Sistem Perdagangan VOC Di Indonesia (1602-1799)

Bagaimana Sistem Perdagangan VOC di Indonesia?. Sistem perdagangan VOC di Indonesia mulai dilakukan sejak VOC (secara resmi didirikan pada tahun 1602 sebagai kongsi dagang Belanda yang berada di Dunia Timur. Sistem perdagangan VOC di Indonesia ini segera diterapkan diberbagai wilayah di Indonesia yang telah berada di bawah pengaruh VOC, setidaknya praktik dari sistem ini berlaku hingga runtuhnya VOC pada tahun 1799.

Praktik Sistem Perdagangan VOC Di Indonesia

Seperti apa yang juga dilakukan oleh bangsa Portugis, memasuki masa Modern Awal, bangsa Belanda pun juga mengaitkan aktivitas perdagangan (ekonomi) dan juga politik (kekuasaan). Namun, perlu diketahui, bahwa bangsa Belanda berbeda dengan bangsa Portugis dalam menerapkan aktivitas tersebut. Bangsa Belanda melaksanakan perdagangan antar benua melalui suatu badan dagang yang dibentuk secara khusus untuk melaksanakan aktivitas tersebut. Badan dagang ini dilengkapi dengan modal yang disetor oleh warga negaranya. Dengan demikian, meskipun berada dalam perdagangan antar-benua, perusahaan perdagangan dari bangsa Belanda tetaplah mendapat perlindungan politik. Sehingga perusahaan perdagangan itu bukan menjadi milik negara Belanda, melainkan milik warga negara Belanda.

Sejak berhasil melepaskan diri dari penjajahan bangsa Spanyol, pada tahun 1581 bangsa Belanda membentuk suatu Republik Belanda Serikat yang dinamakan De Republiek der Verenigde Nederlanden yang terdiri atas tujuh negara bagian. Setiap negara bagian memiliki penguasanya sendiri yang dilengkapi dengan dewan perwakilan masing-masing (Staten). Pada masa awal pembentukan republik ini di Belanda belum ada raja, tetapi pengaruh dari keluarga Oranye berfungsi sebagai alat pemersatu diantara tujuh negara bagian itu. Selain itu, ada pula sebuah dewan perwakilan yang mencakup semua negara bagian yang dinamakan dengan Staten-Generaal.

Sistem Perdagangan Belanda

Sistem perdagangan Belanda yang memadukan unsur politik dan keterlibatan swasta itu berkaitan dengan perkembangan masyarakat Belanda. Pada periode Republik Belanda ini, ekonomi pada umumnya (khususnya berkaitan dengan perdagangan) berada dalam pengaruh kaum bourgeoisie (borjuis), sedangkan politik masih berada dalam tangan aristokrat. Kerja sama yang baik antara kedua golongan sosial itulah (borjuis dan aristokrat) yang memungkinkan diselenggarakannya perdagangan antar-benua bagi Belanda.

Aktivitas awal yang dilakukan oleh bangsa Belanda dalam pelayaran menjelang akhir abad ke-16 adalah dengan mengunjungi Venesia di Italia untuk mencari informasi Jalan laut ke arah Timur (Asia). Di Venesia inilah bangsa Belanda berhasil memperoleh peta-peta dan informasi menuju ke Timur. Sebelum bangsa Belanda, bangsa Portugis telah terlebih dahulu mendapatkan informasi-informasi ini dan oleh karenanya bangsa Portugis terlebih dahulu-lah yang melakukan pelayaran ke Dunia Timur.

Setelah berhasil mendapatkan informasi terkait Dunia Timur, bangsa Belanda mulai melakukan pelayaran ke Dunia Timur pada dekade akhir abad ke-16. Sejak tahun 1595 kapal-kapal niaga Belanda mulai berdagang di Pelabuhan Banten dan Sunda Kelapa. Perdagangan tersebut dipelopori oleh para pedagang kota Amsterdam yang mendapat lisensi dari wali kotanya untuk memegang monopoli perdagangan antara Amsterdam dan Asia. Daerah Zeeland di selatan juga membentuk perusahaan pelayaran niaganya. Tidak lama kemudian kota-kota lainpun mulai membentuk perusahaan pelayaran niaga dengan lisensi dari walikota masing-masing.

Banyaknya perusahaan pelayaran niaga yang mengklaim memegang monopoli perdagangan antara kota masing-masing dengan Asia dengan sendirinya menimbulkan persaingan ketat antara para pedagang Belanda. Persaingan ini terutama terjadi pada penentuan harga jual rempah-rempah yang diangkut dari Asia, khususnya yang berasal dari Kepulauan Indonesia (Nusantara). Persaingan itu mengakibatkan merosotnya keuntungan dan menyebabkan pihak Amsterdam dan Zeeland memutuskan untuk menyatukan semua perusahaan pelayaran niaga itu dalam satu perusahaan saja.

Usulan dari Amsterdam dan Zeeland yang disertai dengan bantuan pemerintah masing-masing, dan intervensi keluarga Oranye, melalui Pangeran Mauritz, pada tanggal 20 Maret 1602 Staten Generaal mengeluarkan sebuah surat izin (Octrooi) pada sebuah perusahaan yang dinamakan Verenigde Oostindische Compagnie (Serikat Perusahaan Perdagangan di Asia Timur). Octrooi tersebut berlaku selama 21 tahun dan dapat diperbarui seterusnya.

Serikat perusahaan dagang itu dikelola oleh sebuah badan (Bewindhebbers) yang berjumlah sekitar 70 orang yang mana mereka mewakili perusahaan-perusahaan lokal yang telah ada sebelumnya. Selanjutnya, mereka memilih 17 orang yang menjadi direksi (Heeren XVII). Modal perusahaan disetor oleh setiap pengurus perusahaan-perusahaan lokal ditambah dengan saham yang dapat dibeli oleh siapa saja (Partiesipient). Sampai VOC dibubarkan pada tahun 1799, modal dasar yang pertama itu tidak pernah ditambah sehingga tambahan modal hanya bergantung pada penjualan saham. Hambatan modal itu sangat terasa ketika VOC meningkatkan intensitas perdagangannya pada abad ke-18. Kekurangan dana ini tidak memungkinkan VOC untuk menutup biaya penyediaan kapal dan modal dagang di Asia dari keuntungannya.

