktor Penyebab Kemunduran VOC
Memasuki abad ke-18 VOC telah mulai mantap kedudukannya atas monopoli perdagangan di Kepulauan Indonesia dengan berbagai kebijakan yang diberlakukan oleh VOC terhadap berbagai wilayah di Kepulauan Indonesia. Negara-negara tradisional yang ada di Indonesia pada saat itu dengan sangat terpaksa mengakui kedaulatan VOC sebagai sebuah kongsi dagang yang bertindak layaknya sebuah negara. Kedaulatan VOC itu bahkan mengungguli kedaulatan negara-negara tradisional yang ada di Indonesia.
Negara-negara tradisional di Indonesia dengan terpaksa menganggap VOC sebagai atasannya dan telah menjadi pelayan bagi kepentingan VOC. Namun, di masa puncak kejayaannya ini pula, VOC harus mengalami keruntuhannya sebagai sebuah lembaga. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal terutama adalah korupsi, penyalahgunaan wewenang jabatan dan nafsu dari para pejabat VOC akan kemewahan. Hal inilah yang menyebabkan VOC mengalami kemunduran dan dinyatakan bangkrut pada akhir 1799. Kebangkrutan VOC ini ternyata meninggalkan beban utang sebesar 20 kali dari modal yang telah dikeluarkan.
Ketiga faktor (korupsi, penyalahgunaan wewenang dan nafsu keserakahan) terjadi secara bersamaan. Dengan semakin luasnya kekuasaan VOC di Indonesia, menyebabkan biaya untuk mempertahankan daerah taklukan harus ditanggung oleh VOC dan mengeluarkan biaya yang sangat besar. Situasi politik di negeri Belanda pun tidak dapat disingkirkan dan menjadi penyebab utama dari kemunduran VOC.
Raja Willem IV Sebagai Penguasa Tertinggi VOC
Situasi yang terjadi di negeri Belanda sejak VOC berdiri pada tahun 1602 sampai dengan 1749, anggota pengurus VOC di Belanda (de bewindhebbers atau yang lebih dikenal dengan nama de Heeren XVII) dipilih oleh parlemen (staten) provinsi pemegang saham, kecuali provinsi Holland. Di dalam de Heeren XVII anggota dipilih oleh walikota (burgemeester) tempat kamar dagang pemegang saham berada. Namun, sejak 27 Maret 1749 Parlemen Belanda (Staten Generaal) mengeluarkan undang-undang yang menjadikan Raja Willem IV sebagai penguasa tertinggi VOC.
Dengan dijadikannya Raja Willem IV sebagai penguasa tertinggi VOC menjadikan hak memilih anggota de Heeren XVII menjadi otoritas Raja Willem IV. Selain itu, Raja Willem IV juga dijadikan sebagai panglima tertinggi tentara VOC. Meskipun awal mulanya tujuan ini bermaksud untuk menjaga stabilitas kepengurusan VOC, nyatanya perubahan ini telah menimbulkan persekutuan erat antara usaha dagang dan pengusaha negara Belanda sendiri. Dengan demikian, VOC dan Negara Belanda bergabung di bawah kekuasaan yang bersifat oligarki.
Persoalan Saham
Ketika mandat VOC (octrooi) yang ke dua pada tahun 1622, pertanggungjawaban keuangan tidak lagi berada ditangan seluruh pemegang saham, sebagaimana yang tertera pada awal mula VOC didirikan. Melainkan hanya 17 orang saja yang diangkat dari kalangan pemegang saham kepala atau yang disebut dengan hoofdparticipanten yag di sumpah bersama dua anggota parlemen.
Seluruh pemegang saham mengharapkan mereka akan memberikan laporan yang jelas terhadap keberlangsungan keuangan VOC yang telah berjalan selama 20 tahun. Sejak 13 Maret 1623, pertanggung jawaban atas keuangan VOC semakin sulit karena hoofdparticipanten yang disumpah itu langsung ditentukan oleh pengurus VOC. Di samping itu, mereka sendiri diam-diam berambisi menjadi pengurus VOC dan mulai mengabaikan kepentingan pemegang saham.
Pada tahun 1647, ketika diumumkannya mandat VOC untuk yang ketiga kalinya, pertanggungjawaban itu tidak lagi diberikan kepada hoofdparticipanten, tetapi pada kedelapan komisaris yang diajukan oleh pemegang saham dan parlemen. Imbalan kepada pengurus pun berubah, tidak lagi mendapat bonus satu persen dari perdagangan VOC setelah dikurangi biaya transportasi, melainkan mereka diberi gaji tetap. Akibatnya, hilanglah sifat jabatan partikelir suatu perseroan dan kemudian memunculkan sifat jabatan pemerintahan Negara.
