Zaman Neolitikum di Indonesia

Neolitikum Di Indonesia

Zaman Neolitikum di Indonesia terjadi seiring dengan migrasi bangsa-bangsa yang terutama dengan datangnya kelompok ras Proto Melayu dari wilayah Yunan, di Cina Selatan, ke wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia. Orang-orang Proto-Melayu yang datang ke Kepulauan Indonesia ini dengan membawa serta hasil budaya berupa kapak persegi dan kapak lonjong. Kebudayaan itu kemudian mulai disebarkan di berbagai daerah yang mereka singgahi. Di dalam artikel ini akan dijelaskan tentang zaman neolitikum di Indonesia.

Pengertian Neolitikum

Neolitikum diartikan sebagai zaman batu baru atau zaman batu muda dan merupakan fase setelah terjadinya masa mesolitikum di Indonesia. Masa neolitikum terjadi diberbagai wilayah di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Masa neolitikum di Indonesia terjadi tidak secara bersamaan di berbagai wilayah. Hal ini berkaitan dengan kedatangan ras pendatang yang dikenal dengan proto-melayu dari dataran Yunnan menuju ke Kepulauan Indonesia.

Revolusi Neolitikum

Zaman Neolitikum di Indonesia dapat dikatakan sebagai suatu revolusi yang sangat besar dalam peradaban manusia. Perubahan besar ini ditandai dengan berubahnya corak kehidupan manusia terutama yang berkaitan dengan cara memproduksi makanan: dari food gathering and food hunting menjadi food producing.

Pada saat manusia mulai mengenal kegiatan bercocok tanam dan beternak, pertanian yang diselenggarakan awalnya bersifat primitif dan hanya dilakukan di tanah-tanah kering saja. Pohon-pohon dari beberapa bagian hutan di kelupak kulitnya dan kemudian dibakar sehingga dikenal dengan istilah slash and burn. Tanah-tanah yang baru dibuka untuk pertanian semacam itu untuk beberapa kali berturut-turut ditanami dan apabila tanah tersebut tidak lagi dianggap subur, maka kemudian tanah tersebut ditinggalkan.

Manusia zaman neolitikum di Indonesia membentuk masyarakat-masyarakat dengan pondok-pondok mereka berbentuk persegi siku-siku dan didirikan atas tiang-tiang kayu, dinding-dindingnya diberi hiasan dekoratif yang indah-indah, Walaupun alat-alat mereka masih dibuat daripada batu, tetapi alat-alat itu dibuat dengan halus, bahkan juga sudah dipoles pada kedua belah mukanya.

Disebut kebudayaan Batu Muda (Neolitikum) sebab semua alatnya sudah dihaluskan. Mereka sudah meninggalkan hidup berburu dan mulai menetap serta mulai menghasilkan makanan (food producing). Mereka menciptakan alat-alat kehidupan mulai dari alat kerajinan menenun, periuk, membuat rumah, dan mengatur masyarakat. Alat yang dipergunakan pada masa ini adalah kapak persegi dan kapak lonjong. Daerah penemuan kapak persegi di Indonesia bagian barat adalah di Lahat (Sumatra), Bogor, Sukabumi, Karawang, Tasikmalaya, Pacitan, dan Lereng Gunung Ijen. Adapun kapak lonjong banyak ditemukan di Indonesia bagian timur, seperti di Papua, Tanimbar, Seram, Serawak, Kalimantan Utara, dan Minahasa.

Ciri-Ciri Zaman Neolitikum di Indonesia

  1. Peralatan sudah dihaluskan dan diberi tangkai;
  2. Alat yang digunakan antara lain kapak persegi dan lonjong;
  3. Pakaian terbuat dari kulit kayu dan kulit binatang;
  4. Perhiasan terbuat dari kulit kerang, terrakota dan batu;
  5. Tempat tinggal menetap (sedenter);
  6. Memiliki kemampuan bercocok tanam;
  7. Menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme.

Kehidupan Masyarakat Neolitikum di Indonesia

Cara hidup zaman neolitikum di Indonesia membawa perubahan-perubahan besar, karena pada zaman itu manusia mulai hidup berkelompok kemudian menetap dan tinggal bersama dalam kampung. Berarti pembentukan suatu masyarakat yang memerlukan segala peraturan kerja sama. Pembagian kerja memungkinkan perkembangan berbagai macam dan cara penghidupan di dalam ikatan kerjasama itu. Dapat dikatakan pada zaman neolitikum itu terdapat dasar-dasar pertama untuk penghidupan manusia sebagai manusia, sebagaimana kita dapatkan sekarang.

Kebudayaan Zaman Neolitikum di Indonesia

neolitikum di indonesia

Religi (Kepercayaan)

Pada masa neolitikum di Indonesia kepercayaan masyarakat semakin bertambah, bahkan masyarakat juga mempunyai konsep tentang apa yang terjadi dengan seseorang yang telah meninggal yaitu penghormatan dan pemujaan kepada roh nenek moyang sebagai suatu kepercayaan yang disebut dengan Animisme. Serta kepercayaan bahwa benda-benda disekitar kita memiliki jiwa atau kekuatan yang disebut dengan Dinamisme.

Baca Juga  Kerajaan Holing (Abad 6 - 7 M)

Ekonomi

Dengan dikenalnya sistem bercocok tanam, maka ada banyak waktu yang terluang yaitu waktu antara musim tanam hingga datangnya musim panen. Pada saat itulah mereka mulai mengembangkan perekonomian mereka dengan mengenal sistem barter, dimana terjadi pertukaran barang dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sistem barter merupakan langkah awal bagi munculnya sistem perdagangan/sistem ekonomi dalam masyarakat. Untuk memperlancar diperlukan suatu tempat khusus bagi pertemuan antara pedagang dan pembeli yang pada perkembangannya disebut dengan pasar. Melalui pasar masyarakat dapat memenuhi sebuah kebutuhan hidupnya.

Adat Istiadat

Peninggalan kebudayaan manusia pada masa bercocok tanam semakin banyak dan beragam, kebudayaan semakin berkembang pesat, manusia telah dapat mengembangkan dirinya untuk menciptakan kebudayaan yang lebih baik dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, pada masa Neolitikum budaya manusia telah maju dengan pesat. Berbagai macam pengetahuan telah dikuasai, misalnya pengetahuan tentang perbintangan, pranatamangsa (cara menentukan musim berdasarkan perbintangan atau tanda-tanda lainnya), pelayaran, kalender (menentukan hari baik atau buruk).

Kesenian

Banyak unsur-unsur kebudayaan Neolitikum yang masih hidup hingga sekarang. Salah satunya adalah kesenian seperti pertenunan dengan menggunakan tenun gendong. Unsur-unsur lainnya yang dapat disebutkan dan masih hidup hingga sekarang misalnya gamelan dan wayang.

Peninggalan Zaman Neolitikum Di Indonesia

Beliung Persegi

Sesuai dengan namanya, alat ini mempunyai penampang berbentuk persegi panjang. Alat ini ditemukan dihampir seluruh bagian Indonesia, terutama di wilayah Barat.Alat ini terbuat dari batu Chalcedon. Bagian atas atau pangkal biasanya tidak digosok.

Bagian bawah atau tajaman digosok dan diasah hingga tajam dan halus. Cara penggunaanya adalah batu ini diikat pada setangkai kayu sehingga menyerupai cangkul. Alat ini berguna untuk melubangi kayu dan jika yang berukuran kecil dapat digunakan untuk mengukir.

Kapak Lonjong

Sebagian besar kapak lonjong dibuat dari batu kali, dan warnanya kehitam-hitaman. Bentuk keseluruhan dari kapak tersebut adalah bulat telur dengan ujungnya yang lancip menjadi tempat tangkainya, sedangkan ujung lainnya diasah hingga tajam. Untuk itu bentuk keseluruhan permukaan kapak lonjong sudah diasah halus.

Ukuran yang dimiliki kapak lonjong yang besar lazim disebut dengan Walzenbeil dan yang kecil disebut dengan Kleinbeil, sedangkan fungsi kapak lonjong sama dengan kapak persegi. Daerah penyebaran kapak lonjong adalah Minahasa, Gerong, Seram, Leti, Tanimbar dan Irian. Dari Irian kapak lonjong tersebar meluas sampai di Kepulauan Melanesia, sehingga para arkeolog menyebutkan istilah lain dari kapak lonjong dengan sebutan Neolitikum Papua.

Memiliki fungsi ekonomi antara lain sebagai alat untuk menangkap ikan. Terbuat dari batu serpih, tulang, dan kemunginan besar juga kayu yang diruncing bagian ujungnya dan dibuat bergerigi pada bagian pinggirnya. Jadi memiliki bentuk yang berbeda dengan mata panah untuk berburu. Banyak ditemukan di dalam gu-gua yang ada di daerah pantai atau sungai.

Tembikar (Periuk belanga)

Bekas-bekas yang pertama ditemukan tentang adanya barang-barang tembikar atau periuk belanga terdapat di lapisan teratas dari bukit-bukit kerang di Sumatra, tetapi yang ditemukan hanya berupa pecahan-pecahan yang sangat kecil. Walaupun bentuknya hanya berupa pecahan-pecahan kecil tetapi sudah dihiasi gambar-gambar. Di Melolo, Sumba banyak ditemukan periuk belanga yang ternyata berisi tulang belulang manusia.

Hasil budaya lainnya dari zaman ini adalah semakin majunya tradisi gerabah, yang berfungsi sebagai wadah untuk keperluan rumah tangga. Namun di beberapa tempat, gerabah di gunakan sebagai tempat menyimpan tulang belulang manusia seperti yang di temukan di wilayah pantai selatan Jawa (antara Yogya, Pacitan), Kandang Lembu di Banyuwangi, Melolo (Sumba), dan Minanga Sipakka di Sulawesi Barat. Sedangkan di Gilimanuk (Bali) ditemukan gerabah yang digunakan sebagai bekal kubur.

Kira-kira 2000 tahun SM, telah datang bangsa-bangsa baru yang memiliki kebudayaan lebih maju dan tinggi derajatnya. Mereka dikenal sebagai bangsa Indonesia Purba. Menurut kajian oleh Barbarra Harrison, kebanyakan bekas keramik ini ada kaitan dengan upacara pengebumian Neolitik iaitu sebagai bekas untuk pembakaran mayat ataupun sebagai cenderamata pengebumian.

Adalah menjadi tradisi lama komuniti Melanau sekiranya salah seorang daripada mereka meninggal dunia, simati akan diberikan pakaian dan dibaringkan di ruangan rumah. Satu pinggan biru dan putih diletak di bawah kepalanya, sementara pinggan seramik diletakkan di bawah kedua-dua tangan dan kakinya. Berhampiran dengan si mati diletakkan objek-objek tembaga dan seutas manik purba diikat pada pergelangan tangan mayat. Beberapa hari kemudian, mayat tersebut dibawa keluar daripada rumah itu dan disimpan di ruang khas untuk jangkamasa yang minimum dalam tahun yang sama. Kemudian tulang-tulangnyadikumpulkan ke dalam sebuah tempayan besar.

Baca Juga  Peradaban Yunani Kuno (1050 SM - 330 M)

Manakala yang lain seperti pinggan, mangkuk dan manik dikebumikan bersama-sama dengan tempayan tersebut. Kesemua artifak hasil penggalian merupakan sumber pembelajaran yang amat berguna di Muzium Sarawak. Artifak-artifak tersebut diklasifikasikan kepada 9 kelas utama berdasarkan warna sepuh/glasir dan teksturnya.

Tembikar ini banyak ditemukan diwilayah Sumatra dan Jawa. Periuk ini kemungkinan digunakan untuk meletakkan berbagai hasil panen. Sedang di Sumbawa, banyak ditemukan periuk yang berisi tulang belulang manusia.

Kapak Bahu

Kapak jenis ini hampir sama seperti kapak persegi, hanya saja di bagian yang diikatkan pada tangkainya diberi leher. Sehingga menyerupai bentuk botol yang persegi. Daerah kebudayaan kapak bahu ini meluas dari Jepang, Formosa, Filipina terus ke barat sampai sungai Gangga. Tetapi anehnya batas selatannya adalah bagian tengah Malaysia Barat. Dengan kata lain di sebelah Selatan batas ini tidak ditemukan kapak bahu, jadi neolitikum Indonesia tidak mengenalnya, meskipun juga ada beberapa buah ditemukan yaitu di Minahasa.

Perhiasan (Gelang dan Kalung dari Batu Indah)

Jenis perhiasan ini banyak di temukan di wilayah jawa terutama gelang-gelang dari batu indah dalam jumlah besar walaupun banyak juga yang belum selesai pembuatannya. Bahan utama untuk membuat benda ini di bor dengan gurdi kayu dan sebagai alat abrasi (pengikis) menggunakan pasir. Selain gelang ditemukan juga alat-alat perhisasan lainnya seperti kalung yang dibuat dari batu indah pula. Untuk kalung ini dipergunakan juga batu-batu yang dicat atau batu-batu akik.

Pakaian Dari Kulit Kayu

Pada zaman ini mereka telah dapat membuat pakaiannya dari kulit kayu yang sederhana yang telah di perhalus. Pekerjaan membuat pakaian ini merupakan pekerjaan kaum perempuan. Pekerjaan tersebut disertai pula berbagai larangan atau pantangan yang harus ditaati. Sebagai contoh di Kalimantan dan Sulawesi Selatan dan beberapa tempat lainnya ditemukan alat pemukul kulit kayu. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang zaman neolitikum sudah berpakaian.

Kapak Persegi

Kapak persegi banyak di temukan di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Nusa Tenggara. Bahan dasar adalah batu api (chalcedon) dengan buatan yang sangat halus karena diasah. Kebudayaan kapak persegi diperkirakan masuk ke indonesia melalui jalan barat, yaitu dari Yunan ke Semenanjung Malaka, lalu masuk ke Jawa melalui Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku. Para arkeolog memperkirakan bahwa benda tersebut di buat sebagai lambang kebesaran, jimat, alat upacara, atau alat tukar. Misalnya : Beliung, Pacul dan Torah untuk mengerjakan kayu. Ditemukan diSumatera, Jawa, bali, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan.

Fungsi kapak persegi:

a. Sebagai cangkul/pacul.
b. Sebagai alat pahat/alat untuk mengerjakan kayu sebagaimana lazimnya pahat.

Bahan untuk membuat kapak disamping dibuat dari batu api/chalcedon yang hanya dipergunakan sebagai alat upacara keagamaan, azimat atau tanda kebesaran.

Asal-usul penyebaran kapak persegi melalui suatu migrasi bangsa Asia ke Indonesia. Nama kapak persegi diberikan oleh Van Heine Heldern atas dasar penampang lintangnya yang berbentuk persegi panjang atau trapesium. Penampang kapak persegi tersedia dalam berbagai ukuran, ada yang besar dan kecil. Yang ukuran besar lazim disebut dengan beliung dan fungsinya sebagai cangkul/pacul.

Sedangkan yang ukuran kecil disebut dengan Tarah/Tatah dan fungsinya sebagai alat pahat/alat untuk mengerjakan kayu sebagaimana lazimnya pahat. Bahan untuk membuat kapak tersebut selain dari batu biasa, juga dibuat dari batu api/chalcedon. Kemungkinan besar kapak yang terbuat dari calsedon hanya dipergunakan sebagai alat upacara keagamaan, azimat atau tanda kebesaran. Kapak jenis ini ditemukan di daerahi Sumatera, Jawa, bali, Nusatenggara, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan.

Manusia Pendukung Kebudayaan Neolitikum di Indonesia

Manusia zaman neolitikum di Indonesia berasal dari genus Homo yang telah memiliki keterampilan lebih tinggi apabila dibandingkan dengan genus lainnya seperti pithecanthrophus maupun meganthropus. Fosil manusia dari genus Homo, yang berasal dari kala Plestosen di Kepulauan Nusantara, adalah rangka Homo Wajak dan mungkin juga beberapa tulang paha dari Trinil dan tulang-tulang tengkorak dari Sangiran.

Baca Juga  Prabu Pucukwesi (913-916)

Homo menurut definisi yang dipakai disini, mempunyai ciri-ciri yang lebih progresif daripada Pithecantrophus. Isi tengkoraknya bervariasi antara 1.000-2.000 cc, dengan nilai rata-rata 1.350-1.450 cc. Tinggi badannya juga bervariasi lebih besar, yaitu antara 130-210 cm, dengan demikian pula beratnya antara 30-150 kg. Di bawah ini adalah manusia pendukung zaman neolitikum di Indonesia;

Homo Sapiens

Otak Homo Sapiens sebagai manusia pendukung zaman neolitikum di Indonesia dianggap lebih berkembang, terutama kulit otaknya sehingga bagian terlebar tengkorak terletak tinggi di sisi tengkorak dan dahinya membulat serta tinggi. Bagian belakang tengkorak juga membulat dan tinggi otak kecil sudah berkembang lebih jauh pula. Otot tengkuk sudah banyak mengalami reduksi karena tidak begitu diperlukan lagi dalam ukuran yang besar. Hal ini terjadi karena alat pengunyah sudah menyusut lebih lanjut. Gigi mengecil begitu pula rahang serta otot kunyah, dan muka tidak begitu menonjol ke depan. Letak tengkorak di atas tulang belakang sudah seimbang. Berjalan serta berdiri tegak sudah lebih sempurna dan koordinasi otot sudah jauh lebih cermat.

Pada Homo neanderthalensis ciri-ciri tersebut di atas tidak seprogresif pada Homo Sapiens, kecuali isi tengkorak yang sudah bersamaan, bahkan rata-ratanya lebih tinggi. Alat pengunyah masih masif dan tonjolan kening nyata. Dagu belum ada dan tulang-tulang tengkorak masih tebal. Tidak ada sisa Homo neanderthalensis di Kepulauan Nusantara sampai sekarang, sehingga Homo neanderthalensis dapat dikatakan bukanlah manusia pendukung zaman neolitikum di Indonesia. Berkaitan dengan temuan dari Wajak adalah tergolong ke dalam Homo sapiens. Rangka Wajak yang pertama ditemukan dekat Campurdarat, Tulungagung pada tahun 1889 merupakan fosil manusia pertama yang dilaporkan dari Kepulauan Nusantara. Temuan ini diselidiki oleh Eugene Dubois, dan terdiri atas tengkorak, termasuk fragmen rahang bawah, dan beberapa buah ruas leher.

Homo Wajak

Temuan rangka Wajak pada tahun 1890 di tempat yang sama terdiri atas fragmen-fragmen tulang tengkorak rahang atas dan bawah, serta tulang paha dan tulang kering. Dari sisa kedua individu itu dapat disimpulkan bahwa tengkoraknya besar, dengan isi volume otak mencapai 1.630 cc. Rangka Wajak itu memiliki muka yang datar dan lebar, akar hidungnya lebar, dan bagian mulutnya menonjol sedikit. Dahinya agak miring dan di atas rongga matanya ada busur kening yang nyata. Langit-langitnya besar dan dalam rahang bawahnya tergolong masif, dan giginya besar-besar pula. Pada gigitan, gigi seri atas tepat mengenai gigi bawah. Berdasarkan tulang pahanya, tinggi badannya ditaksir sekitar 173 cm.

Ras Wajak meliputi manusia yang hidup antara 40.000-25.000 tahun yang lalu di Asia Tenggara, seperti manusia Niah di Serawak dan manusia Tabon di Palawan. Tengkorak dari Gua Niah mempunyai ciri-ciri Austromelanesoid, hanya pada dahinya lebih tegak dan busur keningnya kurang nyata. Mungkin ini disebabkan oleh individu tersebut masih muda. Akar hidungnya dalam serta dangkal. Di Gua Tabon ditemukan tulang dahi dan rahang bawah dahinya miring sedikit, dan busur keningnya agak nyata. Geraham bungsunya sama sekali tidak ada pada rahangnya.

Tengkorak-tengkorak dari Cohuna-Kow Swamp, yang kepurbaannya sekitar 10.000 tahun, ada yang memperlihatkan ciri-ciri yang mengingatkan orang akan Pithecantrophus. Namun, hal ini hanya terdapat pada beberapa tengkorak dan hanya di bagian depannya, yaitu dahi dan muka sehingga tidak akan dikelirukan dengan jenis Pithecantrophus. Ciri-ciri lain dan tengkorak-tengkorak yang lain lagi tidak berada dari tengkorak-tengkorak Australoid dari Australia Selatan, yang kasar-kasar dengan rahang-rahang yang tegap.

Temuan Wajak mengisyaratkan bahwa sekitar 40.000 tahun yang lalu bahwa Kepulauan Nusantara telah didiami oleh jenis Homo sapiens yang tergabung ke dalam ras Wajak, yang berbeda dengan ras manusia sekarang. Sukar dipastikan apakah ras Wajak langsung berevolusi dari Pithecantrophus, karena antara keduanya terpampang jurang waktu sepanjang 250.000 tahun. Pada saat yang penting inilah kemungkinan Pithecantrophus mengalami evolusi menjadi Homo. Manusia Wajak kelihatannya tidak hanya mendiami Indonesia Barat, tetapi juga di sebagian Indonesia Timur. Oleh karena itu, populasi manusia zaman neolitikum pasti lebih besar daripada Pithecantrophus. Ras Wajak menurunkan ras-ras manusia yang sekarang dikenal sebagai penduduk Kepulauan Nusantara sekarang terutama dari sub-ras Melanesoid dan Australoid.

Daftar Bacaan

  • Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia I: Zaman Prasejarah di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Beri Dukungan

Beri dukungan untuk website ini karena segala bentuk dukungan akan sangat berharga buat website ini untuk semakin berkembang. Bagi Anda yang ingin memberikan dukungan dapat mengklik salah satu logo di bawah ini:

error: Content is protected !!

Eksplorasi konten lain dari Abhiseva.id

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca