Kehidupan manusia pada zaman Paleolitikum di Indonesia sangat berkaitan erat dengan kondisi lingkungan yang ada. Ketergantalungan manusia dengan lingkungan hidupnya itulah yang kelak menjadi corak, ciri kehidupan manusia pada zaman paleolitikum di Indonesia. Manusia pada zaman Paleolitikum di Indonesia masih mengembangkan alat-alat yang teramat sederhana jika dibandingkan dengan masa-masa setelahnya. Hal ini berkaitan dengan kehidupan manusia yang masih mengandalkan berburu dan meramu (food gathering and food hunting) sebagai sumber utama dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka, yakni kebutuhan pangan.
Kondisi Alam Masa Paleolitikum Di Indonesia
Situasi alam Kepulauan Nusantara pada masa paleolitikum di Indonesia secara geografis dipahami sebagai daerah yang memiliki iklim tropis dengan sinar matahari yang hampir sepanjang tahun menerobos, menyusup ke dalam sendi-sendi kehidupan makhluk-makhluk yang berada di dalamnya. Kepulauan Nusantara memiliki dua musim yang dapat diprediski waktu kedatangan dan lamanya sebuah musim.
Lingkungan masa paleolitikum di Indonesia, terutama berkaitan dengan kehidupan hewan dan tumbuhan dapat dideskripsikan berdasarkan pada fosil-fosil hewan dan tumbuhan yang telah berhasil ditemukan. Pada umumnya, diyakini bahwa hewan-hewan yang hidup pada masa paleolitikum di Indonesia merupakan hasil evolusi dari hewan-hewan pada periode sebelumnya, terutama pada zaman tersier. Kondisi ini pun tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan pula dialami oleh seluruh dunia pada masa paleolitikum.
Kondisi Geografis
Sejak periode paleolitikum di Indonesia, dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki dua musim; kemarau dan hujan. Di mana kemarau diprediksi kedatangannya pada bulan April sampai September, sedangkan hujan diprediksi datang pada bulan Oktober sampai Maret. Kepulauan Nusantara terletak di antara dua benua; Asia dan Australia yang membuatnya begitu strategis terutama secara ekonomi.
Strategis dalam ekonomi, juga menjadikan Kepulauan Nusantara juga menjadi daerah persimpangan budaya bagi berbagai bentuk kebudayaan yang mengelilinginya. Selain itu, posisi Kepulauan Nusantara menjadikannya pula dipengaruhi oleh iklim dari kedua benua tersebut serta pengaruh penyebaran hewan dan manusia.
Dengan beragam proses geologi yang terjadi sejak periode-periode tertua dalam pembentukan muka bumi, Kepulauan Nusantara dipengaruhi oleh proses-proses alam yang menyebabkan perubahan daratan menjadi lautan atau sebaliknya dikarenakan oleh gerakan-gerakan pengangkatan dan penurunan, kegiatan gunung berapi, gempa bumi, perubahan aliran sungai, dan sebagainya.
Salah satu proses orogenesis terbesar terjadi pada antara Zaman Kapur dan Eosen, yang dinamakan orogenesis Larami. Orogenesis ini menyebabkan sebagian wilayah Kepulauan Nusantara terangkat ke permukaan menjadi daratan dan sebagian besar lainnya masih berada di bawah permukaan laut selama zaman berikutnya, yaitu zaman Tersier. Daratan Asia terletak di sebelah barat laut dan daratan Australia terletak di sebelah tenggara lautan.
Zaman Tersier dibagi menjadi lima; Paleosen, Eosen, Oligosen, Miosen dan Pliosen. Karena hampir seluruh wilayah kepulauan Nusantara masih berupa lautan pada zaman Tersier ini, hewan daratan dari Asia dan Australia masih belum ditemukan sebagai fosil di sebagian besar wilayah bersangkutan, kecuali di Irian dan Kalimantan yang sebagian sudah merupakan daratan.
Di Pulau Kalimantan pengaruh hewan daratan Asia ditemukan di bagian barat. Di Kalimantan Barat ini, dalam batu lempung Melawi, ditemukan fosil-fosil moluska yang hidup di air payau, berupa Corbula, Arca, Paludomus, Melania, dan Cyrenia, yang mempunyai usia Eosen Atas. Di samping itu, juga ditemukan fosil vertebrata daratan berupa Anthacotherium dan Choeromorus.
Penemuan fosil daratan ini membuktikan bahwa pada zaman Eosen akhir Kalimantan Barat bergabung dengan daratan Asia, karena fosil vertebrata tersebut ditemukan di daratan itu. Di Pulau Jawa, daratan yang terbentuk akibat orogenesis tersebut di antaranya adalah daerah Naggulan, tempat ditemukan pula fosil moluska yang hidup di air payau seperti Arca, Corcibula, Chiocerus, dan Aximea yang kemungkinan ada pada masa Eosen Awal.
Pada akhir zaman Tersier terjadi lagi suatu orogenesis yang menyebabkan lebih banyak lagi wilayah Indonesia berubah dari lautan menjadi daratan. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya hewan daratan di daerah-daerah lebih selatan dan lebih timur dari Kalimantan Barat, yaitu masing-masing di daerah Bumiayu (Jawa Tengah) dan Berru (Soppeng, Sulawesi Selatan); yang ditemukan di daerah Soppeng dinamakan fauna Archidiskodon-Celebochoerus.
Hewan-hewan tersebut, menurut perhitungan usia yang didasarkan atas metode stratigrafi vertebrata, berasal dari masa Pliosen Atas. Pada masa ini hominidae masih belum ada di daratan Kepulauan Nusantara, atau paling tidak belum mencapai daratan tersebut. Hal ini baru terjadi pada kala Plestosen Bawah, sebab fosilnya ditemukan dalam batuan formasi Pucangan, yang terbentuk dalam kala itu dan penentuan usianya juga didasarkan atas metode stratigrafi vertebrata.
Dapat ditambahkan di sini bahwa berdasarkan metode foraminifera kecil plankton, usia tersebut bukanlah Pleistosen Bawah tetapi lebih tua dari itu, yaitu Pliosen Atas atau paling tidak Pliosen teratas. Bersamaan dengan vulkanisme hebat yang memuntahkan berbagai batuan eruptiva yang menimbun lautan serta cekungan sedimentasi sekeliling gunung-gunung api tersebut. Peristiwa ini menambah luas daratan yang telah ada sebelumnya.
Flora Dan Fauna
Lingkungan masa paleolitikum di Indonesia tidak terlepas dari proses evolusi dan juga kepunahan beberapa spesies makhluk hidup yang pernah mendiami wilayah Kepulauan Indonesia. Berdasarkan pada evolusi dapat diketahui bahwa zaman Kenozoikum (Paleosen sampai dengan periode Holosen) merupakan masa puncak dari perkembangan hewan menyusui (mammalia). Dari berbagai jenis fosil yang telah ditemukan, dapat diketahui bahwa hampir semua jenis hewan mengalami proses evolusi. Di dalam proses perkembangannya dari setiap periode yang telah berlangsung selama jutaan tahun, ternyata terdapat beberapa jenis hewan yang punah atau mengalami perkembangan bentuk fisik pada suatu zaman tertentu, misalnya pada jenis hewan seperti kuda (Equus) dan gajah (Elephas).
Kepunahan maupun kemunculan jenis-jenis hewan tertentu oleh para geologi dan paleontologi kemudian digunakan untuk menandai suatu zaman. Misalnya dalam hasil keputusan Kongres Internasional di Inggris yang diselenggarakan pada tahun 1948, ditetapkan bahwa zaman Plestosen Bawah mulai berlangsung apabila dalam suatu lapisan tanah terdapat kerang-kerang laut tertentu sebagai hasil endapat laut yang ditutupi oleh lapisan tanah yang mengandung fosil-fosil hewan mamalia tertentu (Equus, Elephas, dan Leptobos) sebagai hasil endapan daratan.
Hewan Masa Paleolitikum di Indonesia
Kondisi kehidupan hewan dan lingkungan masa paleolitikum di Indonesia atau yang dikenal juga dengan masa Plestosen pada dasarnya tidaklah banyak memiliki perbedaan dari kehidupan manusia, dalam arti bahwa hewan-hewan juga sangat bergantung pada keadaan iklim dan juga tumbuhan. Setiap perubahan iklim telah mengakibatkan berubahnya atau berpindahnya kelompok hewan. Perlu diketahui, bahwa gangguan lain terhadap kehidupan hewan, di samping perubahan iklim dan bencana alam, ialah sesama hewan dan yang memiliki andil terbesar adalah gangguan yang berasal dari manusia.
Pada masa paleolitikum di Indonesia tingkat hidup manusia masih sangat bergantung pada alam dan kemampuan manusia dalam taraf berburu dan mengumpulkan makanan dan hasil alam yang terdapat disekelilingnya. Oleh sebab itu, perburuan manusia terhadap hewan merupakan salah satu usaha pokok dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Jadi, dapatlah dipahami bahwa lenyapnya sebagian hewan pada masa paleolitikum di Indonesia disebabkan oleh perburuan oleh manusia. Usaha daripada perburuan hewan sudah tampak dilakukan pada masa Plestosen Tengah, antara lain oleh kelompok-kelompok hominid seperti Pithecanthropus erectus. Di Cina, jenis Pithecanthropus erectus pekinensis (Sinanthropus pekinensis) melakukan perburuan terhadap hewan-hewan seperti rusa, kuda, babi hutan, kijang, kerbau, kera, gajah, kuda nil, dan beberapa jenis hewan buas lainnya.
Hewan-hewan yang masih dapat hidup pada masa paleolitikum di Indonesia ini disebabkan oleh kemampuannya dalam membebaskan diri dari berbagai gangguan serta dapat menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Dalam iklim dingin masa glasial, hewan-hewan mengembangkan bulu yang tebal, sedangkan tumbuhan bergeser ke daerah-daerah beriklim lebih panas yang lebih sesuai. Sebagai akibat dari pergeseran ini, hewan pemakan tumbuhan tersebut ikut bermigrasi, mengikuti perpindahan tumbuhan-tumbuhan itu. Bagi hewan karnivora (pemakan daging) yang hidupnya tergantung dari perburuan sesama hewan, migrasi hewan herbivora memberikan juga pengaruh atas cara hidupnya, yaitu bahwa mereka terpaksa mengikuti migrasi hewan herbivora ke daerah-daerah lain.
Manusia purba yang hidup di zaman paleolitikum di Indonesia terpaksa juga mengikuti pola perpindahan tumbuhan dan hewan tersebut, karena hidup mereka masih dalam taraf berburu. Karena ada empat masa glasial beriklim dingin diselingi oleh tiga zaman antar-glasial yang panas, pola migrasi kehidupan di dunia dalam zaman plestosen juga bergeser bolak-balik sebanyak itu pula.
Migrasi hewan dan manusia dari daratan Asia ke Kepulauan Indonesia dimungkinkan oleh terbentuknya Paparan Sunda yang terletak disebelah barat pada masa Pliosen akhir dan Plestosen sebagai akibat dari turunnya permukaan air laut di Kepulauan Indonesia. Pada waktu yang bersamaan itu pula, terbentuk pula Paparan Sahul yang terletak di sebelah timur. Bagian barat, yang mencakup Pulau Jawa, Sumatra, dan Kalimantan, bergabung dengan wilayah Asia Tenggara Daratan. Sedangkan di bagian timur yang mencakup Papua bergabung dengan Daratan Australia. Hal ini mengakibatkan fauna pada masa Hlosen yang terdapat di daerah Paparan Sunda mempunyai persamaan dengan fauna yang terdapat di daratan Asia. Sedangkan yang terdapat di Papua memiliki persamaan dengan fauna yang berada di Australia.
Migrasi Hewan
Lingkungan masa paleolitikum di Indonesia tidak terlepas dari adanya aktivitas perpindahan hewan yang terjadi antara lain dari Daratan Asia ke Kepulauan Indonesia pada masa Pliosen akhir dan Plestosen. Migrasi ini berlangsung melalui dua jurusan. Pertama dari arah barat, yaitu melalui Myanmar, Semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa, dan terus menuju ke Nusa Tenggara. Kedua, lewat jalan utara yaitu dari Cina Selatan melalui Kepulauan Filipina dan menuju ke Sulawesi.
Adanya migrasi yang dilakukan hewan ini ditunjukkan oleh bukti-bukti bahwa di antara anggota fauna Jetis dan Trinil, telah ada beberapa anggota fauna “Sino-Malaya” yang mengambil jalan utara, misalnya, wau-wau, gibbon, tapir, beruang Malaya, dan Stegodon. Fosil Leptobos (Lembu Purba), gajah purba, Hippopotamus dan Epimachairodus (sejenis harimau yang terdapat di antara fauna Jetis dan Trinil, disebut dengan fauna “Siva-Malaya” karena menunjukkan persamaan dengan fauna Siwalik di India. Anggota fauna ini datang ke Indonesia melalui jalur Barat.
Penyelidikan Zoogeografi
Deskripsi mengenai lingkungan masa paleolitikum di Indonesia didukung oleh adanya penyelidikan tentang persebaran fauna atau yang biasa disebut dengan zoogeografi. Di masa Holosen Kepulauan Indonesia memiliki arti penting karena Selat Lombok dan Selat Makassar merupakan garis batas jenis-jenis hewan yang mempunyai perbedaan secara fundamental. Alfred Russel Wallace berpendapat bahwa di Kepulauan Indonesia terdapat perbedaan daerah zoogeografi yang lebih mencolok dibandingkan dengan keseluruhan persebaran hewan di dunia. Amerika Selatan dan Afrika yang dipisahkan oleh Samudra Atlantik, tidak begitu besar perbedaannya jika dibandingkan dengan perbedaan hewan-hewan yang terdapat di Asia dan Australia.
Alfred Russel Wallace menjelaskan selanjutnya bahwa Selat Lombok merupakan garis batas yang ditarik oleh Wallace berdasarkan pengetahuan yang didapatnya menjelang akhir abad ke-19. Data yang terkumpul hingga sekarang tentu sudah jauh berbeda. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan Wallace hanya mengetahui terdapat 20 spesies burung, sedangkan sekarang diketahui setidaknya terdapat 120 spesies burung. Begitu juga dengan fauna lainnya; reptil semula diketahui 5 spesies, kini terdapat 40 spesies dan seterusnya.
Berdasarkan pada data dan keterangan yang didapatkan dari Alfred Russel Wallace, Ernst Mayr menarik kesimpulan bahwa garis Wallace bukanlah garis batas antara daerah Indo-Malaya dan Australia, tetapi lebih banyak merupakan garis batas Paparan Sunda pada masa Plestosen. Untuk periode itu garis batas Paparan Sunda pada masa Plestosen bukanlah merupakan penghalang untuk terjadinya migrasi fauna daratan Asia ke Australia melalui Nusa Tenggara, karena di Flores, Timor dan Sumba juga ditemukan bentuk-bentuk fauna Asia yang berusia Plestosen.
Penelitian Fosil Hewan Di Indonesia
Sejarah penelitian fosil hewan yang hidup pada masa paleolitikum di Indonesia tidak dapat dilepaskan kepada usaha penelitian ke arah sejarah manusia purba dan kebudayaan yang dihasilkannya. Penelitian ini juga dapat memberikan keterangan mengenai lingkungan masa paleolitikum di Indonesia. Penelitian paleontologi di Indonesia adalah Eugene Dubois yang merupakan seorang dokter tentara Belanda yang pada akhir abad ke-19 menarik minat terhadap evolusi manusia purba. Eugene Dubois berpendapat bahwa manusia purba terdapat di daerah tropik, termasuk di Kepulauan Indonesia. Fosil hewan pertama yang ditemukan oleh Eugene Dubois di dalam ekskavasinya di Sumatra Barat berupa beberapa buah gigi mawas, sedangkan fosil manusia Pithecanthropus pertama yang ia temukan terletak di Trinil, Jawa Tengah pada tahun 1891.
Penelitian yang dilakukan oleh Eugene Dubois di Trinil pada tahun 1891 ternyata menarik minat Margarethe Lenore Selenka. Selenka segera melakukan ekskavasi sekitar tahun 1907-1908 di daerah yang sama. Di dalam ekskavasi itu berhasil ditemukan sejumlah besar fosil hewan, namun ia tidak menemukan satupun fosil daripada manusia purba.
Penelitian fosil fauna paleolitikum di Indonesia pada periode berikutnya banyak dilakukan oleh para ahli geologi, yang sejak permulaan abad yang lalu mulai aktif melakukan penyelidikan paleontologi. Peningkatan penelitian itu dimungkinkan oleh berdirinya Dienst van Mijnwezen, sebuah instansi yang menangani kegiatan pertambangan pada tahun 1930. Tokoh-tokoh peneliti yang penting antara lain Rutten, Martin, Maarel, von Koenigswald, Haar dan Oppenoorth. Haar menemukan tulang-belulang fosil hewan yang tidak kurang dari 20.000 potong di daerah Ngandong, termasuk pula menemukan fosil tengkorak manusia sebanyak 11 buah dalam satu situs ekskavasi.
Fosil Hewan yang hidup pada masa paleolitikum di Indonesia sebagian besar ditemukan di Pulau Jawa dan pada umumnya diketahui letak stratigrafinya sehingga dapat dilakukan klasifikasi. Fauna Jetis ditemukan pada lapisan Plestosen Tengah, dan fauna Ngandong pada lapisan Plestosen Atas. Di luar Pulau Jawa sebagaiman penemuan di Pulau Sulawesi, Flores, Sumba dan Timor, temuan fosil hewan umumnya hanya dapat diketahui dari kala Plestosen tanpa tingkatan usia yang dapat diidentifikasi dengan jelas.
Fauna Jetis
Fauna Jetis antara lain terdiri dari Epimachairodus, Leptobos, beberapa jenis Antilope, bermacam Sus, Hippopotamus, Cervus, Stegodon dan Elephas. Ralph von Koenigswald menganggap fauna jetis merupakan fauna khas Plestosen Bawah, dan karena itu Koenigswald menghubungkannya dengan fauna Pinjor di India yang memiliki usia sama. Fauna Jetis ditemukan di daerah sepanjang Pegunungan Kendeng, Mojokerto dan Sangiran. Hingga memasuki tahun 1927 Fauna Jetis masih belum diketahui sehingga sewaktu Rutten menemukan gigi Stegodon di Mojokerto, masih belum dapat diketahui jenisnya. Barulah setelah Cosijn menulis tentang fosil-fosil lainnya dari daerah yang sama, fauna Jetis dapat diketahui ciri-cirinya.
Fauna Jetis dari Ordo Pholidota
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Jetis yang berasal dari Ordo Pholidota;
- Manis palaeojavanicus
Fauna Jetis dari Ordo Rodentia
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Jetis yang berasal dari Ordo Rodentia;
- Acanthion brachyrus
- Hystrix sp.
- Rhizomis sumatrensis
- Muntiacus muntjac
- Duboisa banteng modjokertensis
- Tragulus kanchil
- Antilope saatensis
- Antilope sp.
- Epiloptobos groeneveldtii
Berdasarkan pada daftar fauna Jetis di atas menunjukkan bahwa mamalia mulai mendominasi lingkungan masa paleolitikum di Indonesia.
Fauna Trinil
Fauna Trinil terutama ditemukan di Trinil, Ngawi, Jawa Timur dan Sangiran, Jawa Tengah. Fauna Trinil ditemukan bersamaan dengan fosil manusia pendukung masa paleolitikum di Indonesia, terutama sekali di Trinil juga ditemukan bersamaan dengan fosil tumbuhan. Penelitian fauna Trinil dilakukan antara lain oleh Dubois, Martin, dan von Koenigswald. Ekskavasi besar besaran dan sistematis dilakukan oleh Selenka pada tahun 1907-1908.
Setelah tahun 1962 penelitian dilakukan oleh Proyek Penelitian Paleoantropologi Nasional, Departemen Geologi Institut Teknologi Bandung dan Direktorat Geologi. Penelitian ini terutama dilakukan di Sangiran, tempat ditemukannya alat-alat serpih yang hubungannya dengan fosil-fosil hewan belum dapat dipastikan. Namun, diperkirakan bahwa Pithecanthropus soloensis lah pembuat alat-alat serpih itu. Sehingga dapatlah diperkirakan bahwa keterkaitan antara alat serpih dan fosil-fosil hewan yaitu alat-alat serpih digunakan untuk menguliti hewan-hewan yang hendak dikonsumsi oleh Pithecanthropus soloensis.
Fauna Trinil tidak banyak berbeda dengan fauna Jetis, tetapi yang perlu dicatat adalah hewan jenis Chalicotherium, Leptobos, dan Epimachairodus yang berasal dari fauna Jetis telah punah. Hippopotamus dan Stegodon, yang masih hidup pada kala Plestosen Tengah mengalami perkembangan yang lebih maju. Jenis Antilope yang masih tinggal hanya Duboisia. Sementara itu, dalam fauna Trinil terdapat jenis-jenis kera dan dari jenis anthropoidea ditemukan fosil Pongo pygmaeus.
Fauna Jetis dari Ordo Primata
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Jetis yang berasal dari Ordo Primata;
- Pithecanthropus modjokertensis
- Symphalangus syndactylus
- Pongo pygmaeus
- Hyblobates moloch
- Trachypithecus cristatus
- Macaca fascicularis
- Macaca sp.
Fauna Jetis dari Ordo Proboscidea
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Jetis yang berasal dari Ordo Proboscidea;
- Stegodon trigonocephalus praecursor
- Elephas sp.
Fauna Jetis dari Ordo Ungulata
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Jetis yang berasal dari Ordo Ungulata;
- Rhinoceros sondaicus
- Rhinoceros kendengindicus
- Tapirus cf. indicus
- Nestoritherium javanensis
- Sus brachygnathus
- Sus coerti
- Sus sp.
- Hippopotamus koenigswaldi
- Cervus zwani
- Cervus probl.
- Cervus cf. hippelaphus
Fauna Jetis dari Ordo Carnivora
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Jetis yang berasal dari Ordo Carnivora;
- Epimachairodus zwierzyckii
- Felis paleojavanica
- Felis tigris
- Paradoxurus sp.
- Arctistis binturong
- Viverricula malaccensis
- Viverra
- Hyanena sp.
- Mececyon merriami
- Ursus cf. kokeni
- Ursus malayanus
- Lutra cf palaeoleptonyx
Fauna Trinil
Fauna Trinil terutama ditemukan di Trinil, Ngawi, Jawa Timur dan Sangiran, Jawa Tengah. Fauna Trinil ditemukan bersamaan dengan fosil manusia, terutama sekali di Trinil juga ditemukan bersamaan dengan fosil tumbuhan. Penelitian fauna Trinil dilakukan antara lain oleh Dubois, Martin, dan von Koenigswald. Ekskavasi besar besaran dan sistematis dilakukan oleh Selenka pada tahun 1907-1908.
