Tarusbawa adalah raja terakhir dari Kerajaan Tarumanegara yang berkuasa sejak tahun 669 M untuk menggantikan mertuanya, Raja Linggawarman. Sebagaimana diketahui, bahwa Tarusbawa sebenarnya adalah raja dari Kerajaan Sunda Sembawa yang berpusat di ibukota Kerajaan Tarumanegara dahulu pada masa Raja Purnawarman, yakni Sundapura. Raja Tarusbawa menikahi putri dari Raja Linggawarman dari Kerajaan Tarumanegara yang bernama Dewi Minawati.
Raja Terakhir Tarumanegara
Setelah Raja Linggawarman wafat, maka Tarusbawa-lah yang melanjutkan pemerintahan di Kerajaan Tarumanegara atas nama istrinya Dewi Minawati. Selain itu, Tarusbawa juga masih tetap berstatus sebagai raja dari Kerajaan Sunda Sembawa. Raja Tarusbawa dilantik sebagai raja di Kerajaan Tarumanegara pada tahun 669 M dengan gelar Sri Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manumanggalajaya Sundasembawa.
Setelah upacara pelantikan sebagai raja di Kerajaan Tarumanegara pada tahun 669 M, Tarusbawa kemudian mengirimkan utusannya ke berbagai negeri di Kepulauan Nusantara, India dan Cina, Champa, Sanghyang Ujung, dan Ghaudi. Hal ini adalah hal yang rutin selalui dilakukan oleh raja-raja yang berkuasa di Kerajaan Tarumanegara untuk memberitakan pergantian kekuasaan. Pada tahun 672 M, ia berhasil menjalin hubungan persahabatan dengan Dapunta Sri Jayanasa dari Kerajaan Sriwijaya. Hubungan ini disebabkan oleh status keduanya yang merupakan menantu dari Raja Linggawarman.
Tarusbawa Merubah Nama Kerajaan Tarumanegara Menjadi Kerajaan Sunda
Tarusbawa yang telah dilantik sebagai penguasa di Kerajaan Tarumanegara dan sekaligus juga masih menjadi raja di Kerajaan Sunda Sembawa merasa bahwa mengendalikan dua birokrasi secara sekaligus adalah hal yang merepotkan, sehingga pada akhirnya ia memilih untuk menggabungkan kedua birokrasi ini menjadi satu struktur yang berada langsung di bawah kendalinya. Tarusbawa kemudian menanggalkan statusnya sebagai raja Kerajaan Sunda Sembawa dan mengambil alih kepemimpinan di Kerajaan Tarumanegara (mungkin ini direstui pula oleh sang istri, Dewi Minawati).
Selain disebabkan oleh ruwetnya persoalan birokrasi, Tarusbawa pun juga terinspirasi oleh kejayaan yang pernah dicapai oleh raja terbesar dari Kerajaan Tarumanegara, yakni Purnawarman yang berhasil menjadikan Kerajaan Tarumanegara sebagai kerajaan yang kuat dan tangguh. Raja Purnawarman sendiri pada saat itu menjadikan Sundapura sebagai ibukota Kerajaan Tarumanegara. Berdasarkan pada hal inilah Tarusbawa kemudian mengganti nama Kerajaan Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda pada tahun 669 M.
Terpecahnya Wilayah Kerajaan Tarumanegara
Setelah digantinya nama Kerajaan Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda oleh Tarusbawa pada tahun 669 M bukan berarti tidak mendapatkan respon dari berbagai pihak yang menjadi bagian dari Kerajaan Tarumanegara. Respon itu terutama muncul pada tahun 670 M dari Raja Kerajaan Galuh, Wretikandayun. Wretikandayun nampaknya memanfaatkan momentum penggantian nama Kerajaan Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda ini sebagai alasan untuk menjadikan Kerajaan Galuh sebagai kerajaan yang merdeka.
