Bagaimana Sistem Perdagangan VOC di Indonesia?
Sistem Perdagangan VOC – Sistem perdagangan VOC di Indonesia mulai dilakukan sejak VOC secara resmi didirikan pada tahun 1602 sebagai kongsi dagang Belanda yang berada di Dunia Timur. Sistem perdagangan VOC di Indonesia ini segera diterapkan diberbagai wilayah di Indonesia yang telah berada di bawah pengaruh VOC, setidaknya praktik dari sistem ini berlaku hingga runtuhnya VOC pada tahun 1799. Di bawah ini akan dijelaskan tentang Sistem perdagangan VOC di Indonesia.
Seperti apa yang juga dilakukan oleh bangsa Portugis, memasuki masa Modern Awal, bangsa Belanda pun juga mengaitkan aktivitas perdagangan (ekonomi) dan juga politik (kekuasaan). Namun, perlu diketahui, bahwa bangsa Belanda berbeda dengan bangsa Portugis dalam menerapkan aktivitas tersebut. Bangsa Belanda melaksanakan perdagangan antar benua melalui suatu badan dagang yang dibentuk secara khusus untuk melaksanakan aktivitas tersebut. Badan dagang ini dilengkapi dengan modal yang disetor oleh warga negaranya. Dengan demikian, meskipun berada dalam perdagangan antar-benua, perusahaan perdagangan dari bangsa Belanda tetaplah mendapat perlindungan politik. Sehingga perusahaan perdagangan itu bukan menjadi milik negara Belanda, melainkan milik warga negara Belanda.
Sejak berhasil melepaskan diri dari penjajahan bangsa Spanyol, pada tahun 1581 bangsa Belanda membentuk suatu Republik Belanda Serikat yang dinamakan De Republiek der Verenigde Nederlanden yang terdiri atas tujuh negara bagian. Setiap negara bagian memiliki penguasanya sendiri yang dilengkapi dengan dewan perwakilan masing-masing (Staten). Pada masa awal pembentukan republik ini di Belanda belum ada raja, tetapi pengaruh dari keluarga Oranye berfungsi sebagai alat pemersatu diantara tujuh negara bagian itu. Selain itu, ada pula sebuah dewan perwakilan yang mencakup semua negara bagian yang dinamakan dengan Staten-Generaal.
Sistem perdagangan Belanda yang memadukan unsur politik dan keterlibatan swasta itu berkaitan dengan perkembangan masyarakat Belanda. Pada periode Republik Belanda ini, ekonomi pada umumnya (khususnya berkaitan dengan perdagangan) berada dalam pengaruh kaum bourgeoisie (borjuis), sedangkan politik masih berada dalam tangan aristokrat. Kerja sama yang baik antara kedua golongan sosial itulah (borjuis dan aristokrat) yang memungkinkan diselenggarakannya perdagangan antar-benua bagi Belanda.
Aktivitas awal yang dilakukan oleh bangsa Belanda dalam pelayaran menjelang akhir abad ke-16 adalah dengan mengunjungi Venesia di Italia untuk mencari informasi Jalan laut ke arah Timur (Asia). Di Venesia inilah bangsa Belanda berhasil memperoleh peta-peta dan informasi menuju ke Timur. Sebelum bangsa Belanda, bangsa Portugis telah terlebih dahulu mendapatkan informasi-informasi ini dan oleh karenanya bangsa Portugis terlebih dahulu-lah yang melakukan pelayaran ke Dunia Timur.
Setelah berhasil mendapatkan informasi terkait Dunia Timur, bangsa Belanda mulai melakukan pelayaran ke Dunia Timur pada dekade akhir abad ke-16. Sejak tahun 1595 kapal-kapal niaga Belanda mulai berdagang di Pelabuhan Banten dan Sunda Kelapa. Perdagangan tersebut dipelopori oleh para pedagang kota Amsterdam yang mendapat lisensi dari wali kotanya untuk memegang monopoli perdagangan antara Amsterdam dan Asia. Daerah Zeeland di selatan juga membentuk perusahaan pelayaran niaganya. Tidak lama kemudian kota-kota lainpun mulai membentuk perusahaan pelayaran niaga dengan lisensi dari walikota masing-masing.
Banyaknya perusahaan pelayaran niaga yang mengklaim memegang monopoli perdagangan antara kota masing-masing dengan Asia dengan sendirinya menimbulkan persaingan ketat antara para pedagang Belanda. Persaingan ini terutama terjadi pada penentuan harga jual rempah-rempah yang diangkut dari Asia, khususnya yang berasal dari Kepulauan Indonesia (Nusantara). Persaingan itu mengakibatkan merosotnya keuntungan dan menyebabkan pihak Amsterdam dan Zeeland memutuskan untuk menyatukan semua perusahaan pelayaran niaga itu dalam satu perusahaan saja.
Usulan dari Amsterdam dan Zeeland yang disertai dengan bantuan pemerintah masing-masing, dan intervensi keluarga Oranye, melalui Pangeran Mauritz, pada tanggal 20 Maret 1602 Staten Generaal mengeluarkan sebuah surat izin (Octrooi) pada sebuah perusahaan yang dinamakan Verenigde Oostindische Compagnie (Serikat Perusahaan Perdagangan di Asia Timur). Octrooi tersebut berlaku selama 21 tahun dan dapat diperbarui seterusnya.
Serikat perusahaan dagang itu dikelola oleh sebuah badan (Bewindhebbers) yang berjumlah sekitar 70 orang yang mana mereka mewakili perusahaan-perusahaan lokal yang telah ada sebelumnya. Selanjutnya, mereka memilih 17 orang yang menjadi direksi (Heeren XVII). Modal perusahaan disetor oleh setiap pengurus perusahaan-perusahaan lokal ditambah dengan saham yang dapat dibeli oleh siapa saja (Partiesipient). Sampai VOC dibubarkan pada tahun 1799, modal dasar yang pertama itu tidak pernah ditambah sehingga tambahan modal hanya bergantung pada penjualan saham. Hambatan modal itu sangat terasa ketika VOC meningkatkan intensitas perdagangannya pada abad ke-18. Kekurangan dana ini tidak memungkinkan VOC untuk menutup biaya penyediaan kapal dan modal dagang di Asia dari keuntungannya.
Jika orang Belanda mendapat peta dan keterangan mengenai jalan laut ke Asia dari Venesia, sistem perdagangan di Asia banyak mengikuti Portugis yang sudah berada di Asia sejak abad ke-16. Namun, sampai tahun 1619 VOC belum memiliki pusat perdagangan di Asia. Selama itu pula Gubernur Jenderal VOC yang sudah diangkat sejak 1602 selalu berkantor di sebuah kapal VOC yang berada di perairan Kepulauan Indonesia.
Permasalahan pusat kantor dagang VOC baru berhasil dipecahkan pada tahun 1619, ketika Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen berhasil merebut Jayakarta beserta “dalem” dari Pangeran Wijayakrama yang memerintah sebagai wakil dari kerajaan Banten. Dengan keberhasilan menaklukkan Jayakarta, VOC menyatakan bahwa ia telah menduduki “kerajaan Sunda” yang membentang dari Teluk Jakarta hingga Samudra Hindia. Di bekas “dalem” itulah Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen membangun sebuah benteng yang diberi nama Batavia dan sebuah kota di bagian selatan Benteng Batavia.

Selain itu, seperti halnya yang dilakukan oleh Portugis, VOC juga memiliki suatu jaringan birokrasi dan persenjataan. Cara berdagang yang tidak lazim di Asia itu (kecuali Cheng He) dapat disebut sebagai beaucratic and amred trade (berdagang yang didasari birokrasi dan tentara). Wujudnya adalah benteng-benteng dengan pegawai dan tentaranya serta suatu hubungan surat-menyurat yang aktif dan laporan-laporan yang panjang dan lengkap antara berbagai pejabat di daerah dengan pusat VOC yang terletak di Batavia. Wilayah-wilayah yang dikuasai VOC untuk kepentingan dagangnya dikoordinasi oleh seorang goeverneur (gubernur), sedangkan di wilayah-wilayah lain yang tidak memiliki ikatan politik ditempatkan seorang opperhoofd (kepala) atau seorang gezaghebber (penguasa).
Sebelum VOC membangun Benteng Batavia, VOC telah berhasil merebut beberapa benteng Portugis (sebagian besar di Kepulauan Maluku) dan membangun sejumlah benteng baru di tempat-tempat yang dipandang strategis. Seluruh sistem benteng yang saling dihubungkan dengan armada-armada VOC itu bertujuan menjamin monopoli VOC atas produksi rempah-rempah yang ada di Kepulauan Indonesia.
Suatu ciri khas lain dari Sistem perdagangan VOC di Indonesia adalah yang dinamakan dengan partnership (kemitraan). VOC mengupayakan suatu sistem monopoli atas rempah-rempah dengan cara membina kemitraan dengan para penguasa lokal. Sampai sekitar pertengahan abad ke-16 kemitraan itu berhasil dibangun karena para penguasa lokal di Indonesia membutuhkan VOC untuk memerangi bangsa Portugis. Pihak VOC juga berkepentingan secara ekonomis (dagang) maupun secara politis untuk memerangi bangsa Portugis. Hal ini disebabkan adanya kepentingan bersama dalam menghadapi Portugis, walau pada pihak VOC ada tambahan kepentingan dagang sedangkan pada pihak penguasa lokal praktis unsur ekonomi itu hampir dapat dikatakan tidak ada.
Setelah negara-negara tradisional di Kepulauan Indonesia berhasil menyingkirkan dominasi Portugis karena bantuan VOC, sejak sekitar pertengahan abad ke-17 kemitraan dengan penguasa-penguasa lokal itu mulai dibangun oleh VOC dengan memihak salah satu pihak yang bertikai dalam suatu kerajaan tertentu. Sistem kemitraan yang dilakukan oleh VOC itu didukung oleh sistem perbentengan dan armada.