Setelah tahun 1962 penelitian dilakukan oleh Proyek Penelitian Paleoantropologi Nasional, Departemen Geologi Institut Teknologi Bandung dan Direktorat Geologi. Penelitian ini terutama dilakukan di Sangiran, tempat ditemukannya alat-alat serpih yang hubungannya dengan fosil-fosil hewan belum dapat dipastikan. Namun, diperkirakan bahwa Pithecanthropus soloensis pendukung kebudayaan paleolitikum di Indonesia yang membuat alat-alat serpih itu. Sehingga dapatlah diperkirakan bahwa keterkaitan antara alat serpih dan fosil-fosil hewan yaitu alat-alat serpih digunakan untuk menguliti hewan-hewan yang hendak dikonsumsi oleh Pithecanthropus soloensis.
Fauna Trinil tidak banyak berbeda dengan fauna Jetis, tetapi yang perlu dicatat adalah hewan jenis Chalicotherium, Leptobos, dan Epimachairodus yang berasal dari fauna Jetis telah punah. Hippopotamus dan Stegodon, yang masih hidup pada kala Plestosen Tengah mengalami perkembangan yang lebih maju. Jenis Antilope yang masih tinggal hanya Duboisia. Sementara itu, dalam fauna Trinil terdapat jenis-jenis kera dan dari jenis anthropoidea ditemukan fosil Pongo pygmaeus.
Fauna Trinil dari Ordo Carnivora
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Trinil yang berasal dari Ordo Carnivora;
- Felis tigris
- Felis paleojavanica
- Felis pardus
- Felis bengalensis
- Paradoxurus hermahroditus
- Arcitistis binturong
- Viverricula malaccensis
- Lutra cf. Sumatrana
- Viverra div. spec.
- Cuon sangiranensis
- Mececyon trinilensis
- Lutra cf. Cinerea
- Ursus malayanus
Fauna Trinil dari Ordo Insectivora
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Trinil yang berasal dari Ordo Insectivora;
- Echinosorex sp.
Fauna Trinil dari Ordo Rodentia
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Trinil yang berasal dari Ordo Rodentia;
- Lepus nigricollis
- Lepus lapis
- Acanthion brachyrus
- Hystrix sp.
- Rhyzomys cf sumatrensis
- Rattus sp.
Fauna Trinil dari Ordo Ungulata
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Trinil yang berasal dari Ordo Ungulata;
- Rhinoceros sondaicus
- Rhinoceros kendengindicus
- Tapirus cf. augustus
- Duboisa banteng
- Sus brachygnathus
- Sus macroganthus
- Muntiacus muntjac kendengensis
- Tragulus Kanchil
- Epiloptobos groeneveldtii
- Cervus leydekkeri
- Cervus hippelaphus
- Bubalus sp.
- Bubalus palaeokarabau
- Bibos palaeosondaicus
- Antilope (Duboisa)
- Hippopotamus sivajavanicus
Fauna Trinil dari Ordo Primata
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Trinil yang berasal dari Ordo Primata;
- Pithecanthropus erectus
- Pithecanthropus soloensis
- Pongo pygmaeus
- Hyblobates cf. moloch
- Trachypithecus cristatus
- Macaca fasciularis
- Symphalangus syndactylus
Fauna Trinil dari Ordo Proboscidea
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Trinil yang berasal dari Ordo Proboscidea;
- Stegodon trigonocephalus
- Elephas hysudrindicus
- Cryptomastodon martini
Berdasarkan pada daftar fauna Trinil, seperti yang ditemukan di dalam fauna Jetis, menunjukkan bahwa mamalia mulai mendominasi lingkungan masa paleolitikum di Indonesia. Pada temuan yang termasuk ke dalam fauna trinil hewan berkuku (Ungulata) kemungkinan jenis hewan yang mendominasi dan menjadi hewan paling banyak dikonsumsi oleh hominid.
Fauna Punung
Fosil fauna yang berasal dari Punung dikumpulkan oleh Ralph von Koenigswald sebelum terjadinya Perang Dunia II berasal dari Mendolo Kidul (Punung I). Menurut Badoux fauna Punung terdiri atas beruang, tapir, Simia, Stegodon, Elephas namadicus, Echinosorex, symphalangus dan Hylobates. Pada penelitian tahun 1968 ditemukan penambahan fosil-fosil sebagai berikut: Presbytis pyrrhus, Sus brachygnathus, Bos so., Rattus rattus, dan Acanthion sp.
Fauna Ngandong
Fauna Ngandong ditemukan di dalam undak-undak Sungai Bengawan Solo di sekitaran daerah Desa Ngandong. Di undak-undak ini banyak ditemukan fosil hewan, terutama pada endapan yang mengandung pasir dan kerikil. Penelitian terhadap fauna Ngandong terutama dilakukan pada tahun 1931, sewaktu ter Haar mengadakan penelitia di desa-desa Trinil, Ngandong, Pitu dan Watualang. Di Desa Ngandong, ter Haar menemukan sebuah fosil Bubalus paleokarabau, ribuan potong fosil hewan dan 11 tengkorak fosil manusia. Fosil manusia ini kemudian oleh Oppenoorth diberi nama Homo (Javanthropus) soloensis.
Dari ekskavasi yang dilakukan pada tahun 1931 oleh ter Haar dapat diketahui bahwa di dalam fauna Ngandong jumlah fosil lembu dan rusa adalah yang paling banyak. Sedangkan ukuran kerbaunya lebih besar apabila dibandingkan dengan kerbau pada masa sekarang. Fosil harimau jarang sekali ditemukan, dan yang ada adalah fosil Felis paleojavanica dan Felis tigris soloensis. Fosil badak sama dengan bentuknya yang sekarang, sementara kuda nil memiliki persamaan dengan Hippopotamus namadicus dan Hippopotamus paleoindicus yang berasal dari India. Stegodon relatif memiliki ukuran yang lebih kecil dengan ukuran yang hampir sama dengan ukuran gajah Sumatra. Jadi ukurannya tidak sama dengan Elephas dengan tubuh yang lebih besar seperti Elephas namadicus yang berasal dari India.
Fauna Ngandong dari Ordo Primata
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Ngandong yang berasal dari Ordo Primata;
- Pithecanthropus soloensis
Fauna Ngandong dari Ordo Carnivora
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Ngandong yang berasal dari Ordo Carnivora;
- Felis paleojavanicus
- Felis tigris
- Felis pardus
Fauna Ngandong dari Ordo Ungulata (Perissodactyla)
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Ngandong yang berasal dari Ordo Ungulata (Perissodactyla);
- Rhinoceros sondaicus
Fauna Ngandong dari Ordo Ungulata (Artiodactyla)
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Ngandong yang berasal dari Ordo Ungulata (Artiodactyla);
- Hexaprotodon ngandongensis
- Muntiacus muntjac
- Sus magronathus
- Sus brachygnathus
- Sus terhaari
- Sus ex. aff. vittatus
- Cervus hippelaphus
- Cervus javanicus
- Bubalus palaeokarabau
- Bibos palaeo-sondaicus
Fauna Ngandong dari Ordo Proboscidea
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Ngandong yang berasal dari Ordo Proboscidea;
- Stegodon trigonocephalus
- Elephas cf. namadicus
Sama seperti temuan di beberapa wilayah di Pulau Jawa, fauna Ngandong pun didominasi oleh hewan berkuku (Ungulata)
Fauna Cabbenge
Fauna Cabbenge ditemukan oleh van Heekeren antara tahun 1946-1947 di Cabbenge, Sulawesi Selatan. Fauna Cabbenge diketahui berasal daru nasa Pliosen Akhir. Selain ditemukan fosil hewan, juga ditemukan pula keberadaan alat-alat serpih sebagaiman temuan yang terdapat di Trinil. Pada tahun 1950 penelitian dilanjutkan dan daerah temuan hewan diperluas lagi sampai di desa-desa Sompoh dan Celeko, yang terletak di sebelah utara Berru. Berdasarkan pada hasil temuan van Heekeren di kedua desa ini adalah Archidiskodon celebensis (jenis gajah purba), Stegodon sompoensis (jenis gajah katai), Celebochoerus heekerini (jenis babi raksasa), ikan hiu dan buaya.
Fosil-fosil hewan yang ditemukan di daerah Cabbenge antara lain Archidiskodon, Celebochoerrus, dan Anoa, yang memperlihatkan ciri-ciri pertumbuhan lokal. Penelitian fosil hewan dan alat-alat batu di daerah Cabbenege tersebut dilanjutkan pada tahun 1968 dan 1970.
Fauna Flores dan Timor
Penemuan Stegodon di Olabula, Flores oleh Verhoeven merupakan penemuan yang penting setelah berakhirnya Perang Dunia II. Berdasarkan pada hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Hooijer menunjukkan bahwa Stegodon yang hidup pada masa Plestosen di Indonesia bagian timur lebih kecil ukurannya apabila dibandingkan dengan Stegodon trigonocephalus yang hidup di Pulau Jawa. Meskipun begitu, Stegodon di Indonesia Timur dinilai memiliki geraham yang lebih tinggi (hypsodont). Menurut Hooijer di Flores pernah berkembang subspesies dari Stegodon yang dinamakan Stegodon trigonocephalus florensis. Penemuan fosil yang terjadi pada tahun 1960 oleh tim Direktorat Geologi dari Bandung. Sejumlah alat serpih dan kapak perimbas telah ditemukan pula di daerah-daerah temuan fosil hewan dan tempat-tempat lain di Flores.
Fosil Stegodon dan juga fosil kura-kura yang ditemukan di Pulau Timor ditemukan pada tahun 1964 oleh Verhoven di sebelah timur laut Atambua. Pada tahun 1969, Sartono melaporkan temuan Stegodon timorensis dari Welawa. Stegodon timorensis ini berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan Stegodon trigonocephalus florensis.
Pada tahun 1978 Rokhus Due Awe sebagai salah satu anggota kelompok peneliti gabungan antara Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional dan Departemen Geologi Bandung Insititut Teknologi Bandung berhasil menemukan rahang bawah Stegodon di Sumba, di sekitar Kampung Watu Mbaka. Fosil tersebut diberi nama Stegodon sumbaensis. Catatan tentang stratigrafi kala Plestosen di Sumba belum dilakukan secara lengkap, sehingga hingga kini masih sulit untuk menentukan usia yang lebih jelas terhadap fosil tersebut. Berdasarkan pada keterangan yang didapatkan dari penemuan fosil hewan baik yang termasuk ke dalam katergori Fauna Jetis, Ngandong, Punung, Trinil, Cabbenge, Flores dan Timor:
- Pithecanthropus erectus modjokertensis
- Symphalangus syndactylus
- Pongo Pygmaeus
- Hyblobates moloch
- Trachypithecus cristatus
- Macaca fascicularis
- Stegodon trigonocephalus
- Rhinoceros sondaicus
- Tapirus cf. augustus
- Sus brachygnathus
- Paradoxurus hermaphroditus
- Arcitistis binturong
Penelitian Fosil Tumbuhan di Indonesia
Selain keterangan yang diberikan di dalam penelitian tentang hewan yang hidup pada masa paleolitikum di Indonesia, penelitian tentang fosil tumbuhan pun tidak kalah menarik dan penting dalam menjelaskan lingkungan masa paleolitikum di Indonesia. Tentang kehidupan tumbuhan yang hidup pada masa Plestosen khususnya tumbuhan yang sezaman dengan Pithecanthropus, bahan-bahannya terutama didapatkan dari hasil-hasil ekskavasi yang dilakukan oleh Selenka di Trinil pada tahun 1907-1908. Schuster, yang melakukan penyelidikan atas temuan fosil tumbuh-tumbuhan di dalam endapan batu lempung yang terletak di atas endapan lahar, menyatakan bahwa di antara fosil tumbuhan tersebut ada yang memberi petunjuk tentang iklim saat itu.
Tumbuhan yang dimaksud di dalam penyelidikan Schuster antara lain adalah Revesia wallichii dari famili Streculiaceae dan pohon jeruk, Feronia elephantum, yang juga terdapat di daerah India, tepatnya di kaki Pegunungan Himalaya terus ke selatan ke daerah Pulau Sailan (srilanka), Pohon salam (Altyngia exesa) masih hidup di daerah yang tingginya mencapai 1.000 meter dpl di daerah Madiun. Pohon Rasamala (Liquidambar excelsa), jenis pohon yang tinggi yang hidup di hutan-hutan di Jawa, tidak terdapat di bawah 600 meter atau lebih dari 1.200 meter diatas permukaan laut.
Dari temuan fosil tumbuhan di Trinil dapat diperbandingkan dengan tumbuhan yang hidup hingga saat ini, terutama di daerah yang tingginya antara 600-1200 meter, Schuster menumpulkan bahwa suhu di Trinil pada masa Plestosen Tengah kira-kira 6-8 C lebih rendah dibandingkan dengan suhu sekarang. Untuk dapat menguatkan argumennya, Schuster menunjukkan penemuan fosil tumbuhan yang berasal dari Rembang yang juga terdapat di Trinil. Schuster, Elbert dan Carthaus sependapat bahwa fosil tumbuhan dari Trinil itu merupakan tumbuhan-tumbuhan dataran rendah, karena mungkin sekali fosil tersebut berasal dari daerah hutan yang lebih tinggi letaknya dari Trinil, yang kemudian dihanyutkan oleh lahar atau air ke tempat yang lebih rendah dan selanjutnya ditemukan di situs itu.
Perubahan Bentuk Daratan Masa Paleolitikum Di Indonesia
Perubahan bentuk daratan (paleogeografi) Kepulauan Nusantara pada masa paleolitikum di Indonesia idak saja disebabkan oleh gerakan pengangkatan (orogenesis) dan kegiatan gunung api (Vulkanisme), tetapi ada pula sebab lain, misalnya turunnya muka laut. Susut laut ini disebabkan oleh selama masa glasial, bagian terbesar air di dunia membeku sehingga jumlah air laut berkurang dan permukaannya turun sekitar 60-70 meter di bawah muka semula.
Pembentukan Paparan
Dalam kala Plestosen ada empat zaman glasial, yaitu Gunz, Mindel, Riss, dan Wurm. Di Pulau Jawa, daratan yang terbentuk akibat orogenesis tersebut di antaranya adalah daerah Nanggulan, di mana ditemukan pula fosil Moluska yang hidup di air payau, Arca, Corcibula, Chiocerus, dan Aximea yang kemungkinan ada pada masa Eosen Awa, yang masing-masing dipisahkan oleh tiga zaman antar-glasial: Gunz-Mindel, Mindel-Riss, dan Riss-Wurm. Zaman glasial merupakan zaman es yang dingin untuk bagian bumi utara dan selatan, sedangkan di sekitar khatulistiwa terjadi banyak hujan dengan iklim yang lembab.
Kalau di bagian bumi utara dan selatan disebut pula zaman diluvium, untuk daerah tropik di sekitar garis khtulistiwa yang lembab itu dinamakan zaman pluvium. Sebagai akibat dari zaman-zaman glasial itu, laut-laut yang dangkal berubah menjadi daratan dan muncullah kemudian Paparan Sunda, yang kemudian menghubungkan pulau-pulau Jawa, Sumatra, dan Kalimantan dengan daratan Asia Tenggara.
Paparan ini kemudian merupakan jembatan darat bagi manusia dan hewan yang hidup di daratan Asia Tenggara serta di Kepulauan Nusantara pada kala Plestosen. Di daerah Indonesia bagian timur dalam waktu yang bersamaan muncul pula Paparan Sahul yang menghubungkan Irian dengan benua Australia.
Walaupun Paparan Sunda sekarang telah kembali terbenam di bawah muka laut setelah berakhirnya masa glasial, berkat penyelidikan hidrografi dan zoogeografi, bentuk topografi Paparan Sunda berikut dengan sistem sungai-sungainya di bawah laut dapat ditelusuri. Dari hasil penyelidikan tersebut ternyata di Paparan Sunda yang sangat luas itu terdapat lembah-lembah sempit berbentuk palung.
Lembah-lembah ini ternyata merupakan bekas-bekas sungai kala Plestosen yang sekarang telah tergenang dan tenggelam kembali oleh lautan. Dari hasil penyelidikan tentang ikan air tawar yang hidup di sungai-sungai di Jawa, Sumatra, dan Kalimantan, yang menunjukkan persamaan jenis, dapat diambil kesimpulan berikut. Sungai-sungai di Sumatra Timur dan Sumatra Utara pada kala Plestosen pernah bergabung menjadi sebuah sungai besar yang mengalir ke arah utara, yaitu ke Selat Malaka.
Selanjutnya sungai-sungai Kampar, Indragiri, dan Batanghari pernah bergabung dengan Sungai Kapuas dan beberapa sungai lain di Kalimantan Barat, dan mengalir ke Laut Cina Selatan. Akhirnya sungai-sungai Kahayan, Barito, dan Sampit di Kalimantan Selatan bergabung dengan sungai-sungai di Jawa Utara dan bermuara bersama-sama di sebelah utara Pulau Bali, di sekitar Kangean.
Hujan lebat yang sering terjadi di masa Pluvial menyebabkan terjadinya banyak sungai. Erosi yang disebabkan oleh aliran sungai itu, di samping mengangkut dan memindahkan bermacam-macam baruan, juga membentuk daratan-daratan baru akibat pengendapan yang berlangsung terus-menerus. Di samping itu, aliran sungai sedikit demi sedikit dapat mengubah letak dan bentuk sungai serta permukaan tanah di kanan dan kirinya.
Erosi Sungai-Sungai Di Kepulauan Nusantara
Erosi yang ditimbulkan oleh sungai-sungai di Kepulauan Nusantara sekarang banyak memberikan sumbangan bagi penyelidikan endapan tanah yang berusia Plestosen karena mengikis dan menyingkap lapisan-lapisan tanah tersebut, akibat erosi Bengawan Solo, misalnya, dapatlah kini diketahui adanya sisa-sisa kehidupan masa paleolitikum di Indonesia terutama di Jawa, sebagaimana ditunjukkan oleh temuan-temuan di Trinil dan Ngandong.
Selain menunjukkan sisa-sisa kehidupan kala Plestosen, erosi yang ditimbulkan oleh air sungai dan hujan juga dapat menyingkapkan bermacam-macam lapisan tanah, yang memberi petunjuk pernah terjadi peristiwa-peristiwa alam di masa lamapau seperti genangan laut, letusan gunung api, terbentuknya danau, atau pergeseran tanah akibat gerakan tektonik.
Perubahan Pasang Surut Air Laut
Perubahan-perubahan pasang-surut air laut selama kala Plestosen menyebabkan pula perubahan naik dan turunnya muka air sungai. Turun dan naiknya air laut dan air sungai ini dapat berakibat diendapkannya batuan-batuan di daerah tepiannya. Bila hal ini terjadi berulang-ulang dan berlangsung dalam jangka waktu lama, akan terbentuklah undak-undak pantai dan undak-undak sungai di daerah tepi tersebut setelah daerah yang bersangkutan mengalami pengangkatan (orogenesis).
Undak-undak pantai atau undak-undak sungai yang terbentuk pada kala Plestosen itu memiliki arti yang penting sekali untuk meneliti kehidupan manusia dan lingkungannya di masa itu. Lebih-lebih pada undak-undak sungai biasanya terendapkan sisa-sisa kehidupan atau peninggalan manusia yang berasal dari kala Plestosen.
Penelitian-penelitian geologis, paleontologi, dan arkeologis terhadap beberapa undak-undak sungai di Punung, Pacitan (terutama situs Baksoka), Ngandong (Blora), Cabbenge (Sulawesi Selatan), Flores, Timor, dan Sumba membuktikan bahwa sungai-sungai yang mengalir di daerah-daerah tersebut mengendapkan bermacam-macam batuan, perkakas manusia, fosil hewan, dan fosil tumbuh-tumbuhan. Fosil-fosil manusia masih terbatas penemuannya pada undak-undak Sungai Solo di Ngandong.
Kegiatan Vulkanisme
Kegiatan Vulkanisme pada kala Plestosen yang telah memuntahkan bermacam-macam batuan, kemudian membendung beberapa sungai atau laut. Ini dapat menyebabkan terbentuknya sebuah danau kawah seperti halnya yang terjadi pada Danau Batur di Bali. Contoh terbentuknya sebuah danau besar akibat terbendungnya sungai dapat diketahui pada Danau Solo purba.
Pada kala Plestosen kegiatan vulkanisme menghebat dan lahar yang mengalir dari gunung-gunung Wilis, Lawu, dan Merapi telah diendapkan dalam danau itu serta mengakibatkan pembendungan Bengawan Solo purba. Batas pembendungan di utara adalah Pegunungan Kendeng, sedangkan di selatan adalah di Gunung Kidul. Ke timur dan ke barat pembatasannya adalah berbagai gunung api, misalnya Merbabu, Merapi, Telomoyo, dan Gunung Pandan.
Di dalam danau besar itu kemudian diendapkan lempung hitam. Pada kubah Sangiran di sebelah utara kota Solo, tersingkap dengan jelas formasi Pucangan berusia Plestosen Awal. Formasi ini terdiri atas lapisan lempung hitam yang terbentuk di danau air tawar tersebut, di samping endapan lahar yang berasal dari letusan gunung api zaman itu juga.
Hal serupa terjadi di dataran tinggi Bandung, tempat terbentuknya danau purba, yang membendung aliran Sungai Citarum purba sehigga dataran Bandung tergenang membentuk suatu danau yang luas. Endapan danau ini berupa lempung organik hitam dan lempung gambut, selain lapisan pasir, dan danau berhumus yang terbentuk pada kala Plestosen Atas.
Paparan Sunda Dan Paparan Sahul
Setelah zaman es Wurm berakhir, terjadi lagi zaman panas yang dinamakan zaman pasca-glasial (post-glacial) yang meliputi masa kita hidup sekarang. Dalam zaman ini, lapisan-lapisan es yang terjadi dalam zaman es Wurm mencair kembali hingga mengakibatkan peninggian muka air laut pada zaman pasca-glasial yang menggenangi Paparan Sahul dan Paparan Sunda seperti yang dikenal sekarang.
Karena penggenangan ini, berbagai kelompok fauna vertebrata Plestosen terputus hubungannya dengan kelompok induknya, baik di daratan Asia maupun daratan Australia sehingga mereka terpaksa mengikuti perkembangan evolusi yang unik di antara fauna vertebrata di Kepulauan Asia Tenggara.
Perbedaan-perbedaan unik yang terdapat di antara fauna vertebrata di wilayah Asia Tenggara menyebabkan para ahli mengusulkan adanya garis-garis yang memisahkan berbagai kelompok fauna vertebrata, yaitu kelompok yang mirip dengan fauna daratan Asia dan kelompok yang lain, yang mirip dengan fauna daratan Australia. Garis-garis pemisah fauna misalnya Garis Wallace, Garis Weber, dan Garis Huxley.
Mengenai kedalaman lautan dan selat di daerah Asia Tenggara. Mengingat bahwa fosil-fosil fauna vertebrata Plestosen ditemukan di Flores, Sumba, Timor, Sulawesi, Mindanao, dan Luzon, dapat ditarik kesimpulan bahwa berbagai selat dan lautan terjadi setelah kala Plestosen berakhir. Hal ini juga disebabkan oleh Laut Jawa dan Laut Arafura yang hanya memiliki kedalaman sekitar 60-70 meter, sedangkan laut dan selat yang dimaksud di atas mencapai kedalaman sampai ratusan bahkan ribuan meter.
Jadi, pada akhir kala Plestosen tidak hanya terjadi penggenangan Paparan Sahul dan Sunda, tetapi secara bersamaan terjadi pula kegiatan tektonik yang kuat, menyebabkan bagian-bagian Asia Tenggara naik di atas muka air laut berupa pulau-pulau, dan bagian-bagian yang lain menurun menjadi selat-selat dan laut-laut yang dalam.
Kepulauan Nusantara termasuk daerah tropik yang tidak hanya mengalami perubahan langsung dari gletser yang meluaskan arealnya terkecuali Pegunungan Jaya Wijaya di Irian. Pada kala Plestosen musim yang terdapat di Kepulauan Nusantara adalah Musim Hujan dan Musim Kering.
Berdasarkan penyelidikan penyebaran fauna burung, Stressmann menyimpulkan bahwa pada masa Plestosen Awal daerah tropik hanya ditumbuhi oleh padang rumput pada musim kering. Beberapa jenis burung yang hidup di padang rumput ketika itu berpindah dari Daratan Asia ke Kepulauan Nusantara melalui dua rute;
(1) Dari Myanmar – Malaya – Sumatra – Jawa – Nusa Tenggara.;
(2) Melalui Cina Selatan – Taiwan – Filipina – Sulawesi – Nusa Tenggara.
Musim kering itu segera disusul dengan hujan lebat yang menyebabkan tumbuhnya hutan lebat di Malaya, Kalimantan, Filipina, dan Sulawesi Utara. Burung-burung padang rumput kemudian bermigrasi bersama dengan lenyapnya padang rumput dan baru muncul kembali pada musim kering berikutnya.
Pada tahun 1907-1908 dilakukan penggalian di daerah Trinil. Di antara fosil yang didapat dari penggalian ini ditemukan sejumlah 54 spesies fosil tumbuh-tumbuhan, diantaranya 24 spesies kini masih hidup di Jawa, 4 spesies antara lain masih hidup di Trinil pada ketinggian 600-1200 meter di atas permukaan laut.
Diperkirakan iklim di Jawa pada waktu itu bersuhu antara 6˚-8˚ C lebih rendah dibandingkan dengan iklim sekarang. Lapisan-lapisan tanah mempunyai arti sangat penting dalam setiap usaha untuk pertanggalan kehidupan manusia dan lingkungannya. Dari kondisi lapisan tanah, proses yang terjadi di masa lampau dapat diketahui karena di dalamnya terdapat bermacam-macam batuan dan terkadang sisa-sisa kehidupan. Terkadang di dalam lapisan tanah pun terdapat sumber sejarah berupa fosil.
Sisa-sisa kehidupan fosil merupakan satu-satunya sumber otentik untuk menyusun sejarah kehidupan yang telah berusia ratusan ribu hingga jutaan tahun. Susunan tanah yang berlapis-lapis yang terbentuk karena pengendapan, tersusun menurut usianya. Semakin ke bawah posisi lapisan tersebut, semakin tua pula usianya.
Akan tetapi, akibat adanya gerakan dari dalam bumi (endogen), lapisan tanah dapat terangkat atau terlipat sehingga susunan lapisan tanah tersebut tidak lagi mendatar, melainkan dapat berubah hingga tegak lurus, miring, atau bergelombang.
Jika bagian muka tanah terus-menerus ditoreh oleh kekuatan dari luar bumi (eksogen), misalnya oleh hujan, akan tersingkap tanah yang semula berada sangat dalam di bawah muka tanah sekarang. Contoh untuk singkapan lapisan tanah yang berusia Plestosen di Jawa antara lain yang terdapat di sepanjang aliran Bengawan Solo, terutama Trinil dan daerah Sangiran.
Di Kepulauan Nusantara singkapan endapan Plestosen terdapat di banyak pulau. Dari sekian banyak endapan plestosen tersebut, yang terpenting terdapat di Jawa, Sumatra, Sulawesi, Flores, Timor dan Sumba. Endapan Plestosen di Pulau Jawa sangat terkenal karena penemuan fosil Pithecantrophus dan fosil vertebrata lainnya dalam jumlah yang banyak.
Kronologi Plestosen di Jawa dibagi atas tiga bagian: Plestosen Bawah, Plestosen Tengah, dan Plestosen Atas. Endapan berusia Plestosen Bawah terkenal dengan nama formasi Pucangan. Di dalam formasi Pucangan dapat dibedakan dua fasies, yaitu fasies lempung laut dan fasies vulkanik tufaan sampai pasiran yang banyak ditemukan fosil vertebrata.
Lapisan yang berfasies vulkanik terutama terdapat banyak di Pegunungan Kendeng, sedangkan semakin ke timur terdapat lebih banyak selaan endapan laut sehingga di sekitar Surabaya formasi itu seluruhnya terdiri atas lempung dan tufa vulkanik yang mengandung moluska laut.
Di bagian timur Pegunungan Kendeng, di sekitar Perning di daerah Mojokerto, tempat ditemukannya Pithecantrophus, susunan tanahnya dari atas ke bawah adalah sebagai berikut:
- Batu pasir tufaan setebal 35 m;
- Batu pasir tufaan, batu lempung, dan napal, mengandung moluska laut, setebal 10 cm;
- Batu lempung berwarna kehijau-hijauan setebal 5cm;
- Batu pasir kasar, setebal 100 m, mengandung konglomerat dan batuan andesit; di dalamnya ditemukan fosil manusia yang diperkirakan sebagai Pithecantrophus Modjokertensis;
- Batu pasir tufaan dengan selaan batu lempung setebal 10 cm;
- Napal dan batu pasir tufaan mengandung batu lempung dan fosil-fosil moluska laut, setebal 25 cm.
Temuan fosil hominidae tersebut terjadi pada tahun 1936. Fosil tersebut berupa tengkorak anak-anak dan didapat dibagian atas lapisan keempat hanya pada kedalaman satu meter dari permukaan tanah sekarang. Dengan beberapa fakta ini cukup menjelaskan bahwa telah terjadi banyak perubahan dalam proses pembentukan Kepulauan Nusantara yang dimulai dari pergerakan orogenesis serta perubahan iklim.
Manusia Pendukung Zaman Paleolitikum di Indonesia
Manusia pendukung kebudayaan paleolitikum di Indonesia adalah jenis Pithecantrophus yang diperikarakan telah mendominasi di Kepulauan Nusantara. Pithecantrophus hidup pada masa Plestosen Awal dan Tengah, dan mungkin juga masa Plestosen Akhir. Fosil Pithecantrophus diantaranya ditemukan di daerah Trinil, Ngandong, Sangiran dan Sambungmacan.

Kehidupan Pithecantrophus diperkirakan sebagian besar terpusat di daerah yang sekarang dikenal dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Adapun jenis Pithecantrophus yang ditemukan antara lain Pithecantrophus modjokertensis dan Pithecantrophus soloensis. Sedangkan terdapat juga jenis lain yang kemungkinan hidup pada masa Paleolitikum di Indonesia yaitu Megantrophus Palaeojavanicus.
Pithecanthropus erectus
Penemuan fosil hominid yang paling banyak ditemukan di Indonesia adalah fosil dari spesies Pithecanthropus erectus. Fosil dari Pithecanthropus erectus ditemukan oleh Eugene Dubois seorang ahli paleoantropologi yang melakukan penggalian pertamanya pada tahun 1890 di Desa Kedungbrubus, Madiun. Awalnya, Eugene Dubois menamai temuannya ini sebagai Anthropopithecus erectus, namun seiring dengan temuan-temuan fosil lainnya, Eugene Dubois menyatakan bahwa spesies ini memiliki ciri-ciri antara manusia dan kera. Pithecanthropus erectus adalah jenis manusia purba Indonesia yang menjadi pendukung kebudayaan paleolitikum di Indonesia.
Pithecanthropus erectus hidup secara berpindah-pindah (nomaden) dengan berburu dan meramu (food hunting and food gathering) sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka.Pithecanthropus erectus memakan berbagai jenis daging maupun tumbuh-tumbuhan dan hidup secara komunal primitif. Berdasarkan pada temuan yang diawali di Kedung Brubus oleh Eugene Dubois, dan disusul oleh temuan-temuan lainnya yang teridentifikasi sebagai spesies Pithecanthropus erectus di Sangiran maupun Trinil maka Pithecanthropus erectus berhasil direkonstruksi dengan memiliki ciri-ciri fisik sebagai berikut:
- Memiliki volume otak sekitar 750-900 cc;
- Memiliki tinggi sekitar 160-180 cm;
- Memiliki bobot sekitar 80-100 kg;
- Badannya tegap dengan tonjolan kening yang sangat jelas dan meluas hingga ke dahi;
- bagian belakang kepala menonjol.
Di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, spesies Pithecanthropus erectus ini terdapat dua sub-spesies yaitu Pithecanthropus soloensis berdasarkan hasil ekskavasi di wilayah Sangiran, dan Pithecanthropus modjokertensis berdasarkan hasil ekskavasi yang dilakukan di Mojokerto. Pada saat ini, terutama setelah penelitian yang dilakukan oleh Ernst Mayr pada tahun 1941, Pithecanthropus erectus telah digolongkan ke dalam genus Homo, sehingga kini Pithecanthropus erectus dianggap sebagai Homo erectus.
Meganthropus paleojavanicus
Selain penemuan spesies Pithecanthropus erectus juga ditemukan fosil dari spesies salah satu manusia yang hidup pada masa paleolitikum di Indonesia. Fosil ini pertama kalinya ditemukan oleh Ralph von Koenigswald pada tahun 1936-1941 di situs Sangiran. Penemuannya ini, oleh Ralph von Koenigswald diberi nama Meganthropus paleojavanicus yang memiliki arti Manusia besar (raksasa) dari Jawa. Meganthropus paleojavanicus memiliki ciri fisik yang berbeda dengan Pithecanthropus erectus.
Meganthropus paleojavanicus diperkirakan hidup sezaman dengan Pithecanthropus erectus di Jawa. Meganthropus paleojavanicus memiliki persamaan dalam beberapa ciri kehidupannya dengan Pithecanthropus erectus seperti hidup secara nomaden (berpindah-pindah), hidup berkelompok secara komunal primitif. Namun, perbedaannya adalah jenis makanan yang dikonsumsi adalah hanya jenis tumbuh-tumbuhan. Di bawah ini adalah ciri fisik dari Meganthropus paleojavanicus;
- Tubuh kekar dengan rahang dan geraham besar;
- Tidak berdagu dengan terdapat ciri-ciri kera;
- Termasuk ke dalam pemakan tumbuh-tumbuhan;
- Tonjolan keningnya sangat mencolok dan tonjolan belakang kepala yang tajam, serta otot-otot tengkuk yang kuat;
- Memiliki tinggi sekitar 8 kaki (2,44 m);
- Memiliki bobot sekitar 181-272 kg;
- Memiliki volume otak sekitar 800-1000 cc.
Kebudayaan Paleolitikum di Indonesia
Benda kebudayaan yang dihasilkan pada masa Paleolitikum di Indonesia adalah benda-benda yang terbuat dari batu dengan pengolahan yang sangat sederhana bahkan beberapa ada yang tidak melalui pengolahan. Sebagian besar alat-alat itu langsung digunakan ketika ditemukan di alam. Benda kebudayaan lain yang digunakan oleh manusia pada masa Paleolitikum di Indonesia yaitu dengan ditemukannya alat-alat dari tulang yang pada umumnya digunakan untuk membantu aktivitas berburu hewan.
Alat-alat dari batu yang ditemukan hampir secara merata di wilayah Kepulauan Indonesia, begitu pula dengan alat-alat tulang. Beberapa alat-alat yang terbuat dari batu teridentifikasi sebagai kapak genggam, pahat genggam, kapak perimbas, dan kapak penetak. Kebudayaan Paleolitikum di Indonesia dapat diidentifikasi berdasarkan temuan di situs Pacitan dan Ngandong. Peralatan inilah yang diduga sebagai peninggalan kebudayaan paleolitikum di Indonesia.
Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat pada Zaman Paleolitikum Di Indonesia
Aktivitas kehidupan manusia pada masa Paleolitikum di Indonesia sangat erat kaitannya dengan kehidupan berburu dan meramu di dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat pada masa Paleolitikum di Indonesia melakukan aktivitas berburu dan meramu secara komunal primitif. Hal itu berarti pada masa ini kehidupan manusia belum terdapat pembagian kerja sehingga aktivitas kehidupan sehari-hari tanpa adanya penggolongan, baik itu penggolongan secara keahlian (skill) ataupun jenis kelamin (genre) serta tidak memandang usia, baik tua ataupun muda semua bekerja bersama-sama untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Kehidupan berburu dan meramu yang dilakukan oleh masyarakat pada masa Paleolitikum di Indonesia berketerkaitan dengan pola kehidupannya yang masih berpindah-pindah (nomaden). Sistem nomaden ini dilakukan sebab manusia harus mengikuti hewan buruan serta mencari sumber makanan dari pepohonan yang dapat mereka konsumsi sebagai sumber energi mereka.
Masyarakat pada masa Paleolitikum di Indonesia masih menggunakan prinsip survival of the fittest yang dapat diartikan sebagai prinsip “yang kuat yang berkuasa” dalam pemahaman ini maka sebenarnya penunjukkan akan ketua kelompok sudah terdapat di dalam masyarakat namun hanya sekedar pembagian atas dasar ketua kelompok dan anggota kelompok. Sehingga masihlah sangat sederhana.
Daftar Bacaan
- Dennell, Robin. 2009. The Palaeolithic Settlement of Asia. Cambridge: Cambridge University Press.
- Koenigswald, G. H. R. 1973. “Australopithecus, Meganthropus and Ramapithecus”. Journal of Human Evolution. 2 (6): 487–491.
- Leakey, L.S.B. 1960. Adam’s Ancestors: The Evolution of Man and His Culture. New York: Harper Torch Book.
- Mayr, Ernst. 1944. “Wallace’s Line in the Light of Recent Zoogeographic Studies”. The Quarterly Review of Biology, Vol. 19 No.1 (Mar., 1944): 1-14.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia I: Zaman Prasejarah di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
- Robinson, J. T. 1953. “Meganthropus, australopithecines and hominids”. American Journal of Physical Anthropology. 11 (1): 1–38.
- Sartono, S. 1973. “On Pleistocene migration routes of vertebrate fauna in Southeast Asia”. Geological Society of Malaysia, 6: 273-286.
- Sartono, S. 1978. “Undak Sungai Baksoko Berdasarkan Analisa Foto Udara”. Berita Penelitian Arkeologi, 19B.
- Sartono, S; Tyler, D. E; Krantz, G. S. 1995. “A new ‘Meganthropus’ mandible from Sangiran, Java: an announcement”. Human Evolution in Its Ecological Context. 1: 225–228.
- Storer, T. I. & R. L. Usinger. 1965. General Zoology. 4th Edition. New York: McGraw-Hill Book Company.
- Tyler, D. E. 2001. “Meganthropus cranial fossils from Java”, Human Evolution, 16 (2): 81–101.