Intervensi NATO di Bosnia dan Herzegovina
Intervensi NATO di Bosnia dan Herzegovina – Intervensi NATO di Bosnia dan Herzegovina adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh NATO yang menyatakan bahwa tujuannya adalah untuk membangun perdamaian jangka panjang selama dan setelah terjadinya Perang Bosnia. Hal ini sebagaimana dengan tujuan NATO setelah keruntuhan Uni Soviet yang bertujuan untuk “menjaga perdamaian” sebelum, saat terjadinya dan sesudah konflik. Di dalam artikel ini akan diberikan penjelasan tentang Intervensi NATO di Bosnia dan Herzegovina.
Latar Belakang Intervensi NATO Di Bosnia dan Herzegovina
Intervensi NATO di Bosnia dan Herzegovina dimulai dengan sebagian besar bersifat politik dan simbolis, tetapi pada gilirannya secara bertahap tindakan ini diperluas untuk mencakup kegiatan operasi udara berskala besar dan pengerahan sekitar 60.000 tentara multinasional dengan mengemban misi perdamaian yang dikenal dengan Operation Joint Endeavour yang mulai berlangsung sejak 20 Desember 1995 – 20 Desember 1996.
Keterlibatan NATO dalam Perang Bosnia dan Perang Yugoslavia secara umumnya telah dimulai pada Februari 1992. Keterlibatan ini dimulai ketika NATO mengeluarkan pernyataan yang mendesak semua pihak yang berperang dalam konflik tersebut untuk mengizinkan pengerahan pasukan penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Meskipun pernyataan ini bersifat simbolis, namun pernyataan ini telah membuka jalan bagi tindakan-tindakan yang akan dilakukan selanjutnya oleh NATO.
Pada 10 Juli 1992, terjadi pertemuan yang dilakukan oleh para menteri luar negeri NATO di Helsinki. Di mana dari hasil pertemuan itu, para menteri luar negeri NATO setuju untuk membantu PBB dalam memantau kepatuhan terhadap sanksi yang ditetapkan berdasarkan resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB 713 (1991) dan 757 (1992). Keputusan inilah yang menyebabkan dimulainya Operasi Pengawasan Maritim (Operation Maritime Monitor) di lepas pantai Montenegro, yang dikoordinasikan dengan Western European Union Operation Sharp Guard di Selat Otranto pada tanggal 16 Juli 1992.
Pada tanggal 9 Oktober 1992, DK PBB mengeluarkan Resolusi 781, yang menetapkan zona larangan terbang di atas wilayah Bosnia-Herzegovina. Sebagai tanggapan terhadap resolusi PBB itu, pada 16 Oktober, NATO memperluas misinya di wilayah tersebut untuk memasukkan Operation Sky Monitor guna memantau wilayah udara Bosnia. Pasukan NATO memantau pelanggaran terhadap zona larangan terbang di wilayah itu dengan tanpa mengambil tindakan militer apa pun bagi yang melanggarnya.
Pada 16 November 1992, DK PBB mengeluarkan Resolusi 787, yang meminta negara-negara anggota untuk menghentikan semua aktivitas maritim yang berkaitan dengan pelayaran keluar maupun masuk dan memastikan untuk memeriksa dan memverifikasi muatan yang bertujuan untuk memastikan kepatuhan terhadap sanksi yang telah dikeluarkan dalam resolusi PBB itu. Menanggapi resolusi ini, NATO menonaktifkan Operation Maritime Monitor pada 22 November 1992, dan menggantinya dengan Operation Maritime Guard, di mana pasukan NATO diberi wewenang untuk menghentikan kapal dan memeriksa kargo bagi mereka yang melintas di pantai Montenegro. Tidak seperti Sky Monitor dan Maritime Monitor, misi ini adalah sebagai penegakan hukum, bukan hanya sekedar melakukan pemantauan saja.
Pada awal April 1993 pasukan NATO telah mendokumentasikan lebih dari 500 pelanggaran zona larangan terbang. Dengan adanya dokumentasi ini dan sebagai tanggapan terhadap pelanggara terhadap zona larangan terbang di wilayah Bosnia, maka misi udara NATO juga beralih dari sekedera pemantauan ke arah penegakan hukum. Peralihan misi ini setelah DK PBB mengeluarkan Resolusi 816, yang secara tidak langsung telah memberi wewenang kepada NATO untuk melakukan tindakan hukum dan memastikan atas kepatuhan terhadap zona larangan terbang di atas wilayah Bosnia.
Operation Deny Flight
Menanggapi resolusi tersebut, pada 12 April 1993 NATO membentuk Operation Deny Flight yang bertugas menegakkan zona larangan terbang di atas wilayah Bosnia dengan menggunakan pesawat tempur yang berbasis di kawasan tersebut. Resolusi 816 melarang semua penerbangan di wilayah udara Bosnia, kecuali penerbangan yang secara tegas diizinkan oleh Pusat Koordinasi Penerbangan PBB di Zagreb.
Operation Deny Flight awalnya dimaksudkan hanya untuk menegakkan zona larangan terbang di atas wilayah Bosnia; namun beberapa anggota NATO, termasuk Amerika Serikat, sangat ingin menemukan cara untuk segera mengakhiri perang dan memperbaiki situasi warga sipil, dan berharap bahwa tindakan militer dapat melakukannya. Amerika Serikat telah mengambil tindakan sepihak untuk membantu warga sipil yang terperangkap dalam konflik dengan membentuk Operation Provide Promise, di mana banyak pejabat Amerika Serikat memperdebatkan penggunaan kekuatan militer dalam tindakan-tindakan ini. Para pejabat Amerika Serikat ini sangat ingin memperluas operasi udara Amerika Serikat melalui Operation Deny Flight, berharap bahwa zona larangan terbang dan serangan udara akan dapat mengakhiri konflik lebih cepat.
Sepanjang tahun 1993, peran pasukan NATO yang berada di Bosnia secara bertahap mulai mengalami perkembangan. Pada 10 Juni 1993, NATO dan PBB setuju bahwa pesawat yang bertindak di bawah Operation Deny Flight akan memberikan dukungan udara jarak dekat kepada UNPROFOR (United Nations Protection Force) atas permintaan PBB. Pada tanggal 15 Juni 1993, NATO mengintegrasikan Operation Maritime Guard dan aktivitas angkatan laut Uni Eropa Barat di wilayah tersebut ke dalam Operation Sharp Guard, dan memperluas perannya untuk memasukkan kekuatan penegakan hukum yang lebih besar.
Peningkatan Intensitas Operasi Militer NATO
Pada tanggal 28 Februari 1994, keterlibatan NATO di Bosnia meningkat secara dramatis. Dalam sebuah insiden yang terjadi dekat Banja Luka ketika enam jet Serbia J-21 Jastreb mengebom sebuah pabrik Bosnia. Tentara NATO yang dipimpin oleh Angkatan Udara Amerika Serikat, dengan menggunakan F-16 berhasil menembak jatuh empat dari enam jet Serbia di atas Banja Luka. Pertempuran ini adalah pertempuran pertama Operasi Deny Flight. Tindakan Ini adalah operasi tempur pertama dalam sejarah NATO dan juga telah membuka pintu bagi kehadiran NATO untuk terus dapat masuk dan melakukan intervensi ke dalam wilayah Bosnia. Pada bulan April 1994, kehadiran kekuatan udara NATO terus bertambah selama serangan yang dilakukan oleh Serbia di Gorazde.
Sebagai tanggapan atas serangan yang dilakukan oleh Serbia, NATO meluncurkan misi dukungan udara jarak dekat pada 10 April 1994, misi ini melakukan pengeboman di beberapa tempat atas permintaan dari komandan PBB. NATO kemudian meluncurkan beberapa serangan udara terbatas lainnya sepanjang tahun 1994, di mana serangan itu tidak lagi dalam koordinasi dengan PBB.
Pada paruh pertama tahun 1995 NATO melanjutkan operasi udaranya di atas wilayah Bosnia. Selama operasi ini, seorang pilot Amerika Scott O’Grady ditembak jatuh di atas wilayah Bosnia oleh rudal darat yang ditembakkan oleh tentara Serbia. Meskipun sang pilot berhasil diselamatkan tetapi dengan peristiwa ini telah menyebabkan kekhawatiran bagi Amerika Serikat dan negara-negara NATO lainnya tentang superioritas udara NATO di Bosnia dan mendorong beberapa agar tindakan NATO yang lebih agresif untuk dapat menghilangkan kemampuan anti-udara Serbia.
Konferensi London 21 Juli 1955
Pada Juli 1995, Serbia melancarkan serangan ke kota Srebrenica di Bosnia, yang berakhir dengan kematian sekitar 8.000 warga sipil. Setelah peristiwa mengerikan di Srebrenica, Pada 21 Juli 1995 di laksanakan Konferensi London yang dihadiri oleh 16 negara. Konferensi ini bertujuan untuk mempertimbangkan opsi baru bagi Bosnia.
Sebagai hasil dari konferensi tersebut, Dewan Atlantik Utara dan PBB setuju untuk menggunakan serangan udara NATO sebagai tanggapan atas serangan di salah satu daerah aman lainnya di Bosnia. Para peserta konferensi juga pada prinsipnya menyetujui penggunaan serangan udara NATO dengan skala besar sebagai tanggapan atas tindakan agresi Serbia di kemudian hari. Melalui Sekretaris Jenderal PBB, Boutros Boutros-Ghali memberikan wewenang kepada Jenderal Bernard Janvier, komandan militer PBB, untuk meminta NATO melakukan serangan udara sebagai atas agresi Serbia tanpa harus berkonsultasi lagi dengan pejabat sipil PBB.
Setelah Konferensi London, NATO merencanakan kampanye udara baru yang lebih agresif melawan Serbia-Bosnia. Pada 28 Agustus 1995, pasukan Serbia meluncurkan mortir di pasar Sarajevo yang menewaskan 37 orang. Laksamana Leighton Smith, komandan NATO menyarankan agar NATO meluncurkan serangan udara pembalasan di bawah Operation Deliberate Force. Pada tanggal 30 Agustus 1995, NATO secara resmi Operation Deliberate Force dengan pemboman skala besar terhadap sasaran Serbia. Pemboman tersebut berlangsung hingga 20 September 1995 dan juga melibatkan serangan terhadap 338 individu yang menjadi sasaran.
Sebagian besar sebagai akibat dari pemboman di bawah Operation Deliberate Force dan perubahan dalam situasi medan perang, pihak yang berperang dalam Perang Bosnia bertemu di Dayton, Ohio pada bulan November 1995, dan menandatangani Kesepakatan Dayton, sebuah perjanjian damai. Sebagai bagian dari kesepakatan tersebut, NATO setuju untuk menyediakan 60.000 penjaga perdamaian di wilayah tersebut, sebagai bagian dari Implementation Force (IFOR). Pada bulan Desember 1995, di bawah Operation Joint Endeavour, NATO mengerahkan 60.000 pasukan ini. Pasukan ini tetap dikerahkan hingga Desember 1996, di mana jumlah pasukan yang tersisa di wilayah itu kemudian dipindahkan ke Stabilization Force (SFOR). SFOR tetap bertahan di Bosnia hingga tahun 2004.
Daftar Bacaan
- Beale, Michael. 1997. Bombs over Bosnia: The Role of Airpower in Bosnia-Herzegovina. Alabama: Air University Press.
- Bucknam, Mark. 2003. Responsibility of Command. Alabama: Air University Press.
- Chollet, Derek. 2005. The Road to the Dayton Accords. New York: Palgrave Macmillan.
- Davis, Bradley. 2000. “The Planning Background”. Deliberate Force. Alabama: Air University Press.
- Foster, Edward. 1995. NATO’s Military in the Age of Crisis Management. London: Royal United Services Institute for Defence Studies.
- Kay, Sean. 1998. NATO and the Future of European Security. Maryland: Rowman & Littlefield.