Situs Gua Lawa merupakan sebuah situs pra-aksara yang terletak di Sampung, Ponorogo, Jawa Timur. Situs Gua Lawa ini memeliki peninggalan budaya yang unik berupa alat-alat tulang yang juga dikenal dengan nama Sampung Bone Culture/Sampung Bone Industries. Situs Gua Lawa sebagai situs pra-aksara pertama kali di ekskavasi oleh L.J.C. van Es, seorang geolog berkebangsaan Belanda pada tahun 1926, dan kemudian dilanjudkan oleh P.V. van Stein Callenfels pada tahun 1928-1931.
Setelah lama terhenti di ekskavasi, Situs Gua Lawa kembali menjadi pusat perhatian oleh Puslit Arkenas (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional) tahun 2000-2001 dan 2008. Namun, ekskavasi oleh Puslit Arkenas terhenti dan baru dilanjutkan lagi pada tahun 2019 atas instruksi yang diberikan oleh Kepala Badan Litbang Kemdikbud. Situs Gua Lawa kini telah menjadi salah satu objek wisata di Ponorogo, Jawa Timur yang diharapkan dapat memperkenalkan dan memberikan edukasi mengenai keberadaan situs Gua Lawa sebagai salah satu situs pra-aksara di Indonesia.
Ekskavasi Situs Gua Lawa
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa Ekskavasi situs Gua Lawa, Ponorogo, Jawa Timur pertama kali dilakukan oleh L.J.C. van Es pada tahun 1926. Ekskavasi terhadap situs Gua Lawa selanjutnya dilakukan oleh P.V. van Stein Callenfels pada tahun 1928-1931. Setelah kemerdekaan Indonesia, penelitian terhadap situs Gua Lawa masih tetap dilanjutkan pada tahun 2000 hingga dengan sekarang.
Ekskavasi L.J.C. van Es (1926)
Penemuan alat tulang di Indonesia yang terkenal adalah penemuan yang berada di Gua Lawa, Sampung pada tahun 1926. Penemuan ini awalnya mendapatkan perhatian dari L.J.C. van Es, yang tertarik pada penemuan tulang-tulang binatang di tempat itu. van Es meneruskan perhatiannya dengan melakukan suatu ekskavasi di bagian timur laut Gua Lawa. Ekskavasi yang dilakukan oleh van Es mencapai kedalaman 13,75 m di bawah permukaan tanah. Dari penggaliannya terlihat bahwa Gua Lawa dahulu pernah dipotong oleh aliran sebuah sungai kecil, yang pada saat ini masih terdapat tidak jauh di depang gua. Lapisan tanah gua berturut-turut dari bawah ke atas memperlihatkan lapisan pasir cokelat dengan batu-batu kali, lapisan abu gunung berapi, dan endapan bekas danau terdapat kedalaman 11,50 m.
Lapisan teratas gua ini setebal 3,50 m merupakan lapisan budaya dan di sinilah van Es menemukan serpih-bilah sederhana, alat-alat tulang (dua macam berbentuk sudip tulang dan semacam belati dari tanduk), mata panah batu yang bersayap dan berpangkal korteks, hematit, alu, dan lesung batu, perhiasan dari kulit kerang, rangka manusia dalam sikap terlipat, serta gigi dan tulang-tulang binatang. Di bagian teratas lapisan budaya terdapat pecahan-pecahan gerabah modern, fragmen-fragmen perunggu dan besi, beberapa beliung neolitik, dan sebuah gerabah berhiaskan pola tali ditemukan di tingkat-tingkat bawah.
Ekskavasi P.V. van Stein Callenfels (1928-1931)
Ekskavasi yang sistematis di Gua Lawa baru dilakukan kemudian oleh Stein Callenfels pada tahun 1928-1931. Lapisan budaya yang digalinya setebal 3-4 m, dengan temuan-temuan benda perunggu dan besi, gerabah modern yang bercampur dengan alat-alat neolitik di lapisan atas. lapisan di bawahnya banyak mengandung alat-alat tulang dan tanduk yang menjadi temuan terpenting. Alat-alat tersebut meliputi antara lain lancipan, belati dari tanduk (yang mungkin dipergunakan untuk menggali umbi-umbian), dan beberapa mata kail.
Temuan sudip tulang berjumlah 99 buah dan dapat dibedakan atas dua macam sudip; pertama berbentuk konkaf-konveks, dibuat dari tulang-tulang panjang, kemudian dibelah atau dipecah memanjang dan rata pada bagian tajamnya; kedua adalah sudip, yang dibuat dari tulang-tulang pipih, dikeraskan dengan api, dan digosok. Alat-alat tulang berbentuk konkaf-konveks mencapai 63 buah sedangkan sudip berjumlah 36 buah. Kegunaan sudip tulang ini kemungkinan adalah untuk mengorek dan membersihkan kulit dari umbi-umbian.
Di lapisan ketiga dari ekskavasi yang dilakukan oleh van Stein Callenfels ditemukan mata panah, di antaranya ada yang berbentuk kecil, yang mungkin dipakan sebagai mata panah, sumpitan, dan gerabah berhias pola tali. Batu pipisan juga ditemukan sebanyak 79 buah tersebar di dalam seluruh lapisan, dan diantaranya ada pula sejumlah batu giling yang halus pada bagian permukaannya sebagai akibat pemakaian yang terus-menerus. Benda-benda ini kemungkinan dipergunakan untuk menghaluskan atau menumbuk biji-bijian. Sebagian lagi ada yang mengandung bekas-bekas cat merah. Terdapat pula serpih-bilah sederhana dan serut-serut dari kulit kerang.
Rangka manusia ditemukan dalam keadaan tidak lengkap, yang dikuburkan “in situ” dalam sikap terlipat, dengan tangan di bawah dagu atau menutup muka, dan kadang-kadang lututnya dilipat hingga mencapai dagu. Penguburan semacam ini juga ditemukan di Gua Cha, Semananjung Tanah Melayu, dan Sai Yok, Thailand. Diantara rangka-rangka tadi ada pula yang ditimbun dengan batu karang, mungkin dimaksudkan untuk mencegah perginya roh dan badan. Diduga bahwa manusia Sampung memiliki ciri-ciri Australid. Mereka hidup berburu dan mengumpulkan makanan. Di antara tulang-tulang binatang yang diselidiki oleh K.W. Dammerman, terdapat tulang-tulang gajah, kuda nil, rusa, banteng, kancil, kera, harimau, dan landak.
Ekskavasi Puslit Arkenas (2000-2019)
Di dalam penggalian di Situs Gua Lawa yang dilakukan oleh van Es dan van Stein Callenfels, telah ditemuka delapan rangka individu manusia. Sedangkan pada ekskavasi di Situs Gua Lawa oleh Puslit Arkenas sepanjang tahun 2000-2001 berhasil menemukan dua rangka individu manusia. Setelah penelitan yang dilakukan oleh van Es dan van Stein Callenfels terhadap situs Gua Lawa, ekskavasi kemudian dilanjutkan oleh Puslit Arkenas. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Puslit Arkenas, telah berhasil diperoleh informasi tentang kehidupan masa pra-aksara di situs Gua Lawa ini.
Sampung Bone Culture
Salah satu yang menjadi karakteristik budaya pra-aksara di situs Gua Lawa, Sampung adalah industri alat tulang yang ditemukan sangat berlimpah dengan berbagai bentuk yang unik. Karena begitu menonjolnya temuan artefak tulang di situs Gua Lawa, sehingga membuat Gua Lawa dikenal dengan istilah Sampung Bone Culture.
Artefak-artefak tulang yang ditemukan di situs Gua Lawa dibuat dengan memanfaatkan bagian tulang panjang yang mayoritas berasal dari binatang-binatang berukuran besar seperti kerbau hutan atau pun rusa. Produk alat tulang tersebut umumnya dibentuk sebagai spatula, penusuk ataupun lancipan/sudip yang menunjukkan kuantitas jauh lebih dominan dibandingkan dengan produk budaya lainnya (misalnya alat-alat batu).
Artefak Tulang
Artefak tulang yang berhasil ditemukan dari ekskavasi di situs Gua Lawa sebagian besar telah rusak dan tidak utuh. Namun, terdapat beberapa catatan mengenai karakteristik teknologi yang digunakan dari artefak tulang Gua Lawa. Di situs Gua Lawa dapat diklasifikasi menjadi dua jenis artefak, yaitu artefak tulang dan batu. Artefak tulang ditemukan sekitar 90% menggunakan tulang panjang binatang besar dan sama sekali tidak menunjukkan adanya tulang-tulang binatang kecil yang digunakan dalam peralatan itu.
