Ciri-Ciri Birokrasi Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia
Struktur birokrasi pada masa kerajaan Islam di Indonesia – Struktur birokrasi pada masa kerajaan-kerajaan Islam di Indonesiaterbagi menjadi beberapa rangkaian sistem hierarki yang hampir memiliki persamaan dengan struktur birokrasi pada masa kekuasaan kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu ataupun Buddha. Hal itu tidak terlepas dari bagaimana proses islamisasi di Kepulauan Nusantara yang nyatanya tidak selalu menghilangkan apa yang telah ada namun mempertahankan dan dengan kecenderungan memodifikasinya. Di dalam artikel ini akan dijelaskan tentabg struktur birokrasi pada masa kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia.
Bagaimana Bentuk Birokrasi Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia
Bentuk birokrasi kerajaan Islam di Indonesia memiliki beberapa persamaan dengan struktur atau bentuk birokrasi pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha pada masa sebelumnya. Di bawah ini akan dijelaskan tentang beberapa bentuk dari birokrasi kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia yang antara lain;
- Sistem Pengawasan Pusat dan Daerah
- Kewajiban Pemerintah Daerah Terhadap Pusat
- Sistem Komunikasi Pusat dan Daerah
Sistem Pengawasan Pusat dan Daerah
Dari segi politik, munculnya Kerajaan Samudra Pasai pada abad ke-13 sejalan dengan suramnya dunia kemaritiman kerajaan Sriwijaya, yang sebelumnya telah berhasil memegang peranan terpenting di dalam kegiatan kemaritiman dan perdagangan internasional di kawasan Sumatra dan Selat Malaka bahkan Asia Tenggara. Sementara itu, di Semenanjung Tanah Melayu pada 1280 telah terjadi invasi Thai ke daerah ini; sedang di Jawa pada abad ke-13 merupakan puncak kebesaran dan kejayaan Singasari-Majapahit, yang ditunjukkan dengan ekspedisi Pamalayu raja Kertanegara pada 1292.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kerajaan Melayu-lah satu-satunya kerajaan yang masih merdeka; sementara di Jawa Kerajaan Majapahit sedang berkembang pesat. Satu faktor yang perlu dicatat adalah bahwa sebagai akibat disintegrasi Kerajaan Sriwijaya, Islam mulai masuk ke sekitar pantai utara Sumatra. Hal ini ditambah dengan beberapa abad sebelumnya pedagang Arab sudah mengenal pelayaran dan perdagangan di kawasan Asia Tenggara ini, bahkan pada abad ke-10 mereka telah memegang peranan penting di dalam jalan perdagangan di Asia Timur.
Di dalam catatan perjalanan Marco Polo (1292) hanya menyebut Perlak sebagai daerah yang sebagaian penduduknya telah beragama Islam sedang daerah lainnya seperti Basma, Samara Dagroian, dan Lamri masih belum mengenal Islam, hal ini tidak dapat menutup kenyataan adanya batu nisan berangka 1297 dari Malik as-Saleh, raja Pasai yang menjadi bukti bahwa telah muncul dan berkembang kerajaan Islam di sana.
Lokasi Basma dan Samara, seperti yang tercatat di dalam perjalanan Marco Polo, menunjukkan bahwa kedua tempat itu tentunya penting sebagai pelabuhan. Di dalam Hikayat Raja-Raja Pasai, selain Samudra Pasai ada tempat lain yang disebut Samarlangga yaitu sebuah daerah yang ditaklukan oleh Malik as-Saleh. Sementara itu, Samudra pada saat yang sangat berdekatan dengan perjalanan Marco Polo, adalah sebuah tempat yang banyak dikunjungi oleh pedagang muslim.
Seperti yang diketahui, berkembangnya kerajaan Islam yang pertama-tama di Kepulauan Nusantara berada di daerah pesisir. Meskipun demikian, jika berdasarkan pada kitab-kitab sejarah dapat diketahui bahwa antara daerah-daerah yang letaknya berdekatan selalu terjadi perebutan hegemoni hingga pusat-pusat kerajaan pada saat-saat tertentu akan bergeser satu sama lain.
Dari Hikayat Raja-Raja Pasai terdapat keterangan bahwa tempat pertama sebagai pusat Kerajaan Pasai adalah muara Sungai Pasangan yang disebut sebanyak dua kali di dalam hikayat tersebut. Sungai Pasangan adalah sebuah sungai yang panjang dan lebar di sepanjang jalur pantai yang memudahkan perahu-perahu dan kapal-kapal mengayuhkan dayungnya ke pedalaman dan sebaliknya.

Hikayat Raja-Raja Pasai menyebutkan beberapa perjalanan raja dengan mengarungi sungai menuju pedalaman. Dari hikayat itu juga didapatkan petunjuk bahwa dua kota yang terletak bersebrangan di muara Sungai Pasangan adalah Pasai dan Samudra. Kota Samudra terletak agak lebih ke pedalaman, tepatnya terletak agak ke muara sungai Pasai dan di tempat inilah ditemukan beberapa makam raja. Dengan demikian, dapat diduga bahwa di muara Sungai Pasangan inilah rupanya letak ibu kota pertama dari Kerajaan Samudra Pasai sebelum selanjutnya pindah ke Lhokseumawe.