Jika orang Belanda mendapat peta dan keterangan mengenai jalan laut ke Asia dari Venesia, sistem perdagangan di Asia banyak mengikuti Portugis yang sudah berada di Asia sejak abad ke-16. Namun, sampai tahun 1619 VOC belum memiliki pusat perdagangan di Asia. Selama itu pula Gubernur Jenderal VOC yang sudah diangkat sejak 1602 selalu berkantor di sebuah kapal VOC yang berada di perairan Kepulauan Indonesia.

Perdagangan Yang Didasari Oleh Birokrasi Dan Tentara

Permasalahan pusat kantor dagang VOC baru berhasil dipecahkan pada tahun 1619, ketika Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen berhasil merebut Jayakarta beserta “dalem” dari Pangeran Wijayakrama yang memerintah sebagai wakil dari kerajaan Banten. Dengan keberhasilan menaklukkan Jayakarta, VOC menyatakan bahwa ia telah menduduki “kerajaan Sunda” yang membentang dari Teluk Jakarta hingga Samudra Hindia. Di bekas “dalem” itulah Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen membangun sebuah benteng yang diberi nama Batavia dan sebuah kota di bagian selatan Benteng Batavia.

sistem perdagangan voc di indonesia
Batavia (1780) sebagai pusat dari pemerintahan dalam penerapan sistem perdagangan VOC di Indonesia

Selain itu, seperti halnya yang dilakukan oleh Portugis, VOC juga memiliki suatu jaringan birokrasi dan persenjataan. Cara berdagang yang tidak lazim di Asia itu (kecuali Cheng He) dapat disebut sebagai beaucratic and amred trade (berdagang yang didasari birokrasi dan tentara). Wujudnya adalah benteng-benteng dengan pegawai dan tentaranya serta suatu hubungan surat-menyurat yang aktif dan laporan-laporan yang panjang dan lengkap antara berbagai pejabat di daerah dengan pusat VOC yang terletak di Batavia. Wilayah-wilayah yang dikuasai VOC untuk kepentingan dagangnya dikoordinasi oleh seorang goeverneur (gubernur), sedangkan di wilayah-wilayah lain yang tidak memiliki ikatan politik ditempatkan seorang opperhoofd (kepala) atau seorang gezaghebber (penguasa).

Sebelum VOC membangun Benteng Batavia, VOC telah berhasil merebut beberapa benteng Portugis (sebagian besar di Kepulauan Maluku) dan membangun sejumlah benteng baru di tempat-tempat yang dipandang strategis. Seluruh sistem benteng yang saling dihubungkan dengan armada-armada VOC itu bertujuan menjamin monopoli VOC atas produksi rempah-rempah yang ada di Kepulauan Indonesia.

Partnership (Kemitraan)

Suatu ciri khas lain dari Sistem perdagangan VOC di Indonesia adalah yang dinamakan dengan partnership (kemitraan). VOC mengupayakan suatu sistem monopoli atas rempah-rempah dengan cara membina kemitraan dengan para penguasa lokal. Sampai sekitar pertengahan abad ke-16 kemitraan itu berhasil dibangun karena para penguasa lokal di Indonesia membutuhkan VOC untuk memerangi bangsa Portugis. Pihak VOC juga berkepentingan secara ekonomis (dagang) maupun secara politis untuk memerangi bangsa Portugis. Hal ini disebabkan adanya kepentingan bersama dalam menghadapi Portugis, walau pada pihak VOC ada tambahan kepentingan dagang sedangkan pada pihak penguasa lokal praktis unsur ekonomi itu hampir dapat dikatakan tidak ada.

Setelah negara-negara tradisional di Kepulauan Indonesia berhasil menyingkirkan dominasi Portugis karena bantuan VOC, sejak sekitar pertengahan abad ke-17 kemitraan dengan penguasa-penguasa lokal itu mulai dibangun oleh VOC dengan memihak salah satu pihak yang bertikai dalam suatu kerajaan tertentu. Sistem kemitraan yang dilakukan oleh VOC itu didukung oleh sistem perbentengan dan armada.

Praktik Monopoli VOC Di Indonesia

Sistem perdagangan VOC di Indonesia terlihat dengan jelas pada praktik monopoli VOC di Indonesia terutama yang dilakukan dibeberapa wilayah di Indonesia seperti di Banda, Maluku Utara dan Ambon.

Praktik Monopoli VOC Di Ambon

Praktik monopoli VOC di Ambon adalah salah satu praktik dari sistem perdagangan VOC di Indonesia. Sebelum VOC berhasil menerapkan praktik monopolinya terhadap Ternate, sistem monopoli VOC di Kepulauan Ambon telah dilakukan lebih awal. Sebagaimana diketahui, bahwa praktek dari sistem monopoli VOC adalah melalui kemitraan dan yang paling pertama dilakukan oleh VOC adalah terhadap Kepulauan Ambon.

Kemitraan awal yang dibangun oleh VOC di Indonesia adalah terhadap Kepulauan Ambon. Sebagaimana diketahui, bahwa VOC telah lebih dahulu berkuasa di Ambon daripada di Ternate. Persaingan Hitu dengan Portugis yang telah berlangsung sejak pertengahan abad ke-16 itu semakin memanas menjelang akhir abad ke-16. Sejak saat itu pula kapal-kapal dagang Belanda mulai muncul di Hitu dengan tujuan mengambil keuntungan yang maksimal dari perdagangan cengkeh. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau Hitu mencoba menjalin persahabatan dengan Belanda untuk menghadapi Portugis.

Ketika di Hitu muncul berita bahwa di Pelabuhan Banten telah muncul armada Belanda yang sangat kuat, dikirimlah utusan-utusan untuk meminta agar Belanda mau bergabung dengan Hitu menghadapi Portugis. Laksamana Steven van der Hagen yang memimpin armada VOC tersebut segera memanfaatkan kesempatan baik itu karena ditawari monopoli cengkeh sebagai imbalan kerja sama. Pada tahun 1606 armada VOC dengan dibantu oleh pihak Hitu berhasil merebut benteng Portugis di Ambon itu dan mengganti namanya menjadi Fort Victoria.

