Sistem Monopoli VOC di Kepulauan Maluku Utara
Monopoli VOC di Maluku – Sistem monopoli VOC di Kepulauan Maluku Utara diawali dari lenyapnya dominasi Portugis di daerah Maluku Utara, terutama setelah Sultan Baabullah berhasil mengusir Portugis pada tahun 1570. Dengan lenyapnya pengaruh dan dominasi Portugis, maka VOC mulai secara leluasa menerapkan sistem monopolinya di Kepulauan Maluku Utara. Salah satu upaya dari sistem monopoli VOC di Kepulauan Maluku Utara adalah menerapkan sistem partnership (kemitraan). Di bawah ini akan dijelaskan tentang sistem monopoli VOC di Kepulauan Maluku Utara.
Sebagaimana diketahui, bahwa sejak tahun 1570 Sultan Baabullah dari Kerajaan Ternate berhasil mengusir dominasi Portugis di Kepulauan Maluku Utara. Di sisi lain, pada tahun 1580 Raja Spanyol, Raja Filip II berhasil merebut takhta Portugis dan memerintah dua kerajaan (Portugis dan Spanyol) sekaligus. Langkah yang diambil oleh Spanyol selanjutnya adalah memerintahkan Gubernur Jenderal Spanyol yang ada di Manilla, Dom Pedro da Cunha, bersama dengan Kerajaan Tidore yang menjadi sekutu Spanyol untuk mengerahkan pasukannya menyerang Kerajaan Ternate.
Pasukan koalisi Kerajaan Tidore dan Spanyol itu berkekuatan 3095 orang. Dalam penyerangan itu, Sultan Said dari Kerajaan Ternate berhasil melarikan diri bersama sejumlah pejabat kerajaan, sementara Dom Pedro da Cunha meneruskan ekspedisi ke wilayah-wilayah milik Kerajaan Ternate lainnya serta Bacan. Sultan Said akhirnya berhasil dibujuk untuk kembali ke Ternate dan menandatangani sebuah perjanjian dengan Spanyol yang antara lain menetapkan bahwa kerajaan Ternate mengakui kekuasaan dan memberi hak monopoli cengkeh kepada Spanyol. Sebelum kembali ke Manila, Dom Pedro da Cunha menempatkan pasukannya di Benteng Gamalama (yang dibangun oleh Portugis, tetapi sejak 1575 Benteng Gamalama digunakan oleh sultan-sultan Ternate), Sultan Said bersama sejumlah bangsawan Ternate dibawa pula ke Manila sebagai sandera.
Sementara itu, pihak-pihak yang menolak kekuasaan Spanyol di Kerajaan Ternate mengetahui bahwa di Banten telah tiba sebuah armada Portugis dari negeri Belanda. Seorang bangsawan dikirim sebagai utusan untuk meminta bantuan Belanda mengusir Spanyol dari Ternate dengan imbalan diberikan hak untuk monopoli cengkeh. Laksamana Cornelis Matelieff menyetujui permintan itu dengan syarat Kerajaan Ternate harus menyertakan 1.500 pasukan untuk membantu armadanya.

Karena bantuan yang diberikan oleh Kerajaan Ternate hanya beberapa ratus orang, Laksamana Matelieff memutuskan untuk tidak menyerang Benteng Gamalama, tetapi membangun benteng baru di pantai Malayu berseberangan dengan benteng Spanyol tersebut. Benteng VOC itu kemudian dikenal dengan nama Fort Oranye. Matelieff mengharuskan Sultan Muzafar Syah menandatangani sebuah perjanjian (kontrak) yang antara lain menetapkan bahwa VOC akan menjaga keamanan Ternate terhadap Spanyol dengan imbalan monopoli cengkeh di seluruh kerajaan Ternate.
Untuk kepentingan pertahanan itu dalam waktu singkat VOC membangun benteng-benteng lain kecuali Fort Oranye. Di Pulau Moti dibangun Fort Nassau, di Pulau Ternate dibangun benteng kedua di Takome, yaitu Fort Willemstad. Benteng Spanyol di Pulau Bacan direbut dan diberi namaFort Barnevelt. Dalam waktu dua tahun VOC berhasil membangun tembok-tembok pertahanan (fortification) selain benteng-benteng tersebut yang dipertahankan oleh 500 tentara, yaitu di Taloko, Takome dan Kalamata di Pulau Ternate, Tapasoho, Ngofakiaha dan Tabalola di Pulau Makian, dan beberapa lagi di Jailolo (Halmahera) dan Pulau Tidore.
Kebijakan monopoli cengkeh VOC di Maluku mengalami perubahan di sekitar tahun 1650-an. Perubahan itu sudah tampak sejak Sultan Hamzah (1627-1648), adik Sultan Baabullah, masih muda. Ketika Gubernur Jenderal Spanyol Dom Pedro da Cunha menyandera Sultan Said ke Manila, Hamzah termasuk dalam rombongan itu. Ia baru kembali ke Ternate sekitar 1627 dan langsung dipilih oleh Dewan Kerajaan sebagai Sultan. Selama berada di Manila rupanya Sultan Hamzah tertarik pada cara Spanyol memerintah di Filipina, yaitu mencoba menerapkan sistem pemerintahan tangan besi itu dan mengabaikan kebiasaan para sultan sebelumnya yang senantiasa bermusyawarah dan bermufakat dengan para bangsawan di Ternate.
Salah satu hambatan yang dihadapi Hamzah untuk melaksanakan cara pemerintahan yang otoriter itu adalah perlawanan dari keluarga Tomagola yang sejak abad ke-16 telah diberi hak untuk berkuasa di Jazirah Hoamoal di Seram dan di pulau-pulau sekitarnya, termasuk di Jazirah Hitu (di Pulau Ambon). Pusat kekuasaan Tomagola di Hoamoal itu terletak di negeri Luhu yang juga merupakan pelabuhan ekspor cengkeh utama di masa itu. Keluarga Tomagola adalah salah satu dari empat keluarga bangsawan yang menentukan politik kerajaan Ternate. Tiga keluarga lainnya adalah Tomaitu, Marsaoli, dan Lumatau yang disebut sebagai “Fala Raha” (empat rumah) yang berpengaruh dalam politik Kerajaan Ternate. Sultan Ternate selalu dipilih dari salah satu “rumah” itu dan Sultan Hamzah sendiri adalah seorang Tomagola.
Untuk menghilangkan otonomi dari keluarga Tomagola di Hoamoal dan Hitu, Sultan Hamzah mengatakan bahwa mereka dibutuhkan di Ternate sebagai penasihat sultan. Namun, keinginan Sultan Hamzah itu selalu ditolak oleh keluarga Tomagola. Oleh karena itu, Sultan Hamzah mencari jalan lain untuk mematahkan kekuasan Tomagola dengan cara meminta gubernur VOC yang berada di Ambon untuk memerintah di Hoamoal dan Hitu atas namanya.
Atas tindakan Sultan Hamzah itu, membuat VOC mendapatkan kesempatan untuk memperkuat monopolinya di Kepulauan Ambon. Sebab daerah Hoamoal dan Hitu selalu menjadi titik lemah sistem monopoli VOC di Kepulauan Ambon. Para pedagang Eropa yang berasal dari Pelabuhan Makassar selalu mengirim para nakhoda Bugis dan Makassar untuk membeli cengkeh secara tersembunyi di kedua wilayah itu untuk dijual kembali kepada para pedagang Eropa. Hal itu juga dilakukan oleh para pedagang dari kepulauan Banda.
Sepeninggal Sultan Hamzah pada tahun 1648, Dewan Kerajaan Ternate memilih Mandar Syah, putra tertua Sultan Hamzah sebagai sultan Ternate yang baru. Berbeda dengan ayahnya, Sultan Mandar Syah adalah seorang sultan yang sangat lemah. Untuk mempertahankan diri ia harus menjalin kerja sama yang sangat erat dengan VOC. Sikap yang ditunjukkan oleh Sultan Mandar Syah itu mendapat kecaman dari para anggota Dewan Kerajaan, dan pada tahun 1650 Dewan Kerajaan Ternate menurunkan Mandar Syah dan menggantikannya dengan adiknya, Kaicili Manilha, yang oleh pihak VOC dianggap “tidak sanggup mengendalikan pikirannya” .
Pihak-pihak yang menentang Sultan Mandar Syah adalah Kaicili (gelar bangsawan keluarga sultan) Said dan Hukum (kadi atau pemimpin agama) Laulata dari keluarga Tomagola, Kimelaha (kepala distrik atau sama dengan bupati) Terbile dari keluarga Tomaitu, Jougugu (menteri utama) Kaicili Musa dan Kimelaha Marsaoli dari keluarga Marsaoli. Sultan Mandar Syah melarikan diri ke Fort Oranye dan meminta perlindungan VOC, dan dengan bantuan VOC ia dapat dipulihkan kembali sebagai sultan Ternate pada tahun 1655.
Sementara itu, pada tanggal 31 Januari 1652 Sultan Mandar Syah harus menandatangani sebuah perjanjian (kontrak) dengan VOC dalam Fort Oranye. Di dalam perjanjian itu Kerajaan Ternate menerima keinginan VOC agar di Kerajaan Ternate tidak diperdagangkan cengkeh. Untuk mengawasi pelaksanaan ketentuan itu, VOC diizinkan setiap tahun melaksanakan patroli dengan sebuah armada yang terdiri dari kontingen VOC dan kontingen Ternate. Ekspedisi pemeriksaan cengkeh itulah yang dikenal dengan nama hongitochten (Pelayaran Hongi). Pohon cengkeh (yang berbuah maupun tidak) akan ditebang oleh tentara ekspedisi itu. Penebangan pohon-pohon cengkeh itu dikenal dengan sebutan extierpatie.
Pelaksanaan administrasi dari praktik monopoli VOC di Kepulauan Maluku Utara itu dilakukan oleh sebuah birokrasi yang berpusat di kota Ternate. Berbeda dengan di Ambon dan di Banda, di Maluku Utara, VOC tidak memiliki administrasi yang tersebar di seluruh wilayah itu. Pemerintahan yang dilakukan oleh aparat tradisional dari ketiga kerajaan (Ternate, Tidore dan Bacan), yang sultannya masing-masing dalam awal abad ke-17 menjadi sekutu VOC, kemudian berubah status menjadi vasal. Sistem pemerintahan VOC di Maluku Utara itu dinamakan Gouvernement der Molukken (Pemerintah Maluku).
Dengan demikian, VOC mengharapkan dapat mengendalikan perdagangan cengkeh secara tuntas dengan menghilangkan para penyelundup cengkeh yang umumnya adalah orang Jawa, Melayu, dan Banda. Selain itu, ekstirpasi pohon cengkeh setiap tahun yang dilakukan di Kepulauan Maluku Utara memberikan keuntungan bagi VOC. Pada pertengahan abad ke-17 sudah terjadi kelebihan produksi cengkeh sehingga harganya di Eropa mulai merosot. Pengurangan produksi cengkeh di Kepulauan Maluku Utara itu akan dapat menormalkan kembali harga cengkeh di pasaran dunia.
Pada Perjanjian 1652 yang dilakukan antara VOC dan Sultan Mandar Syah ditentukan juga harga beli cengkeh. Selanjutnya di dalam perjanjian itu VOC akan membayar 50 ringgit (realen) bagi setiap bahar cengkeh yang berukuran 625 pon. Namun, di kemudian hari VOC menghentikan pembayaran dengan ringgit (realen), tetapi dengan bahan-bahan kebutuhan untuk setiap bahar cengkeh. Kebijakan itu diambil karena para pedagang yang mendatangi Ternate lebih tertarik pada ringgit (realen).
Ketentuan lain dari Perjanjian tahun 1652 itu juga memberikan dampak politik. Dalam perjanjian itu VOC berjanji akan menyerahkan recognitie penningen (pembayaran atas jasa-jasa yang diberikan) pada setiap tahun pada sultan dan para bangsawan. Pembayaran itu merupakan ganti rugi atas penerimaan sultan dan bangsawan Ternate selama itu atas perdagangan cengkeh. Ditentukan bahwa setiap tahun sultan akan menerima 12.000 ringgit dan para bangsawan harus membagi 1.500 ringgit dari total jumlah mereka.
Sekalipun dengan para bangsawan tersebut telah dibuat juga sebuah perjanjian pada tanggal 28 Maret 1653 yang mengandung ketentuan itu, dalam kenyataannya VOC menyerahkan seluruh jumlah itu (1500 ringgit) kepada sultan agar bagian dari para bangsawan dibagikan sesuai keinginan sultan (jadi, sultan menerima 13.500 ringgit). Dengan cara itulah VOC melumpuhkan kekuasaan “Fala Raha” dan memperkuat kedudukan otoriter dari sultan.
Sesungguhnya sejak pertengahan abad ke-17 sultan Ternate (dan Bacan serta Tidore) dapat dikendalikan oleh VOC. Keadaan politik itu diformalkan setelah Gubernur Ternate Padtbrugge berhasil mengatasi pemberontakan para bangsawan yang bernama Sultan Sibori pada tanggal 17 Juli 1683. Pada tahun itu sultan dan para bangsawan menandatangani sebuah perjanjian lagi. Dalam perjanjian itu kerajaan Ternate dinyatakan sebagai daerah kekuasaan Belanda karena direbut melalui perang, tetapi para sultan dan bangsawan diperkenankan memerintah terus sebagai vassal dari VOC. Bahkan, VOC mendapat hak untuk mengangkat sultan baru.
Dengan pengubahan status politik dari sekutu menjadi bawahan itu, recognitie penningen juga dihapus. Selanjutnya sultan Ternate akan menerima 6.400 ringgit setahun untuk pengeluarannya, para pejabat kerajaan Ternate bersama-sama menerima 600 ringgit, para pemimpin Pulau Makian bersama-sama menerima 2.000 ringgit dan para penguasa dari Pulau Moti bersama-sama menerima 150 ringgit. Walau jumlah uang itu tidak diberikan untuk penganti penghasilan dari penjualan cengkeh, patut dikatakan disini bahwa kedua pulau itu pernah menjadi produsen cengkeh terbesar di Maluku Utara.
Ketentuan lain dalam Perjanjian 1652 itu adalah bahwa wilayah keluarga Tomagola di Hoamoal dan Hitu dialihkan sepenuhnya dari Kerajaan Ternate kepada VOC di kepulauan Ambon. Sejak itu wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh Kerajaan Ternate sepenuhnya menjadi wewenang VOC.
Sejak tahun 1695 dapat dikatakan bahwa Portugis sudah terusir dari kepulauan Maluku, meskipun masih menimbulkan kekhawatiran penguasa lokal. Hal ini dikarenakan Portugis masih memiliki kedudukan di Pulau Timor yang sewaktu-waktu dapat mengancam kerajaan-kerajaan di Maluku. Demikian pula dengan keberadaan Spanyol di Tidore. Namun oleh VOC keberadaan Spanyol ini tidak terlalu membahayakan kedudukan Belanda di Maluku. Spanyol pun pada akhirnya juga terusir dari Tidore pada tahun 1663. Sedangkan Inggris di Maluku gagal menghadapi VOC.
Dengan kegagalan Inggris di Maluku menghadapi VOC, maka semakin mantaplah penerapan sistem monopoli VOC di Kepulauan Maluku Utara. Demikianlah penjelasan singkat tentang sistem monopoli VOC di Kepulauan Maluku Utara.