Selama keuntungan dibagikan setiap kaum (12 persen) dan gaji memuaskan pengurus tidak ada protes yang terjadi selama ratusan tahun. Semua informasi yang berkaitan dengan VOC di Hindia-Belanda (Indonesia) merupakan sesuatu yang rahasia. Apabila menengok pada arsip, pengurus harus mendapatkan izin terlebih dahulu. Karyawan VOC tidak boleh menyimpan dokumen dan peta Hindia-Belanda, serta mengungkapkan urusan pekerjaannya kepada siapapun, kecuali kepada de Heeren XVII. Surat-menyurat karyawan dengan keluarganya di Belanda di sensor.
Pada tahun 1673, keuntungan sempat merosot, sehingga VOC tidak mampu membayar keuntungan bagi pemilik saham. Dalam situasi kemerosotan keuntungan seperti ini, satu-satunya jalan yang dapat ditempuh oleh VOC adalah melalui anticipatiepenningen. Yaitu berupa uang muka yang diberikan dari pedagang yang mengharapkan bunga dan hak membeli rempah-rempah secara langsung dari lelang yang dilakukan oleh VOC.
Perang Belanda-Inggris 1778
Pada tahun 1778 pecah perang antara Belanda dengan Inggris yang menyebabkan seluruh kantor VOC yang terdapat di pantai India berhasil direbut oleh EIC (East India Company). Selama tiga tahun (1778-1781) VOC tidak dapat mengirim rempah-rempah ke Belanda. Pada 6 Februari 1781, para pemegang anticipatipenningen menuntut pembayaran mereka, namun VOC tidak dapat mampu membayar. Meskipun pada periode selanjutnya terjadi perang antara Perancis dan Inggris di mana Belanda berupaya untuk bersikap netral, namun hal ini tidak sepenuhnya berhasil mengatasi permasalahan keuangan VOC.
Peperangan yang terjadi antara dua kekuatan besar Eropa itu sejak 1783-1795 menyebabkan kapal-kapal VOC yang berani untuk melakukan pelayaran semakin berkurang. Karena terus-menerus merugi, VOC tidak sanggupp membayar deviden dari saham-saham yang dibeli rakyat. Oleh sebab itu, dari tahun ke tahun perushaan itu harus berhutan pada negara untuk melakukan kewajibannya. Namun, pada tahun 1795 negara memutuskan untuk mengambil alih seluruh kekayaan VOC sebagai pelunasan dari utang-utang tersebut. Untuk melaksanakan hal itu, negara membentuk sebuah panitia. Pada akhirnya tahun 1799 VOC dinyatakan failite dan bubar.
Seluruh aset-aset VOC yang tidak bergerak, seperti benteng-benteng dan daerah-daerah produksi rempah-rempah di Kepulauan Indonesia diambil alih oleh negara. Itulah aset Kerajaan Belanda yang menjadi dasar dari Negara Kolonial Hindia Belanda yang berdiri tahun 1817.
Pegawai VOC Dan Korupsi
Selain permasalahan persaingan dengan EIC, VOC juga harus menghadapi kenyataan dari perilaku para pejabatnya yang melakukan korupsi. Dalam hal ini dapat terlihat dari kekayaan yang dimiliki oleh seorang Gubernur Jenderal VOC. Gubernur Jenderal van Hoorn diyakini memiliki harta sebesar 10 juta gulden ketika kembali ke Belanda pada tahun 1709, padahal gaji seorang gubernur jenderal resminya hanya 700 gulden sebulan. Gubernur VOC di Maluku saja dapat menumpuk 20.000-30.000 gulden hanya dalam jangka waktu 4-5 tahun, padahal gaji seorang gubernur hanya sekitar 150 gulden sebulan.
Berdasarkan dua kejadian tersebut, maka dapat lah diketahui bahwa korupsi dilakukan oleh para pejabat VOC tanpa pernah mendapatkan tindakan hukum, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa seseorang yang ingin menjadi karyawan VOC rela menyogok.Pada tahun 1719-1723 pengurus VOC memasang tarif suap sebesar 3.500 gulden bagi yang ingin menjadi onderkoopman (gaji resmi 40 gulden perbulan), tarif untuk menjadi jabatan kapitein sebesar 2000 gulden dan tarif 120 gulden untuk menjadi seorang kopral. Pada tahun 1720 jumlah karyawan VOC hanya berjumlah 1900 orang dan hanya 30 orang saja yang memiliki gaji resmi 1.200 per tahun.
Memasuki akhir abad ke-18, praktik korupsi berubah dari sebelumnya, dar uang kas dan anggaran VOC di korupsi menjadi praktik pemerasan terhadap penduduk yang berada di bawah kekuasaan VOC. Penduduk dipaksa pula menyerahkan upeti diluar kewajiban menjual barang-barang perkebunan kepada VOC.