Baca Juga  Revolusi Amerika (1774-1776)

Keinginan VOC di Ambon untuk menjalankan sistem perdagangan monopoli cengkeh di kepulauan ini mendapat perlawanan dari wakil Ternate yang berkedudukan di Luhu, Hoamoal. Perlawanan itu menjalar juga ke negeri-negeri (desa-desa) yang penduduknya beragama Islam di Pulau Haruku dan Pulau Saparua. Tidak lama kemudian, Hitu, sekutu VOC juga mengangkat senjata melawan VOC di Ambon.

Perjanjian VOC dengan Sultan Mandar Syah pada tahun 1652 tersebut mengakhiri perlawanan Hoamoal dan Hitu. Di mana berdasarkan perjanjian itu, VOC berkuasa atas Hoamoal dan Hitu. Namun, pertarungan untuk menguasai perdagangan cengkeh di kepulauan Ambon itu terus berlangsung hingga 1658. VOC akhirnya unggul karena teknologi perangnya jauh lebih baik daripada teknologi perang penduduk lokal. Bantuan dari Makassar dan dari Jawa tidak dapat menahan armada yang sangat kuat dari Batavia dengan pimpinan seorang laksamana VOC yang sangat berpengalaman, yaitu Arnold de Vlaming.

Setelah berhasil memadamkan perlawanan, dengan demikian, VOC di Ambon mulai secara bebas membangun suatu sistem monopoli cengkeh di Maluku. Sehingga dimulailah sistem monopoli VOC di Kepulauan Ambon. Sebenarnya sudah sejak tahun 1652 Gubernur VOC di Ambon memerintahkan penduduk untuk menanam cengkeh. Namun, kebun-kebun cengkeh itu hanya dibatasi pada empat pulau, yaitu Pulau Ambon, Pulau Haruku, Pulau Saparua, dan Pulau Nusalaut. Di pulau-pulau lainnya yang pernah menghasilkan cengkeh ketika masih dikuasai Ternate, yaitu di Jazirah Hoamoal dan pulau-pulau kecil di sekitarnya berlaku pelarangan seperti tertera dalam perjanjian dengan Sultan Mandar Syah (extierpatie dan hongitochten).

Pada umumnya setiap keluarga di Kepulauan Ambon diharuskan menanam sejumlah pohon cengkeh yang setiap tahunnya dipanen menjelang akhir tahun. Akan tetapi, ketika jumlah produksi cengkeh berlebihan di pasar Eropa yang menyebabkan harganya merosot, VOC di Ambon melakukan kebijakan hongitochten dan menebas (extierpatie) sejumlah pohon cengkeh yang ada di setiap negeri. Kebijakan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1692. Ketika pasar dunia kekurangan persediaan cengkeh, pada tahun 1727 VOC memerintahkan penduduk untuk menambah lagi jumlah pohon cengkeh. Pada tahun 1770 muncul lagi perintah untuk mengurangi produksi cengkeh. Selama pendudukan Inggris di Kepulauan Ambon antara 1796 dan 1817 penanaman dan produksi cengkeh sangat mundur karena Inggris tidak mementingkannya.

Cengkeh yang ditanam masyarakat keempat pulau tersebut (Pulau Ambon, Pulau Haruku, Pulau Saparua, dan Pulau Nusalaut) dijual kepada VOC di benteng-benteng milik VOC dengan harga 56 ringgit setiap bahar (di Maluku sama dengan sekitar 110 kg) atau f168. Diperkirakan bahwa sekitar 1680-an setiap tahun setiap dati (keluarga) dengan panen yang normal dapat menjual kepada VOC kurang dari 1 bahar dan memperoleh rata-rata 25,2 realen (ringgit atau uang Spanyol). Namun, dari jumlah itu masih ada berbagai potongan, di antaranya bagian yang terbesar untuk para penguasa desa belum lagi manipulasi alat timbang oleh pegawai VOC (menambahkan batu pada cengkeh yang ditimbang). Dalam masa jatuhnya harga cengkeh seperti dalam abad-abad berikut, dengan sendirinya pendapatan penduduk di Kepulauan Ambon menjadi jauh lebih rendah.

Uang yang diterima penduduk itu digunakan untuk membeli barang-barang “mewah”, seperti berbagai macam kain cita (chitzen) yang diimpor VOC dari India, perabot yang terbuat dari besi dan beras yang dijual para pedagang Makassar, dan lain sebagainya. Kemewahan itu tidak dapat dinikmati oleh penduduk yang dilarang menanam cengkeh, seperti di Pulau Seram dan Pulau Buru.

Sistem monopoli VOC di Kepulauan Ambon tersebut sesungguhnya tidak benar-benar terkendali. Lautan yang luas dan demikian banyaknya pulau-pulau kecil yang dapat digunakan oleh perahu-perahu dagang itu untuk bersembunyi menyebabkan banyak terjadi kebocoran. Para pedagang dari Makassar dan Jawa berlomba-lomba menerobos blokade kapal-kapal VOC untuk mendapatkan cengkeh. Makassar ketika itu (sampai tahun 1667) merupakan pelabuhan bebas yang masih tetap dikunjungi para pedagang dari Eropa dan Asia Tenggara yang membeli cengkeh yang berhasil diperoleh para pedagang tersebut.

Pengelolaan wilayah perkebunan cengkeh yang meliputi empat pulau itu (Ambon, Haruku, Saparua, dan Nusalaut) membuat VOC membangun suatu birokrasi yang berpusat di kota Ambon yang direbutnya dari Portugis pada tahun 1606. Pusat administrasi yang dipimpin oleh seorang gubernur itu terdapat dalam Fort Victoria. Di sekitar benteng itu muncul sebuah kota yang hingga kini dinamakan kota Ambon. Wilayah administrasi keempat pulau tersebut, ditambah dengan pulau-pulau Seram dan Buru dalam masa VOC, dinamakan Gouvernement van Amboina (Pemerintah Amboina).