Perpindahan ibukota kerajaan kemungkinan disebabkan oleh serbuan Kerajaan Majapahit terhadap Kerajaan Samudra Pasai yang pada saat itu Kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Berdasarkan keterangan yang juga terdapat di Hikayat Raja-Raja Pasai, tercatat bahwa Malik as-Saleh sebelum menjadi raja di Kerajaan Samudra Pasai telah melakukan peperangan terhadap daerah lain seperti negeri Benua, memerangi Sultan Malik al-Nasar yang wilayahnya terdiri dari Gunung Telawas, Kumbu dan Pekersang.
Semua tempat yang ditaklukan dengan perang kemudian berada di bawah perintah Kerajaan Samudra Pasai. Terhadap daerah yang tidak mau takluk, penguasanya terpaksa menyingkir; orang-orang Gayo yang lari ke hulu Sungai Pasangan karena tidak mau tunduk kepada agama Islam yang disampaikan oleh Malik as-Saleh. Dari Hikayat Raja-Raja Pasai itu dapat diketahui untuk mengikat tali persahabatan dengan daerah kerajaan yang kedudukannya sejajar, dilakukan pula perkawinan seperti yang dilakukan oleh Malik as-Saleh yang menikah dengan salah seorang putri raja Perlak.
Pada keterangan lain dari Hikayat Raja-Raja Pasai dicatat bahwa pemerintahan beberapa daerah kecil yang ada di bawah naungan Kerajaan Samudra Pasai diserahkan kepada anak raja yang sedang memerintah yang bergelar Tun Beraim Bapa yang menguasi daerah Pekan Ratu, bahkan dimasukkan dalam sistem pengawasannya. Ketika Kerajaan Samudra Pasai mendapat serangan dari negeri Keling, yang diminta pertolongan untuk mengusir musuh adalah Tun Beraim Bapa.
Pada masa pemerintahan Ahmad Malik az-Zahir Bahian Syah, terletak agak jauh ke selatan Kerajaan Samudra Pasai, terletak negeri Tamiang yang diperintah oleh raja Dinok. Setelah ditaklukan, Tamiang diperintah oleh seorang pembesar istana Kerajaan Samudra Pasai yang bergelar raja Setia Muda. Penempatan raja Setia Muda sebagai raja di Tamiang adalah jelas untuk memudahkan pengawasan terhadap daerah Tamiang yang baru saja ditaklukan oleh Kerajaan Samudra Pasai.
Hikayat Raja-Raja Pasai menyebutkan daerah yang berada di bawah pengaruh Kerajaan Samudra Pasai adalah; Pasai, Balek Bimba, Samerlangga, Beruana, Simpang di hulu Sungai, Buloh Telang, Benua, Samudra, Perlak, Hambu Aer, Rama Candi, Tukas dan Pekan. Sesudah Kerajaan Samudra Pasai jatuh akibat invasi Kerajaan Majapahit pada abad ke-15, kedudukannya digantikan oleh Kerajaan Tamiang. Di Tamiang tidak lazim menyebut kepala pemerintahan dengan nama uleebalang tetapi dengan sebutan raja.
Di bagian lain di daerah Aceh, sebagian raja kecil disebut dengan uleebalang, sedangkan Sultan Aceh tetap disebut sultan. Kerajaan Aceh yang mulai berkembang dengan cepat pada abad ke-17 ketika seluruh wilayah Kerajaan Aceh telah ditaklukan dengan pusat berada di Kutaraja. Dalam masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mencapai puncak kejayaannya. Pelabuhan Bandar Aceh dibuka sebagai pelabuhan internasional dengan jaminan pengamanan terhadap gangguan laut dari kapal perang Portugis.
Kekayaan negara dan hasil perkebunan lada, dipergunakan untuk pembelian dan pembuatan kapal-kapal perang guna memperkuat armada kerajaan. Penaklukan demi penaklukan pun tidak hanya terhadap daerah Kerajaan Aceh dan sekitarnya saja, akan tetapi penaklukan pun dilakukan meluas keluar dari wilayah Kerajaan Aceh.
Pada masa Sultan Iskandar Muda berkuasa di Kerajaan Aceh, disusunlah suatu undang-undang tentang tata pemerintahan yang disebut dengan Adat Makuta Alam. Di tingkat pusat kerajaan, Sultan Iskandar Muda berhasil mempersatukan golongan masyarakat yang disebut dengan kaum, di antaranya yang memegang peranan penting adalah kaul Lhoe Reotoih (kaum tiga ratus), Kaum Tok Raoe (orang-orang Asia), kaum orang Mante, Batak Karo, Arab, Persi, Turki Mindi, Kaum ja Sandang (orang-orang Mindi) dan kaum Imam Peucut (imam empat).