Dalam pemanfaatan tulang-tulang itu, jenis hewan kerbau hutan (bovidae) dan Rusa (Cervidae) menunjukkan unsur yang paling dominan, sedangkan binatang lain menjadi minoritas. Dalam hal ini yang berhasil diidentifikasi alat tulang yang digunakan dari hewan kecil antara lain monyet berekor panjang (Macaca sp.). Hasil indentifikasi alat-alat tulang di Gua Lawa memperlihatkan adanya tiga jenis artefak antara lain: penusuk, lancipan dan spatula atau sendok.
Alat Tulang Jenis Penusuk
Alat tulang jenis penusuk yang ditemukan di Gua Lawa adalah peralatan yang dibuat dari tulang panjang binatang besar. Biasanya alat ini dipilih pada bagian pangkal atau jungnya, kemudian dipangkas dan dibentuk agak meruncing di bagian ujungnya. Umumnya dipilih dari bagian tulang-tulang panjang binatang sedang dan besar sejenis kerbau hutan (Bovidae) dan rusa (Cervidae).
Teknik pembuatan alat ini adalah melalui pemangkasan yang dapat dilakukan melalui satu atau dua kali pangkasan secara miring. Terkadang dijumpai pula tipe-tipe penusuk dari tulang panjang yang dibelah menjadi dua, misalnya tibla dari jenis binatang rusa yang kemudian dibentuk meruncing di bagian ujungnya.
Alat Tulang Jenis Lancipan
Alat tulang jenis lancipan menunjukkan bentuk yang lebih kecil ukurannya baik panjang maupun lebarnya. Lancipan seperti ini umumnya dibuat dari tulang panjang yang dibelah dan bagian ujungnya dibentuk lancipan melalui pemangkasan dari arah samping baik dari sisi kanan maupun kirinyua. Terkadan pada bagian kanal medultaire dipangkas dan ditipiskan sehingga menunjukkan spongiare pada bagian dalam artefak. Tipe alat lancipan seperti ini baru dapat diketahui hanya tipe lancipan tunggal, belum ditemukan tipe lancipan ganda.
Alat Tulang Jenis Spatula Atau Sendok
Alat tulang jenis spatula atau sendok yang ditemukan di situs Gua Lawa adalah temuan yang paling menonjol dalam himpunan alat tulang yang berhasil dikumpulkan dari situs ini. Ukuran tipe alat ini bervariasi mulai dari ukuran besar dengan besar lebih dari 3 cm dan panjang lebih dari 6cm, hingga ukuran kecil dengan lebar kurang dari 3 cm. Teknik pengerjaan dari alat tulang jenis ini dipilih dari bagian pangkal atau ujung tulang panjang yang kemudian setengah lingkaran pada ujungnya. Di bagian luarnya tidak dikerjakan dan masih menunjukkan permukaan asli sebuah tulang. Bentuk seperti ini sangat jelas nampak pada spatula-spatula yang berukuran besar.
Di sisi lain, pada spatula-spatula yang berukuran kecil pada umumnya juga dibuat berdasarkan pembelahan dari salah satu ekstrimitas sebuah tulang panjang. Dalam kategori spatula yang kecil ini seringkali teridentifikasi penipisan pada bagian dalam sebuah tulang panjang yang dibelah, sehingga memberikan sebuah spatula dengan ketebalan minimal. Dalam kasus-kasus tertentu aspek pemakaian alat jenis spatula ini dapat dilihat pada ujung sendok yang berlanjut pada sisi panjangnya.
Hasil kebudayaan yang dihasilkan di Situs Gua Lawa yang berkaitan dengan alat-alat tulang tersebut ternyata juga ditemukan pada situs-situs sejenis di jajaran Gunung Sewu di selatan Pulau Jawa. Namun, industri alat tulang di Gua Lawa mempunyai ciri khas budaya tersendiri yang tidak dimiliki oleh situs-situs gua pra-aksara lainnya di terutama di Pulau Jawa.
Kumpulan tulang-tulang hewan yang secara signifikan berasal dari jenis hewan berukuran besar, sedangkan dari jenis hewan berukuran kecil (misalkan monyet ekor panjang) sangat jarang ditemukan. Padahal primata jenis tersebut selalu dijadikan sebagai hewan buruan dan menjadi favorit bagi manusia penghuni gua pada situs-situs yang sezaman dengan Situs Gua Lawa. Misalnya diberbagai situs gua di Gunung Sewu (Braholo, Song Keplek, Song Terus, Song Gupuh, dsb) yang berada di jajaran Pegunungan Selatan Pulau Jawa.
Bukti-bukti temuan dari hasil penggalian pada gua-gua tersebut menunjukkan bahwa tulang-belulang Macaca Sp. merupakan unsur paling dominan dari data ekofaktual, meskipun ditemukan juga sisa-sisa hewan berukuran besar. Berbagai temuan pada situs gua-gua huian di Gunung Sewu menunjukkan bahwa perburuan binatang kecil dan pembuatan alat-alat serpih merupakan prioritas utama dalam aspek pengembangan budaya. Namun, kondisi demikian tidak terjadi di Situs Gua Lawa, terkait dengan binatang buruan adalah hewan-hewan berukuran besar.
Di dalam hal pengembangan budayanya, alat-alat tulang di Gua Lawa menunjukkan jauh lebih dominan dibandingkan dari pembuatan alat serpih batu. Kedua faktor perbedaan ini disebabkan dengan keberadaan binatang buruan pada saat manusia menghuni gua tersebut dan sangat mungkin berkaitan dengan aspek-aspek ekologis.
Artefak Batu
Selain artefak budaya berupa alat-alat tulang, yang menonjol selanjutnya di situs Gua Lawa adalah berbagai jenis alat-alat yang terbuat dari batu. Hasil pengamatan secara morfo-teknologis terhadap alat-alat batu di Gua Lawa menunjukkan adanya berbagai tipe yang terdiri dari: alat serpih, serut, mata panah, serta batu pukul. Bahan baku alat umumnya dibuat dari berbagai macam batuan dasar, seperti misalnya dari batu gamping kersikan, kuarsa, dan obsidian. Sementara itu, untuk kategori jenis alat batu pukul umumnya dibuat dari bahan batuan andesit Artefak batu yang ditemukan di situs Gua Lawa sangat bervariasi dari bahan dan variannya.
Alat-Alat Serpih Dan Serut
Kumpulan perkakas batu yang berhasil ditemukan dari ekskavasi situs Gua Lawa menunjukkan bahwa alat serpih dan serut sangat mendominasi dari temuan alat-alat batu di situs ini. Secara teknologis, baik alat-alat serpih dan serut mempunyai kemiripan dan hanya dibedakan dari ciri jejak pemakaiannya. Artefak jenis ini dibuat dari batu kerakal yang dipangkas-pangkas sehingga menghasilkan serpihan-serpihan tipis yang kemudian dimanfaatkan untuk penyerut, pisau, gurdi dan sebagainya. Dalam aspek teknologi ini, jenis alat serut umumnya dicirikan oleh adanya jejak pemakaian di bagian tajaman dan dibuat melalui pemangkasan pada kedua bagian mukanya.
Hal yang ditemukan dari ciri teknologi serpih dan serut biasanya ditunjukkan oleh pengerjaan yang kasar. Banyak diantara jenis artefak tersebut tidak mengalami pemangkasan kedua, sehingga menunjukkan fisik alat yang kasar. Alat-alat non-massif dari situs Gua Lawa ini menunjukkan teknologi yang lebih sederhana dibandingkan dengan produk budaya dari gua-gua lainnya di kawasan Gunung Sewu, selatan Pulau Jawa.
Mata Panah
Artefak batu jenis mata panah yang ditemukan di situs Gua Lawa adalah berupa fragmen dan mata panah secara utuh. Alat batu ini umumnya berbentuk kecil berukuran lebar sekitar 3 cm dan panjang 4 cm. Calon mata panah biasanya dikerjakan melalui pemangkasan halus pada permukaannya, sehingga menghilangkan seluruh korteks batu tersebut. Pembentukan tersebut sudah diarahkan ke bentuk segitiga dengan dasar cembung.
Kedua permukaan sudah dipangkas secara intensif tebal di bagian sisi cembung alat yang kemudian dilakukan pemangkasan-pemangkasan lanjutan pada sisi cembung sehingga menghasilkan cekungan pada sisi tersebut. Hingga fase ini, pembuatan mata panah telah dapat dianggap selesai. Pemangkasan halus dilakukan pada seluruh permukaan alat, dengan lancipan berada pada ujung dan kedua sayap berada pada bagian pangkal alat.
