Meganthropus Paleojavanicus: Lebih Dari 2 Juta Tahun Lalu Spesies Hominid Pertama Inilah Yang Menghuni Pulau Jawa

Manusia Purba Meganthropus Paleojavanicus

Meganthropus Paleojavanicus adalah fosil hominidae yang paling primitif yang pernah ditemukan di Indonesia. Fosil Meganthropus Paleojavanicus ditemukan di Indonesia oleh Ralph von Koenigswald pada tahun 1941 di Sangiran. Jenis manusia purba ini diperkirakan sebagai manusia tertua yang hidup di Jawa. Diperkirakan fosil Meganthropus paleojavanicus yang ditemukan oleh Ralph von Koenigswald ini berusia sekitar 2 juta – 1 juta tahun yang lalu, bertepatan dengan masa Plestosen Bawah. Fosil ini disebut dengan nama Meganthropus palaeojavanicus, yang berarti manusia bertubuh besar dan tertua dari Jawa. Meganthropus paleojavanicus adalah spesies pendukung kehidupan masa paleolitikum di Indonesia.

Sejarah Penemuan Fosil Meganthropus Paleojavanicus

Ekskavasi Awal

Pada tahun 1941 Gustav Ralph von Koenigswald melakukan ekskavasi di Sangiran dan berhasil menemukan fragmen rahang bawah dari sebuah fosil yang diduga milik manusia purba. Ralph von Koenigswald tidak lama kemudian ditangkap oleh Jepang dalam Perang Dunia II, namun ia berhasil mengirimkan cetakan rahang fosil itu ke Franz Weidenreich. Ketika mendapatkan cetakan rahang fosil itu, Franz Weidenreich terpesona dengan ukuran rahang itu karena dianggap sebagai rahang hominid terbesar yang diketahui pada saat itu.

gigantopithecus
Gigantopithecus blacki, Meganthropus paleojavanicus diperkirakan memiliki struktur tubuh yang hampir sama dengan spesies ini

Pada tahun 1945, Franz Weidenreich mendeskripsikannya dengan memiliki rahang setinggi rahang gorila, tetapi memiliki bentuk yang berbeda. Menurut Franz Weidenreich mengatakan bahwa spesies ini memilki ukuran 2/3 Gigantopithecus atau dua kali lebih besar dari gorila dengan tinggi sekitar 8 kaki (2,44 m) dengan bobot sekitar 181-272 kg.

Ekskavasi Pasca Perang Dunia II

Pada tahun 1953 Marks menemukan fragmen rahang lain di Sangiran yang diduga milik Meganthropus erectus dalam kondisi yang rusak parah. Fosil tersebut kemudian diperbaiki dan dianggap milik individu dewasa. Fragmen-fragmen rahang bawah dan atas serta gigi-gigi lepas ditemukan oleh Marks pada tahun 1962 di lapisan terbawah formasi Kabuh, temuan-temuan yang didapat kemudian mungkin ada yang dapat digolongkan ke dalam Meganthrophus, seperti gigi-gigi lepas, yang masih dalam penelitian. Karena holotypus Meganthropus adalah rahang bawah, terdapat kesukaran dalam menggolongkan temuan yang bukan rahang bawah ke dalamnya.

Pada tahun 1959 spesimen fosil tengkorak yang diduga bukanlah milik Homo erectus ditemukan oleh petani setempat di Sangiran dan segera dibawa ke Prof. Sartono dari ITB. Saat itu, Sartono mengidentifikasikannya sebagai Paranthropus paleojavanicus. Letak stratigrafinya tidak begitu dengan tepat dapat diketahui, namun kemungkinan berasal beberapa meter di bawah batas antara Formasi Pucangan yang termasuk ke dalam Plestosen bawah dan Formasi Kabuh yang termasuk ke dalam Plestosen tengah.

Pada tahun 1979 kembali ditemukan sebuah fragmen rahang dengan ciri yang sama seperti yang ditemukan oleh Marks pada tahun 1953 maupun temuan pada tahun 1962 di formasi Kabuh. Menurut Sartono pada tahun 1993, fosil dari temuan ini dianggap berumur 1,4 juta dan 900.000 tahun yang lalu. Meskipun begitu, menurutnya dua jenis fosil tersebut berasal dari satu spesies yang sama. Tyler sempat merekonstruksi tengkorak ini dan diasumsikan sebagai Homo erectus, namun menurut Sartono, tengkorak yang direkonstruksi itu sangat jauh dari ciri Homo erectus. Direkonstruksikan bahwa fosil tengkorak ini memiliki volume otak sekitar 800-1000 cc.

Temuan selanjutnya adalah yang terdiri atas rahang bawah dengan gigi-gigi, mulai dari geraham pertama kiri sampai geraham ketiga kanan; hanya yang belakangan ini yang utuh. Badan rahang sebelah kanan mengalami patah dari muka membujur ke belakang, yang mungkin terjadi semasa hidup. Ada dugaan bahwa kerusakan ini disebabkan oleh buaya, tetapi secara biologis tidaklah mungkin buaya menggigit sebelah rahang demikian.

Fosil tengkorak Meganthropus paleojavanicus
Hasil rekonstruksi fosil tengkorak Meganthropus paleojavanicus

Interpretasi dan Perdebatan

Rahang bawah Meganthropus palaeojavanicus mempunyai batang yang sangat tegap dan geraham yang besar-besar. Pada permukaan kunyah tajuknya terdapat banyak kerut, tetapi bentuk giginya adalah hominin. Otot-otot kunyah Meganthrophus palaeojavanicus niscaya sangat kukuh, oleh karena itu mukanya diperkirakan masif dengan tulang pipi tebal, tonjolan kening yang mencolok, dan tonjolan belakang kepala yang tajam serta tempat perletakan yang besar bagi otot-otot tengkuk yang kuat, dagu tidak ada pada diri Meganthropus. Perawakannya kira-kira juga tegap. Melihat giginya, makanannya diperkirakan terutama tumbuh-tumbuhan.

Sukar menempatkan dengan pasti kedudukan Meganthropus palaeojavanicus dalam evolusi manusia dan hubungannya dengan Pithecantrophus erectus. Hal ini dikarenakan temuan-temuan Meganthrophus masih sangat sedikit. Sebagian ahli menggolongkan ke dalam Pithecantrophus atau Homo, jika genus-genus ini digabungkan.

Dalam hal ini, ada yang menggolongkannya sebagai Homo habilis, Homo palaeojavanicus, Homo erectus, atau Homo sapiens erectus; tetapi ada ahli yang menganggapnya sebagai Australopithecus. Barangkali jika rahang bawah Meganthrophus ditemukan bersama rahang atas atau tengkoraknya, barulah persoalan ini dapat dipecahkan.

Ciri-Ciri Meganthropus Palaeojavanicus

  1. Fosil Meganthrophus palaeojavanicus yang ditemukan berupa fragmen rahang bawah yang sangat besar, massif dan bentuknya sangat primitif, dan memiliki beberapa geraham;
  2. Meganthropus paleojavanicus diperkirakan memiliki tinggi sekitar 2,44 meter dan bobot tubuh sekitar 181-272 kg;
  3. Meganthrophus palaeojavanicus tidak memiliki tulang dagu, sementara tonjolan keningnya sangat mencolok dan tonjolan belakang kepala yang tajam, serta otot-otot tengkuk yang kuat;
  4. Berdasarkan pada fosil tengkoraknya, Meganthropus paleojavanicus memiliki volume otak sekitar 800-1000 cc.
  5. Meganthrophus palaeojavanicus merupakan pemakan tumbuh-tumbuhan. Pada rahang dan geraham-gerahamnya ditemukan beberapa ciri manusia dan kera, tetapi sudah lebih condong kepada ciri manusia jika dibandingkan dengan kera;
  6. Meganthrophus palaeojavanicus merupakan pendukung kebudayaan Paleolithikum dengan kehidupannya sebagai masyarakat berburu dan mengumpulkan makanan.

Hasil Kebudayaan

Meganthropus paleojavanicus hidup dengan cara berpindah-pindah (nomaden) sebagaimana juga yang dilakukan oleh spesies Pithecanthropus erectus. Oleh karena itu, tentu di dalam kehidupannya sangat dekat dengan kegiatan berburu dan meramu (food gathering & food hunting). Ketergantungan terhadap alam yang sangat besar, Meganthropus paleojavanicus menggunakan peralatan yang digunakan langsung dari alam. Beberapa alat-alat yang digunakan oleh Meganthropus paleojavanicus antara lain: 

  1. Benda tajam (Berasal dari tulang hewan);
  2. Kapak perimbas;
  3. Kapak penetak;
  4. Kapak gengam;

Kehidupan Meganthropus paleojavanicus

Manusia Meganthropus paleojavanicus hidup secara berkelompok dalam satu keluarga dan hidup berdasarkan prinsip komunal primitif. Spesies ini hidup secara nomaden dan sebagian besar melakukan aktivitas mereka berada di daerah-daerah dengan sumber daya pangan dan air yang berlimpah semisal di daerah aliran sungai maupun tepian pantai. Hal ini menunjukkan bahwa Meganthropus paleojavanicus sangatlah bergantung dengan alam. Berdasarkan pada temuan fosil rahangnya, Meganthropus paleojavanicus adalah pemakan tumbuh-tumbuhan.

Daftar Bacaan Meganthropus Paleojavanicus

  • Dennell, Robin. 2009. The Palaeolithic Settlement of Asia. Cambridge: Cambridge University Press.
  • Koenigswald, G. H. R. 1973. “Australopithecus, Meganthropus and Ramapithecus”. Journal of Human Evolution. 2 (6): 487–491.
  • Tyler, D. E. 2001. “Meganthropus cranial fossils from Java”, Human Evolution, 16 (2): 81–101.
error: Content is protected !!