Di pulau-pulau Haruku dan Saparua ditempatkan residen, masing-masing bertempat di benteng-benteng pula. Seperti dikemukakan diatas, di setiap pulau terdapat paling kurang dua benteng yang masng-masing dikawal oleh tentara VOC yang terdiri dari orang Belanda. Di Pulau Ambon terdapat empat benteng besar (fort), yaitu Victoria (di Ambon), Amsterdam (di Hila), Leiden (di Hitulama), dan Rotterdam (di Larike), dan lima benteng kecil (vestiging), yaitu Haarlem (di Negerilima), Vlisseingen (di Pulau Tiga), Hoek van Hulung (di Seit), Amesfoort (di Waai), dan Middelburg (di Baguala). Di Pulau Haruku terdapat dua benteng besar (fort), yaitu Zeelandia (di Haruku) dan Hoorn (di Kariu); di Pulau Saparua terdapat satu benteng besar, yaitu Fort Duurstede (di Saparua), dan empat benteng kecil (vestiging) Delft (di Porto), Huis te Velzen (di Itawaka), dan Hollandia (di Sirisori); di Pulau Nusalaut terdapat satu benteng kecil (vestiging), yaitu Beverwijk. Di Hoamoal terdapat tiga benteng besar (fort), yaitu Overburg (Luhu), dan Dwingland (di Loki) dan du benten kecil (vestiging), yaitu Wentelberg (di Nuahatu) dan Kalenberg (di Lesidi).

Untuk menjamin produksi monopoli, VOC menata negeri-negeri (desa-desa) di keempat Pulau kecil itu (Ambon, Haruku, Saparua, dan Nusalaut). Pemukiman yang sebelumnya terletak di pegunungan, terutama yang memberi perlawanan kepada VOC selama bagian pertama abad ke-17, diharuskan membangun negerinya di pesisir. Dalam abad ke-17 jumlah penduduk keempat pulau tersebut diperkirakan sekitar 100.000 jiwa.

Dalam keempat pulau tersebut (Pulau Ambon, Pulau Haruku, Pulau Saparua, dan Pulau Nusalaut) pemisahan negeri-negeri Islam dan Kristen mengikuti pola budaya tertentu. Di wilayah yang pola budayanya dikategorikan sebagai Patalima pada umumnya terdapat negeri-negeri Islam, seperti di bagian utama Pulau Ambon (Hitu), di bagian utama pulau-pulau Haruku dan Saparua. Di wilayah yang pola budayanya dikategorikan sebagai Patasiwa terdapat negeri-negeri yang penduduknya menganut Kristen. Hanya Nusalaut yang seluruh penduduknya beragama Kristen. Pola itu tetap bertahan di masa VOC, dan terus bertahan hingga kini. Hanya satu desa yang dalam abad ke-17 beralih dari Islam ke Kristen, yaitu negeri Hulaliu di Pulau Haruku.

Negeri-negeri di Kepulauan Ambon diatur sedemikian rupa agar produksi cengkeh berjalan lancar. Pemimpin negeri berasal dari keluarga-keluarga tertentu secara turun temurun. Para pemimpin negeri itu dianggap sakral dan memiliki karisma. Bahkan para pemimpin negeri dianggap mewakili suatu alam pikiran kosmologis-tradisional yang membagi alam raya dalam dua bagian atau empat bagian yang berada dalam keseimbangan.

Penduduk negeri dibagi lagi dalam beberapa bagian (soa) masing-masing dengan pemimpinnya sendiri (kepala soa), dan soa dibagi dalam famili (keluarga) yang melaksanakan produksi cengkeh. VOC yang menguasai kepulauan itu berdasarkan kemenangan dalam perang, membagi lahan-lahan terbaik bagi penduduk untuk ditanami cengkeh (tanah dati). Di mana Setiap keluarga wajib menanam 80 pohon cengkeh.

Selain lahan perkebunan cengkeh dan lahan tanaman konsumtif, terbentang hutan yang luas dan tidak berpenghuni. Hutan yang tidak berpenghuni itu merupakan bagian integral dari negeri yang dinamakan “pertuanan negeri”. Hutan luas yang tidak berpenghuni, tetapi merupakan sumber makanan itu menjadi tanggung jawab “kepala kewang” (kepala hutan) dan anggotanya. Pelaksanaaan pengelolaan negeri-negeri produsen cengkeh itu dapat dipelajari dalam laporan-laporan para residen dan gubernur serta para pemimpin negeri dari abad ke-17 dan ke-18.

Tidak lama setelah VOC menguasai Kepulauan Ambon, gereja-gereja di negeri Belanda meminta izin kepada VOC untuk mengadakan pekabaran injil di wilayah yang penduduknya telah beragama Katolik. Sejak awal abad ke-17 secara berangsur semua negeri yang penduduknya beragama Katolik beralih menjadi penganut ajaran Protestan. Di setiap negeri yang penduduknya beragama Kristen dibangun gereja yang diasuh oleh para pendeta Belanda yang sekali-kali datang dari Ambon.

Selain gereja, juga terdapat sekolah yang tujuannya untuk menambah pengetahuan keagamaan. untuk memenuhi kebutuhan tenaga guru, dibangun juga seminari di Ambon dengan murid-murid yang dipilih dari kalangan keluarga penguasa negeri. Inilah yang kemudian dikenal dengan “sekolah midras”. Para pengajar dalam institusi pendidikan tersebut dikenal dengan istilah guru “madras”

Guru Madras ini dipilih dari putra-putra terbaik di setiap desa dan dibina sebagai guru dalam seminari-seminari di Kota Ambon yang diselenggarakan oleh para pendeta Belanda. Para guru tersebut tidak saja mengajar di sekolah, tetapi juga melayani kebaktian di gereja dan memimpin kegiatan keagamaan lainnya. para “guru madras” inilah yang merupakan faktor utama dalam penyebaran ajaran agama Kristen di Kepulauan Ambon pada masa kekuasaan VOC. Di luar wilayah Kepulauan Ambon penataan pemukiman maupun pembinaan kehidupan agama Kristen baru dimulai pada abad ke-19 (setelah runtuhnya VOC).

Baca Juga  Mulawarman: Raja Terbesar Kerajaan Kutai

Praktik Monopoli VOC Di Banda

Sistem monopoli VOC di Kepulauan Banda dimulai setelah VOC berhasil menaklukan Kepulauan Banda pada tahun 1621. Perlu diketahui Kepulauan Banda terdiri dari dua pulau besar; Pulau Banda dan Banda Besar (Lontor). Selain dua pulau besar, juga terdapat pulau kecil seperti Pulau Run dan Pulau Rosenggaing. Memasuki awal abad ke-17 diperkirakan jumlah penduduk Kepulauan Banda sekitar 15.000 jiwa yang terbagi menjadi beberapa desa-desa kecil yang tersebar di Kepulauan Banda.

Di Kepulauan Banda tidak muncul institusi kerajaan yang mengikat desa-desa itu menjadi satu kesatuan politik layaknya Ternate, Tidore dan Bacan. Setiap desa di Kepulauan Banda berdiri sendiri dengan dipimpin oleh seorang Orangkaya. Kepulauan Banda pada saat itu adalah satu-satunya daerah penghasil buah pala. Pada abad ke-16 Portugis berhasil menjalin hubungan dagang dengan orang-orang di Kepulauan Banda dan juga mendapatkan izin untuk mendirikan benteng yang kemudian setelah dikalahkannya Portugis oleh VOC, benteng portugis itu dibangun kembali oleh VOC pada abad ke-17 dan diberi nama Fort Nassau.

Memasuki awal abad ke-17 telah terjadi persaingan dagangan antara Inggris dan Belanda untuk memonopoli perdagangan lada yang ada di Kepulauan Banda. Persaingan antara keduanya semakin menjadi setelah Inggris membentuk EIC (East India Company) pada tahun 1600 sedangkan Belanda membentuk VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) pada tahun 1602. Di Kepulauan Banda ini, VOC membuka kantor dagangnya di Banda Neira sedangkan EIC menguasai Pulau Run dan Pulau Ai yang dianggap sebagai koloni Inggris pertama di Asia.

Kedua perusahaan dagang itu (EIC dan VOC) menganggap bahwa perdagangan di Asia harus dilakukan dengan kekuataan senjata. Di kalangan VOC pendapat itu terutama dianut oleh Jan Pieterszoon Coen yang sebanyak dua kali menjabat sebagai Gubernur Jenderal VOC di Batavia (1619-1623 dan 1627-1629). Pada tahun 1614 J. P. Coen mengatakan kepada Dewan Heeren XVII :

….tuan-tuanlah seharusnya mengetahui dari pengalaman, bahwa perdagangan di Asia harus dilaksanakan dan dipertahankan dengan perlindungan senjata dan bahwa senjata harus bisa dibiayai melalui keuntungan dari perdagangan itu. Jadi, kita tidak bisa berdagang tanpa perang dan tidak bisa berperang tanpa dagang.

J.P. Coen

Pada tahun 1609 VOC mengirimkan armadanya di bawah pimpinan Laksamana Verhoeven untuk menggunakan kekuatan senjata di Kepulauan Banda. Kedatangan Laksamana Verheoven ini awalnya membuat sebuah perjanjian dagang dengan para orangkaya di Kepulauan Banda untuk mendapatkan hak monopoli. Pada awalnya, perjanjian dagang ini disetujui oleh para orangkaya, namun hubungan itu dirusak oleh VOC dengan membangun kembali benteng Portugis dan menamainya Fort Nassau. Pembangunan Fort Nassau itu menimbulkan anggapan dari para orangkaya bahwa VOC tidak berniat baik.

Sejak pembangunan Fort Nassau itu, hubungan antara orang-orang Kepulauan Banda dan VOC semakin memburuk. Permusuhan itu pada akhirnya menyebabkan Laksamana Verheoven beserta beberapa pasukannya dibunuh. Sedangkan penduduk Kepulauan Banda lebih senang berdagang dengan Inggris. Hal ini tentu sangat mencemaskan bagi VOC. Untuk mempertahankan posisinya di Kepulauan Banda, VOC selanjutnya membangun benteng kedua di Pulau Banda yang diberi nama Fort Belgica.

Pada tahun 1621 J. P. Coen, Gubernur Jenderal VOC di Batavia memutuskan untuk memimpin sendiri penaklukan terhadap Kepulauan Banda dan mencegah penduduk Kepulauan Banda berdagang dengan Inggris. Armada VOC yang dipimpin oleh J. P. Coen berkekuatan 13 kapal besar, sejumlah kapal pengintai dan sekitar 40 sekoci. Tentara VOC ini berjumlah 1.600 orang Belanda yang diperkuat oleh 250 orang yang sebelumnya telah ada di Banda. Selain itu diikutsertakan pula sekitar 300 orang Jawa yang berstatus sebagai narapidana, sekitar 100 orang samurai Jepang serta sejumlah bekas budak belian.

Armada VOC itu tiba di Banda Neira pada bulan Februari 1621. Armada itu segera melakukan penyerangan terhadap Pulau Lontor dan berhasil menguasai pulau itu dalam tempo satu bulan. J. P. Coen kemudian mengumpulkan seluruh orangkaya Lontor untuk membuat sebuah perjanjian. Di dalam perjanjian itu disebutkan apabila penduduk Pulau Lontor menyerahkan semua senjata mereka, mereka tidak akan ditindak dan diperbolehkan hidup damai di desa masing-masing. Akan tetapi, sebelum surat perjanjian itu ditandatangani, J.P. Coen telah memerintahkan pembangunan sebuah benteng yang diberi nama Fort Hollandia.

Tindakan J. P. Coen itu pun membuat rakyat Pulau Lontor menjadi curiga akan maksud J. P. Coen melalui perjanjian damai. Sehingga banyak penduduk Pulau Lontor yang melarikan diri dan membentuk kelompok-kelompok untuk melakukan gerilya melawan VOC. Pada tanggal 16 Mei 1621 J. P. Coen kembali menuju Batavia dan Pulau Lontor diserahkan kepada Kapten t’Snock. Sebelum benteng dibangun, Kapten t’Snock menjadikan rumah-rumah rakyat sebagai rumah bagi para perwira VOC dan masjid dijadikan sebagai markas mereka.

Pada 21 April 1621 lentera di dalam masjid itu dengan tidak sengaja terjatuh sehingga menimbulkan kebakaran. Kapten t’Snock kemudian menuduh bahwa kebakaran itu disengaja oleh penduduk Pulau Lontor dan menjadi awal perlawanan penduduk Pulau Lontor terhadap VOC. Pada malam hari tentara VOC dikerahkan untuk mengejar penduduk yang melarikan diri ke hutan dan puncak gunung.

