Sri Jayabupati (1030-1042)

Sri Jayabupati/ Sri Jayabhupati adalah putra dari Prabu Sanghiyang Ageung yang naik takhta Kerajaan Sunda pada tahun 1030 M. Pada saat penobatannya sebagai raja Kerajaan Sunda, Sri Jayabupati bergelar Sri Jayabhupati Jaya Manahen Wisnumurti Samarawijaya-Calakabhuana Manalecwaranindita Harogowardhana Wikramatunggadewa.

Pemerintahan Sri Jayabupati

sri jayabupati

Setelah diangkat menjadi raja Kerajaan Sunda, Sri Jayabupati mengeluarkan prasasti yang terdiri atas empat buah batu berangka 952 Saka atau 1030 M. Dari keempat batu prasasti itu baru tiga batu prasasti yang isinya dapat dibaca. Prasasti yang dikeluarkan oleh Sri Jayabupati yang juga dikenal dengan prasasti Cibadak atau Prasasti Sang Hyang Tapak. Isi prasasti Sang Hyang Tapak: 

“Swasti shakawarsatita 952 Karttikamasatithi dwadashi  shuklapa –ksa.ha.ka.ra. wara Tambir. Iri ka diwasha nira prahajyan Sunda maharaja Shri Jayabhupati Jayamana-hen wisnu murtti samarawijaya shaka labhuw anamandales waranindita harogowardhana wikra mottunggadewa, magaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway  denira shri jayabhupati prahajyan Sunda. Mwang tan hanani baryya baryya shila. Irikang iwah tan pangalapa ikan sesini iwah. Makahiyang sanghyang tapak wates kapujan I hulu, I sor makahingan  ia sanghyang tapak wates kapujan I wungkalogong kalih matangyan pinagawayaje n pra sasti pagepageh. Mangmang sapatha. Sumpah denira prahajyan sunda. Iwirnya nihan.”

Terjemahan prasasti Sang Hyang Tapak:

Selamat, dalam tahun saka 952 bulan kartika tanggal 12 bagian terang, hari hariang, kaliwon, ahad, wuku tambir. Inilah saat raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati  Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwana mandaleswara  nindita haro gonawardhana wikramottunggadewa, membuat  tanda  disebelah timur sanghiyang tapak. Dibuat  oleh Srijayabhupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar  ketentuan ini. Disungai ini jangan (ada y ang) menangkap ikan  di sebelah sini sungai dalam batas  daerah pemujaan  sanghiyang tapak di sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah pemujaan sanghiyang tapak pada dua batang  pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan  sumpah).

Baca Juga  Konflik Kamboja (1967-1975)

Sedangkan isi dari Sumpah yang diucapkan oleh raja Sunda selengkapnya tertera pada prasasti  ke-4. Isi dari prasasti ke-4 ini terdiri dari 20 baris, yang intinya menyerukan kepada semua kekuatan gaib yang ada di dunia dan di surga agar ikut  melindungi keputusan raja. Siapapun yang menyalahi  ketentuan tersebut diserahkan penghukumannya kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan  dengan menghisap otaknya, menghirup  darahnya, memberantakan ususnya  dan membelah dadanya. Sumpah itu ditutup dengan kalimat seruan, ” I wruhhanta kamunghyang kabeh” ( Ketahuilah olehmu parahiyang semuanya).

Kehadiran Prasasti Sang Hyang Tapak yang dikeluarkan oleh Sri Jayabupati di daerah Cibadak sempat menimbulkan dugaan bahwa Ibukota Kerajaan Sunda terletak di daerah Cibadak, Sukabumi. Namun dugaan ini tidak didukung oleh bukti-bukti lainnya yang menguatkan argumen bahwa pusat Kerajaan Sunda pada masa raja Sri Jayabupati terletak di Sukabumi. Isi prasasti itu terutama menyebutkan adanya larangan untuk  menangkap ikan pada bagian sungai (Cicatih) yang termasuk kawasan Kabuyutan Sanghiyang Tapak. 

Dikeluarkannya sebuah prasasti tidak selalu menunjukkan bahwa pusat suatu kerajaan berada di mana prasasti ditemukan. Semisal seperti apa yang dikeluarkan oleh Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara seperti Prasasti Pasir Muara di mana letak ditemukannya prasasti itu bukanlah pusat dari Kerajaan Tarumanegara.

Tanggal pembuatan Prasasti Jayabupati ini bertepatan dengan 11 Oktober 1030 M, Isi prasasti ini dalam segala hal  menunjukan corak jawa timur, tidak hanya huruf, bahasa dan gaya , melainkan juga gelar raja di lingkungan raja di keraton Dharmawangsa, terutama adalah memiliki kemiripan yang hampir sama dengan Raja Airlangga (menantu Raja Dharmawangsa). Sehingga kemiripan gelar ini sempat memunculkan dugaan bahwa Sri Jayabupati adalah raja bawahan dari Raja Airlangga maupun dugaan yang sebaliknya. Namun, kemiripan gelar ini tidak menjadi persoalan yang dilebih-lebihkan mengenai hubungan keduanya dalam struktur birokrasi, sebab keduanya merupakan menantu dari Dharmawangsa Raja Dharmawangsa.

Baca Juga  Sejarah Perkembangan Kolonialisme dan Imperialisme Barat di Indonesia

Sri Jayabupati Menantu Raja Dharmawangsa dari Kerajaan Mataram Kuno

Sri Jayabupati menikahi seorang anak perempuan dari raja Kerajaan Mataram Kuno yaitu Dharmawangsa Teguh. Istri Sri Jayabupati adalah adik dari istri Raja Airlangga yang bernama Dewi Laksmi. Sehingga Sri Jayabupati adalah ipar dari Raja Airlangga yang berkuasa di Jawa Timur. 

Pernikahan antara Sri Jayabupati dengan putri dari Raja Dharmawangsa menyebabkan Kerajaan Sunda berkoalisi dengan Kerajaan Mataram Kuno yang dipimpin oleh Dharmawangsa. Di mana terjadi kerjasama di bidang militer untuk menekan pengaruh dari Kerajaan Sriwijaya sepeninggal Balaputradewa. Sepeninggal Balaputradewa Kerajaan Sriwijaya mulai menunjukkan kemunduran, yang puncaknya berada di bawah pemerintahan Sangrama Vijayatunggawarman.

Sri Jayabupati memiliki beberapa orang anak, diantaranya adalah:

  1. Wikramajaya (dari anak Dharmawangsa Teguh)
  2. Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya (dari Dewi Pertiwi)
  3. Prabu Dharmaraja

Sri Jayabupati meninggal pada tahun 1030 M. Takhta Kerajaan Sunda kemudian jatuh ke tangan anaknya yang bernama Prabu Dharmaraja.

Daftar Bacaan

  • Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa
  • Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara Sarga 4 Parwa 2
  • Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara Sarga 3 Parwa 2
  • Atja & Ekajati, E.S. 1989. Carita Parahiyangan “karya tim pimpinan pangeran wangsakerta”. Bandung: Yayasan Pembangunan Jawa Barat.
  • Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah “Panitia Wangsakerta” Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya.
  • Danasasmita, S. 1983. Sejarah Bogor. Bogor: Paguyuban Pasundan Cabang Kodya Bogor.
  • Ekajati, Edi S. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Jakarta: Pustaka Jaya.
  • Groeneveldt. W. P. 2009. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Depok: Komunitas Bambu.
  • Iskandar, Yoseph.1997. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa).Bandung: Geger Sunten
  • Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Hindu. Jakarta: Balai Pustaka.
error: Content is protected !!

Eksplorasi konten lain dari Abhiseva.id

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Scroll to Top