Persebaran Kebudayaan India (Indianisasi) di Indonesia dan secara umumnya Indianisasi di Asia Tenggara diperkirakan terjadi pada periode awal tarikh Masehi ketika meningkatnya intensitas dagang antara India dengan Kepulauan Nusantara. Proses Indianisasi itu sendiri hingga kini masih menimbulkan beragam polemik. Hal itu terjadi akibat munculnya perdebatan mengenai golongan pembawa pengaruh kebudayaan India di Indonesia.
Indianisasi yang terjadi di Asia Tenggara dan Indonesia secara bertahap telah menyebabkan munculnya kekuatan politik berbentuk kerajaan bercorak Hindu dan Buddha. Di Indonesia, Indianisasi telah menyebabkan berakhirnya masa pra-aksara di Indonesia yang ditandai dengan berdirinya kerajaan-kerajaan awal seperti Kerajaan Kutai di Pulau Kalimantan ataupun Kerajaan Tarumanegara di Pulau Jawa dan Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra.
Teori-Teori Indianisasi
Teori Indianisasi atau persebaran kebudayaan India ke Indonesia terbagi menjadi teori kolonisasi, teori arus-balik dan teori nasional. Di bawah ini akan diberikan penjelasan singkat mengenai teori-teori tentang Indianisasi.
Teori Kolonisasi
Teori kolonisasi, disebut demikian karena teori ini berusaha menjelaskan proses masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan India (Hindu-Buddha) di Kepulauan Indonesia dengan menekankan pada peran aktif dari orang-orang India dalam menyebarkan pengaruh kebudayaanya di Indonesia. Berdasarkan teori kolonisasi ini, memberikan anggapan bahwa sikap orang Indonesia sendiri sangatlah pasif. Artinya mereka (orang-orang Indonesia) hanyalah sebagai penerima pengaruh kebudayaan India tersebut tanpa memiliki sedikitpun kebudayaan.
Jadi teori kolonisasi ini memberikan gambaran bahwa orang-orang di Indonesia adalah orang-orang yang masih “telanjang”, belum berkebudayaan. Sehingga dengan kedatangan orang-orang dari India maka orang-orang yang ada di Indonesia mulai membentuk kebudayaannya. Kebudayaan yang dibentuk itu adalah kebudayaan yang diadopsi langsung dari India tanpa ada suatu bentuk akulturasi maupun sinkretisme. Teori kolonisasi ini menganggap bahwa kebudayaan bangsa Indonesia adalah kebudayaan yang sama dengan kebudayaan India. Teori kolonisasi ini terbagi menjadi beberapa hipotesis, yaitu;
Hipotesis Waisya
Hipotesis waisya dikemukakan oleh Nichollas Johannes Krom. N. J. Krom merujuk kepada salah satu kelompok sosial di dalam masyarakat Hindu di India, yakni waisya (pedagang). Menurut N. J. Krom, proses terjadinya hubungan antara India dengan Indonesia dikarenakan oleh karena adanya hubungan perdagangan di antara kedua wilayah itu. Oleh karena adanya sebab-sebab perdagangan, hal inilah yang menyebabkan orang-orang India datang ke Indonesia dan sebagian besar dari mereka adalah para pedagang (waisya).
Perdagangan yang terjadi antara India dan Indonesia pada saat itu menggunakan jalur laut dengan teknologi perkapalan yang masih bergantug pada kondisi alam terutama sekali bergantung pada keberadaan angin musim. Dikarenakan ketergantungan pada angin musim, sehingga pelayaran dari India menuju Indonesia, maupun sebaliknya tidaklah dapat dilakukan sembarang waktu. Pelayaran haruslah dengan cermat memperhitungkan gerak dari arah angin musim. Oleh karena itu, para pedagang India yang datang ke Indonesia harus menetap dalam kurun waktu tertentu sampai datangnya angin musim yang memungkinkan mereka untuk melakukan pelayaran kembali ke India, dan biasanya proses ini memakan waktu berbulan-bulan lamanya.
Selama mereka (para pedagang) menetap di Indonesia sembari menunggu kedatangan angin musim yang mampu membawa mereka kembali ke India, memungkinkan untuk terjadinya perkawinan antara para pedagang India dengan perempuan-perempuan pribumi. Akibat dari perkawinan itulah pengaruh kebudayaan India mulai menyebar dan terserap di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pendapat N. J. Krom tersebut didasarkan pada hasil penelaahannya pada proses Islamisasi di Indonesia. Di mana di dalam proses Islamisasi yang Krom amati dilakukan oleh para pedagang Gujarat (India).
Bukanlah menjadi hal yang mustahil jika proses masuknya budaya India (Hindu-Buddha) di Indonesia pada masa-masa awal tarikh Masehi dilakukan dengan cara yang sama, sebagaimana masuknya ajaran agama Islam di Indonesia dengan aktornya adalah kelompok pedagang. Namun, teori ini memiliki kelemahan, yang perlu digaris bawahi yaitu para pedagang yang termasuk dalam kasta waisya tidak memiliki kemampuan di dalam penguasaan bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa yang hanya dikuasai oleh kasta brahmana.
Jejak-jejak peninggalan kebudayaan India yang ditemukan di Indonesia dengan melihat pada peninggalan prasasti yang dikeluarkan oleh kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia, sebagian besar menggunakan bahasa Sanskerta dan berhuruf Pallawa. Dengan demikian, muncul pertanyaan: Mungkinkah para pedagang India (waisya) mampu membawa pengaruh kebudayaan yang sangat tinggi ke Indonesia, sedangkan di India kebudayaan (Hindu) sangatlah eksklusif, hanya milik kaum brahmana?
Selain itu, terdapat kelemahan lain di dalam hipotesis ini yaitu dengan melihat pada peta persebaran kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia yang lebih banyak berada di pedalaman. Sehingga muncullah pertanyaan: Jika pengaruh India (Hindu-Buddha) dilakukan oleh para pedagang, Mengapa kerajaan-kerajaan yang muncul di Kepulauan Indonesia sebagian besar terletak di daerah pedalaman? Bukankah aktivitas antar-pulau terletak di daerah pesisir? Sehingga sudah tentu pusat kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha akan lebih banyak berada di daerah pesisir pantai.
Hipotesis Ksatria
Hipotesis ksatria menekankan peranan raja dan prajurit yang melakukan proses penyebaran kebudayaan India (Hindu-Buddha) di Indonesia. Terdapat tiga pendapat mengenai proses penyebaran agama dan kebudayaan Hindu-Buddha dilakukan oleh golongan ksatria, yaitu sebagai berikut;
C. C. Berg
C. C. Berg mengemukakan bahwa golongan yang turut menyebarkan kebudayaan India (Hindu-Buddha) di Indonesia adalah para petualang yang sebagian besar berasal dari golongan ksatria. Para ksatria yang berasal dari India ini ada yang terlibat konflik di dalam masalah perebutan kekuasaan antar-kelompok di Indonesia. Dikarenakan hubungan antara Indonesia dengan India sudah terjadi bahkan sebelum awal tarikh Masehi terutama soal perdagangan, tidaklah menutup kemungkinkan bagi kedua belah pihak juga berhubungan dengan hal yang berkaitan dengan kemiliteran.
Asumsinya adalah para ksatria India memberikan bantuan militer (baik berupa pasukan maupun persenjataan) demi membantu kemenangan bagi salah satu kelompok atau suku yang bertikai. Sebagai hadiah atas kemenangan itu, ada di antara para ksatria India yang dinikahkan dengan salah seorang putri dari kepala suku yang telah dibantunya itu. Dari hasil perkawinannya ini memudahkan bagi para ksatria untuk menyebarkan kebudayaan India (Hindu-Buddha) kepada keluarga yang telah dinikahinya. Dengan begitu, maka mulailah masuk dan berkembang tradisi Hindu-Buddha di dalam masyarakat Indonesia.
Radhakumud Mookerji
Mookerji mengatakan bahwa golongan ksatria (tentara) dari India yang membawa pengaruh kebudayaan India (Hindu-Buddha) ke Kepulauan Indonesia. Para ksatria ini datang dari India ke Kepulauan Indonesia dengan membangun koloni-koloni baru, di mana koloni-koloni ini akhirnya berkembang menjadi kerajaan-kerajaan. Koloni-koloni yang telah dibangun oleh kaum ksatria menjadi kerajaan ini kemudian mengadakan hubungan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan di India dan mendatangkan para seniman yang berasal dari India untuk membangun candi-candi di Kepulauan Indonesia.
J. L. Moens
Moens berusaha untuk menghubungkan proses terbentuknya kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia pada awal abad ke-5 M dengan situasi yang terjadi di India pada abad yang sama. Perlu diketahui bahwa sekitar abad ke-5 M, banyak kerajaan-kerajaan di India Selatan yang mengalami kehancuran. Dikarenakan hancurnya kerajaan-kerajaan di India itu, ada di antara para keluarga kerajaan tersebut, yang tentunya golongan ksatria berhasil melarikan diri ke Kepulauan Indonesia. Mereka (ksatria) ini selanjutnya membangun kerajaan-kerajaan baru di kepulauan Nusantara.
Kelebihan dari hipotesis ksatria terletak pada kenyataan bahwa semangat untuk berpetualang (mencari, menjelajahi daerah baru) pada saat itu umumnya dimiliki oleh para ksatria (keluarga kerajaan). Sementara itu, kelemahan hipotesis ksatria yang dikemukakan oleh Berg, Moens, dan Mookerji dengan memberikan penekankan pada peran para ksatria India dalam proses masuknya kebudayaan India ke Indonesia terletak pada hal-hal sebagai berikut, yaitu:
1) Para ksatria tidak menguasai bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa, sebab bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa hanya dipahami oleh kalangan brahmana;
2) Hipotesis ini cenderung mengarahkan pada kolonisasi yang dilakukan oleh orang-orang India terhadap orang-orang Indonesia. Jadi, orang-orang India melakukan penyerangan dan penaklukan terhadap wilayah-wilayah di Kepulauan Indonesia. Jika memang benar daerah Indonesia pernah menjadi daerah taklukkan kerajaan- kerajaan di India, tentunya harus ada bukti prasasti yang memberikan gambaran dari adanya penaklukkan tersebut.
Akan tetapi penelusuran terhadap sumber-sumber berupa prasasti, baik di India maupun Indonesia tidak ditemukan prasasti semacam itu. Meskipun terdapat prasasti Tanjore yang menceritakan tentang penaklukkan kerajaan Sriwijaya oleh Kerajaan Cola di India, namun sumber ini tidak dapat digunakan sebagai bukti untuk memperkuat hipotesis ksatria. Hal ini disebabkan penaklukkan tersebut terjadi pada abad ke-11 M sedangkan bukti-bukti yang diperlukan untuk memperkuat hipotesis ksatria harus menunjukkan pada kurun waktu yang lebih awal.
Hipotesis Brahmana
Kebudayaan India (Hindu-Buddha) yang menyebar ke Kepulauan Indonesia dibawa oleh golongan brahmana, itulah bunyi dari hipotesis ini. Pendapat ini dikemukan oleh J. C. van Leur berdasarkan pada pengamatannya terhadap berbagai peninggalan kerajaan-kerajaan yang bercorak India (Hindu-Buddha) di Kepulauan Indonesia, terutama pada peninggalan berupa prasasti-prasasti yang menggunakan bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa, maka sangat jelas itu adalah pengaruh brahmana. Sebab kaum brahmana-lah yang menguasai bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa, sedangkan golongan lainnya (ksatria, waisya, sudra) tidak menguasai hal itu.
Dikarenakan oleh sebab bahwa kaum brahmana-lah yang menguasai bahasa dan huruf itu, van Leur berpendapat sudah tentu bahwa mereka (brahmana) yang memegang peranan penting di dalam proses penyebaran agama dan kebudayaan Hindu-Buddha di Kepulauan Indonesia. Namun, permasalahan yang muncul dari hipotesis ini adalah pertanyaan tentang, bagaimana mungkin para brahmana dapat sampai ke Kepulauan Indonesia yang terpisahkan dengan India oleh lautan. Perlu diketahui di dalam tradisi kuno agama Hindu terdapat pantangan bagi kaum brahmana untuk menyeberangi lautan, sebab menyeberangi lautan dapat menyebabkan noda dan cemar yang membuat para brahmana kehilangan akan kesucian mereka sebagai kasta tertinggi dalam tradisi ajaran Hindu. Permasalahan inilah yang menjadi kelemahan dari hipotesis brahmana ini.
Teori Arus Balik
Hipotesis-hipotesis yang telah muncul sebelumnya (waisya, ksatria, dan brahmana) atau teori kolonisasi di atas mendapat kritikan dari F. D. K Bosch. Adapun kritikan yang dikemukakan oleh Bosch adalah sebagai berikut:
a. Berdasarkan pada bukti-bukti peninggalan kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha di Kepulauan Indonesia, ternyata teori kolonisasi tidak memiliki bukti yang kuat. Semisal untuk hipotesis waisya, tidak ditemukan cukup bukti bahwa kerajaan awal di Indonesia yang bercorak Hindu-Buddha ditemukan di daerah pesisir pantai yang menjadi pusat dari aktivitas perdagangan, melainkan kerajaan-kerajaan yang terbentuk itu cenderung terletak di daerah pedalaman.
Sedangkan untuk hipotesis ksatria, ternyata dari bukti-bukti peninggalan prasasti di Kepulauan Indonesia tidak satu pun yang menyatakan daerah atau kerajaan yang ada di Kepulauan Indonesia pernah ditaklukkan atau dikuasai oleh para ksatria dari India.
b. Pernyataan tentang adanya perkawinan antara golongan ksatria maupun waisya dari India dengan putri pribumi dari Indonesia, seharusnya ada keturunan dari mereka yang ditemukan di Kepulauan Indonesia. Pada kenyataannya, hal yang demikian itu tidak ditemukan.
c. Jika meninjau pada hasil karya seni, terdapat perbedaan pembangunan antara candi-candi yang dibangun di India dengan candi-candi yang dibangun di Indonesia. Sehingga tidaklah memungkinkan bahwa candi-candi yang dibangun di Indonesia di arsitekturi oleh seniman-seniman dari India. Jadi, candi-candi yang dibangun di Indonesia adalah hasil karya dari seniman Indonesia sendiri.
d. Apabila ditinjau dari sudut penggunaan bahasa dalam berkomunikasi. Bahasa Sanskerta adalah bahasa yang hanya dikuasai oleh para brahmana, tetapi ketika kebudayaan India mulai tersebar di Indonesia bahasa yang digunakan oleh masyarakat pada waktu itu adalah bahasa yang juga digunakan oleh kebanyakan orang India. Di sisi lain prasasti-prasasti di Indonesia tidak hanya berbahasa sanskerta saja, melainkan berbahasa lokal (melayu, sunda, dan jawa kuno).
F. D. K. Bosch punya pendapat lain, di mana hipotesis yang dikemukakan oleh Bosch ini dikenal dengan teori Arus Balik. Menurut hipotesis Bosch, orang-orang India yang pertama kali datang ke Kepulauan Indonesia adalah mereka yang memiliki semangat untuk menyebarkan kebudayaan India (Hindu-Buddha). Mereka ini adalah para intelektual yang ikut menumpang kapal-kapal dagang India yang menuju ke Indonesia. Setelah tiba di Indonesia, mereka menyebarkan ajarannya (kebudayaan India).
Semangat untuk menyebarkan ajaran kebudayaan India (Hindu-Buddha) lambat laun di dalam proses itu ada di antara tokoh masyarakat yang memiliki ketertarikan untuk mempelajari kebudayaan India. Orang-orang Indonesia yang tertarik dengan kebudayaan India ini, pada perkembangan selanjutnya banyak orang Indonesia sendiri yang pergi ke India untuk berkunjung dan mempelajari kebudayaan India (Hindu-Buddha) langsung di India. Sekembalinya di Indonesia, merekalah (orang-orang Indonesia yang mempelajari kebudayaan India langsung di India) yang mengajarkannya kepada masyarakat Indonesia yang lain.
Hipotesis di atas didasari pada ditemukannya bukti yang tertera di dalam prasasti Nalanda yang menyebutkan bahwa Balaputradewa (raja Sriwijaya) telah meminta kepada raja di India untuk membangunkannya sebuah wihara di Nalanda sebagai tempat untuk menimba ilmu para pelajar yang berasal dari Sriwijaya. Permintaan raja Sriwijaya itu ternyata dikabulkan. Dengan demikian, setelah para pelajar itu menuntut ilmu di India, mereka kembali ke Indonesia. Mereka inilah yang selanjutnya menyebarkan kebudayaan India (Hindu-Buddha) di Indonesia.
Teori Nasional
Teori ini adalah hasil daripada kesimpulan yang dikemukakan oleh F. D. K. Bosch dalam hipotesis arus balik yang mengatakan bahwa dalam proses penyebaran kebudayaan India (Hindu-Buddha) ini, bangsa Indonesia berperan dengan sangat aktif. Kasus yang diambil oleh Bosch adalah tentang penghinduan seseorang. Setelah dinobatkan sebagai seorang yang menganut ajaran agama Hindu, orang-orang ini kemudian dengan cukup giatnya menyebarkan tradisi dan kebudayaan agama Hindu berikut dengan segala aktivitasnya.
Pendapat Bosch ini didasarkan pada temuan adanya unsur-unsur kebudayaan India (Hindu-Buddha) di dalam kebudayaan Indonesia. Menurut Bosch, pada masa itu telah terbentuk golongan cendekiawan (clerk). Merekalah yang menjadi agen penyebaran kebudayaan India di Indonesia melalui proses akulturasi. Proses akulturasi antara kebudayaan India dan Indonesia ini selanjutnya disebut oleh Bosch sebagai proses penyuburan di mana penyebaran kebudayaan India dilakukan oleh pendeta agama Buddha dan melalui hubungan perdagangan.
Sedangkan di sisi lain, terdapat beberapa hal yang dilakukan oleh para brahmana di Indonesia dalam rangka proses penghinduan, antara lain,
a. Abhiseka, yaitu upacara penobatan raja,
b. Vratyastoma, yaitu upacara pencucian diri (pemberian kasta),
c. Kulapanjika, yaitu memberikan silsilah raja, dan
d. Castra, yaitu cara membuat mantra.
Jadi itulah penjelasan teori tentang masuk dan berkembangnya kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia.
Bagaimana Proses Masuknya Kebudayaan India ke Indonesia?
Mempelajari proses masuknya kebudayaan India di Indonesia (indianisasi) tidak terlepas dari perkembangan agama Hindu dan Buddha yang telah berkembang di India sebelum masuk ke Kepulauan Nusantara (Indonesia). Sebelum mempelajari proses masuknya kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia, tentu harus mempelajari perkembangan agama dan kebudayaan Hindu-Buddha di India sebagai tempat muncul dan berkembangnya ajaran tersebut pertama kalinya.
Perkembangan Agama Dan Kebudayaan Hindu
Lahirnya agama Hindu ada hubungannya dengan kedatangan suku bangsa Arya ke India. Bangsa Arya masuk ke India sejak 1500 SM melalui pas Kaiber (Afghanistan) dan mendiami Aryawarta (daerah yang berada di Lembah Indus, Lembah Gangga, dan Lembah Yamuna di Dataran Tinggi Dekhan). Bangsa Arya kemudian mendesak ras Dravida (penghuni asli India) dan terjadilah percampuran kedua ras suku bangsa tersebut. Percampuran budaya antara kedua ras itu disebut peradaban Hindu atau Hinduisme.
Agama Hindu adalah sinkretisme antara kebudayaan Arya dan Dravida yang menyembah banyak dewa. Agama Hindu bersifat politeisme, artinya menyembah banyak dewa. Setiap dewa merupakan lambang kekuatan alam. Beberapa dewa yang terkenal adalah Trimurti (Brahma, dewa pencipta ; Wisnu, dewa pemelihara ; Siwa, dewa perusak), Pertiwi (dewi bumi), Surya (dewa matahari), Bayu (dewa angin), Baruna (dewa laut), dan Agni (dewa api).
Kitab suci agama Hindu adalah Weda, artinya pengetahuan, yang terdiri atas empat bagian;
a. Rigweda, berisi syair pujian terhadap para dewa.
b. Samaweda, berisi syair dan nyanyian suci dalam upacara.
c. Yajurweda, berisi doa-doa pengantar sesaji dalam upacara.
d. Atharwaweda, berisi mantra untuk menyembuhkan orang sakit dan jampi untuk sihir serta ilmu gaib mengusir penyakit dan para musuh.
Di India, paham Trimurti dikembangkan berpasangan dengan Trisakti yang meliputi:
a. Saraswati, permaisuri Brahma, melambangkan dewi kebijaksanaan dan pengetahuan;
b. Laksmi, permaisuri Wisnu, melambangkan dewi kecantikan dan kebahagiaan;
c. Parwati, permaisuri Siwa, melambangkan dewi keberanian dan kegarangan (durga).
Umat Hindu juga memiliki beberapa kitab selain kitab Weda yang mengandung ajaran Avatar (inkarnasi dewa), yakni kitab Brahmana, Upanishad, Mahabharata, Bhagavad Gita, dan Ramayana.
- Kitab Brahmana berisikan interpretasi (penafsiran) ajaran keagamaan yang terkandung di dalam Weda.
- Kitab Upanishad berisikan pembahasan tentang Brahmana, kejadian alam semesta, serta Atman (jiwa) dan cara kembalinya Atman kepada Brahman Sang Maha Kuasa.
- Kitab Mahabharata, ditulis oleh Begawan Wiyasa, berisikan tentang peperangan antar-keluarga Bharata (Pandawa dan Kurawa) di Padang Kurusetra.
- Kitab Bhagavad Gita, bagian dari himpunan Mahabharata yang diartikan nyanyian dewa. Kitab ini berisi nasihat Krisna kepada Arjuna di Kurusetra pada saat terjadi Perang Bharatayuda.
- Kitab Ramayana ditulis oleh Begawan Valmiki yang berisi kisah cinta Rama dan Shinta.
Untuk mencapai Nirwana, umat Hindu dapat melakukannya dengan tiga cara;
a. Manusia wajib menjalankan dharma(memenuhi kewajiban sebagai manusia), artha (menjalankan pekerjaan sebagaimana mestinya), dan karma (tidak berlebihan merasakan kenikmatan duniawi).
b. Bagi Triwangsa (brahmana, ksatria, waisya) wajib membaca kitab suci Weda.
c. Melakukan upacara keagamaan yang berupa upacara kurban (yajna besar dan yajna kecil). Yajna besar, misalnya, penobatan raja, menghormati pemetikan buah pertama, dan upacara menyongsong datangnya musim. Adapun yajna kecil, misalnya, sembahyang di rumah sehari-hari, kelahiran anak, dan cukur rambut.
Agama Hindu mengenal adanya upacara pengorbanan, yaitu kurban Soma dan kurban Asra Medha. Kurban Soma adalah upacara kebaktian yang terpandang suci di antara seluruh kebaktian di dalam Weda. Soma adalah sejenis cairan minuman yang memberi sifat kedewaan. Kurban Asra Medha adalah kurban kuda.
Upacara-upacara kebaktian Hindu dilakukan oleh pejabat-pejabat agama, yaitu;
a. Brahmana (pendeta) yang menjabat sebagai kepala upacara,
b. Hotri yang melagukan nyanyian keagamaan,
c. Udgatri yang menabuh bunyi-bunyian dengan nada tertentu, dan;
d. Adhyarya yang menyiapkan tempat pemujaan dan tempat kurban serta persiapan lainnya sambil membacakan mantra.
Di dalam stratifikasi sosial, bangsa Arya menciptakan sistem kasta dengan pembagian sebagai berikut;
- Brahmana, perlambang mulut, yakni golongan pendeta. Mereka dihormati sebagai penasihat raja.
- Ksatria, perlambang tangan, yakni golongan ningrat atau bangsawan dan prajurit. Golongan ini menjalankan pemerintahan.
- Waisya, perlambang paha, yakni golongan pengusaha, pedagang, dan petani.
- Sudra, perlambang kaki, yakni golongan pelayan yang terdiri atas orang-orang Dravida di dalam masyarakat.
Setiap golongan wajib menempati kastanya masing-masing dan dilarang mengadakan perkawinan antar-kasta. Jika ini terjadi, seseorang akan dikeluarkan dari kastanya dan dimasukkan ke dalam kasta yang lebih rendah. Selain kasta-kasta tersebut, masih ada golongan yang dianggap lebih rendah lagi, yaitu paria atau candala, golongan ini ditempatkan sebagai hamba sahaya.
Agama Hindu mengajarkan beberapa hal, yaitu;
a. hidup di dunia adalah samsara akibat perbuatan yang kurang baik;
b. adanya karma, yaitu hasil perbuatan yang kurang baik;
c. akibat karma, manusia akan mengalami reinkarnasi, yakni dilahirkan kembali dalam wujud yang lebih rendah;
d. orang yang sempurna hidupnya akan mengalami moksa, lepas dari samsara.
Untuk menjadi seorang penganut ajaran Hindu, seseorang harus mendapat tali benang kasta (munya) yang diberikan oleh brahmana (pendeta). Setelah itu, barulah mereka melakukan caturasrama, yakni brahmacarin (mencari ilmu kepada brahmana (pendeta), Grhasta (membentuk keluarga), wanaprasta (meninggalkan rumah untuk bertapa), dan saniasin atau pariwrajaka (hidup mengembara, meninggalkan kepentingan duniawi untuk menjadi seorang brahmana).
Tempat-tempat suci bagi orang Hindu India, antara lain, Kota Benares yang dianggap sebagai kota dewa dan Sungai Gangga sebagai sungai yang suci.
Agama Hindu mengalami kemunduran sekitar abad ke-6 SM karena sebab-sebab berikut;
a. Kaum brahmana yang memonopoli agama dan upacara bertindak sewenang-wenang dengan menarik kurban yang besar sehingga menimbulkan beban.
b. Lahirnya agama Buddha yang lebih demokratis untuk mencari nirwana sendiri tanpa pertolongan orang lain yang diajarkan oleh Siddharta Gautama.
c. Agama Buddha lebih terbuka tanpa membeda-bedakan manusia.
Perkembangan Agama dan Kebudayaan Buddha
Ketika agama Hindu mengalami kemunduran, muncullah agama Buddha di India yang disiarkan oleh Siddharta Gautama. Ajaran Buddha ditulis dalam kitab suci Tripitaka yang berarti tiga keranjang atau tiga himpunan nikmat. Isi kitab suci Tripitaka sebagai berikut.
a. Suttapitaka, berisikan himpunan ajaran dan khotbah Buddha. Bagian terbesar adalah percakapan antara Buddha dan beberapa orang muridnya. Di dalamnya terdapat pula kitab meditasi dan peribadatan.
b. Winayapitaka, berisikan tata hidup setiap anggota biara (sangha).
c. Abhidharmapitaka, ditujukan bagi lapisan terpelajar dalam agama Buddha sebab merupakan pelajaran lanjutan.
Ada empat tempat yang dianggap suci dalam agama Buddha;
a. Taman Lumbini di Kapilawastu, tempat lahirnya Siddharta (563 SM).
b. Bodhgaya, tempat Siddharta menerima wahyu Buddha.
c. Kusinagara, tempat wafatnya Siddharta pada tahun 482 SM.
d. Benares, tempat Siddharta pertama kali berkhotbah.
Ajaran Buddha seperti yang dikhotbahkan Siddharta di Taman Menjangan, Benares, berisikan hal-hal berikut.
a. Aryastyani, yakni empat kebenaran utama dan delapan jalan tengah (Astavida). Empat kebenaran utama, yaitu;
1) hidup adalah derita (duka) atau samsara,
2) samsara disebabkan oleh hasrat keinginan (tresna) atau tanha,
3) tresna harus dihilangkan, dan;
4) cara menghilangkan tresna adalah dengan delapan jalan tengah. Delapan jalan tengah, yaitu;
- pengertian yang benar,
- maksud yang benar,
- bicara yang benar,
- laku yang benar,
- kerja yang benar,
- ikhtiar yang benar,
- ingatan yang benar, dan
- renungan yang benar.
b. Pratityasamudpada, artinya rantai sebab-akibat yang terdiri atas dua belas rantai dan masing-masing merupakan sebab dari hal berikutnya. Pada bangunan peribadatan Buddha akan kita temui stupa, yaitu bangunan berbentuk kubah yang berdiri di atas sebuah lapik dan diberi payung.
Fungsi bangunan ini adalah sebagai lambang suci agama Buddha, tanda peringatan terjadinya suatu peristiwa dalam hidup Buddha, tempat penyimpanan tulang jenazah Buddha, dan tempat menyimpan benda suci.
Agama Buddha berkembang pesat di India pada masa Wangsa Maurya di bawah Raja Ashoka. Raja ini pada awalnya menganut ajaran lokal, namun ia memeluk agama Buddha. Ashoka menetapkan agama Buddha sebagai agama negara. Ia pun mengajarkan Ahimsa, yaitu larangan membunuh dan melukai makhluk. Berkat raja ini, agama Buddha dapat disiarkan ke seluruh dunia, tidak terkecuali Kepulauan Nusantara.
Perkembangan Hindu dan Buddha di India membawa akibat dan pengaruh yang luar biasa pada kehidupan internasional, khususnya Asia Selatan dan Tengah (Tibet, Nepal, Bangladesh, Sri Lanka), Asia Timur (Jepang, Cina, Korea, Taiwan), dan Asia Tenggara. Indonesia merupakan daerah yang terpengaruh oleh agama dan kebudayaan Hindu dan Buddha.
Munculnya kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu dan Buddha di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh persentuhan kebudayaan antara daerah Nusantara dengan India sebagai tempat kelahiran kedua agama tersebut.
Sumber-Sumber Persebaran Kebudayaan India Di Indonesia
Pada permulaan pertama tarikh Masehi, telah terjalin hubungan dagang antara Indonesia dengan India. Adanya hubungan dagang pada awal abad tarikh Masehi, didasarkan adanya sumber-sumber baik ekstern maupun intern.
Sumber Ekstern
Sumber-sumber tentang indianisasi di Indonesia termuat dalam beberapa naskah-naskah kuno yang berasal dari India, Cina dan Yunani;
Sumber India
Menurut Van Leur dan Wolters, kegiatan hubungan dagang Indonesia dengan bangsa-bangsa Asia pertama kali dilakukan dengan India, kemudian Cina. Bukti adanya hubungan dagang tersebut dapat diketahui dari keterangan yang diberikan di dalam kitab Jataka dan kitab Ramayana.
Kitab Jataka menyebut nama Swarnabhumi sebuah negeri emas yang dapat dicapai setelah melalui perjalanan yang penuh bahaya. Swarnabhumi yang dimaksud ialah Pulau Sumatra. Kitab Ramayana menyebut nama Yawadwipa dan Swarnadwipa. Menurut para ahli, Yawadwipa (pulau padi) diduga sebutan untuk Pulau Jawa, sedangkan Swarnadwipa (pulau emas dan perak) adalah Pulau Sumatra.
Kitab Jataka dan kitab Ramayana tidak menyebut secara jelas terjadinya hubungan dagang dengan tempat-tempat di Indonesia. Salah satu kitab sastra India yang dapat dipercaya adalah kitab Mahaniddesa yang memberi petunjuk bahwa masyarakat India telah mengenal beberapa tempat di Indonesia pada abad ke-3 M. Dari keterangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa secara intensif telah terjadinya hubungan dagang antara Indonesia dan India mulai abad-abad tersebut (diperkirakan sekitar abad ke 2-3 M).
Sumber Cina
Kontak hubungan Indonesia dengan Cina diperkirakan telah berkembang pada abad ke-5 M. Bukti-bukti yang memperkuat hubungan itu di antaranya adalah perjalanan seorang pendeta Buddha, Fa Hsien. Pada sekitar tahun 413 M, Fa Hsien melakukan perjalanan dari India ke Ye-po-ti (Tarumanegara) dan kembali ke Cina melalui jalur laut.
Selanjutnya, Kaisar Cina, Wen Ti mengirim utusan ke She-po ( Pulau Jawa). Berdasarkan bukti-bukti tersebut dapat disimpulkan bahwa pada abad ke-5 telah dilakukan hubungan perdagangan dan pelayaran secara langsung antara Indonesia dan Cina.
Barang-barang yang diperdagangkan dari Cina berupa sutra, kertas, kulit binatang berbulu, kulit manis, dan barang-barang porselin. Barang-barang dagangan dari India berupa ukiran, gading, perhiasan, kain tenun, gelas, permata, dan wol halus yang ditukar dengan komoditas dari Indonesia seperti rempah-rempah, emas, dan perak.
Sumber Yunani
Keterangan lain tentang adanya hubungan dagang antara Indonesia dengan India, dan Cina dapat diketahui dari Claudius Ptolomeus, seorang ahli ilmu bumi Yunani. Dalam buku karangannya yang berjudul Geographike Hyphegenesis yang ditulis pada abad ke-2 M, Ptolomeus menyebutkan nama Iabadio yang artinya pulau jelai. Mungkin kata itu ucapan Yunani untuk menyebut Yawadwipa, yang artinya juga pulau jelai. Dengan demikian, seperti yang disebutkan dalam kitab Ramayana bahwa Yawadwipa yang dimaksud ialah Pulau Jawa.
Sumber Intern

Adanya sumber-sumber dari luar, seperti dari India, Cina dan Yunani, diperkuat adanya sumber-sumber yang ada di Indonesia sendiri. Sumber-sumber sejarah di dalam negeri yang memperkuat adanya hubungan dagang antara Indonesia dengan India dan Cina, antara lain sebagai berikut;
Prasasti
Prasasti-prasasti tertua di Indonesia yang menunjukkan hubungan Indonesia dengan India, misalnya Prasasti Mulawarman di Kalimantan Timur yang berbentuk yupa. Demikian juga prasasti-prasasti Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat. Semua prasasti ditulis dalam bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa.
Kitab-Kitab Kuno
Kitab-kitab kuno yang ada di Indonesia biasanya ditulis pada daun lontar yang ditulis dengan menggunakan bahasa dan tulisan Jawa Kuno yang juga merupakan pengaruh dari bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa. Kemampuan membaca dan menulis ini diperoleh dari pengaruh agama dan kebudayaan Hindu dan Buddha.
Bangunan-Bangunan Kuno
Bangunan kuno yang bercorak Hindu ataupun Buddha terdiri atas candi, stupa, relief, dan arca. Banyak peninggalan bangunan-bangunan kuno yang bercorak Hindu atau Buddha di Indonesia. Demikian juga benda-benda peninggalan dinasti-dinasti Cina. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara Indonesia, India, dan Cina.
Hubungan dagang ini kemudian berkembang ke hubungan agama dan budaya. Hal ini disebabkan para pedagang dari India tidak hanya membawa barang dagangannya, tetapi juga membawa agama dan kebudayaan mereka sehingga menimbulkan perubahan kehidupan dalam masyarakat Indonesia, yakni sebagai berikut:
- Semula hanya mengenal kepercayaan animisme dan dinamisme, kemudian mengenal dan menganut agama Hindu–Buddha.
- Semula belum mengenal aksara/tulisan, menjadi mengenal aksara/tulisan dan Indonesia memasuki zaman Sejarah.
- Persentuhan kebudayaan ini terjadi sebagai salah satu akibat dari hubungan yang dilakukan antara orang-orang India dengan orang-orang yang ada di Nusantara, terutama karena daerah Nusantara merupakan jalur perdagangan strategis yang menghubungkan antara India dan Cina. Hubungan perdagangan yang semakin lama semakin intensif menimbulkan pengaruh terhadap masuknya pengaruh kebudayaan India di Nusantara.
Dengan kata lain, terjadi proses akulturasi antara kebudayaan India dengan kebudayaan Nusantara. Demikian juga dengan agama Hindu-Buddha menjadi agama yang dianut oleh penduduk di Nusantara dan menjadi pendorong muncul dan berkembangnya negara-negara kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha di Indonesia.
Daftar Bacaan
- Bosch, F. D. K. 1961. “The Problem of the Hindu Colonisation of Indonesia” dalam Selected Studies in Indonesia Archaeology.
- Coedes, G. 1968. The Indianized States of Southeast Asia. Kuala Lumpur/Singapore: University of Malaya Press.
- Krom, N. J. 1954. Zaman Hindu. Djakarta: Jajasan Pembangunan.
- van Leur, J. C. 1955. Indonesian Trade and Society. The Hague/Bandung: W. van Hoeve.