Batu Pukul
Beberapa batu andesit yang berbentuk oval atau lingkaran ditemukan dalam penggalian di Situs Gua Lawa. Beberapa diantaranya menunjukkan tatu-tatu yang terkonsentrasi hanya pada salah satu bagian ujungnya. Kemungkinan jejak-jejak tatu tersebut kemungkinan diakibatkan dari bekas pakai sebagai batu pukul. Ini mencirikan adanya aktivitas manusia yang memakainya.
kerakal sungai dari batuan beku yang terselubung hematit dipermukaannya. Hematit melapisi sebagian permukaan krakal berukuran sedang tersebut sehingga dapat diketahui fungsinya sebagai batu penggerus. Karena bentuknya yang agak membulat pada bagian permukaan dengan lapisan hematit, maka perkakas tersebut berfungsi sebagai mano atau batu gandik.
Keberadaan batu-batu andesit yang umumnya berbentuk bulat lonjong dan dipakai sebagai alat pemukul atau penggerus ini tentunya adalah akibat dari aktivitas manusia. Kemungkinan yang terjadi, manusia penghuni gua mencari dan mengangkut batuan tersebut dari aliran sungai yang lokasinya tidak jauh dan kemudian membawanya ke dalam gua. Apabila diperhatikan dari bahan bakunya, alat-alat batu dari situs Gua Lawa tampaknya kurang berkualitas. Hal ini ditunjukkan oleh bahan batuan yang umumnya tidak memberikan pola pecahan konkoidal yang sempurna. Batuan yang digunakan antara lain batu gamping serta rijang yang kualitasnya tidak terlalu bagus.
Selain perkakas batu yang ditemukan di atas, juga ditemukan pula batuan jenis jasper yang berwarna kemerahan dengan menampakkan urat-urat kuarsa di dalamnya. Dalam teknik pembuatan alat-alat batu yang terdapat di situs Gua Lawa, diduga ada perlakuan khusus terhadap bahan bakunya yang dipanaskan melalui proses pembakaran. Proses pembakaran ini bertujuan untuk mengubah bentuk agar lebih mudah diserpih serta menghasilkan pola pecah konkoidal yang lebih diinginkan.
Manusia Pendukung Kebudayaan Sampung Bone Culture
Berdasarkan pada laporan yang diberikan oleh L.J.C. van Es dan P.V. van Stein Callenfels dalam ekskavasi situs Gua Lawa telah ditemukan sekitar 7-8 individu rangka manusia dalam kondisi yang rusak berat. Bagian-bagian tulangnya lebih berupa fragmen, akan tetapi susuna pecahan tersebut masih memberikan gambaran adanya pola penguburan dengan posisi terlipat atau yang disebut juga dengan flexed position. Berdasarkan beberapa pengamatan yang dilakukan terhadap rangka manusia yang ditemukan di situs Gua Lawa menunjukkan adanya ciri-ciri manusia dari ras Australoid dan Melanesid.
Rangka manusia yang ditemukan di situs Gua Lawa oleh van Es maupun oleh van Stein Callenfels sebenarnya tidak terpublikasi dengan baik sehingga informasi mengenai manusia penghuni Gua Lawa pun menjadi kurang baik. Meskipun ekskavasi selanjutnya dilanjutkan oleh Puslit Arkenas dengan berhasil menemukan dua rangka individu manusia, namun informasi mengenai manusia pendukung di situs Gua Lawa tidak mengalami tambahan informasi yang signifikan.
Penelusuran tentang manusia penghuni situs Gua Lawa kemudian dilacak melalui peninggalan kebudayaannya. Perkakas berupa alat tulang merupakan hasil budaya yang terkait dengan ras Austramelanesoid. Sementara itu artefak mata panah dari batu sebagai hasil dari budaya neolitikum yang terkait dengan ras Mongoloid. Artefak ini kemungkinan dibuat oleh manusia yang rangkanya ditemukan oleh Puslit Arkenas pada tahun 2000-an.
Berdasarkan pada penelusuran tentang manusia penghuni situs Gua Lawa mengindikasikan adanya suatu proses hunian yang berkesinambungan yang dilakukan oleh kelompok manusia ras Austramelanesoid dan dilanjutkan oleh ras Mongoloid yang berlangsung antara 10.000-3.000 tahun yang lalu. Dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa situs Gua Lawa merupakan situs hunian lintas zaman (multi-component site) sejak periode Holosen.
Daftar Bacaan
- Jatmiko. 2020. Sampung Bone Industries; Budaya Alat Tulang Di Situs Gua Lawa. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia I: Zaman Prasejarah di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.