Surat Wretikandayun Kepada Tarusbawa
Wretikandayun segera mengirimkan utusannya ke ibukota Tarumanegara untuk bertemu dengan Raja Tarusbawa. Di dalam suratnya itu, Wretikandayun menyatakan bahwa dirinya ingin Kerajaan Galuh melepaskan diri dari Kerajaan Sunda. Namun, di dalam surat itu, Wretikandayun menjelaskan bahwa sesungguhnya mereka (Tarumanegara dan Galuh) adalah tetap sebagai saudara karena berasal dari satu leluhur. Wretikandayun menginginkan kerajaannya berdiri sendiri namun, di sisi lain ia tidak menganggap Kerajaan Sunda sebagai musuh, melainkan harus memperkuat persahabatan diantara keduanya.
Di dalam surat Wretikandayun kepada Tarusbawa itu, Wretikandayun juga memberikan penjelasan mengenai pembagian wilayah diantara dua kerajaan yang diharapkan usulannya diterima. Wretikandayun menjelaskan melalui suratnya bahwa daerah-daerah yang termasuk ke sebelah barat Sungai Taruma (Sungai Citarum) adalah daerah kekuasaan Kerajaan Sunda sedangkan daerah yang terletak di sebelah timur adalah wilayah Kerajaan Galuh.
Wretikandayun juga memperingatkan kepada Raja Tarusbawa agar tidak memusuhi dan menyerang Kerajaan Galuh, sebab Kerajaan Galuh memiliki angkatan perang yang berjumlah tiga kali lebih besar dibandingkan angkatan perang Kerajaan Sunda. Selain itu, Kerajaan Galuh juga didukung oleh beberapa kerajaan yang terletak di Pulau Jawa bagian tengah dan Timur. Pernyataan ini dapat diartikan juga sebagai suatu “ancaman” dari Wretikandayun kepada Kerajaan Sunda apabila tidak menyetujui usulannya untuk kemandirian Kerajaan Galuh.
Wretikandayun mengharapkan persaudaraan dengan Tarusbawa dan bersama-sama mengharapkan kedua kerajaan dapat mencapai kemakmuran dan dijauhkan dari bahaya. Wretikandayun sangat memahami sifat dari Tarusbawa yang sangat menghindari konflik dalam segala permasalahan. Berdasarkan pada sifat itulah sehingga Wretikandayun merasa yakin bahwa Tarusbawa akan memahami maksud dan tujuan Kerajaan Galuh untuk memisahkan diri dari Kerajaan Sunda sebagai kerajaan yang merdeka.
Respon Terhadap Surat Wretikandayun
Dalam tempo beberapa hari saja, Tarusbawa segera menanggapi surat Wretikandayun dengan menyetujui permintaan dan usulan yang diberikan oleh Wretikandayun. Seketika itu pula, Raja Tarumanegara segera membagi Kerajaannya menjadi dua bagian. Jawa bagian barat terbagi menjadi dua kerajaan besar, di sisi barat laut ke timur hingga Sungai Taruma (Sungai Citarum) merupakan wilayah Kerajaan Sunda yang dipimpin oleh Tarusbawa. Sedangkan wilayah timur Sungai Citarum hingga Sungai Cipamali menjadi wilayah kerajaan Galuh di bawah pimpinan Wretikandayun.
Berpindahnya Pusat Kerajaan Sunda dari Sundapura ke Pakuan
Setelah menyetujui pemisahan kerajaan sesuai dengan usulan yang diberikan oleh Wretikandayun dari Kerajaan Galuh, Tarusbawa kemudian memutuskan untuk memindahkan ibukota Kerajaan Sunda dari Sundapura ke Pakuan pada tahun 670 M. Setelah memindahkan ibukota Kerajaan Sunda di Pakuan, Tarusbawa kemudian mendirikan lima buah keraton yang mana bentuk dan ukuran dari kelima keraton itu sama. Kelima keraton itu kemudian diberi nama Sri Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati. Setelah pembangunan kelima keraton selesai di Pakuan, Raja Tarusbawa kemudian diberkati oleh seorang pujangga yang bernama Sedamanah.
Setelah perpindahan ibukota Kerajaan Sunda dari Sundapura ke Pakuan dan berhasil mendirikan keraton di ibukota baru itu, Raja Tarusbawa kemudian berupaya untuk menjalin kerjasama diberbagai bidang dengan Kerajaan Sriwijaya yang dipimpin oleh Dapunta Hyang Sailendra (Sri Jayanasa). Upaya itu dapat mencapai hasil pada tahun 672 M, Kerajaan Sunda berhasil menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sriwijaya diberbagai bidang. Keberhasilan dari upaya Kerajaan Sunda ini tentu saja berjalan dengan mudah sebab kedua raja merupakan sesama menantu dari Raja Linggawarman dari Kerajaan Tarumanegara.
Penerus Takhta Kerajaan Sunda
Tarusbawa dan Dewi Minawati memiliki seorang putra tertua yang bernama Rakryan Sunda Sambawa. Rakryan Sunda Sambawa telah dijadikan putera mahkota Kerajaan Sunda dan kelak ialah yang mewarisi takhta Kerajaan Sunda apabila Tarusbawa mangkat. Namun, hal itu tidak pernah terjadi sebab Rakryan Sunda Sambawa meninggal terlebih dahulu sebelum sang raja mangkat. Rakryan Sunda Sembawa memiliki seorang anak perempuan yang bernama Nay Sekarkancana (Sekar Kancana/ Teja Kancana Ayupurnawangi). Dengan meninggalnya Rakryan Sunda Sambawa terlebih dahulu dibandingkan dengan Tarusbawa, maka takhta Kerajaan Sunda selanjutnya akan diberikan kepada cucu Tarusbawa, yaitu Nay Sekarkancana.
Merasa bahwa dirinya sudah lanjut usia, maka Tarusbawa segera menjodohkan cucunya, Nay Sekarkancana dengan Rahyang Sanjaya dari Kerajaan Galuh. Rahyang Sanjaya adalah anak dari Sena dan Sanaha. Sena sendiri adalah Raja Kerajaan Galuh yang ketiga menggantikan ayahnya, Raja Mandiminyak pada tahun 709 M. Namun, pada tahun 716 M Sena dikudeta oleh saudaranya, Purbasora. Sena dan Purbasora sebenarnya adalah saudara satu ibu, namun berbeda ayah. Setelah kudeta itu, Sena dan keluarganya melarikan diri dan meminta perlindungan kepada Tarusbawa.
Tarusbawa menerima kedatangan keluarga Sena dan memberikan dukungan kepada Sena untuk merebut kembali takhta Kerajaan Galuh dari tangan Purbasora. Setelah pernikahan antara Sekar Kancana dan Rahyang Sanjaya, Tarusbawa meninggal pada tahun 723 M di usia 91 tahun. Takhta Kerajaan Sunda kemudian dilanjutkan oleh Rahyang Sanjaya yang memerintah atas nama istrinya, Sekar Kancana. Sanjaya yang masih menaruh dendam kepada Purbasora karena mengkudeta ayahnya sebagai Raja Kerajaan Galuh, berhasil merebut takhta Kerajaan Galuh pada tahun 747 M dengan bantuan dari tentara Kerajaan Sunda.
Daftar Bacaan
- Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa
- Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara Sarga 4 Parwa 2
- Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara Sarga 3 Parwa 2
- Atja & Ekajati, E.S. 1989. Carita Parahiyangan “karya tim pimpinan pangeran wangsakerta”. Bandung: Yayasan Pembangunan Jawa Barat.
- Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah “Panitia Wangsakerta” Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Danasasmita, S. 1983. Sejarah Bogor. Bogor: Paguyuban Pasundan Cabang Kodya Bogor.
- Ekajati, Edi S. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Groeneveldt. W. P. 2009. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Depok: Komunitas Bambu.
- Iskandar, Yoseph.1997. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa).Bandung: Geger Sunten
- Kapur, Kamlesh. 2010. History Of Ancient India (portraits Of A Nation). New Delhi: Sterling Publishers Pvt. Ltd.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Hindu. Jakarta: Balai Pustaka.