Untuk daerah sekitar Kerajaan Aceh, yaitu kerajaan-kerajaan di luar ibu kota Kutaraja, Sultan Iskandar Muda membagi wilayag kerajaan Kerajaan Aceh dalam mukim-mukim, yang dapat mengatur pemerintahan sendiri sepanjang tidak berlawanan dengan hukum yang tertulis di dalam Adat Makuta Alam. Susunan daerah mulai dari tingkat desa/kampung hingga menjadi mukim adalah sebagai berikut:
“kesatuan hukum masyarakat yang asli pada tingkat pertama adalah keluarga sekampung/meunasah. Kepala kampung bergelar Keucik (orang-orang yang tertua, terkemuka). Kemudian kampung ini di bawah kesatuan mukim, pada permulaannya adalah 1000 orang laki-laki dewasa. Jadi suatu mukim yang kemudian berkembang penduduknya dapat dipecah lagi menjadi beberapa mukim. “
Beberapa mukim ini kemudian dipersatukan dalam suatu kelompok yang lebih besar yang dikepalai oleh uleebalang sultan, oleh karena akan mengurus semua perkara yang berhubungan dengan daerah kelak. Rakyat mendapat tanah bebas untuk membuat sawah atau kebun dan apabila telah menjadi hak milik harus membayar pajak kepada raja Talce.
Gabungan negeri-negeri yang merupakan pengelompokan mukim-mukim ini dalam kesatuan yang besar (gabungan uleebalang) berupa sagi, dipimpin oleh pengadilan sagi. Sebenarnya yang menjalankan pemerintahan dalam suatu sagi adalah uleebalang yang bersangkutan dan panglima sagi hanya sebagai pengawasannya. Akan tetapi, bila negara dalam keadaan bahaya, panglima sagi memegang urusan pemerintahan dan kemiliteran atas nama sultan.
Negeri-negeri yang berada di luar Aceh Besar (tiga sagi) susunannya sama, tetapi pemerintahannya langsung berada di bawah sultan. Beberapa pokok peraturan yang tertulis dalam Adat Makuta Alam antara lain tentang pengangkatan panglima sagi dan uleebalang dalam tanggungan sultan yang ada dalam negeri Aceh Besar.
Hal yang terjadi di Aceh juga terjadi di Jawa, Kerajaan Demak memegang puncak kepemimpinan di Jawa setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit. Pimpinan pusat ini dengan ibukotanya Bintoro masih terus berlangsung hingga masa pemerintahan sultan Trenggana. Segala tanda kebaktian dari berbagai adipati dan tanda sangaji mengalir ke Kerajaan Demak. Tanda kebaktian ini tidak hanya berupa barang tetapi juga putri cantik, binatang-binatang dan hasil-hasil alam yang sulit untuk didapatkan. Ketika Sultan Trenggana meninggal yang kemudian melanjutkan keberhasilannya tersebut adalah menantunya, Jaka Tingkir, yang diakui orang keramat dari Kudus, sebagai pengganti sultan dengan gelar Prabu Adiwijaya yang memindahkan kekuasaan di Pajang.
Jatuhnya Sultan Adiwijaya berakibat suatu pergeseran bagi kekuasaan Teringgi. Arya Pangiri, Pangeran Demak, segera memegang pemerintahan, tetapi hampir pada saat itu juga timbuk pemberontakan yang berasal dari Pajang yang dikobarkan juga oleh Mataram. Di Jawa Tengah lalu timbul pergolakan untuk mereput pucuk pimpinan atas daerah-daerah yang dikuasai oleh para adipati yang dipimpin oleh Matarm. Sebaliknya bupati-bupati daerah pantai timur dengan pimpinan bupati Surabaya telah berusaha mempengaruhi adipati-adipati Jawa Tengah untuk tidak mengakui senapati sebagai raja.
Sesudah Senapati meninggal mereka mencalonkan Pangeran Puger dari Demak sebagai kawan baik untuk menghadapi saudaranya , Ki Gede Mataram, sultan yang baru (Seda ing Krapyak). Akan tetapi, karena tidak saling percaya persekutuan ini akhirnya buyar dan Demak sejak 1640 tunduk, disusul oleh Pati, Pajang, Tuban, Madura dan Surabaya. Mereka satu per satu tunduk dan jatuh di bawah naungan Kerajaan Mataram sejak tahun 1625. Dengan kejadian ini, maka Kerajaan Mataram yang pada akhirnya memegang pucuk kekuasaan di Jawa.
Kerajaan Gowa memiliki situasi yang berbeda dengan situasi yang terjadi di Jawa dan Sumatra. Sulawesi di dalam menerima pengaruh Islam jauh lebih lambat. Islamisasi Gowa dan Tallo, kerajaan Makassar yang tergabung sejak pertengahan abad ke-16 yang dalam zaman yang sama terlibat dalam perdagangan dengan negeri-negeri Melayu sampai kepulauan Malaka. Pertama-tama harus dipahami bahwa kerajaan Gowa sebagai pusat kekuasaan politik di Sulawesi Selatan pada pertengahan abad ke-16.