Di dalam pengejaran itu, banyak penduduk yang tewas tertembak dan banyak pula yang mati kelaparan. Penduduk yang ditemukan di desa-desa dibunuh dan rumah-rumah serta perahu-perahu dibakar. Mereka yang dapat melarikan diri mencari perlindungan kepada Inggris atau menyebar ke Pulau Kei dan Aru. Jumlah penduduk yang melarikan diri sebanyak 300 orang. Namun yang meninggal tidak kurang dari 2.500 orang. Diperkirakan bahwa penduduk yang berjumlah sekitar 15.000 orang di Kepulauan Banda hanya tersisa 1.000 orang.

J. P. Coen kemudian mengunjungi Pulau Ai beserta pasukannya. Di Pulau Ai J. P. Coen memerintahkan untuk membangun sebuah benteng yaitu Fort Rvenge. Selain itu, J. P. Coen juga berniat menyerang Pulau Run, namun niatannya tidak terlaksana oleh sebab Pulau Run telah dikuasai oleh Inggris. Pulau Run dikuasai Inggris hingga tahun 1667. Pada tahun 1667 terjadi perjanjian damai antara Inggris dan Belanda. Di dalam perjanjian itu, diserahkan Pulau Run oleh Inggris kepada Belanda sedangkan Belanda menyerahkan Pulau Manhattan kepada Inggris.

Orang-orang Kepulauan Banda yang menyerahkan diri kemudian diangkut ke Batavia. Sedangkan 44 orangkaya pada 8 Mei 1821 dihukum mati di dalam Fort Nassau dengan cara dipenggal oleh para samurai Jepang. Setelah melenyapkan penduduk di Pulau Banda dan Pulau Lontor, VOC menyatakan bahwa kebun-kebun pala menjadi milik VOC. VOC kemudian memberi hak pakai atas kebun-kebun itu kepada bekas tentara dan pegawai VOC. Tenaga kerja di kebun-kebun itu diusahakan oleh VOC melalui tenaga budak.

Kebun-kebun pala dengan hak pakai itu dibagi dalam 68 perken (kapling) dengan ukuran masing-masing 12-30 hektare. Di Pulau Lontor terdapat 34 perken, di Pulau Ai 31 perken, dan di Pulau Banda 3 perken. Seluruhnya dikelola oleh 34-68 perkenier (pengelola perken). Dengan demikian maka seluruh wilayah Kepulauan Banda berada dalam kekuasaan VOC.

Praktik Monopoli VOC Di Kepulauan Maluku Utara

Sistem monopoli VOC di Kepulauan Maluku Utara diawali dari lenyapnya dominasi Portugis di daerah Maluku Utara, terutama setelah Sultan Baabullah berhasil mengusir Portugis pada tahun 1570. Dengan lenyapnya pengaruh dan dominasi Portugis, maka VOC mulai secara leluasa menerapkan sistem monopolinya di Kepulauan Maluku Utara. Salah satu upaya dari sistem monopoli VOC di Kepulauan Maluku Utara adalah menerapkan sistem partnership (kemitraan). Di bawah ini akan dijelaskan tentang sistem monopoli VOC di Kepulauan Maluku Utara.

Sebagaimana diketahui, bahwa sejak tahun 1570 Sultan Baabullah dari Kerajaan Ternate berhasil mengusir dominasi Portugis di Kepulauan Maluku Utara. Di sisi lain, pada tahun 1580 Raja Spanyol, Raja Filip II berhasil merebut takhta Portugis dan memerintah dua kerajaan (Portugis dan Spanyol) sekaligus. Langkah yang diambil oleh Spanyol selanjutnya adalah memerintahkan Gubernur Jenderal Spanyol yang ada di Manilla, Dom Pedro da Cunha, bersama dengan Kerajaan Tidore yang menjadi sekutu Spanyol untuk mengerahkan pasukannya menyerang Kerajaan Ternate.

Pasukan koalisi Kerajaan Tidore dan Spanyol itu berkekuatan 3095 orang. Dalam penyerangan itu, Sultan Said dari Kerajaan Ternate berhasil melarikan diri bersama sejumlah pejabat kerajaan, sementara Dom Pedro da Cunha meneruskan ekspedisi ke wilayah-wilayah milik Kerajaan Ternate lainnya serta Bacan. Sultan Said akhirnya berhasil dibujuk untuk kembali ke Ternate dan menandatangani sebuah perjanjian dengan Spanyol yang antara lain menetapkan bahwa kerajaan Ternate mengakui kekuasaan dan memberi hak monopoli cengkeh kepada Spanyol. Sebelum kembali ke Manila, Dom Pedro da Cunha menempatkan pasukannya di Benteng Gamalama (yang dibangun oleh Portugis, tetapi sejak 1575 Benteng Gamalama digunakan oleh sultan-sultan Ternate), Sultan Said bersama sejumlah bangsawan Ternate dibawa pula ke Manila sebagai sandera.

Sementara itu, pihak-pihak yang menolak kekuasaan Spanyol di Kerajaan Ternate mengetahui bahwa di Banten telah tiba sebuah armada Portugis dari negeri Belanda. Seorang bangsawan dikirim sebagai utusan untuk meminta bantuan Belanda mengusir Spanyol dari Ternate dengan imbalan diberikan hak untuk monopoli cengkeh. Laksamana Cornelis Matelieff menyetujui permintan itu dengan syarat Kerajaan Ternate harus menyertakan 1.500 pasukan untuk membantu armadanya.

Karena bantuan yang diberikan oleh Kerajaan Ternate hanya beberapa ratus orang, Laksamana Matelieff memutuskan untuk tidak menyerang Benteng Gamalama, tetapi membangun benteng baru di pantai Malayu berseberangan dengan benteng Spanyol tersebut. Benteng VOC itu kemudian dikenal dengan nama Fort Oranye. Matelieff mengharuskan Sultan Muzafar Syah menandatangani sebuah perjanjian (kontrak) yang antara lain menetapkan bahwa VOC akan menjaga keamanan Ternate terhadap Spanyol dengan imbalan monopoli cengkeh di seluruh kerajaan Ternate.

Baca Juga  Kolonialisme Dan Imperialisme: Pengertian, Definisi Dan Perbedaan

Untuk kepentingan pertahanan itu dalam waktu singkat VOC membangun benteng-benteng lain kecuali Fort Oranye. Di Pulau Moti dibangun Fort Nassau, di Pulau Ternate dibangun benteng kedua di Takome, yaitu Fort Willemstad. Benteng Spanyol di Pulau Bacan direbut dan diberi namaFort Barnevelt. Dalam waktu dua tahun VOC berhasil membangun tembok-tembok pertahanan (fortification) selain benteng-benteng tersebut yang dipertahankan oleh 500 tentara, yaitu di Taloko, Takome dan Kalamata di Pulau Ternate, Tapasoho, Ngofakiaha dan Tabalola di Pulau Makian, dan beberapa lagi di Jailolo (Halmahera) dan Pulau Tidore.

Kebijakan monopoli cengkeh VOC di Maluku mengalami perubahan di sekitar tahun 1650-an. Perubahan itu sudah tampak sejak Sultan Hamzah (1627-1648), adik Sultan Baabullah, masih muda. Ketika Gubernur Jenderal Spanyol Dom Pedro da Cunha menyandera Sultan Said ke Manila, Hamzah termasuk dalam rombongan itu. Ia baru kembali ke Ternate sekitar 1627 dan langsung dipilih oleh Dewan Kerajaan sebagai Sultan. Selama berada di Manila rupanya Sultan Hamzah tertarik pada cara Spanyol memerintah di Filipina, yaitu mencoba menerapkan sistem pemerintahan tangan besi itu dan mengabaikan kebiasaan para sultan sebelumnya yang senantiasa bermusyawarah dan bermufakat dengan para bangsawan di Ternate.

Salah satu hambatan yang dihadapi Hamzah untuk melaksanakan cara pemerintahan yang otoriter itu adalah perlawanan dari keluarga Tomagola yang sejak abad ke-16 telah diberi hak untuk berkuasa di Jazirah Hoamoal di Seram dan di pulau-pulau sekitarnya, termasuk di Jazirah Hitu (di Pulau Ambon). Pusat kekuasaan Tomagola di Hoamoal itu terletak di negeri Luhu yang juga merupakan pelabuhan ekspor cengkeh utama di masa itu. Keluarga Tomagola adalah salah satu dari empat keluarga bangsawan yang menentukan politik kerajaan Ternate. Tiga keluarga lainnya adalah Tomaitu, Marsaoli, dan Lumatau yang disebut sebagai “Fala Raha” (empat rumah) yang berpengaruh dalam politik Kerajaan Ternate. Sultan Ternate selalu dipilih dari salah satu “rumah” itu dan Sultan Hamzah sendiri adalah seorang Tomagola.

Untuk menghilangkan otonomi dari keluarga Tomagola di Hoamoal dan Hitu, Sultan Hamzah mengatakan bahwa mereka dibutuhkan di Ternate sebagai penasihat sultan. Namun, keinginan Sultan Hamzah itu selalu ditolak oleh keluarga Tomagola. Oleh karena itu, Sultan Hamzah mencari jalan lain untuk mematahkan kekuasan Tomagola dengan cara meminta gubernur VOC yang berada di Ambon untuk memerintah di Hoamoal dan Hitu atas namanya.

Atas tindakan Sultan Hamzah itu, membuat VOC mendapatkan kesempatan untuk memperkuat monopolinya di Kepulauan Ambon. Sebab daerah Hoamoal dan Hitu selalu menjadi titik lemah sistem monopoli VOC di Kepulauan Ambon. Para pedagang Eropa yang berasal dari Pelabuhan Makassar selalu mengirim para nakhoda Bugis dan Makassar untuk membeli cengkeh secara tersembunyi di kedua wilayah itu untuk dijual kembali kepada para pedagang Eropa. Hal itu juga dilakukan oleh para pedagang dari kepulauan Banda.

Sepeninggal Sultan Hamzah pada tahun 1648, Dewan Kerajaan Ternate memilih Mandar Syah, putra tertua Sultan Hamzah sebagai sultan Ternate yang baru. Berbeda dengan ayahnya, Sultan Mandar Syah adalah seorang sultan yang sangat lemah. Untuk mempertahankan diri ia harus menjalin kerja sama yang sangat erat dengan VOC. Sikap yang ditunjukkan oleh Sultan Mandar Syah itu mendapat kecaman dari para anggota Dewan Kerajaan, dan pada tahun 1650 Dewan Kerajaan Ternate menurunkan Mandar Syah dan menggantikannya dengan adiknya, Kaicili Manilha, yang oleh pihak VOC dianggap “tidak sanggup mengendalikan pikirannya” .

Pihak-pihak yang menentang Sultan Mandar Syah adalah Kaicili (gelar bangsawan keluarga sultan) Said dan Hukum (kadi atau pemimpin agama) Laulata dari keluarga Tomagola, Kimelaha (kepala distrik atau sama dengan bupati) Terbile dari keluarga Tomaitu, Jougugu (menteri utama) Kaicili Musa dan Kimelaha Marsaoli dari keluarga Marsaoli. Sultan Mandar Syah melarikan diri ke Fort Oranye dan meminta perlindungan VOC, dan dengan bantuan VOC ia dapat dipulihkan kembali sebagai sultan Ternate pada tahun 1655.

Sementara itu, pada tanggal 31 Januari 1652 Sultan Mandar Syah harus menandatangani sebuah perjanjian (kontrak) dengan VOC dalam Fort Oranye. Di dalam perjanjian itu Kerajaan Ternate menerima keinginan VOC agar di Kerajaan Ternate tidak diperdagangkan cengkeh. Untuk mengawasi pelaksanaan ketentuan itu, VOC diizinkan setiap tahun melaksanakan patroli dengan sebuah armada yang terdiri dari kontingen VOC dan kontingen Ternate. Ekspedisi pemeriksaan cengkeh itulah yang dikenal dengan nama hongitochten (Pelayaran Hongi). Pohon cengkeh (yang berbuah maupun tidak) akan ditebang oleh tentara ekspedisi itu. Penebangan pohon-pohon cengkeh itu dikenal dengan sebutan extierpatie.

Pelaksanaan administrasi dari praktik monopoli VOC di Kepulauan Maluku Utara itu dilakukan oleh sebuah birokrasi yang berpusat di kota Ternate. Berbeda dengan di Ambon dan di Banda, di Maluku Utara, VOC tidak memiliki administrasi yang tersebar di seluruh wilayah itu. Pemerintahan yang dilakukan oleh aparat tradisional dari ketiga kerajaan (Ternate, Tidore dan Bacan), yang sultannya masing-masing dalam awal abad ke-17 menjadi sekutu VOC, kemudian berubah status menjadi vasal. Sistem pemerintahan VOC di Maluku Utara itu dinamakan Gouvernement der Molukken (Pemerintah Maluku).

Dengan demikian, VOC mengharapkan dapat mengendalikan perdagangan cengkeh secara tuntas dengan menghilangkan para penyelundup cengkeh yang umumnya adalah orang Jawa, Melayu, dan Banda. Selain itu, ekstirpasi pohon cengkeh setiap tahun yang dilakukan di Kepulauan Maluku Utara memberikan keuntungan bagi VOC. Pada pertengahan abad ke-17 sudah terjadi kelebihan produksi cengkeh sehingga harganya di Eropa mulai merosot. Pengurangan produksi cengkeh di Kepulauan Maluku Utara itu akan dapat menormalkan kembali harga cengkeh di pasaran dunia.

Pada Perjanjian 1652 yang dilakukan antara VOC dan Sultan Mandar Syah ditentukan juga harga beli cengkeh. Selanjutnya di dalam perjanjian itu VOC akan membayar 50 ringgit (realen) bagi setiap bahar cengkeh yang berukuran 625 pon. Namun, di kemudian hari VOC menghentikan pembayaran dengan ringgit (realen), tetapi dengan bahan-bahan kebutuhan untuk setiap bahar cengkeh. Kebijakan itu diambil karena para pedagang yang mendatangi Ternate lebih tertarik pada ringgit (realen).

Ketentuan lain dari Perjanjian tahun 1652 itu juga memberikan dampak politik. Dalam perjanjian itu VOC berjanji akan menyerahkan recognitie penningen (pembayaran atas jasa-jasa yang diberikan) pada setiap tahun pada sultan dan para bangsawan. Pembayaran itu merupakan ganti rugi atas penerimaan sultan dan bangsawan Ternate selama itu atas perdagangan cengkeh. Ditentukan bahwa setiap tahun sultan akan menerima 12.000 ringgit dan para bangsawan harus membagi 1.500 ringgit dari total jumlah mereka.

Sekalipun dengan para bangsawan tersebut telah dibuat juga sebuah perjanjian pada tanggal 28 Maret 1653 yang mengandung ketentuan itu, dalam kenyataannya VOC menyerahkan seluruh jumlah itu (1500 ringgit) kepada sultan agar bagian dari para bangsawan dibagikan sesuai keinginan sultan (jadi, sultan menerima 13.500 ringgit). Dengan cara itulah VOC melumpuhkan kekuasaan “Fala Raha” dan memperkuat kedudukan otoriter dari sultan.

Sesungguhnya sejak pertengahan abad ke-17 sultan Ternate (dan Bacan serta Tidore) dapat dikendalikan oleh VOC. Keadaan politik itu diformalkan setelah Gubernur Ternate Padtbrugge berhasil mengatasi pemberontakan para bangsawan yang bernama Sultan Sibori pada tanggal 17 Juli 1683. Pada tahun itu sultan dan para bangsawan menandatangani sebuah perjanjian lagi. Dalam perjanjian itu kerajaan Ternate dinyatakan sebagai daerah kekuasaan Belanda karena direbut melalui perang, tetapi para sultan dan bangsawan diperkenankan memerintah terus sebagai vassal dari VOC. Bahkan, VOC mendapat hak untuk mengangkat sultan baru.

Dengan pengubahan status politik dari sekutu menjadi bawahan itu, recognitie penningen juga dihapus. Selanjutnya sultan Ternate akan menerima 6.400 ringgit setahun untuk pengeluarannya, para pejabat kerajaan Ternate bersama-sama menerima 600 ringgit, para pemimpin Pulau Makian bersama-sama menerima 2.000 ringgit dan para penguasa dari Pulau Moti bersama-sama menerima 150 ringgit. Walau jumlah uang itu tidak diberikan untuk penganti penghasilan dari penjualan cengkeh, patut dikatakan disini bahwa kedua pulau itu pernah menjadi produsen cengkeh terbesar di Maluku Utara.

Ketentuan lain dalam Perjanjian 1652 itu adalah bahwa wilayah keluarga Tomagola di Hoamoal dan Hitu dialihkan sepenuhnya dari Kerajaan Ternate kepada VOC di kepulauan Ambon. Sejak itu wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh Kerajaan Ternate sepenuhnya menjadi wewenang VOC.

Sejak tahun 1695 dapat dikatakan bahwa Portugis sudah terusir dari kepulauan Maluku, meskipun masih menimbulkan kekhawatiran penguasa lokal. Hal ini dikarenakan Portugis masih memiliki kedudukan di Pulau Timor yang sewaktu-waktu dapat mengancam kerajaan-kerajaan di Maluku. Demikian pula dengan keberadaan Spanyol di Tidore. Namun oleh VOC keberadaan Spanyol ini tidak terlalu membahayakan kedudukan Belanda di Maluku. Spanyol pun pada akhirnya juga terusir dari Tidore pada tahun 1663. Sedangkan Inggris di Maluku gagal menghadapi VOC. Dengan kegagalan Inggris di Maluku menghadapi VOC, maka semakin mantaplah penerapan sistem monopoli VOC di Kepulauan Maluku Utara.

Daftar Bacaan

  • Kartodirjo, Sartono. 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru II: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia.
  • Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan Di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Ricklefs, M. C. 2009. Sejarah Indonesia Modern 1200- 2004. Jakarta: Serambi.

Beri Dukungan

Beri dukungan untuk website ini karena segala bentuk dukungan akan sangat berharga buat website ini untuk semakin berkembang. Bagi Anda yang ingin memberikan dukungan dapat mengklik salah satu logo di bawah ini:

error: Content is protected !!

Eksplorasi konten lain dari Abhiseva.id

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca