Teknologi Kemaritiman Zaman Islam di Indonesia

Teknologi kemaritiman zaman Islam di Indonesia merupakan bentuk pengembangan dari teknologi kemaritiman pada masa Hindu-Buddha di Indonesia. Pada masa berkuasanya kekuasaan politik yang bercorak Hindu di Kepulauan Nusantara hingga awal abad ke-16 M, telah terbentuk banyak kesatuan-kesatuan politik di Kepulauan Nusantara. Kesatuan politik itu, beberapa diantaranya dibatasi oleh koneksi melalui jalur darat.

Terpisahnya kesatuan-kesatuan politik itu melalui jalur darat, ternyata tidak membatasi interaksi antar-kerajaan yang terpisah oleh lautan. Hal ini terbukti dari lalu lintas perdagangan antar-pulau yang terjadi sepanjang berkuasanya kesatuan politik Hindu di Kepulauan Nusantara sejak awal abad pertama Masehi menunjukkan perkembangan aktivitas maritim yang dapat dikatakan mencapai puncak kemajuan di masa itu.

Perkembangan Teknologi Kemaritiman Zaman Islam Di Indonesia

Melalui kegiatan perdagangan antar-pulau yang terjadi sejak awal abad Masehi, telah mendorong masyarakat dan juga kesatuan politik yang ada untuk melakukan pengembangan di bidang kemaritiman, yang dimana hasil dari pengembangan itu dapat tetap dirasakan hingga abad ke-16 M, ketika bangsa Eropa mulai memasuki Kepulauan Nusantara.

Beberapa teknologi yang dikembangkan sejak masa kesatuan politik Hindu, bahkan lebih jauh sebelum adanya Indianisasi di Kepulauan Nusantara adalah:

  1. Sistem angin untuk pelayaran;
  2. Jenis kapal dan tempat-tempat pembuatannya;
  3. Jalan dan pusat-pusat pelayaran.

Sistem Angin Untuk Pelayaran

Sistem angin yang digunakan untuk kegiatan pelayaran di Kepulauan Nusantara memiliki keterkaitan pula dengan kekayaan bahasa yang dimiliki oleh penduduk Kepulauan Nusantara. Pada kenyataannya, penduduk di Kepulauan Nusantara memiliki berbagai nama untuk berbagai jenis angin. Di mana hal ini tidak akan terjadi jika penduduk di sebuah wilayah tidak memanfaatkan keberadaan angin atau selaiknya sangat “akrab” dengan berbagai jenis angin. Maka, tidaklah heran jika ditemukan istilah penyebutan untuk nama angin, semisal: angin yang berpusing-pusing atau yang disebut terkadang dengan penamaan angin langkisan, angin puting beliung ataupun angin puyuh.

Jika ada angin yang tidak menentu arahnya, maka akan disebut dengan nama angin gila, sedangkan untuk angin yang bertiup keras ada angin gunung-gunung, angin taufan atau angin ribut. Angin yang sedang berhembusnya disebut dengan angin sendalu, apabila anginnya kurang baik dikatakan dengan sebutan angin salah. Angin yang bertiup pada pagi hari disebut dengan angin pengarak pagi.

Di dalam dunia maritim, ada beberapa jenis angin; angin haluan dan angin buritan yang menunjukkan dari arah mana angin itu datang jika sedang berlayar. Angin turutan yang keras adalah angin sorong buritan.

Angin sakal yang datang dari depan tentu menghalang pelayaran, sedangkan angin paksa justru memaksa orang membongkar sauh(Sauh adalah alat berkait dan berat, dibuat dari besi yang dilabuhkan dari kapal ke dasar laut supaya perahu (kapal) dapat berhenti atau yang biasa dikenal dengan nama jangkar).

Jika angin datang dari berbagai jurusan, dikatakan angin ekor duyung, tetapi kalau angin bertiup keras dari sebelah sisi prahu dikatakan angin tambang ruang. Pengetahuan tentang angin darat dan angin laut adalah pengetahuan penting bagi para nelayan, karena dengan demikian mereka dapat memanfaatkan angin jika ingin berlayar keluar pada pagi hari dan pulang kekampun pada sore harinya.

Kondisi alam daerah khatulistiwa seharusnya menempatkan Kepulauan Nusantara dalam wilayah angin pasat; di sebelah selatan pasat tenggara dan di sebelah utara dari garis khatulistiwa pasat timur laut yang bertiup sepanjang tahun. Tempat pertemuan kedua jenis angin itu disebut intertropical front dan merupakan daerah angin mati.

Akan tetapi ada dua faktor yang menyebabkan sistem angin di Nusantara menyimpang jika dibandingkan dengan daerah tropik lainnya;

(1) peredaran bumi mengitari matahari yang menyebabkan “daerah angin mati” itu berpindah-pindah dari Lintang Mengkara (tropic of Cancer) ke Lintang Jadayat (tropic of Capricorn). Pasat tenggara waktu melintasi garis khatulistiwa akan berubah menjadi barat daya, sedangkan apabila pasat timur laut melintasi khatulistiwa dalam perjalanannya ke selatan akan berbah menjadi angin barat laut.

(2) Lokasi satu benua ini akan mengakibatkan suatu tekanan rendah yang cukup mempengaruhi daerah angin mati tersebut bergeser lebih jauh ke selatan atau ke utara menurut musimnya sehingga mengubah arah angin yang bersangkutan. Dengan demikian, terjadilah angin musim yang berubah arah tujuannya setiap setengah tahun sehingga angin seolah-olah memutar haluannya 180˚.

Di beberapa tempat tertentu, karena kondisi lokal, angin yang dalam bulan Desember hingga Februari merupakan angin barat menjadi angin timur pada bulan September hingga November. Perubahan musim ini sudah lama dikenal oleh pelaut-pelaut Nusantara yang memanfaatkan perubahan angin ini.

Hal ini dapat diketahui dari sebuah pola pelayaran dengan fase; pada bulan Oktober kapal-kapal berangkat dari Maluku menuju pusat-pusat perdagangan di Makassar, Gresik, Demak, Banten sampai Malaka dan kota-kota lain di sebelah barat. Dalam bulan Maret perjalanan ke timur dapat dilakukan dengan menggunakan angin barat.

Dalam bulan Juni sampai dengan Agustus, angin di Laut Cina Selatan bertiup ke arah utara sehingga memudahkan pelayaran ke Ayyuthaya, Champa, Cina dan neger-negeri di utara Kepulauan Nusantara. Angin ini mulai mengubah haluan lagi pada bulan September dan Desember. Angin ini sudah berbalik sedemikian rupa sehingga perjalanan kembali ke selatan dapat dimulai lagi.

Jadi, dengan adanya sistem angin musim, Kepulauan Nusantara, terlebih bagian sebelah barat, berada pada kedudukan yang istimewa. Dapat dikatakan istimewa, karena di tempat inilah kapal-kapal dari semua penjuru bertemu, maka tidak mengherankan apabila kerajaan besar pertama sebagian besar tumbuh di daerah ini.

Posisi geografis ini sangat menguntungkan baginya karena dapat menguasai tempat pertemuan jalan-jalan pelayaran dan perdagangan. Pengetahuan tentang jalan ke sebelah utara (Cina) tidak setua pengetahuan tentang jalan ke sebelah barat (India, Afrika dan Laut Tengah). Jauh sebelum adanya interaksi dengan negeri Cina, orang-orang di Kepulauan Nusantara telah menjalin kegiatan perdagangan dengan negeri-negeri di sebelah barat jauh sebelum memasuki abad Masehi.

Pelayaran yang besar tergantung pada tenaga angin sudah tentu memerlukan pengalaman dan pengetahuan tentang sistem angin di perairan ini. Selain itu, waktu tempuh setiap kapal yang berbeda, selain dikarenakan oleh pengetahuan tentang sistem angin, juga dipengaruhi oleh teknologi perkapalan.

Semisal; Fa Hsien (414 M) menempuh jarak dari Kanton ke Malaka dalam waktu 50 hari. Sebelas abad kemudian, Tome Pires (1517) untuk perjalanan yang sama menempuh waktu 45 hari. Sebaliknya, Chia Tan (abad ke-8 M) berlayar dari Kanton ke Malaka dalam waktu 18,5 hari, Ch’ang Chun (abad ke-7 M) yang berlayar dalam 20 hari, sedangkan I-Ching (671) yang berlayar dari Kanton ke Sriwijaya dalam waktu 20 hari, jarak yang lebih jauh dibandingkan dengan jarak Kanton-Malaka.

Berdasarkan keterangan yang didapatkan dari para pengelana Eropa, tentang kemampuan para pelaut-pelaut Nusantara. Kapal-kapal Eropa yang pertama kali berlayar di Kepulauan Nusantara menggunakan jasa pelaut Nusantara. Dalam ekspedisi Magelhaens (1521) menculik dua perahu pandai laut setempat untuk mengantarkan ke tempat tujuan yaitu dari Filipina ke Tidore.

Pelayaran pertama yang dilakukan oleh orang Belanda (Cornelis de Houtman) juga menggunakan pelaut setempat untuk berlayar agar sampai ke Banten. Kapal-kapal Belanda ini ketika sampai di Selat Sunda menerima tawaran juragan perahu yang di jumpainya untuk mengantarkan mereka ke Banten dengan sewa 5 real.

Dengan demikian, maka dapat diketahui tentang kecakapan para pelaut Nusantara yang mengantarkan para pelaut Eropa berlayar di Kepulauan Nusantara. Kehebatan para pelaut Nusantara juga dapat diketahui dari kemampuan mereka dalam mengenal iklim, peta untuk berlayar yang diakui sendiri oleh orang-orang Portugis terutama Albquerque menyatakan bahwa Peta yang dimiliki oleh orang Jawa telah mencakup daerah Pantai Brasil.

Alat navigasi yang juga penting adalah kompas sebagai pembantu menentukan arah. Akan tetapi berdasarkan keterangan-keterangan para pelaut Belanda pada abad ke-17, para pelaut Nusantara tidak mempergunakan kompas, namun bukan berarti alat ini tidak dikenal.

Laksamana Steven van der Haghen dalam perjalanan pertamanya ke Nusantara membawa beberapa ratus kompas dengan harapan akan menjualnya setiba di sini, tetapi rupanya tidak ada yang memerlukannya sehingga harus dikembalikan ke negeri Belanda karena tidak laku.

Keadaan iklim dan geografi Nusantara memungkinkan pelaut-pelaut Nusantara mencari baringannya pada pulau-pulau dan tanjung-tanjung ketika berlayar menyusuri pantai, dan pada malam hari mereka menggunakan bintang-bintang sebagai penunjuk arah. Alat-alat navigasi yang biasanya digunakan untuk pelayaran melintasi samudra di daerah yang sering ditutupi kabut sudah tentu tidak banyak diperlukan di daerah perairan Nusantara.

Sebaliknya, pengetahuan astronomi lebih banyak dipentingkan. Konstelasi bintang dikenal dengan kombinasi yang khas Indonesia dengan nama-nama seperti mayang dan biduk yang lebih lagi mengingatkan sifat maritim dari pengetahuan perbintangan (para petani Jawa mengenal, misalnya, kombinasi bintang waluku yang menyerupai bajak). Menurut pengetahuan astronomi suku Biak, dua musim yang dikenalnya berada di bawah pengaruh bintang-bintang Sawakoi (orion) dan Romangwandi (scorpio).

Romangwandi dengan ekornya yang terdiri dari bintang Southern Crown menandakan bahwa musim angin ribut telah berlalu. Apabila Romangwandi masih berada di bawah cakrawala, musim angin barat yang menyebabkan ombak-ombak besar masih akan mengganggu pelayaran. Akan tetapi, dengan munculnya bintang ini, bintang Sawakoi mulai menghilang, atau dalam tafsiran suku Biak: pemuda-pemuda (Pleides dan Taurus) telah berhasil mengejar pemudi-pemudi ke dalam laut dan musim perjodohan telah tiba.

Persepsi tentang arah mata angin tidak sama dikembangkan di pulau-pulau Indonesia. Ada suku bangsa yang hanya mengenal dua arah, yakni arah laut dan darat, bahasa penduduk Nusantara selain mengenal empat mata angin dasar; utara-selatan, barat-timur, mengenal istilah tenggara yang khusus untuk menunjukkan arah mata angin yang berada di antara mata angin selatan-timur.

Taraf kemajuan dan perkembangan navigasi di seluruh Kepulauan Nusantara tidak sama. Masih banyak kegiatan pelayaran yang menggunakan cara-cara tradisional yang diperoleh secara turun-temurun, beberapa di antaranya bahkan dapat menentukan arah dilaut melalui intuisi. Ada yang dapat menentukan lokasinya berdasarkan bentuk awan dan pantulan sinar matahari, ada pula yang melihat pada warna dan jenis air laut serta arusnya, malahan adakalanya dengan hidung, seseorang dapat “mencium” tempatnya di laut.

Orang-orang Bugis dan Makassar mempunyai berbagai kotika tiliq yakni naskah-naskah dalam bahasa daerah untuk meramalkan apakah kapal yang dijumpainya bermaksud baik atau jahat, juga ada kotika johoro untuk melihat apakah serangan laut berhasil atau tidak. Setiap suku-bangsa di Kepulauan Nusantara telah mengembangkan kemampuan di bidang maritim secara berbeda menurut arah, selera, dan kebutuhannya sendiri.

Tidak semua kapal pada waktu itu berlayar menggunakan peta, peta-peta ini hanya disimpan. Hanya kalau memang dirasa perlu barulah membuka peta tersebut. Jadi, hingga kedatangan bangsa Eropa di Kepulauan Nusantara pada abad ke-16 maupun abad ke-17, para pelaut Nusantara sudah tidak asing lagi dengan kebradaan peta untuk kepentingan pelayaran.