Pada masa pemerintahan Karaeng Tumparisi-Kalona datang orang Jawa bernama I Galassi. Nama Jawa menunjukkan bahwa orang tersebut datang dari barat Sulawesi, meskipun tidak mesti berasal dari Pulau Jawa, ada beberapa kemungkinan seperti Sumatra dan Malaka.
Hal yang terjadi di Gowa, terus berlanjut pada masa Karaeng Tunipalangga (1546-1556), di Gowa menetap seorang Jawa bernama Anakoda Bonang yang juga memperoleh hak istimewa tertentu yang kemudian berlaku juga bagi orang asing seperti Pahang, Pattani, Campa, Minangkabau, dan Johor. Dalam masa ini ternyata juga telah ada hubungan dengan pelbagai daerah di Sumatra, Malaka, bahkan negara-negara lain di Asia Tenggara. Ini menunjukkan bahwa Makassar sudah ada koloni saudagar-saudagar Melayu yang berasal dari daerah-daerah ini.
Kerajaan Gowa mula-mula sebuah kerajaan kecil yang terdiri dari sembilan daerah, yaitu; Tombolo, Lakung, Saumata, Parang-parang, Data’, Agong-Jene, Beser, Kalling, dan Sero. Raja Gowa IX Tumparisi mulai ekspansi menaklukkan daerah-daerah: Katinggang, Parisi, Sedang, Sidenreng, dan Lembayung, bahkan Bulukumba dan Selayar. Ketika kerajaan-kerajaan kecil dikalahkan, mereka harus membayar denda kalah perang yang dalam bahasa Makassar disebut sabukatti (seribu kati, satu kati 10 tahil atau 80 real).
Perjanjian perdamaian dilakukan dengan negara-negara yang memiliki kekuatan seimbang, misalnya terhadap kerajaan Maros dan Bone. Negara-negara yang diperlukan sebagai daerah vasal (palili) adalah Sumba, Bone, Jipang, Galesong, dan Agung-Nionyo. Perjanjian perdamaian Gowa dengan Maluku juga dilakukan.
Hal ini terlihat dari kunjungan Sultan Baabullah yang pada tahun 1580 datang ke Makassar. Di sana Sultan Baabullah mengadakan pesekutuan dengan Karaeng Gowa, Tunijaelo dan sebagai imbalan bantuan Baabullah, Baabullah menuntut Karaeng Gowa untuk memeluk agama Islam.
Di dalam Hikayat Banjar dijelaskan bahwa kerajaan ini didirikan oleh Pangeran Samudra setelah berhasil menghalau serangan kerajaan Nagaradaha berkat bantuan dari Kerajaan Demak. Pada mulanya Banjarmasin masih membayar pajak pada kerajaan Nagaradhipa, tetapi setelah Nagaradhipa berhasil dikalahkan oleh Pangeran Samudra atas bantuan Kerajaan Demak dengan syarat memeluk Islam, Nagaradhipa lah yang membayar pajak kepada Banjarmasin.
Daerah Banjarmasin yang terletak di muara sungai memungkinkan kapal-kapal besar berlabuh di sana. Daerah ini dari hari ke hari semakin mengalami kemajuan dan dinasti raja-raja yang memerintah di sana dapat mengembangkan kekuasaannya. Raden Samudra kemudian memindahkan bandar kerajaan dari Muara Bahan ke Banjarmasin. Tindakan ini diambil untuk mengadakan pengawasan langsung terhadap lalu lintas barang perdagangan yang akan menjadi tulang punggung ekonomi negara.
Para pedagang asing di Marabahan sangat puas dengan adanya pemindahan bandar ke Bandjarmasin karena letaknya sangat dekat dengan pesisir. Hingga pertengahan abad ke-16 terdapat lalu lintas perdagangan antara Jawa dan Kalimantan, dan Kerajaan Demak sebagai pemimpin. Di sisi lain, Banjarmasin masih tetap menunjukkan kesetiannya kepada Kerajaan Demak dengan memberikan pajak dan upeti.
Kewajiban Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah Pusat
a. Seba
Seba di sini berasal dari kata sabha yang berarti sidang pertemuan. Pengertian seba yang kemudian adalah suatu pertemuan atau sidang raja-raja. Pada kesempatan tersebut para utusan dari daerah-daerah yang mengakui kekuasaan kerajaan yang mengundang hadir di sana sebagai tanda kesetiaan. Kehadiran seba tidak harus selalu sebagai pengakuan atas kekuasaan, tetapi dapat juga hadir karena mendapat undangan, dan kedudukan raja yang diundang adalah sejajar dengan pengundang.
Dengan seba ini raja yang bersangkutan sekaligus dapat mengadakan kontrol terhadap kerajaan dan daerah-daerah yang berada di bawah naungan kekuasaannya. Barang siapa yang tidak hadir dalam seba ini mengundang pertanyaan bagi raja dan hadirin mengenai sebab ketidakhadirannya, dan jika ternyata ketidakhadirannya dalam seba dilakukan sengaja, maka sikap itu dapat ditafsirkan mengarah kepada pemberontakan atau ketidaksetiaan kepada raja yang bersangkutan.
Pertemuan di seba paling sedikit dilakukan setahun sekali, tetapi tiap-tiap kerajaan memiliki peraturan sendiri; seperti yang tercatat di dalam Hikayat Banjar, Raja Suryaganggawangsa mengadakan seba setiap hari sabtu. Salah satu contoh yang menonjol akan adanya seba bagi suatu kerajaan besar seperti yang terlihat di dalam Babad Tanah Jawi.
Di dalam Babad Tanah Jawi diceritakan tentang kejadian di Kerajaan Mataram setelah Ki Ageng Pamanahan meninggal, Sultan Pajang mengangkat putra Ki Ageng yang juga masih menantunya bernama Ngabehi Loring Pasar menjadi penguasa di Kerajaan Mataram. Ia kemudian diberi gelar Senapati Alaga Sayidin Panatagama dengan syarat bahwa dalam setahun sekali ia harus seba ke Pajang dan tidak sekali-kali boleh terlambat. Ketika setahun sudah berlalu dan ternyata Senopati juga belum datang dalam seba yang diadakan oleh Sultan Pajang, sedangkan para bupati, rangga demang, dan yang lainnya sudah lengkap hadir, Sultan Pajang menanyakan kepada hadirin ketidakhadiran Senopati.
Para bupati lain sudah siap-siap mengadakan perhitungan kepada Senopati atas ketidakhadirannya itu, Sultan Pajang lalu mengutus Ngabehi Wuragil dan Ngabehi Marta ke Kerajaan Mataram. Dengan adanya petunjuk ini ternyata ketidakhadiran Kerajaan Mataram dalam seba ini dilakukan dengan sengaja, dan ternyata kemudian Kerajaan Mataram mengambil alih pimpinan kekuasaan atas Jawa dari tangan Pajang ketika Sultan pajang, Jaka Tingkir, meninggal.
Di Sulawesi, di beberapa kerajaan; Gowa, Bone, dan Luwu setelah kerajaan-kerajaan tersebut menganut agama Islam, diadakan sistem seba yang dilakukan dengan semacam pertemuan silaturahmi yang diadakan setahun sekali dan biasanya dilakukan pada Hari Raya Idul Fitri.
Di kerajaan Gowa dikenal lembaga adat yang disebut Kasuwiyang Salapanga (pengabdi sembilan), yang kemudian berkembang menjadi Bate Lapanga (bendera sembilan). Anggota-anggota sembilan ini adalah bangsawan yang menjadi kepala daerah di tempatnya, dan menduduki jabatan di pusat kerajaan, karena itu sistem seba ini menjadi agak sederhana lagi, hingga bersifat silaturahmi saja. Hanya dalam pertemuan ini baik pakaian adat (keris dan pakaian-pakaian kebesaran lainnya) serta letak tempat duduk menentukan kedudukan raja atau bangsawan yang bersangkutan.
Dalam kesempatan ini pula para bangsawan daerah yang ada di bawah naungan raja Gowa memberikan hadiah-hadiah. Seba di sana dapat dipersamakan dengan Ma’kasuwiyang (raja yang menghadap) dan pertemuan ini disebut Tudang Ade (pertemuan adat). Walaupun demikian, bagi bangsawan-bangsawan daerah yang tidak hadir tanpa mengirim wakilnya dan mereka sebenarnya memang berada di bawah naungan kerajaan Gowa, mengundang pertanyaan apakah ia akan melakukan pemberontakan dan tidak menunjukkan tanda kesetiannya lagi.
Demikian juga pada kerajaan Luwu karena sudah ada dewan adat, yaitu Hadat Tinggi (Pakkettena Ade’E) dan Hadat Sembilan (Ade Asera’E). Dengan hadirnya mereka dalam Tudang Ade’E sebagai federasi bangsawan atau raja-raja daerah, sudah merupakan tanda loyalitas mereka terhadap raja, demikian juga Bone dengan dewan yang disebut Arung Pitu’E.
Di daerah Maluku dikenal sebuah lembaga adat kuno Ambon dari abad ke-17 yang berdasarkan keterangan dari Hikayat Tanah Hitu, di kenal dengan istilah Raja Ampat. Dijelaskan bahwa Raja Hitu sebagai tokoh tanpa sesuatu kekuasaan menjadi lambang kesatuan yang lebih tinggi. Tiap-tiap Raja Ampat mempunyai tanda-tanda kebesaran tersendiri, yaitu hitam, merah, kuning dan hijau. Pada waktu diadakan upacara-upacara atau pertemuan-pertemuan resmi, Raja Hitu memakai keempat warna.
Di dalam persekutuan ini seorang diantaranya mempunyai kekuasaan yang paling besar yang disebut Kapitan Hitu. Gelar ini mungkin diberikan oleh Sultan Ternate atau oleh orang-orang Portugis. Pemerintahan yang bersifat federasi ini telah diakhiri secara tiba-tiba oleh Gubernur Ambon pada masa itu. Hanya tidak terdapat penjelasan bagaimana dengan pengawasan daerah taklukannya kalau itu ada, apakah juga dalam bentuk seba atau upeti.
Akan tetapi, keterangan yang diberikan oleh Antonio Galvao dapat diketahui bahwa Raja Ternate dengan raja yang disebut dengan Kolano telah menempatkan para bangsawan kerajaan yang disebut sangaji untuk mengawasi distrik supaya patuh pada raja sekaligus melaksanakan administrasi sipil dan militer berdasarkan undang-undang raja.
b. Pengiriman Upeti dan Penyerahan Pajak
Upeti dalam pengertian umum dimaksudkan sebagai pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada raja. Pemberian atau upeti dapat berupa pemberian yang mengingatkan, yaitu kewajiban memberi suatu barang terhadap raja atas dasar kesetiaan (loyalitas) karena yang bersangkutan ada dalam perlindungan raja (vasal). Selain itu, upeti atau pemberian tidak atas dasar bawahan dengan atasan, tetapi hanya merupakan pemberian sebagai tanda persahabatan.
Pemberian diberikan oleh utusan suatu negara yang biasanya ingin diakui sebagai sahabat. Jadi, upeti merupakan penyerahan barang imbalan atas sesuatu jasa atau pemberian sebagai pengakuan atas perlindungan raja yang bersangkutan.
Upeti tidak hanya berupa barang tidak bergerak saja, terkadang juga perempuan cantk, hewan yang jarang ditemukan (langka) atau sejenis tumbuh-tumbuhan langka. Dengan upeti ini, secara tidak langsung kerajaan yang menjadi pelindung bagi kerajaan-kerajaan lain akan menjadi bertambah kaya dan kekayaan itu jatuh ke tangan raja. Sebagai contoh Kerajaan Demak pada masa pemerintahan Raden Patah hingga Sultan Trenggono, telah menjadikan Kerajaan Demak makmur karena mengalirnya upeti dari bupati-bupati Jawa bahkan dari Palembang dan Banjarmasin.
Berdasarkan keterangan yang diberikan di dalam Purwaka Caruban Nagari sebutan upeti resmi adalah bulu-bekti. Cirebon sebagai sebuah desa kecil yang waktu itu berada di bawah kekuasan Bupati Raja Galuh harus menyerahkan upeti berupa terasi, garam, dan ikan. Akan tetapi, setelah Cirebon merasa kuat di bawah kepemimpinan Cakrabuana, Cirebon mulai menolak memberikan upeti sehingga Bupati Raja Galuh menghukum Cakrabuana, namun tidak berhasil.
Di dalam Hikayat Banjar disebutkan bahwa ketika Pangeran Samudra naik takhta dengan gelar maharaja Suryanullah maka daerah Sambas, Batang Lawai, Sukadana, Kotawaringin, Pambuang, Sampit, Mandawai, Sabangau, dan beberapa daerah lainnya mengakui takluk kepada Kerajaan Banjarmasin dan sebagai tanda bukti mereka mengirim persembahan kepada Pangeran Samudra serta selalu hadir pada waktu ia dinobatkan sebagai seorang maharaja. Tiap-tiap musim barat mereka datang ke Banjarmasin membawa upeti dan pada musim timur mereka kembali. Pengurusan daerah-daerah taklukan diserahkan kepada mangkubumi yang dijabat oleh Aria Tranggana.
Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Antonio Galvao menyebutkan bahwa kerajaan Ternate memperoleh penghasilan negara karena upeti dan pajak yang diberikan oleh daerah-daerah taklukannya, berupa gandum, roti, anggang, ikan, dan sebagainya.
c. Pengiriman Tenaga Kerja dari Daerah ke Pusat
Selain menyerahkan upeti dan menyerahkan berbagai macam pajak, daerah-daerah yang menjadi bagian dari satu pusat kerajaan masih dibebani tugas mengirimkan tenaga kerja, baik untuk membangun keraton ataupun untuk keperluan perang. Selain itu, apabila suatu kerajaan akan melakukan penyerangan ke tempat lain tentu diperlukan persediaan makanan. Demikian pula untuk perlengkapan suatu upacara kenegaraan diperlukan makanan untuk disajikan kepada para tamu negara yang datang.
Mengenai pengiriman tenaga kerja dari daerah ke pusat ini, berdasarkan keterangan yang terdapat di dalam Sedjarah Banten bahwa yang membuat keraton Cirebon dan makam Gunung Jati adalah tukang yang berasal dari tawanan Kerajaan Majapahit. Mereka berada di bawah pimpinan seorang tukang, Raden Sepat. Tindakan ini dilakukan oleh Kerajaan Demak sebagai imbalan kepada Cirebon ketika membantu pengiriman pasukan dalam penyerangan ke Kerajaan Majapahit. Demikian juga keterangan di dalam Purwaka Caruban Nagari terdapat fragmen tentang pembuatan Masjid Agung Cirebon dan Keraton Pakungwati (Cirebon) atas bantuan orang Demak di bawah pimpinan Raden Sepat.
Adapun pengiriman tenaga kerja untuk perang diambil contoh dari Purwaka Caruban Nagari. Ketika Kerajaan Demak bermaksud mengadakan penyerangan ke Sunda Kalapa, pimpinan penyerangan ini diserahkan kepada Fadhillah, dari Cirebon dipimpin oleh Pangeran Cirebon dan dari Bangkuang dipimpin oleh Adhipati Keling yang dibantu juga oleh Banten.
Keterangan yang terdapat di Hikayat Raja-Raja Pasai juga memberikan sebuah contoh tentang bantuan daerah terhadap pusat apabila terjadi perang. Disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Sultan Ahmad, Kerajaan Samudra Pasai kedatangan sebuah kapal besar dari benua Keling lengkap dengan pasukan tempur dan panglimanya. Mereka membuat onar, tatapi di ibu kota kerajaan tidak ada yang berani melakukan perlawanan. Sultan Ahmad meminta bantuan kepada putranya, Tun Beraimi Bapa, yang menjadi kepala daerah di Tukas. Akhirnya pasukan Keling berhasil dihalau kembali oleh Tun Beraim Bapa.
Sistem Komunikasi antara Pusat dan Daerah
a. Pengiriman Berita dengan Tundan Desa
Komunikasi antara pusat dan daerah harus dilakukan secara kontinu mengingat bahwa ibu kota kerajaan sangat tergantung dari daerah-daerah. Pergolakan-pergolakan di daerah akan sangat mempengarui situasi politik kerajaan. Umumnya, komunikasi di kerajaan-kerajaan di Jawa dilakukan melalui daerah. Di tempat-tempat lain disesuaikan dengan keadaan geografi daerah setempat.
Jika mendeskripsikan komunikasi di kerajaan-kerajaan Kalimantan, faktor hubungan melalui sungai sangat menonjol, karena selain sungai di sana besar-besar dan sangat panjang sehingga memudahkan kapal-kapal untuk berlayar dan memudahkan untuk berkomunikasi melalui jalur sungai.
Selain itu, juga ditambah kota besar yang pernah atau kelak menjadi ibu kota suatu kerajaan pada umumnya terletak di dekat sungai. Di sini hubungan antara pusat dan daerah dilakukan melalui sungai kecuali jika jalan darat memungkinkan untuk dilalui. Lebih sulit lagi faktor komunikasi di daerah Malaka, hubungan pusat dan daerah harus mengarungi laut/air dan tentu menyulitkan hubungan antara pusat dan daerah.
Tundan Desa. Tundan adalah suatu sistem komunikasi antara pusat kerajaan dengan daerah yang dilakukan dengan mengirim berita melalui utusan yang disampaikan dari satu desa ke yang lain sehingga berita tersebut akhirnya sampai kepada yang dituju. Sistem tundan (tundan: menaruh) adalah utusan dari satu desa hanya menyampaikan berita ke desa lain yang dituju, dan selanjutnya amanat itu akan dilanjutkan oleh petugas desa yang baru didatangi ke tempat yang dituju. Demikian seterusnya sehingga berita tersebut akhirnya sampai kepada yang dituju.
Dalam kasus Pulau Jawa dengan topografi yang terpotong-potong oleh gunung-gunung dan sungai yang memisahkan desa yang satu dengan yang lain. Apabila dipelajari sistem jalan raya di jawa dari abad ke-17, jalan dari dan ke Mataram ke utara menuju Semarang, melalui pintu gerbang utara dan pada perbatasan terdapat pintu toll (penarik pajak) di Taji. Jalan ini adalah jalan termudah dan terpendek. Kedua, jalan ke arah barat menuju Tegal; keadaannya sangat buruk dan pintu gerbang untuk penarik pajak ada di dekat Trayem. Ketiga, jalan ke arah timur menuju Blambangan dengan pintu gerbang Bongar.
Selain hal-hal yang berhubungan dengan keamanan negara, dapat terlihat beberapa contoh tetang tindak pidana berupa pencurian, pembunuhan, dan pembegalan yang sifatnya mengganggu ketentraman negeri. Ketika Kerajaan Mataram terbagi menjadi dua; Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta, untuk menyatukan hubungan, penanggulangan tindak pidana warga penduduk ditangani oleh pejabat khusus. Contoh yang terdapat di dalam Serat Rembang Anggeranggeran yang dikeluarkan oleh Adipati Danurejo pada 1771. Peraturan dimaksudkan untuk mengatur hal ihwal ketertiban dan cara mengatasi pencurian, pembunuhan dan perbuatan liar yang dilakukan dalam daerah hukum Yogyakarta dan Surakarta atau sebaliknya.
Untuk daerah Yogyakarta urusan ini ditangani oleh Kyai Ngabehi Jayamenggala, sedang daerah Surakarta urusan ini ditangani oleh Mas Demang Ngurawan. Apabila ada orang yang berasal dari Yogyakarta melakukan perbuatan kejahatan di daerah Surakarta, urusan pertama jatuh ke tangan Mas Demang Ngurawan dan kemudian setelah diadakan pemeriksaan baru diserahkan kepada Kyai Ngabehi Jayamenggala. Begitu pula sebaliknya jika kejadian itu terjadi di daerah hukum Yogyakarta.
Di daerah Kalimantan yang daerahnya mewakili sungai-sungai besar, sistem hubungan antardaerah dilakukan dengan perahu, tetapi tetap dengan tundan desa. Keterangan yang diberikan di dalam Hikayat Banjar memberikan sebuah contoh tentang komunikasi. Ketika itu Patih Masih menjadi penguasa di Banjarmasin hendak mencari Raden Samudra untuk dijadikan raja. Ia mengutus orang-orang untuk disebar ke berbagai daerah. Untuk itu, ia sekaligus mengirim lima orang utusan menyebar ke Sungai Muhur, Balandean, dan Halalak dengan perahu dengan satu tujuan mencari Raden Samudra. Akhirnya salah seorang utusannya menemukan Pangeran Samudra di Halalak.
b. Komunikasi dengan Menggunakan Bende Kentongan dan Benda-Benda Lain
Keterangan yang diberikan oleh Papakem Cirebon tercatat kentongan atau titir sebagai alat komunikasi. Kentongan atau titir pada umumnya ditempatkan dekat alun-alun atau dekat balai desa. Penduduk setempat bila mendengar bunyi titir atau kentongan maka sudah paham bahwa pada saat itu terjadi huru-hara. Bila terjadi suatu huru-hara, misalnya ada pembunuhan atau perampokan yang mengganggu penduduk, dibenarkan membunyikan kentongan dan sesudah itu melaporkan kejahatan kepada jaksa tuduh (jaksa pepitu). Apabila ada kejadian dan seseorang membunyikan kentongan tetapi tidak segera melaporkan kejadian tersebut kepada jaksa tuduh, yang bersangkutan akan kena denda.
Untuk peristiwa yang lebih besar, misalnya terdapat serbuan musuh yang dibunyikan adalah bende. Di dalam Babad Tanah Jawi memberikan contoh tentang peristiwa semacam ini;
“ketika Sunan Kudus yang diutus oleh Sultan Demak, Raden Patah, untuk menawan Ki Ageng Pengging, ia membawa bende Ki Macan. Ketika rakyat Pengging mengetahui bahwa Ki Ageng Pengging telah dibunuh oleh Sunan Kudus, mereka membunyikan bende yang bernama Ki Udan Arum. Mendengar suara bende ini penduduk Pengging segera berkumpul hendak menyerang Sunan Kudus dan pasukannya.”
Jika kentongan atau bende tidak mungkin dipergunakan sebagai alat komunikasi pada masa perang, cara yang dilakukan adalah menempatkan mata-mata di perbatasan kota. Di dalam Hikayat Banjar dijelaskan;
“…Ketika Raden Samudra mempersiapkan pertahanan Kerajaan Banjar dari serangan musuhnya Nagaradaha. Hubungan antardaerah di sana dilakukan melalui sungai. Karena itu Raden Samudra menempatkan mata-mata di perbatasan Banjarmasin dan Muara Bahan, dan mereka menjaga siang dan malam. Ketika muncul tanda-tanda armada dari Muara Bahan, dengan cepat mata-mata ini mengirim utusan berperahu ke Banjarmasin untuk memberitahukan kedatangan musuh.”
c. Komunikasi yang dilakukan dengan Perintah Tertulis atau Utusan
Berdasarkan keterangan yang di dapat pada Hikayat Banjar, ketika Raden Samudra terus-menerus mendapat tekanan militer dari Nagaradaha, Raden Samudra dengan semua pasukannya terpaksa melakukan blokade terus-menerus. Patih Masih yang menjabat mangkubumi mengusulkan untuk meminta bala bantuan ke Kerajaan Demak. Untuk itu, Raden Samudra menulis surat kepada Sultan Demak, minta bala bantuan.
Karena kedudukan Kerajaan Demak pada waktu itu lebih tinggi dari Banjar, Raden Samudra mengirim utusan yang dipimpin oleh Balituarang, pembesar tinggi kerajaan Banjarmasin beserta hadiah-hadiah berupa 1000 pikul rotan, 1000 buah tudung saji, 10 pikul lilin, 1000 bongkah damar, dan 10 buah intan dan pengiring sebanyak 400 orang.
Karena hadiah yang besar, sebagai timbal-baliknya Kerajaan Demak mau membantu jika raja Banjarmasin dan seluruh pegawai kerajaan mau masuk Islam. Utusan kembali ke Banjarmasin menyampaikan hasil pembicarannya dengan Sultan Demak. Raden Samudra menyanggupi permintaan Sultan Demak. Akhirnya berkat bantuan Kerajaan Demak, Banjar dapat menghalau serangan kerajaan Nagaradaha. Terlebih dari itu, Kerajaan Demak pun membantu Raden Samudra untuk menaklukan kerajaan Nagaradaha yang terletak di pedalaman itu.