Sebenarnya telah ada upaya untuk mencegah terjadinya korupsi itu, namun tindakan yang dilakukan ternyata sia-sia, seperti harta pejabat yang bertugas di Hindia-Belanda (Indonesia) wajib disetor ke kas VOC, dan ketika pulang ke Belanda mereka mendapat surat kuasa untuk menukarnya di Belanda. Peraturan ini sebenarnya dilakukan dan dituruti oleh para pejabat VOC, namun hanya sebagian harta saja yang disetorkan ke kas VOC, sebagian yang lain tetap di bawa pulang dengan menyuap kapten kapal dengan memberikan barang berharga seperti emas, intan dan berlian.
Pada tahun 1743-1750, van Imhoff diangkat sebagai Gubernur Jenderal VOC. Gubernur Jenderal van Imhoff diperintahkan untuk mencegah korupsi. Ternyata Gubernur Jenderal van Imhoff hanya dapat melegalkan sebagian korupsi agar dapat memberantas sisanya. Misalnya van Imhoff menyerahkan perdagangan candu kepada Amfioen-societeit yang merupakan koperasi karyawan. Dengan demikian diharapkan karyawan terdorong untuk memberantas perdagangan candu ilegal. Hasilnya, dari kebijakan ini perdagangan candu tetap berjalan.
Kebijakan van Imhoff ini tetap tidak dapat menghapuskan perdagangan candu ilegal. Perdagangan candu ilegal ini terus berlanjut berlanjut dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Jacob Mossel (1750-1760). Perdagangan candu ilegal tetap dilakukan hingga VOC dinyatakan bangkrut pada 1799.
VOC Dibubarkan Pada Tanggal 31 Desember 1799
Sebagai lembaga dagang, VOC tidak dapat lagi menutupi bobroknya kondisi keuangannya. Setelah pemegang anticipatiepenningen mengalami kepanikan akan kondisi ini, pada 6 Februari 1781 Pemerintah Belanda segera turun tangan. Pinjaman baru diberikan melalui penerbitan obligasi sehingga VOC memiliki utang sebesar 55 juta gulden. Sementara itu, peperangan di Eropa mulai meluas dimana Belanda bersekutu dengan Prancis untuk menghadapi Inggris. Untuk keperluan dagang dan pertahanan di Kepulauan Indonesia, dari 1781-1795 VOC terpaksa menambah utang mereka dari 55 juta menjadi 137 juta gulden.
Situasi berubah di Eropa setelah dimulainya Revolusi Prancis 1789 yang membuat Belanda kini harus berhadapan dengan Prancis. Dalam menggeloranya Revolusi Prancis itu telah memaksa Raja Willem V mengungsi ke Inggris, sebab Belanda dikuasai oleh Prancis di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte. Raja Willem V yang kehilangan kekuasaannya di Belanda terpaksa mencari perlindungan kepada Inggris. Dengan mengungsinya Raja Willem V ke Inggris, sehingga tidak ada alasan lagi untuk mempertahankan VOC.
Berdasarkan pada pasal 249 Undang-Undang Dasar Republik Bataaf (Belanda), pada 17 Maret 1799, dibentuklah suatu badan untuk mengambil alih semua tanggungjawab atas milik dan utang VOC. Bada itu bernama Dewan Penyatuan Hak Milik Belanda di Asia (de Raad van Aziatische Bezittingen en Etabilisementen). Pengambil alihan itu secara resmi diumumkan di Batavia pada 8 Agustus 1799. Pada 31 Desember 1799, VOC secara resmi dinyatakan bangkrut dan seluruh aset VOC berada di bawah kekuasaan Negara Belanda.
Berdasarkan deskripsi diatas maka dapat diketahui faktor penyebab VOC dibubarkan adalah:
- Banyaknya pegawai VOC yang melakukan tindakan kecurangan seperti suap dan juga praktik korupsi;
- Banyaknya pengeluaran VOC untuk biaya peperangan untuk menerapkan praktik monopolinya di berbagai wilayah di Asia, terutama di Indonesia sebagai contoh peperangan yang paling banyak menguras keuangan VOC adalah perang melawan Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa;
- Banyaknya gaji yang harus dibayar karena kekuasaan yang luas membutuhkan pegawai yang juga banyak;
- Pembayaran devident (keuntungan) bagi para pemegang saham turut memberatkan keuangan VOC setelah pemasukan VOC telah banyak berkurang;
- Persaingan dagang di Asia terutama Inggris dengan East India Company dan Perancis dengan Compagnie française des Indes orientales;
- Perubahan politik di Belanda dengan berdirinya Republik Bataaf pada tahun 1795 yang bersifat demokratis dan liberal yang menganjurkan perdagangan bebas.
Daftar Bacaan
- Kartodirjo, Sartono. 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru II: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan Di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
- Ricklefs, M. C. 2009. Sejarah Indonesia Modern 1200- 2004. Jakarta: Serambi.