Baca Juga  Alat Tulang Di Indonesia

Jenis Kapal-kapal dan Tempat Pembuatannya di Kepulauan Nusantara Pada abad ke-16 M

Kapal-kapal dan perahu-perahu di Kepulauan Nusantara, sebelum penemuan kapal uap ditemukan pada masa Revolusi Industri di Eropa, secara umum terbagi menjadi dua kelompok berdasarkan teknik pembuatannya. Klasifikasi dibuat berdasarkan bentuk lunas kapal, dimana dapat diketahui perbedaan antara teknik kapal lesung dan kapal papan.

Bentuk kapal lesung memiliki bentuk dalam lunas seperti sebuah lesung dengan bentuk yang memanjang. Kapal lesung adalah bentuk kapal yang paling sederhana dan bentuk kapal yang lebih tua jika daripada bentuk kapal papan, dengan daerah sebaran penemuannya tidak hanya terbatas pada wilayah Kepulauan Nusantara dan Asia Tenggara saja.

Pada tahun 1928 jenis kapal lesung ini masih dilihat di Danau Mondsee (Austria) dan penggalian arkeologi dari Belanda membuktikan bahwa sampan-sampan demikian juga dikenal di Kepulauan Nusantara sejak masa pra-aksara. Untuk memperbesar kapasitas muatan pada kapal lesung, pinggiran kapal ditinggikan dengan papan-papan, ada yang mempunyai katir atau cadik, baik yang tunggal maupun yang diletakkan di kedua sisi kapal untuk menjaga keseimbangan. Untuk memanfaatkan tenaga angin ketika berlayar, kapal-kapal ini mempunyai tiang; ada satu tiang, dua atau lebih untuk tempat memasang layarnya.

Walaupun dikatakan bahwa bentuk perahu lesung ini adalah yang paling sederhana, akan tetapi teknik pembuatannya memerlukan keahlian dan pengalaman yang khusus; mulai dari memilih kayu yang paling cocok, menebang pohonnya, sampai pada pekerjaan mengeruk batang pohon yang telah ditebang. Di mana untuk kegiatan ini para pembuat kapal harus memiliki kesabaran dan ketekunan di dalam bekerja, sedangkan penggunaan alat-alat yang serba sederhana untuk pekerjaan ini sudah tentu hanya mungkin jika seseorang tlah memiliki pengalaman bertahun-tahun di dalam proses pembuatan kapal.

Hal yang sama juga terjadi ketika seseorang di dalam membangun rumah, balai pertemuan, lumbung ataupun jembatan yang membutuhkan keahlian khusus selayaknya di dalam pembuatan kapal ini. Selain itu di dalam setiap pekerjaan yang dilakukan di atas pun disertai dengan upacara-upacara adat tertentu yang disesuaikan dengan adat kebiasaan masyarakat setempat.

Di dalam proses pembuatan kapal lesung, setelah batang kayu terbaik telah dipilih, lalu dengan bantuan api dan air, maka batang tersebut dilengkungkan supaya dasar perahunya dapat dijadikan lebih datar dan lebar. Biasanya batang yang telah dikeruk itu diisi air, sementara seluruh bagian bawahnya diletakkan di atas api yang kecil.

Dengan demikian, dinding lambungnya dapat menyusut dan pekerjaan mengeruk dilanjutkan sampai lesungnya telah cukup lebar dan luas sedangkan tebal kayunya merata. Untuk menghindari lubang lesung menutup kembali, dipasang lagi kayu-kayu yang melintang antar-dinding kapal. Apabila luas dan bentuk yang dikehendaki telah tercapai barulah dimulai dengan pekerjaan halus untuk melicinkan kayunya dan memberi perhiasan atau pun motif-motif tertentu sesuai keinginan dan keperluan.

Bagi kapal papan teknik pembuatannya pun tidak kalah rumit jika dibandingkan dengan pembuatan kapal lesung. Hal ini dikarenakan kapal papan tidak tergantung dari satu batang kayu saja yang dikeruk bagian dalamnya. Jenis dan bentuknya lebih banyak lagi, kemungkinan untuk membuat kapal yang lebih besar tidak begitu terbatas pula.

teknologi kemaritiman zaman islam di indonesia

Panjang lunas dapat berbeda-beda dan cara meletakkan tinggi muka dan belakang serta gading-gading yang ikut membentuk kerangka kapal menntukan pelbagai macam variasi menurut kebutuhan dan pengalaman masyarakat setempat. Penggunaan pasak kayu untuk menyambung papan-papan satu dengan yang lain meskipun suatu cara yang lebih tua daripada menggunakan baut, sekrup atau paku baja dari logam, ternyata lebih baik karena dapat tahan air asin dan tidak berkarat.

Sumber-sumber sejarah tentang kemajuan dari teknik perkapalan Nusantara hampir tidak ada. Kondisi ini sungguh menyulitkan di dalam merekonstruksi sejarah perkembangan perkapalan Indonesia. Pada zaman pra-aksara rupa-rupanya sampan sudah dikenal di samping rakit yang dibuat dari bambu dengan atau tanpa lantai papan di atasnya.

Di antara lukisan pra-aksara yang terdapat pada dinding gua atau batu karang di Pulau Kei terdapat gambar sampan, walaupun tidak begitu jelas bentuknya, juga sukar untuk menentukan jenis perahu yang trdapat pada hiasan-hiasan nekara perunggu yang banyak tersebar di Kepulauan Nusantara.

Berdasarkan hasil dari perkembangan selama puluhan abad dari zaman batu dan perunggu hingga abad ke-8 M, setidaknya pada zaman berkuasanya hegemoni kerajaan Hindu-Buddha dapat diketahui berbagai jenis kapal yang terutama terdapat pada relief Candi Borobudur. Pada Candi Borobudur, setidaknya terdapat sepuluh relief yang melukiskan perahu atau kapal yang dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu; (1) Perahu Lesung, (2) kapal besar bercadik, (3) kapal besar tidak bercadik.

Teknologi dan Pusat-Pusat Pelayaran Di Kepulauan Nusantara

Berdasarkan keterangan yang didapatkan dari relief yang ada di Candi Borobudur, dapat diketahui bahwa kapal yang besar memiliki dua tiang, sedangkan haluan dan buritannya meruncing ke atas. Tiang yang agak miring ke depan memiliki kemiripan dengan kapal-kapal Arab. Layar besar yang dipakai pada waktu itu berbntuk segi empat, hanya layar yang berada di bagian buritan ada yang berbentuk segitiga (layar sudu-sudu). Gambar mata yang terdapat pada lambung kapal, merupakan suatu kebiasaan universal yang erat hubungannya dengan kepercayaan tradisional yang masih dipegang teguh oleh banyak masyarakat nelayan hingga saat ini.

Berita tentang perkapalan pada zaman Kerajaan Hindu-Buddha sangatlah kurang. Barulah pada tahun 1544, Antonio Galvao menuliskan bagaimana cara orang-orang di Maluku Utara membuat Kapal. Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Galvao, kapal yang dibuat dengan cara demikian; bentuk di tengah-tengah kapal menyrupai telur dan kedua ujungnya melengkung ke atas. Dengan demikian, kapal dapat berlayar maju ataupun mundur.

Kapal-kapal ini tidak diberi paku atau dempul. Lunas rusuk, serta linggi depan dan linggi belakangnya disesuaikan dan diikat dengan tali ijuk melalui lubang yang dibuat di beberapa tempat tertentu. Di bagian dalam terdapat bagian yang menonjol yang berbentuk cincin untuk tempat memasukkan tali pengikatnya sehingga dari luar tidak kelihatan sama sekali.

Untuk menyambung papan-papannya mereka menggunakan pena, pada ujung papan lainnya dibuat lubang kecil untuk memasukkan pena tersebut. Sebelum menyambung papan-papan ini di sela-selanya diberi baru agar air tidak dapat masuk: dengan disambung bersama-sama, papan-papan berapit-apit sehingga kelihatan seolah-olah berdiri dari satu bilah saja. Di bagian haluan dimasukkan “Kayu yang diukir berupa ular dengan kepala naga yang bertanduk seperti kijang”

Naskah ini melanjutkan: “bilamana kapal telah selesai, sepuluh atau dua belas balok yang dikerjakan baik-baik diletakkan melintang dari lambung. Balok-balok ini berfungsi sebagai penunjang seperti pada kapal galai, dan disebut ngaju yang diletakkan baik-baik sampai tidak goyah lagi. Ngaju ini menonjol ke luar di sebelah-menyebelah kapal, 1-1,5 meter menurut besar kapalnya. Di atas ngaju ini terdapat beberapa kayu bercabang, disebut pagu, sebagai tempat mengikat bambu lain yang lebih besar dan lebih panjang, bambu ini diberi nama samah (cadik), untuk menunjang jika kapal oleng.

Pada bagian ngaju yang terdapat di kapal, dibuat sebuah lantai dari rotan yang dibelah dua, semacam tingkat atas atau geladak, yang dinamakan baileo. Apabila mereka mau berbuat jahat terhadap orang yang berlayar di atasnya, yakni orang yang bersenjata, mereka dapat menyapu baileo itu bersama ngaju-nya, dan tentara yang berada di atas akan jatuh ke dalam air dan tenggelam. Di baileo ini dibuatkan bilik-bilik yang ditujukan khusus untuk perwira dan di sampingnya ada tempat untuk kapten, menteri, dan prajurit bersenjata, sehingga mereka yang berada di sini disebut “orang-baileo”.

Di atas bilik-bilik ini ditutup seperti tenda pada galai untuk tempat berteduh terhadap panas matahari dan hujan. Para kolano (raja) bersama saudaranya dan para sangaji memakai tanda yang dibuat dari kakoya putih, dan yang dinamakan papajangga, bersegi empat. Pada tiap sudut tenda ini berkibar sebuah bendera dari bulu seperti ekor ayam jantan, lagi pula ada dua bendera lainnya di depan hampir setinggi permukaan air laut, masing-masing di kiri dan kanan, dibuat dari kain berwarna merah yang tidak berbentuk persegi empat, melainkan menyerupai lidah. Bendera raja dikibarkan dari tiang di tengah kapal.

Di dalam naskah ini juga dijelaskan bahwa di Maluku terdapat banyak jenis kapal, yang terpenting bernama juanga yang menyerupai galai raja. Ada pula kapal-kapal lain yang bernama la-kafunu, kora-kora, kalalus, dan perahu kecil. Semuanya digerakkan dengan dayung dan tidak dipakai untuk mengangkut muatan. Ruangannya panjang tetapi tidak dalam, sebuah juanga dapat membawa 200 pengayuh pada tiap lambung, ditambah dengan hampir 100 orang baileo.

Akan tetapi, ada pula juanga yang lebih kecil yang hanya membawa 150 pengayuh untuk tiap sisi dan 50 orang di baileo, bahkan ada yang dengan ukuran lebih kecil.

Kapal lakafunu hampir serupa dengan juanga. Untuk kapal ini dipilih orang-orang yang paling kuat, baik untuk mengayuh maupun untuk menempati baileo. Kapal lain juga menyerupai galai adalah camanomi dan kora-kora. Ini tidak begitu panjang, juga lebar dan tingginya tidak seberapa dan hanya dapat membawa 40-47 pengayuh dengan 25 orang baileo.

Lebih kecil lagi ada rorehe yang hanya berkapasitas 15-30 pengayuh dan 6-10 orang baileo. Semua jenis kapal tersebut di atas mempunyai cangalha dan mempunyai cadik di setiap sisinya. Yang tidak bercadik adalah jenis kapal kalulus dan memuat 20-50 pengayuh, sedangkan orang baileonya dapat berjumlah 10, 15, atau 20 orang. Selain itu, ada pula perahu nelayan, bernama myenyan dengan 3-12 orang pengayuh dan 2 orang baileo. Biasanya juanga, lakafunu dan kora-kora membawa 1 sampai 3 perahu.

Akan tetapi, kalau berada dalam kecemasan, perahu-perahu ini dibuang kelaut seperti barang yang tidak berharga. Naskah yang diberikan oleh Antonio Galvao ini juga mengatakan bahwa ada kapal khusus untuk muatan yang disebut dengan campana.

Kedatangan orang Portugis di perairan Nusantara berakibat besar, bukan hanya dibidang politik dan ekonomi, melainkan juga dalam bidang teknologi perkapalan. Berdasarkan keterangan di atas telah ada pengaruh timbal balik dalam pengetahuan navigasi antara orang-orang di Kepulauan Nusantara dan Portugis.

Demikian pula ada perubahan di dalam pembuatan kapal. Akan tetapi, seberapa jauh pengaruh Portugis dan dalam segi apa saja tidak banyak diketahui. Telah diketahui bahwa banyak orang Portugis yang meninggalkan pekerjaannya dan menawarkan tenaganya kepada raja-raja setempat.

Di Banten, Mataram, Makassar, Aceh, dan beberapa tempat pada umumnya di Asia Tenggara orang-orang Portugis bekerja sebagai penasehat dalam pembangunan istana, kota dan bangunan lainnya. Juga ada dugaan bahwa mereka membantu sebagai arsitek kapal, seprti van Linschoten pada akhir abad ke-16. Menurut catatannya, di daerah sekitar Malaka beberapa orang Portugis telah “berkhianat” dan menawarkan jasa-jasanya kepada raja-raja setempat dan mengajarkan teknik pembuatan kapal Eropa, termasuk jasa dalam membuat Galai.

Baca Juga  Disintegrasi Timor Timur dan Kemerdekaan Timor Leste 1999

Kapal perang Banten, menurut kesaksian yang diberikan oleh Willem Lodewycksz yang mengikuti ekspedisi Belanda yang pertama di bawah pimpinan Cornelis de Houtman, menyerupai kapal galai dengan dua tiang layar. Keistimewaannya adalah serambi yang sempit, merupakan emperan yang mengikuti bagian buritan kapal. Ruangan bawah hanya dipakai untuk para budak dan pngayuh. Mereka ini seolah-olah dikurung sedangkan tentara berada di geladak supaya dapat berperang dengan lebih leluasa sedangkan di bagian depan ditempatkan empat pucuk meriam.

Untuk mengadakan pelayaran yang jauh, yakni ke Maluku, Banda, Kalimantan, Sumatra, dan Malaka, Banten mempunyai ujung (lunco atau joncken) yang mempunyai layar kecil di depan, kadang-kadang juga ada tiang agung dan dua tiang lainnya.

Di depan tidak ditempatkan layar segi empat, tetapi menurut laporan Lodewycksz, ada kapal yang lebih besar yang memiliki layar yang demikian dari haluan sampai ke belakang terdapat geladak yang ditutup dengan atap untuk berteduh terhadap matahari, hujan dan embun. Di bagian belakang terdapat anjungan untuk nahkoda. Di bagian bawah ruangan dibagi-bagi dalam petak-petak untuk tempat barang-barang.

Lodewycksz juga mencatat bahwa di Banten ada perahu yang mempunyai cadik, dan ada juga yang tidak bercadik, keduanya dipakai untuk mengadakan patroli laut. Mereka ini bertugas menjaga keamanan di laut, juga mencegah apabila ada barang-barang yang keluar tanpa membayar cukai. Kapal-kapal ini mempunyai atap, seperti pula kapal yang dipakai untuk bersenang-senang.

Selanjutnya ada perahu lesung kecil yang dapat berlayar dengan sangat cepat, suatu hal yang belum pernah dilihat oleh orang-orang Belanda. Kronik-kronik dari Makassar dan Bugis dapat menambah pengetahuan tentang perkembangan teknologi kemaritiman Sulawesi Selatan. Di dalam lontara bilang (Makassar) atau sure bilang (Bugis) juga disebut peristiwa-peristiwa penting mengenai kapal, adat istiadat, dan alat-alat pertanian.

Selain itu, di dalam kronik ini juga dijelaskan bahwa pada tahun 1380 meriam dibuat untuk pertama kalinya di Makassar, namun tidak diketahui darimana budaya pembuatan meriam itu didapat, apakah dari Majapahit, Malaka, Keling atau orang-orang Bugis dan Makassar sendiri.

Kapal-kapal di Kepulauan Nusantara ada yang diproduksi sendiri dan ada juga yang membelinya di daerah Asia Tenggara lainnya. Dalam catatan Tome Pires, pada awal abad ke-16 Pasai belum mempunyai industri perkapalan sendiri. Mereka harus pergi ke Malaka, akan tetapi kapal-kapal dari Malaka berukuran kecil. Untuk kapal-kapal yang besar yang diperlukan untuk muatan banyak, Malaka membelinya di Pegu.

Hal ini diperkuat dengan pemberitaan tentang Sultan Mansur dari Malaka yang hendak berlayar ke Mekkah, ia menggunakan kapal-kapal yang dibuat di Pegu dan Jawa. Berdasarkan catatan Tome Pires dapatlah diketahui bahwa Jawa adalah penghasil kapal-kapal besar.

Dalam setiap tahun di bulan Februari, 15 atau 16 buah kapal yang besar-besar dari Pegu, bertiang 3 atau 4, berlayar ke Malaka. Di samping itu, ada 20 sampai 30 kapal berlunas panjang tetapi kapasitasnya kuran. Kapal-kapal tersebut tiba di Malaka pada bulan Maret dan April dan banyak diantaranya dijual di pelabuhan ini. Hutan kayu di daerah Pegu merupakan sumber bahan kayu penting dan menjadikan Pegu sebagai tempat galangan kapal terkenal di Asia Tenggara.

Galangan kapal di Jawa juga terkenal di Asia Tenggara pada abad ke-16. Keahlian arsitek kapal Jawa ini sangat tersohor, sehingga Albuqurque membawa 60 tukang yang cakap pada waktu meninggalkan Malaka pada tahun 1512. Kapal yang dibuat di sini terbatas pada kapal-kapal kecil yang dapat berlayar dengan cepat dan diperlukan untuk berperang. Juga dibuat kapal muatan dengan ukuran muatan yang kecil.

Albuquerque tidak menyebut di mana tempat galangan kapal Jawa tersebut, tetapi orang-orang Belanda memberikan keterangan bahwa Lasem yang terletak antara Tuban dan Jepara, dan yang dekat dengan hutan jati Rembang merupakan pusat industri galangan kapal ini.

Keadaan yang menguntungkan ini adalah faktor terpenting dibalik kemajuan Demak. Dengan demikian, Demak mempunyai kapal-kapal untuk mengangkut hasil pertanian daerah pedalamannya untuk kemudian dikonsumsi dan dijual ke daerah lain. Selain dengan adanya industri kapal ini memungkinkan Demak mengerahkan sejumlah kapal untuk ekspedisi lintas laut, baik untuk maksud damai maupun untuk tujuan perang.

Selain untuk dipakai sendiri, kapal-kapal tersebut merupakan bahan ekspor yang penting. Sebelum kekuatan laut Demak jatuh (dalam perang melawan Portugis), Demak mempunyai 40 buah jung untuk membawa bahan makanan ke Malaka.

Di bagian timur kepulauan Indonesia pusat galangan kapal terdapat di Kepulauan Kei. Laporan dari para pengunjung pulau-pulau Kei semua memuji keahlian orang-orang Kei dalam teknologi membuat kapal. Setiap tahun suatu armada kapal dan perahu yang baru selesai dibuat berangkat dari sini ke pelabuhan-pelabuhan Maluku untuk dijual.

Industri perkapalan memang merupakan sumber utama bagi ekspor pulau-pulau Kei pada abad ke-19, tetapi mengenai periode sebelumnya tidak ada data yang pasti. Berdasarkan keterangan dari Tome Pires bahan ekspor pulau Kei dan Aru ke pelabuhan Banda adalah sagu, emas, serta burung kakatua dan cenderawasih yang dikeringkan, tidak disebutkan adanya kapal buatan Kei sebagai barang dagangan.

Akan tetapi, hubungan langsung antara Kei dengan Banda telah lama, sehingga ketika Jan Pietersz Coen memusnahkan Banda (1621) dan mengisinya dengan orang-orang Belanda, penduduk asli Banda mencari tempat suaka ke pulau-pulau Kei dan sampai sekarang masih bertempat tinggal dan mempertahankan adat istiadat, agama Islam dan bahasanya sendiri.

Banyaknya variasi tipe kapal, teknologi perkapalan yang menimbulkan rasa kagum asing terhadap Nusantara, serta tradisi maritim yang telah mempengaruhi budaya Kei menunjukkan bahwa pengetahuan teknik perkapalan di sini sudah dimulai sebelum abad ke-19. Hutan rimba di pulau-pulau Kei kaya akan kayu-kayu yang cocok untuk bahan kapal.

Di daerah lain, di Kepulauan Nusantara, rakyat setempat sanggup membuat kapal sendiri. Pada umumnya kapal dan perahu dibuat oleh arsitek sendiri untuk memenuhi kebutuhan masing-masing dibuat menurut adat istiadat lokal dengan ciri-ciri yang khas dalam bentuk dan bagian-bagiannya, misalnya lunas (ada yang menonjol, ada yang menyerupai tanduk runcing, dan sebagainya); ukiran-ukiran di bagian depan atau belakang; bentuk sambungan dan jumlah katirnya; jenis dan jumlah layarnya; bentuk kemudi dan gagangnya; tali-temali, dan sebagainya.

Akan tetapi, sebagai pusat galangan kapal yang pernah mengekspor ke luar daerah dalam jumlah besar, Lasem terkenal untuk bagian barat Nusantara pada abad ke-16 dan ke-17, dan pulau-pulau Kei untuk bagian timur pada abad ke-19.

Jalur dan Pusat Pelayaran pada abad ke-16 – 17

Pada tahun 1521 Sebastian del Cano berangkat dari Tidore dan kembali ke Sevilla, adalah sebuah jalan laut baru yang telah ia rintis dari Maluku hingga Eropa Barat. Sebastian del Cano berlayar dari Tidore ke selatan dan sesudah singgah sebentar di Timor, kapalnya kemudian dikemudikan ke barat daya menyebrang Samudra Hindia ke ujung selatan Afrika, lalu ke Laut Atlantik sampai ke muara Sungai Guadalquivir di Iberia Selatan. Dengan demikian, untuk pertama kalinya rempah-rempah dari Maluku diangkut langsung dari tempat asalnya ke Eropa.

Sebelumnya rempah-rempah dari Maluku ini, yang terdiri dari pala dan cengkih, harus menempuh jalan yang bertahap dan memakan waktu lebih lama untuk sampai di pasaran Eropa. Sebelum peristiwa ini, rempah-rempah tersebut diangkut dari Maluku Utara ke Hitu dan Banda yang kemudian diangkut ke pelabuhan-pelabuhan di pesisir Jawa, pantai timur Sumatra, dan Selat Malaka.

Pada abad ke-15 Malaka berhasil menjadi pusat utama untuk lalu lintas perdagangan dan pelayaran, dari Malaka hasil hutan dan rempah-rempah dibawa ke India. Terutama tanah Gujarat, yang melakukan hubungan dagang langsung dengan Malaka.

Lebih ke barat perjalanan laut melintasi Laut Arab dan bercabang dua; yang pertama di sebelah utara menuju Teluk Oman, melalui Selat Ormuz, ke Teluk Persia. Di Persia Syah Ismail I, cikal bakal Dinasti Sufi, sedang memperluas wilayahnya.

Pada tahun 1514 pecahlah perang dengan kemaharajaan Ottoman yang disebabkan oleh ambisi untuk ekspansi wilayah dan juga karena ada pertentangan antara kaum Syi’ah dan kaum Sunni. Dalam keadaan ini Syah Ormuz dapat menguasai lalu lintas keluar masuk Teluk Persia. Kota Ormuz dapat membanggakan diri sebagai salah satu kota yang terkaya di dunia karena posisi geografis.

Jalan kedua adalah melalui Teluk Aden dan Laut Merah, dan kota Suez jalan perdagangan harus melalui daratan ke Kairo dan Iskandariah. Di sini kekuasaan berada di tangan raja-raja Mameluk yang mempunyai imperium besar yang meliputi Mesir, Suriah, dan tanah Hezaj. Jadi, jalan rempah-rempah melalui Teluk Persia pun akhirnya harus melalui wilayah Mameluk di mana Aleppo merupakan pusat perdagangan penting.

Melalui jalan pelayaran tersebut di atas kapal-kapal Arab, Persia, dan India telah mondar-mandir dari barat ke timur dan terus ke negeri Cina dengan menggunakan angin musim untuk pelayaran pulang perginya. Ada kemungkinan bahwa kapal-kapal Cina pun mengikuti jalan tersebut sesudah abad ke-9, akan tetapi tidak lama kemudian kapal-kapalnya hanya sampai ke pantai barat India, karena barang-barang yang diperlukan sudah dapat dibelinya disini. Juga kapal-kapal Indonesia telah mengambil bagian dalam perdagangan tersebut. Pada zaman Sriwijaya pedagang-pedagang Indonesia telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina dan pantai timur Afrika.

Menyadari akan pentingnya jalan dagang tersebut, orang-orang Portugis segera berusaha menguasai jalan ini. Tokoh utama Portugis itu adalah Alfonso d’Albuquerque. Dalam waktu singkat ia berhasi menduduki Ormuz (1505), Goa (1510), dan Malaka (1511) sehingga pusat-pusat penting di jalan ini jatuh ke tangan Portugis. Kemudian menyusul Sao Tome de Meliapor yang sampai di Pantai Koromandel, Hughlim dan Makau. Dengan memperluas wilayah pendudukan hingga ke Maluku (Ternate) dan Timor serta persahabatannya dengan Sultan Gowa di Makassar, perdagangan di sebelah timur pun terjamin baginya.

Orang-orang Portugis memasuki perairan Asia melalui jalur selatan, yakni via Tanjung Harapan Baik dan pantai timur Afrika. Portugis kemudian mendirikan pangkalan-pangkalan di sepanjang jalur tersebut. Dengan didirikannya pangkalan tersebut, perdagangan Asia hendak dialihkannya melalui Tanjung Harapan Baik, di mana ia juga telah mendirikan pangkalan-pangkalan di Sofala, Cabo Verde (pantai barat Afrika) dan Brasil (Amerika Selatan)

Walaupun muatan yang diangkut Portugis melalui Tanjung Harapan Baik ke Lisbon diperkirakan antara 40000 dan 50000 kuintal setiap tahun pada awal abad ke-16 dan kemudian menjadi 60000 – 70000 setahun, tidak semua barang dagangan dapat dialihkannya melalui jalur tersebut. Pada tahun 1585, Aceh mengekspor antara 40000 – 50000 kuintal rempah-rempah ke Jedah setiap tahun, terutama dengan kapal Gujarat.

Baca Juga  Zaman Paleolitikum Di Indonesia

Jadi, kapal-kapal Portugis dalam hal ini berhasil mempertahankan monopoli rempah-rempah. Setelah mengalami disrupsi (tercabut dari akarnya) selama beberapa tahun, pelayaran di Kepulauan Nusantara segera menyesuaikan diri dengan keadaan baru. Kapal-kapal Nusantara mulai lagi mengunjungi Malaka yang telah dikuasai Portugis, akan tetapi, di samping itu telah timbul pusat-pusat baru di sekitarnya.

Aceh dan Banten menjadi saingan berat karena sebagian dari perdagangan tersebut dialihkan melalui pantai barat Sumatra dan Selat Sunda, sedangkan Jambi dan Brunei pun ikut mendapat keuntungan dari kemunduran Malaka sebagai pusat yang terbesar di wilayah ini.

Pada abad ke-16 telah berkembang suatu pelayaran baru, yakni antara Asia Tnggara dan Amerika, khususnya antara Manilla dan Acapulo di pantai barat Meksiko. Perjalanan lintas Pasifik ini telah dipelopori oleh beberapa ekspedisi Spanyol, akan tetapi baru pada tahun 1565 mereka untuk pertama kalinya melakukan perjalanan pulang ke Meksiko, yakni dengan kapal San Pablo yang berangkat dari Cebu pada 1 Juni 1565 dan tiba di Acapulo pada tanggal 28 Septmber 1565.

Dalam hal ini navigasi tidak dapat bersandarkan pada angin musim sehingga untuk perjalanan pulang perlu dicari rute yang baru. Pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman dan kegagalan ekspedisi sebelumnya telah mendorong Urdaneta untuk merencanakan rute lain yang baru terlaksana tahun 1565.

Sejak ditemukannya rute yang baik, lahirlah suatu hubungan baru dengan Eropa melalui Amerika Tengah dengan jalan mana barang-barang Asia mendapat jalan keluar. Jumlah muatan yang diangkut melalui jalan ini dapat dipelajari lewat angka-angka permiso (izin) yang dikeluarkan di Manilla.

Sebelum tahun 1593 tidak diadakan pembatasan ekspor, tetapi pada tahun tersebut permiso pertama dikeluarkan dan muatan Manilla Galleon dibatasi 250000 peso setiap tahun, dengan berdasarkan harga yang berlaku di Manilla, sedangkan harga penjualannya di Meksiko tidak boleh melebihi dua kali harga tersebut. Pembatasan ini dipertahankan ketika dikeluarkan peraturan pada tahun 160 dan 1619. Baru pada tahun 1602 permiso dinaikkan menjadi 300000 peso setahun, kemudian ditambah lagi menjadi 500000 peso pada tahun 1734, dan akhirnya 750000 peso sejak tahun 1776.

Jalan langsung antara perairan Nusantara dngan Tanjung Harapan Baik melintasi Samudra Hindia yang dirintis oleh Del Cano tersebut dipergunakan oleh kapal-kapal Belanda pertama kali pada tahun 1596. Dengan perkembangan jalan baru ini pelayaran melalui Selat Sunda yang sudah sering dipergunakan semenjak Portugis menduduki Malaka kini menjadi lebih ramai lagi.

Seperti halnya lintas Pasifik dengan “Galai Manilla” telah memelopori eksplorasi di Samudra Pasifik, pelayaran melintasi Samudra Hindua juga menambah pengetahuan mengenai geografi di sini. Berangsur pulau-pulau di tangah samudra seperti Kokos dan Christmas muncul dalam peta Eropa. Demikian pula pantai barat Australia mulai dikenal karena sering kapal Belanda yang berlayar dengan angin Bramadora sebelum membelok ke utara menuju Selat Sunda, terlanjur berlayar ke timur terbentur pada pantai Australia (di sekitar pulau Dirk Hartogs)

Apabila kapal-kapal Belanda secara kebetulan sampai di pantai barat Australia, bukan demikian halnya dengan kapal-kapal Bugis dan Makassar yang berlayar ke pantai utara Australia.

Menurut kisah Daeng Sarro dari kampung Bontorannu pelayaran tersebut yang terutama diadakan untuk mencari tripang yang sangat laku dalam perdagangan dengan orang Cina, telah dikenal pada abad ke-18, dan ada kemungkinan besar bahwa pelayaran tersebut sudah mulai pada abad ke-17 atau sebelumnya.

Penangkap-penangkap tripang dari Sulawesi Selatan ke tanah Marege (penduduk Australia dalam bahasa Bugis dan Makassar) mengambil rute sebagai berikut; Makassar, Salayar, Wetar, Kisar, Leti, Moa, selanjutnya ke arah selatan tenggara ke pelabuhan Darwin dan seterusnya.

Seperti diketahui, kunjungan kapal-kapal dari Sulawesi Selatan ini telah meninggalkan bekasnya pula pada budaya penduduk pantai utara Australia, misalnya pemasangan tiang layar dalam upacara pemakaman orang mati yang walaupun sebenarnya merupakan penemuan baru oleh suku Australia sendiri diambilnya dari kebiasaan orang Bugis dan Makassar memasang tiang layar pada waktu mereka hendak berlayar pulang.

Pelayaran orang Makassar dan Bugis dalam waktu itu sudah meliputi hampir seluruh perairan Nusantara. Jalan pelayaran dalam negeri dapat dikonstruksikan dari posisi kerajaan-kerajaan pribumi dan wilayah ekspansinya, Samudra Pasai yang menempati kedudukan penting di Selat Malaka dalam penguasaan lalu lintas di Selat Malaka, kemudian diganti oleh Aceh yang mendapat kesempatan baik setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis.

Untuk sementara kapal-kapal memilih berlayar menyusur pantai barat Sumatra dan untuk penguasaan pelayaran serta penguasaan bahan hasil hutan dan perkebunan yang dihasilkan oleh daerah-daerah sepanjang jalan ini. Aceh berusaha melebarkan kekuasaanya ke selatan sampai ke Pariaman dan Tiku.

Dari pantai Sumatra kapal-kapal memasuki Selat Sunda menuju pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Jawa. Di bagian barat, Banten menduduki tempat penting sejak awal abad ke-16. Kemunculan Banten sebagai pelabuhan terjadi saat Malaka jatuh ke tangan Portugis dimana terjadinya peralihan perdagangan dari Selat Malaka ke Selat Sunda.

Usaha Banten untuk menguasai Lampung dan mengadakan ekspansi ke daerah Palembang mungkin pula dapat dihubungkan dengan ambisinya untuk memegang hegmoni di wilayah Selat Sunda, di samping keinginannya untuk menguasai lada di Sumatra Selatan.

Ketika Tome Pires mengunjungi perairan Indonesia, Banten masih menduduki kedudukan kedua sesudah Sunda Kalapa. Di Banten para pedagang dari barat dan timur berkumpul, dari Palembang dan Pariaman, dan dari Lawe dan Tanjung Pura, berikut pula Malaka, Makassar, Jawa Timur, dan Madura. Dari pulau-pulau Maladewa kapal-kapal datang untuk menjual budak-budaknya.

Pada tahun 1527 Banten menduduki Sunda Kalapa sehingga perdagangan pelabuhan ini yang pada waktu itu diberi nama Jayakarta, banyak dialihkan ke Banten. Baru sesudah tahun 1619 perdagangan di sini mulai ramai lagi, akan tetapi pada waktu itu kekuasaan telah berada di tangan orang Belanda, yang mengganti nama Jayakarta dengan Batavia.

Seperti Sunda Kalapa yang mempunyai sejumlah kapal lanchara dan jung dengan kapasitas muatan sampai 150 ton, dan mengekspor beras (di samping lada), demikian pula pelabuhan-pelabuhan di pesisir Jawa bertambah makmur karena ada surplus beras di daerah pedalaman, semisal; Cirebon mempunyai 4 jung dan 5 lanchara; Losari 2 jung dan 5 lanchara, Tegal dengan 1 jung, Semarang 4 jung dan 5 lanchara, dan terbesar adalah Demak dengan 40 jung.

Keadaan yang dilaporkan Tome Pires adalah keadaan sebelum dilancarkan serangan bersama terhadap Portugis di Malaka yang dipimpin oleh Demak. Setelah kekalahan Demak, armada-armada ini musnah. Hanya Jepara saja yang masih memiliki 3 jung. Jepara sebenarnya adalah wilayah yang lebih kecil dari Demak, namun letaknya lebih strategis dari Demak.

Setelah dikuasai Kesultanan Mataram pada tahun 1599, Jepara tetap sebagai pelabuhan penting bagi Mataram. Pada tahun1615 orang Belanda melaporkan telah bertemu di dekat pantai Sumatra dengan 60-80 jung dari Jawa, sebagian besar di antaranya berasal dari Jepara dan tempat-tempat sekitarnya. Kapal-kapal tersebut memuat makanan untuk dibawa ke Malaka.

Sumber-sumber Belanda melaporkan pula bahwa ada hubungan langsung antara Jambi dengan Jepara. Malahan dikatakan bahwa lada yang dimasukkan dari Jambi ke Jepara menarik pedagang-pedagang Cina untuk datang ke Jepara. Di sini lada dari Sumatra ditukar dngan sutra, porselen, dan belanga besi dari negeri Cina.

Di daerah agak ke timur, terdapat Tuban yang merupakan salah satu pelabuhan yang terkenal sejak abad ke-11, tetapi pada akhir abad ke-16 kapal-kapal yang mengunjunginya sudah berkurang. Dikelilingi tembok yang tebal, Tuban merupakan benteng yang tidak mudah untuk dikalahkan. Orang-orang Eropa pada umumnya sangat kagum dengan kekayaan yang dipamerkan di Tuban, antara lain pawai gajah, kuda dan anjung. Kaum bangsawan di sini mempunyai banyak budak yang pada waktu itu juga merupakan simbol status yang penting.

Akan tetapi, kapal-kapal dagang pada abad ke-16 lebih suka ke Gresik daripada ke Tuban, entah karena fasilitas pelabuhan yang berkurang, atau karena disebabkan oleh pendangkalan pelabuhan Tuban, atau mungkin karena penerapan bea cukai yang tinggi. Sehingga pada saat itu, jung-jung Tuban harus memaksa kapal-kapal yang lewat bahkan menjarah kapal-kapal yang melintasi atau mendekati daerah Tuban, sehingga Tuban memasuki abad ke-17 dikenal dengan bajak lautnya.

Persaingan antara kota-kota pelabuhan tersebut tentu turut melemahkan posisi vis-a-vis politik ekspansi Mataram. Pada tahun 1619 Tuban menyerah, Gresik diduduki pada tahun 1623, Surabaya masih bertahan sampai 1625, tetapi pada tahun itu seluruh pesisir utara Jawa dikatakan sudah berada dalam tangan Sultan Mataram.

Pada awal abad ke-17 Surabaya masih disebut “desa” dalam laporan-laporan Belanda, walaupun pada waktu itu kerajaannya yang mula-mula meliputi Sedayu, Pasuruan, Gresik, Panarukan dan Blambangan. Malah dikatakan bahwa Surabaya pernah menaklukan Sukadana, Banjarmasin, Lawe dan Pulau Bawean. Akan tetapi, diantara bandar pelabuhan tersebut, bandar Gresik Jaratan merupakan pelabuhan yang utama, dimana di tempat ini dibuat kapal-kapal kecil dan besar yang digunakan untuk pelayaran ke Maluku.

Hubungan antara pulau Bali dengan pulau lainnya di Kepulauan Nusantara tidak kalah penting. Kapal-kapal yang berlayar dari bagian barat Nusantara yang hendak berlayar ke Maluku dan Nusa Tenggara akan singgah di Bali. Di samping Bali dan Lombok, terdapat juga Sumbawa sebagai salah satu pelabuhan yang penting di Nusantara bagian timur.

Semakin besarnya hegemoni belanda dalam jalur perdagangan pada abad ke-17, maka kapal-kapal Jawa dan Portugis mencari jalan lain ke Maluku dengan cara melewati Pulau Karimata. Dengan menyusur pantai selatan Kalimantan kapal-kapal itu akan mengunjungi Makassar yang telah menjadi pelabuhan ramai. Selain itu ada usaha lain dengan menyusuri pantai utara Kalimantan utara dan menyebrang Sulawesi untuk mencapai Maluku.

Melalui 3 jalan laut; pesisir utara Jawa, pantai selatan Kalimantan, dan pesisir utara Kalimantan dan Pulau Mindanao, akhirnya kapal-kapal tiba di Maluku, daerah yang menjadi incaran kapal-kapal asing karena menghasilkan pala dan cengkeh. Hegemoni di Maluku pada waktu itu sedang diperebutkan antara Ternate dan Tidore.

Sultan Ternate, Baabulah pada masa puncak kejayaannya melebarkan sayapnya ke daerah Mindanao selatan, pulau-pulau Sangir, dan Talaud, Minahasa, Gorontalo, dan beberapa daerah di Teluk Tomini, pulau-pulau Banggai dan Sula, bagian timur Sulawesi (Timbuku), Butung, Solor, Buru, dan sebagaian dari Pulau Seram dan Ambon Uliasa.

Sementara itu kerajaan Tidore mencari ekspansinya ke daerah timur ke sebagian besar pulau Halmahera, Gede, Kepulauan Raja Ampat, dan bagian barat Papua. Besar kecilnya pengaruh kekuasaan tentu tergantung pada frekuensi ekspedisi-ekspedisi laut, di samping pelayaran kapal dagang yang menghubungkan daerah-daerah tersebut dengan kota “metropole” Ternate dan Tidore.

Daftar Bacaan

  • Azra, Azyumardi. 1998. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.
  • Muljana, Slamet. 2007. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Buddha dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKiS
  • Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. 2011. Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Reid, Anthony. 2011. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680. Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  • Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.

Beri Dukungan

Beri dukungan untuk website ini karena segala bentuk dukungan akan sangat berharga buat website ini untuk semakin berkembang. Bagi Anda yang ingin memberikan dukungan dapat mengklik salah satu logo di bawah ini:

error: Content is protected !!

Eksplorasi konten lain dari Abhiseva.id

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca